DOSEN KOORDINATOR
AVE HARYSAKTI, ST., MT
DISUSUN OLEH:
NIDA AMALIA DBB 115 051
ISNA RENISA HANIFA DBB 115 054
SRI MONIKA DBB 115 069
VISCA ESTERINA DBB 115 081
CHONIA HERMIYANA PING PING DBB 115 053
KEMENTERIAN RISET,KATA
TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
PENGANTAR
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA – FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat ARSITEKTUR
Tuhan Yang Maha Esa, yang karena berkat dan
anugerah dari-Nya sehingga kami dapatTAHUN 2017makalah sederhana ini. Ucapan terima
menyelesaikan
kasih juga kami sampaikan kepada Bapak Ave Harysakti, ST., MT, selaku dosen koordinator
mata kuliah dan dosen pengajar mata kuliah ini.
Adapun makalah ini tentang materi Bentang Lebar yaitu bagian Struktur Cangkang, yang
merupakan pemenuhan dari tugas Mata Kuliah Struktur Konstruksi Bangunan V, yang mana
diharapkan dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan mengenai
struktur cangkang dalam konstruksi bangunan.
Penyusun
DAFTAR ISI
JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Definisi Struktur Cangkang
2.2. Fungsi Struktur Cangkang
2.3. Bentuk Dasar Struktur Cangkang
2.4. Jenis dan Sifat Struktur Cangkang
2.5. Klasifikasi Struktur Cangkang
2.6. Teori dan Analisa Struktur Cangkang
Perumahan merupakan kebutuhan dasar yang sifatnya struktural, yaitu sebagai bagian dari
peningkatan kualitas kehidupan dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu pembangunan
perumahan bukan hanya berupaya untuk mencapai sasaran kuantitas saja, tetapi adalah juga
sangat penting untuk memperhatikan pencapaian sasaran kualitas agar dapat dimungkinkan
perumahan yang sesuai dengan hakekat dan fungsinya yaitu sebagai tempat tinggal untuk
menunjang aktifitas sehari-hari untuk meningkatan kualitas hidup. Permukiman kumuh di kota-
kota besar dan kecil pada saat ini semakin banyak sehingga mengurangi kualitas ruang kota.
Kawasan kumuh diidentifikasi dengan daerah hunian kehidupan dan tingkat sosial
berpendapatan rendah (low income). Pada dasarnya keberadaan permukiman kumuh
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat untuk merubah kondisi
ruang kota agar menghindari kesenjangan ruang kota, dan kesenjangan sosial, sehingga pada
akhirnya berdampak pada kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat yang tinggal disana.
Masih adanya permukiman kumuh saat ini di kota Palangka Raya serta realisasi
program terkait pemecahan masalah permukiman kumuh menjadi topik hangat yang
selalu diperbincangkan dan menjadi latar belakang adanya topik ini. Masyarakat yang
berada pada lingkungan yang kumuh adalah masyarakat ekonomi kelas ke bawah,
sehingga yang dipikirkan adalah konsep perencanaan permukiman yang berwawasan
lingkungan dengan penyediaan sarana dan prasarana yang secara operasionalnya mampu
meningkatkan kualitas sosial dan perekonomian masyarakat disana. Sehingga
perkembangan suatu kawasan menjadi kebih baik, jauh dari kesan kumuh, dan kepedulian
terhadap keberlanjutan permukiman.
Memiliki tempat tinggal dan lingkungan hidup yang baik dan sehat atau tidak kumuh
merupakan kebutuhan dasar manusia dan adalah hak warga negara Indonesia. Di dalam
Undang-Undang Nomor 9 tahun 2015 tentang perubahan kedua atas UU 23 tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah, ditegaskan bahwa penyediaan pelayanan dasar perumahan
rakyat dan kawasan permukiman merupakan urusan wajib pemerintah dimana
BAB II
PEMBAHASAN
Program KOTAKU adalah program yang dilaksanakan secara nasional yang menjadi
“platform” atau basis penanganan kumuh yang mengintegrasikan berbagai sumber daya
dan sumber pendanaan, termasuk dari pemerintah pusat, provinsi, kota/kabupaten, pihak
donor, swasta, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya. Program KOTAKU
bermaksud untuk membangun sistem yang terpadu penanganan kumuh, dimana
pemerintah daerah memimpin dan berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan
dalam perencanaan maupun implementasinya, serta mengedepankan partisipasi
masyarakat.
Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman dijelaskan bahwa Permukiman Kumuh adalah permukiman yang tidak layak
huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan
kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat, sedangkan
Perumahan Kumuh adalah perumahan yang mengalami penurunan kualitas fungsi
sebagai tempat hunian.
Dari pengertian tersebut dapat dirumuskan karakteristik perumahan kumuh dan
permukiman kumuh dari aspek fisik sebagai berikut:
1. Merupakan satuan entitas perumahan dan permukiman;
2. Kondisi bangunan tidak memenuhi syarat, tidak teratur dan memiliki kepadatan
tinggi;
Karakteristik fisik tersebut selanjutnya menjadi dasar perumusan kriteria dan indikator
dari gejala kumuh dalam proses identifikasi lokasi perumahan kumuh dan permukiman
kumuh. Selain karakteristik fisik, karakteristik non fisik pun perlu diidentifikasi guna
melengkapi penyebab kumuh dari aspek non fisik seperti perilaku masyarakat, kepastian
bermukim, kepastian berusaha, dsb
Di kota Palangka Raya saat ini masih begitu banyak terdapat permukiman kumuh yang
memang seharusnya dilakukan pengendalian pertumbuhan atau perkembangan perumahan
Perencanaan Wilayah dan Kota
“Kota Tanpa Kumuh” |8
dan peningkatan kualitas permukiman itu sendiri sebagai contoh yakni pada permukiman
pahandut, flamboyan bawah, dll. Dari data Dinas permukiman dan Tata Kota Palangka
Raya (2003) di kecamatan Pahandut terdapat kawasan Danau Seha, dikategorikan sebagai
permukiman kepadatan tinggi yaitu 200-280 rumah /ha, sehingga kawasan permukiman
Danau Seha ini menjadi kumuh dan memerlukan perhatian penataan, yang berada di tepian
sungai Kahayan kota Palangkaraya. Berdasarkan penelitian Wijanarka (2001) permukiman
ini berkembang karena nilai orientasinya dan sejak pembentukan kota baru tahun 1957-an,
keberadaan perkampungan tersebut sudah ada dan sebagai kampung terpadat di dalam
wilayah kota.
Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) menjadi salah satu prioritas Pemerintah Kota
(Pemko) saat ini. Prinsip dasar dalam program ini adalah pemerintah daerah sebagai
nahkoda harus didukung dengan perencanaan yang komprehensif dan sinkronisasi
perencanaan, serta penganggaran yang baik.
“Dalam menindak lanjuti program Kotaku diperlukan partisipatif, kreatif dan inovatif
termasuk pengelolaan lingkungan sosial yang menjamin berkelanjutan. Juga mengacu
kepada tata kelola pemerintahan yang baik,” terang Wakil Wali Kota Palangka Raya Dr
Ir Mofit Saptono Subagio MP saat membuka Sosialisasi dan Workshop Strategi
Komunikasi Program Kota Tanpa Kumuh Tingkat Kota Palangka Raya di Hotel Royal
Global Palangka Raya, Selasa (1/11).
Sementara itu, Kepala Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Perumahan Kota Palangka
Raya, Rojikinnor mengatakan, Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) merupakan upaya
strategis Direktorat Pengembangan Kawasan Permukiman (PKP), Direktorat Jenderal
Cipta Karya, dalam rangka meningkatkan peran masyarakat. Selain itu juga memperkuat
peran pemerintah daerah dalam percepatan penanganan kumuh dan mendukung gerakan
‘100-0-100’, yaitu 100 persen akses universal air minum, nol persen kawasan kumuh dan
100 persen sanitasi.
Menurut Rojikinnor, program Kotaku diimplementasikan di Kota Palangka Raya dalam
bentuk peningkatan kualitas permukiman dan pencegahan kawasan kumuh. Prioritas
penanganan kumuh dilakukan pada lokasi-lokasi prioritas seluas 105,20 ha sesuai SK Wali
Kota Palangka Raya Nomor 188.45/130/2016 Tanggal 1 Februari 2016 terdapat di
Kelurahan Pahandut, Langkai, Pahandut Seberang, Palangka, Tumbang Rungan, Kereng
Bengkirai dan Tangkiling.
Agar program dapat berhasil guna, dibutuhkan sosialisasi agar para pemangku
kepentingan dan masyarakat paham tentang konsep, tujuan, aturan, dan pendekatan
program. “Sosialisasi sebagai langkah awal dari proses persiapan pelaksanaan program.
Ini dimaksudkan agar pihak yang terlibat memahami peran dan tanggung jawab masing-
masing” ungkap Koordinator Kota Kabupaten Deliserdang, Juriadi kepada Analisa di sela
Sosialisasi dan Lokakarya Strategi Komunikasi Program Kotaku di Kecamatan Beringin,
Deliserdang, Kamis (3/11).
Nantinya masyarakat akan merencanakan, mengerjakan, mengawasi dan memelihara
program ini agar target bisa tercapai. Program Kotaku sebagai upaya membangun
platform kolaborasi untuk sama-sama bergerak mencapai sasaran pembangunan kawasan
pemukiman, khususnya terwujudnya kota tanpa kumuh pada tahun 2019. Dengan
menempatkan pemda sebagai nakhoda, masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan,
dan pemerintah pusat sebagai pendamping pemda.
Berdasarkan hasil tesis yang ada tentang “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Partisipasi Masyarakat Dalam Keberhasilan Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku). Hasil
penelitian menunjukkan ada perbedaan besar pada faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat partisipasi antara lain adalah pengaruh struktur, kultur dan proses sosial yang
secara nyata tampak pada tangga partisipasi di kedua lokasi penelitian. Sehingga
pendalaman terhadap modal sosial sebagai langkah awal ketika pemerintah akan
menjalankan suatu program di suatu wilayah karena jika dalam kondisi modal sosialnya
terlalu rendah maka program itu tidak bisa hanya berpikir output saja (perubahan fisik)
tetapi juga memodifikasi modal sosialnya agar sasaran program dapat tercapai.
Ibukota AS, Kanada, dan Australia jumlah penduduknya cuma 0,5 juta. Tidak sampai 1 juta.
Justru kota2 besar/bisnis bukan di Ibukota. Misalnya New York pusat Bisnis, Los Angeles
tempat pusat Perfiliman Hollywood, dan juga Sydney.
Over Populasi (Jumlah penduduk melebihi daya tampung) merupakan penyebab utama
kenapa banyak negara memindahkan ibukotanya. Sebagai contoh saat ini Jepang dan Korea
Selatan tengah merencanakan pemindahan ibukota negara mereka. Jepang ingin memindahkan
ibukotanya karena wilayah Tokyo Megapolitan jumlah penduduknya sudah terlampau besar
yaitu: 33 juta jiwa. Korsel pun begitu karena wilayah kota Seoul dan sekitarnya jumlah
penduduknya sudah mencapai 22 juta. Bekas ibukota AS, New York dan sekitarnya total
penduduknya mencapai 22 juta jiwa. Jakarta sendiri menurut mantan Gubernur DKI, Ali
Sadikin, dirancang Belanda untuk menampung 800.000 penduduk. Namun ternyata di saat Ali
menjabat Gubernur jumlahnya membengkak jadi 3,5 juta dan sekarang membengkak lagi
hingga daerah Metropolitan Jakarta yang meliputi Jabodetabek mencapai total 23 juta jiwa.
Kenapa kita harus memindahkan ibukota ke Palangka Raya? Apa tidak repot? Apa
biayanya tidak terlalu besar? Jawaban dari pertanyaan ini harus benar-benar tepat dan
beralasan. Jika tidak, hanya buang-buang waktu, tenaga, dan biaya.
Pertama kita harus sadar bahwa ibukota Jakarta di mana lebih dari 80% uang yang ada di
Indonesia beredar di sini merupakan magnet yang menarik penduduk seluruh dari Indonesia
untuk mencari uang di Jakarta. Arus urbanisasi dari daerah ke Jakarta begitu tinggi. Akibatnya
jika penduduk Jakarta pada zaman Ali Sadikin tahun 1975-an hanya sekitar 3,5 juta jiwa, saat
ini jumlahnya sekitar 10 juta jiwa. Pada hari kerja dengan pekerja dari wilayah Jabotabek,
penduduk Jakarta menjadi 12 juta jiwa.
Jumlah penduduk Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi diperkirakan sekitar 23
juta jiwa. Padahal tahun 1986 jumlahnya hanya sekitar 14,6 juta jiwa (MS Encarta). Jika Jakarta
terus dibiarkan jadi ibukota, maka jumlah ini akan terus membengkak dan membengkak.
Akibatnya kemacetan semakin merajalela. Jumlah kendaraan bertambah. Asap kendaraan dan
polusi meningkat sehingga udara Jakarta sudah tidak layak hirup lagi. Pohon-pohon, lapangan
rumput, dan tanah serapan akan semakin berkurang diganti oleh aspal dan lantai beton
perumahan, gedung perkantoran dan pabrik. Sebagai contoh berbagai hutan kota atau tanah
lapang di kawasan Senayan, Kelapa Gading, Pulomas, dan sebagainya saat ini sudah
menghilang diganti dengan Mall, gedung perkantoran dan perumahan.
Untuk itu diperlukan penyebaran pusat kegiatan di berbagai kota di Indonesia. Sebagai
contoh, di AS pusat pemerintahan ada di Washington DC yang jumlah penduduknya hanya 563
ribu jiwa. Sementara pusat bisnis ada di New York dengan populasi 8,1 juta. Pusat kebudayaan
ada di Los Angeles dengan populasi 3,9 juta. Pusat Industri otomotif ada di Detroit dengan
jumlah penduduk 911.000 jiwa.
Solusinya Jakarta cukup menjadi pusat bisnis. Untuk pusat pemerintahan, memang akan
lebih baik dipindahkan ke kota lain semisal Kalimantan Tengah.
Pertama Jawa adalah pulau kecil yang sudah terlampau padat penduduknya. Luas pulau Jawa
hanya 134.000 km2 sementara jumlah penduduknya sekitar 135 juta jiwa. Kepadatannya sudah
mencapai lebih dari 1.000 jiwa per km2. Apalagi pulau Jawa yang subur dengan persawahan
yang sudah mapan seharusnya dipertahankan tetap jadi lahan pertanian untuk mencukupi
kebutuhan pangan di Indonesia. Kalau dipaksakan di Jawa, maka luas sawah akan berkurang
sebanyak 50.000 hektar! Produksi beras/pangan lain akan berkurang sekitar 200 ribu ton per
tahun! Indonesia akan semakin kekurangan pangan karenanya. Selama ibukota tetap di Jawa,
pulau Jawa akan semakin padat dan pembangunan tidak tersebar ke seluruh Indonesia. Jawa
sudah kebanyakan penduduk/over-crowded!
Ada pun pulau Sumatera letaknya relatif agak di Barat. Dengan jumlah penduduk lebih dari 42
juta, pembangunan di Sumatera sudah cukup lumayan.
Perencanaan Wilayah dan Kota
“Kota Tanpa Kumuh” | 16
Sulawesi dengan luas 189.000 km2 dan jumlah penduduk sekitar 15 juta jiwa masih terlalu
kecil wilayahnya. Sumatera dan Sulawesi adalah pulau yang subur dan cocok untuk pertanian.
Jadi sayang jika pertumbuhan jumlah penduduk dipusatkan di situ. Belum lagi kedua wilayah
ini rawan dengan gempa bumi dan tsunami.
Ada pun Kalimantan luasnya 540.000 km2 dengan jumlah penduduk hanya 12 juta jiwa. Pulau
Kalimantan jauh lebih luas dibanding pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi dan jumlah
penduduknya justru paling sedikit.
Di pulau Kalimantan juga tidak ada gunung berapi dan merupakan pulau yang teraman dari
gempa. Sementara di pesisir Kalimantan Tengah yang berbatasan dengan Laut Jawa juga
ombak relatif tenang dan aman dari Tsunami. Ini cocok untuk jadi tempat ibukota Indonesia
yang baru.
Sebaliknya Jakarta begitu dekat dengan gunung Krakatau yang ledakkannya 30 ribu x bom
atom Hiroshima dengan tsunami setinggi 40 meter. Efek ledakan Krakatau terasa sampai Afrika
dan Australia. Gunung Krakatau yang dulu rata dengan laut telah “tumbuh” setinggi 800 meter
lebih dengan kecepatan “tumbuh” sekitar 7 meter/tahun. Sebagian ahli geologi memperkirakan
letusan kembali terulang antara 2015-2083. Jadi Jakarta tinggal “menunggu waktu” saja.
Apakah sebaiknya ibukota memakai kota yang sudah ada seperti Palangkaraya atau
membuat kota baru sama sekali?
Semua pemikiran haruslah direncanakan dengan matang, bukan hanya mementingkan satu
pihak namun juga sebaiknya memikirkan kebaikan semua pihak,
Jika membuat ibukota dari kota yang sudah ada seperti Palangkaraya, juga akan
menimbulkan 2 kendala besar. Pertama perencanaan pembangunan jadi tidak fleksibel. Sulit
untuk merencanakan tata ruang baru karena ruang yang ada sudah terpakai. Sebagai contoh,
sulit untuk membuat jalan protokol karena jalan yang sudah ada ukurannya kecil. Jika
dipaksakan, harus menggusur gedung-gedung di sekelilingnya. Ini jumlahnya banyak sekali
dan biayanya juga tentu sangat besar.
Kedua, karena tanah yang diperlukan sudah ada yang memiliki, akan ada banyak spekulan
tanah yang menjual tanahnya dengan harga yang sangat tinggi. Per meter persegi bisa 2-3 juta
lebih. Biaya pembangunan ibukota bisa meroket dengan tinggi. Untuk pelebaran jalan, gedung
pemerintahan dan rumah dinas seluas total 50 km2 saja bisa mencapai Rp 500 trilyun rupiah
lebih.
Oleh karena itu lebih mudah dan lebih murah membangun ibukota baru dari tanah kosong
milik negara. Idealnya ibukota baru ini memakai lahan bekas HPH yang sudah gundul dan
terletak di pinggir sungai. Jarak ke pantai sebaiknya tidak lebih dari 50 km sehingga bisa jadi
pusat pelabuhan.
Dengan cara ini, seandainya harus ada pembebasan lahan, biayanya tak lebih dari 10 ribu
/ m2. Jadi seandainya lahan yang diperlukan 500 km2, maka biaya pembebasan lahan hanya Rp
5 trilyun.
Ibukota Brazil, Brasilia dibangun dari tanah kosong / awal. Dari situ dirancang dan
dibangun semuanya dari awal oleh para ahli tata kota. Ibukota lainnya yang dirancang dan
Apakah negara akan rugi karena biaya pembangunan ibukota sangat tinggi?
Pembangunan ibukota biayanya memang cukup tinggi. Tapi akan lebih tinggi lagi biayanya
baik dari segi kesehatan mau pun biaya jika kita tetap memakai Jakarta sebagai ibukota. Selain
itu pemerintah bisa memakai pembangunan ibukota baru sebagai sarana untuk mendapatkan
uang. Bagaimana caranya?
Dari 500 km2 luas ibukota baru, tidak semuanya dipakai pemerintah. Pemerintah hanya
memakai 50 km2 untuk jalan, gedung pemerintah, dan rumah dinas. 100 km2 bisa dipakai untuk
hutan dan taman kota. Sisanya 350 km2 bisa dijual untuk bisnis dan umum dengan harga Rp
500.000-1.000.000 /m2. Paling tidak pemerintah bisa mendapat 175 hingga 350 trilyun rupiah
dari penjualan lahan. Ini bisa dilakukan secara bertahap. Beberapa kota swasta seperti Lippo
City, Lippo Karawaci, dan juga BSD sudah menerapkan hal ini. Pemerintah dengan dukungan
dana APBN seharusnya juga bisa. Jadi dari sisi dana seharusnya tidak masalah.
Total pembangunan gedung pemerintah sendiri paling hanya sekitar Rp 20 trilyun. Ini cukup
untuk 200 gedung @ Rp 100 milyar. Total biaya diperkirakan mencapai Rp 150 trilyun. Jika
dilakukan secara bertahap dalam 5 tahun maka biayanya Rp 30 trilyun per tahun atau kurang
dari 4% jumlah APBN yang mencapai sekitar Rp 800 trilyun. Biaya ini bisa ditutup nantinya
dengan dana dari hasil penjualan lahan senilai Rp 175-350 trilyun.
Ibukota baru ini sebaiknya berjarak tidak lebih dari 200 km dari kota yang sudah ada, sehingga
bisa mendapat dukungan logistik dari kota tersebut selama ibukota masih dalam pembangunan.
Ibukota baru ini juga akan menghidupkan kota-kota di sekelilingnya.
Penataan Ruang Wilayah dan Kota Hingga saat ini masih belum dilakukan evaluasi
periodik kesesuian Perda No. 07 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Palangka Raya dengan program pembangunan yang telah dilaksanakan.
Evaluasi terhadap realisasi pengembangan dan pembangunan kota yang begitu pesat
dengan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Palangka Raya belum dilaksanakan
sehingga belum diketahui Sejauh mana peranan, fungsi dan tujuan penerapan Perda No. 08
Tahun 2001 tentang RDTRK Palangka Raya.
Penerapan Perda No. 08 Tahun 2001 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)
Palangka Raya masih belum konsisten, misalnya pengamanan dan penanaman jalur hijau
kota, sempadan sungai, alokasi letak bangunan, penertiban tempat usaha (pasar kaget,
tempat hiburan, kaki lima, penjual buah, bengkel motor/mobil, meubelair, peternakan dan
lain-lain). Beberapa kegiatan usaha mikro, kecil dan menengah yang berada dalam
kawasan pemukiman telah menimbulkan kebisingan dan bau tidak sedap sehingga
menggangu kenyamanan lingkungan setempat.
Penjabaran lebih rinci dari RDTRK kedalam Rencana Teknik Ruang Kawasan
Perkotaan/Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Kota Palangka Raya masih belum
disusun yang menyebabkan tidak adanya pedoman teknis penataan bangunan/lingkungan
kota sesuai dengan Kepmenkimpraswil No. 327/KPTS/M/2002 Tahun 2002. Sampai
dengan tahun 2006 telah dilakukan untuk kawasan jalan RTA. Milono, Yos Sudarso dan
Tjilik Riwut.
Daerah terbuka dan jalur hijau di Kota Palangka Raya masih sangat terbatas. Capaian yang
telah berhasil direalisasikan selama ini dalam bidang sarana prasarana Kota Palangka Raya
dapat digambarkan sebagai berikut:
Potensi pengembangan wilayah Kota Palangka Raya dapat dilihat pada pola ruang wilayah
yang telah ditetapkan dalam RTRW Kota Palangka Raya tahun 2009-2030. Tabel 2.4
menyajikan struktur pola ruang kota Palangka Raya dan kondisi pemanfaatan ruang saat ini.
Tabel itu menginformasikan bahwa terdapat perbedaan antara recana RTRW dengan kondisi
eksisting sekitar 0,1%, sebuah perbedaan yang sangat kecil. Kekurangan kawasan ada pada
peruntukan kawasan lindung dengan kelebihan pada kawasan peruntukan lainnya. Tabel 2.4
Pola Ruang Eksisting dan Rencana Pola Ruang Wilayah Kota Palangka Raya
Kawasan Lindung
Kawasan lindung berfungsi memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya di
Kota Palangka Raya yang meliputi: area sempadan Sungai Rungan/Kahayan dan Sungai