Anda di halaman 1dari 16

CLINICAL SCIENCE SESSION

GAGAL NAPAS PADA ANAK


Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D)
SMF Ilmu Kesehatan Anak

Disusun oleh:

Lulu Nurul Ula 12100114061

Preseptor:
Linda Marlina, dr., SpA., MKes

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
RS MUHAMMADIYYAH BANDUNG
2015
PENDAHULUAN

Gagal napas adalah suatu keadaan Diana sistem pernapasan tidak mampu
melaksanakan fungsinya dalam menyediakan oksigen dan mengeluarkan CO2
sehingga terjadi hipoksia dan hiperkapnia.
Gagal napas akut masih merupakan penyebab utama kematian atau
kesakitan baik pada anak maupun dewasa. Bayi dan anak-anak terutama anak usia
kurang lima tahun lebih mudah mengalami gagal napas akut karena faktor-faktor
anatomis dan fungsional sistem pernapasan yang masih belum matang.
Penyebab gagal napas akut sangat banyak, mulai dari kerusakan sistem
kontrol pernapasan oleh susunan saraf pusat, penyakit-penyakit neuromuskular,
sumbatan jalan napas, penyakit-penyakit paru-paru dan sistem kardiovaskular dan
setiap keadaan yang dapat mempengaruhi fungsi pertukaran gas paru dapat
menyebabkan gagal napas.
Gejala klinis sangat bervariasi tergantung dari umur penderita, penyakit
primer dan tingkat kegagalan pertukaran gas. Diagnosis klinis sangat sulit bahkan
hampir tidak mungkin tanpa melakukan pemeriksaan analisa gas darah, kecuali
pada keadaan-keadaan yang sangat berat. Maka dari itu referat kali ini akan
membahas tentang gagal napas pada anak.

1
GAGAL NAPAS PADA ANAK

Definisi
Ketidakmampuan tubuh pada proses pertukaran gas di paru-paru yang
ditandai dengan gagalnya pengeluaran CO2 dan tidak adekuatnya oksigenasi
dalam darah.

Epidemiologi
 Lebih kurang 8% dari penderita-penderita yang masuk ke ruang perawatan
intensif adalah penderita gagal napas akut.
 Dua pertiga dari kasus gagal napas terjadi pada anak usia <1 tahun yang
setengahnya terjadi pada masa neonatus.
 Penyebab tersering dari gagal napas akut adalah penyakit paru-paru
(>63%) terutama bronkopneumonia dan bronkiolitis, kemudian gangguan
neurologis (12-14%) dan penyakit-penyakit jantung dan neuromuskuler.

Patofisiologi
Proses pernapasan dibagi dalam 4 tahap :
1. Ventilasi paru-paru yaitu proses pertukaran udara antara udara luar dan
alveolus.
2. Difusi O2 dan CO2 melalui membrane respirasi.
3. Transpot O2 dan CO2 dari dan kedalam sel.
4. Pengaturan ventilasi oleh susunan saraf pusat.
Proses pernapasan dimulai dari rangsangan reseptor-resptor pernapasan
baik mekanis atau kimiawi yang diteruskan ke pusat pernapasan yang terletak di
medulla oblongata dan dari sini impuls eferen dikirim ke otot-otot pernapasan
sehingga terjadi kontraksi otot-otot pernapasan.
Akibat dari kontraksi otot pernapasan ini tulang dada dan tulang iga
terangkat keatas dan diafragma tertarik kebawah sehingga terjadi pengembangan
rongga dada dan terjadi tekanan yang lebih negative dalam rongga dada,
akibatnya udara dari luar masuk kedalam alveoli.
Proses pernapasan akan terus berlanjut melalui proses difusi membrane
alvveolocaplier atau membrane respirasi. Proses difusi ini terjadi karena
perbedaan tekanan antara rongga alveoli dan kapiler pembuluh darah. Darah dari
jantung kanan dengan kadar oksigen rendah dan kadar CO2 tinggi akan masuk

2
kedalam sirkulasi paru dan terjadi pertukaran gas di alveoli, CO 2 masuk alveoli
sendang O2 dari alveoli masuk kedalam kapiler paru.
Proses difusi ini berlangsung cepat sehingga darah sudah tersaturasi penuh
dengan oksigen pada sepertiga awal sebelum mencapai ujung kapiler darah
alveoli. O2 di dalam darah akan diikat oleh Hb dalam bentuk oksihemoglobin dan
dibawa ke seluruh tubuh, di kapiler jaringan ksigen adan dilepas melalui suatu
proses difusi karena kadar oksigen jaringan rendah sedang hasil metabolism yang
berupa CO2 akan masuk ke dalam kapiler untuk dibawa kembali ke dalam paru-
paru.
Pada pernapasan dengan udara bisaa kadar oksigen yang masuk ke jantung
kiri tidak pernah mencapai 100 mmHg sebab masih terdapat aliran darah yang
tidak ikut dalam bertukaran gas di alveoli tiap dari jantung kanan langsung ke
jantung kiri, aliran darah ini merupakan 2 ½ % dari seluruh aliran darah yang ke
paru-paru dan disebut venous admixture.
Membrane respirasi ini sangat lusas ± 70 m 2 dan berhubungan sangat
dekat dengan dinding eritrosit karena kapiler dalam alveolus ini sangat kecil
sehingga hanya dapat dilalui oleh satu sel eritrosit. Kondisi seperti ini akan sangat
membantu proses difusi udara pernapasan shingga pertukaran gas dapat terjadi
dengan cepat.
Penyakit-penyakit tertentu yang menambah tebalnya membrane respiratori
udema paru, pneumonia, fibrosis dan sebagainya akan memperlambat proses
difusi.
Setiap gangguan dari tiap tahap proses pernapasan dapat menyebabkan
ketidak mampuan paru-paru melaksanakan fungsinya dalam pertukaran gas
pernapasan sehingga terjadi diatas.

Faktor Predisposisi
Faktor-faktor predisposisi terjadinya gagal napas pada anak terutama pada
usia dibawah 5 tahun adalah :
1. Saluran napas anak lebih sempit dibanding dewasa, sehingga bila
terjadinya sedikit penebalan saja sudah dapat menyebabkan sumbatan
jalan napas yang berat. Pada bayi penebalan 1 mm saja sudah dapat
mengurangi 75% diameter saluran napas, sedang pada dewasa
penebalan yang sama hanya menyebabkan pengurangan 20% dari
diameter saluran napas. Epiglottis relative lebih besar dari dewasa dan
letaknya lebih horizontal dengan posisi laring yang lebih cephalad
(sekitar C3-C4 dibanding pada dewasa yang terletak sekitar C6-C7),
ditambah dengan area subglotttis yang lebih sempit akan menyulitkan
dalam pemasangan pipa endotracheal.

3
2. Dinding thorak. Tulang dada dan tulang iga masih sangat lunak
dengan posisi tulang iga yang lebih datar sehingga bentuk rongga dada
lebih bulat dan lebih elastis. Otot-otot pernapasan masih belum
tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga gerakan dinding
thorak jadi lebih terbatas. Bayi terutama bernapas dengan otot
diafragma (pernapasan abdominal) sehingga penyakit atau proses
yang mengenai diafragma dapat menyebabkan gangguan pernapasan.

3. Ventilasi kollateral pada bayi dan anak belum terbentuk seluruhnya.


Pori-pori dari kohn (antar alveolus) dan anal bronkoalveolar dari
Lambert masih sedikit sehingga mudah terjadi atelektasis. Pada bayi
clossing volume yaitu volume paru dimana pada volume tersebut
seluran napas terminal sudah mulai kollap lebih besar sehingga ruang
mati (deade space) menjadi lebih besar. Selain itu jumlah alveoli bayi
dan anak lebih sedikit dari dewasa yaitu ± 20 juta dengan luas alveoli
yang lebih kecil dan baru mencapai jumlah dan luas seperti dewasa ±
300 juta pada usia 8 tahun.

4. Sistem saraf pusat dan perifer masih belum matang. Pusat pernapasan
pada bayi yan anak masih belum matang sehingga yang terjadi apneu
dan pernapasan yang tidak teratur. Selain itu bayi yang tipe tidurnya
lebih dominan dengan REM sleep sering terjadi gangguan pernapasan
karena pada keadaan REM sleep ini sering terjadi gangguan
koordinasi otot-otot pernapasan. Pada keadaan REM sleep ini
pernapasan melalui diafragma meningkat, tapi hal ini tidak bermanfaat
karena gerakan ini tidak sesuai dengan gerakan dinding torak. Padahal
tidur bayi lebih dominan dengan REM seleep sehingga kelompok usia
ini lebih mudah mengalami gagal napas dalam keadaan stress.

5. Kelainan kongenital. Kelainan kongenital yang dapat menyebabkan


gagal napas seperti hypoplasia paru, kelainan jantung kongenital,
atresia esophagus dengan fistula tracheoesofageal, hernia diafragma
serta trauma kelahiran.

Etiologi
I. Produksi CO2 yang meningkat : panas, menggigil, olah raga, kejang,
gelisah, sepsis, trauma, dan luka bakar.
II. Ventilasi alveolar menurun, paru-paru normal
a. Kontrol/kendali ventilasi menurun :
 Sedativa (narkotika, tranquilizer)
 Trauma kepala
 Penyakit-penyakit infeksi CNS

4
 Alkalosis
b. Penyakit-penyakit neuromuscular :
 Medulla spinalis : tetanus, trauma
 Cornu anterior : poliomyelitis, penyakit werdnig hoffinan
 Saraf perifer : polineuropati akut, polyneuritis (difteria,
sindroma Guillian Barre)
 Neuromuscular junction : myasthenia gravis, botulism,
keracunan organofosfat
 Kelainan otot : polimiositis, hypokalemia, Duchene
muscular
c. Sumbatan saluran napas atas :
 Sekresi/lendir
 Posisi kepala
 Hipotoni pharing
 Massa, udema subglottic, stenosis subglottic
 Infeksi/ croup
 Tracheomalacia, laringomalacia
 Spasme laring
 Corpus alienum
d. Kelainan dinding thorak, pleura, dan abdomen :
 Trauma
 Flail chest
 Pneumothorax
 Efusi pleura
 Operasi thorax dan abdomen
 Distensi abdomen
III. Ventilasi alveolar menurun, paru-paru abnormal
a. Penyakit obstruktif :
 Asthma bronkiale
 Bronkiolitis
 Bronkopulmonary dysplasia
b. Penyakit alveolar :
 Pneumonia
 ARDS
 Gagal jantung kongestif
IV. Ventilasi dead space meningkat
a. Menurunnya aliran darah ke paru :
 Hipertensi pulmonal, renjatan, emboli paru
b. Overdistensi alveoli :
 asma bronkiale
 bronkiolitis
 corpus alienum
 PEEP yang berlebihan

5
Tipe Gagal Napas
1. Gagal napas tipe I (hipoksemia, gangguan oksigenasi)
Ditandai PaO2 arteri rendah (hipoksemia) dan PaCO2 arteri yang normal atau
rendah yang disebabkan ventilasi paru dan perfusi yang tidak sepadan. Gagal
napas tipe I adalah kegagalan oksigenasi dan terjadi pada tiga keadaan :
a) Ventilasi/perfusi yang tidak sepadan atau V/Q mismatch, terjadi bila
darah mengalir ke bagian paru dengan ventilasi yang tidak adekuat atau
bila ventilasi paru yang adekuat tidak mendapatkan perfusi adekuat.
b) Ganggugan difusi, disebabkan penebalan membrane alveolar atau
cairan intersitial pada pertemuan alveous-kapilar ↑.
c) Pirau intrapulmonal yang terjadi bila kelainan struktur paru yang
menyebabkan aliran darah melewati paru tanpa berpartisipasi dalam
pertukaran gas.
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan antara lain :
 Sianosis
 Bingung, agitasi, sulit tidur
 Nafas pendek
 Keringat yang banyak
 Takikardi, hipertensi, disritmia

2. Gagal napas tipe II ( hiperkapnia, gangguan ventilasi)


Ditandai PaO2 rendah (hipoksemia) dan PaCO2 tinggi (hiperkapnia), pada
umumnya karena hipoventilasi alveolar, meningkatnya ventilasi ruang mati
(dead space), atau meningkatnya produksi CO2. Gagal napas tipe II pada
umumnya terjadi karena hipoventilasi alveolar dan bisaanya terjadi sekunder
terhadap keadaan seperti disfungsi SSP, sedasi berlebihan, atau gangguan
neuromuscular.
Manifestasi yang dapat ditemukan antara lain :
 Pusing
 Sakit kepala
 Keringat yang banyak
 Takikardi, hipertensi
 Apnea
 Work of breathing, nafas pendek
 Stridor, wheezing
 Gerakan paradoksikal dinding dada-abdomen
 Udara yang masuk sedikit

Temuan Klinis Penyebab Contoh

6
Tipe I Gangguan Posisi (telentang di tempat
Hipoksia, PaCO2 ↓ ventilasi/perfusi tidur), sindrom distress
pernapasan akut (SDPA),
atelectasis, pneumonia, emboli
paru, dysplasia bronkopulmonal.
PaCO2 normal Gangguan difusi Edema paru, SDPA, pneumonia
interstitial
Pirau Malformasi artrio-vena paru,
malformasi adenomatoid
kongenital
Tipe II Hipoventilasi Penyakit neuromuscular (polio,
Hipoksia sindrom Guillan-Barre), trauma
Hiperkapnia kepala sedasi, disfungsi dinding
PaO2 ↓ dada (luka bakar), kifosis,
PaCO2 ↑ hiperreaktivitas saluran
respiratori berat

Diagnosis
Gagal napas diawali oleh stadium kompensasi, pada keadaan ini ditemukan
peningkatan upaya napas (work of breathing) yang ditandai distres pernapasan
(pemakaian otot pernapasan tambahan, reteraksi, takipnea, dan takikardia).
Peningkatan upaya napas terjadi dalam usaha mempertahankan aliran udara
walaupun compliance paru menurun. Stadium dekompensasi muncul belakangan
ditandai penurunan upaya napas.

Anamnesis
Dapat ditemukan kesulitan bernapas atau sesak napas, penurunan aktivitas fisik,
perubahan status mental, riwayat tertelan benda asing, dan riwayat infeksi saluran
respiratori akut sebelumnya.

Pemeriksaan Fisis
Dapat ditemukan upaya napas meningkat dan perubahan pola serta frekuensi laju
napas.

Penilaian Distres Gagal Napas Henti Napas


Pernapasan
Status mental Sadar, gelisah, Kurang Tidak responsive
agitasi responsive atau terhadap suara
memberi respons dan rangsang

7
terhadap rangsang nyeri
sakit
Tonus otot Dapat duduk (usia Normal atau Lemas
>4bulan) hipotonia
Posisi tubuh Posisi tripod Posisi tripod, Tidak dapat
perlu bantuan mempertahankan
mempertahankan posisi tubuh (bayi
posisi duduk >7-9 bulan)
Laju napas Lebih cepat dari Takipnea dengan Tidak ada napas
normal periode
bradipnea,
melambat
menjadi
bradipnea/agonal
Upaya napas Retraksi Upaya napas Tidak ada upaya
intercostal tidak adekuat, napas
Napas cuping dinding dada naik
hidung turun
Pemakaian otot
leher
Suara napas Pernapasan Stridor, mengi, Tidak terdengan
paradoksik berdeguk, megap- suara napas
megap
Warna kulit Stridor, mengi, sianosis sentral Bebercak biru,
kemerahan atau walaupun sudah sianosis perifer
pucat, sianosis diberikan O2, dan sentral.
sentral yang bebercak biru
membaik dengan
pemberian O2

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium sangat penting untuk menilai oksigenasi jaringan yang
adekuat. Pemeriksaan gas darah arteri merupakan penilaian utama untuk kedua
tipe gagal napas, yaitu PaO2 dan PaCO2. Gagal napas ditandai dengan hipokemia
yaitu kadar PaO2 <60 mmHg dan hiperkapnia yaitu PaCO2 >50 mmHg. Referensi
lain mengatakan hipoksemia apabila PaO2 <50 mmHg, SaO2 <90%, PaO2 <60
mmHg pada FiO2 40% atau PaO2/FiO2 <300. Hiperkapnia apabila pCO2 >50
mmHg dengan asidosis (pH <7,2), pCO 2 >40 mmHg dengan distres berat atau
pCO2 >55 mmHg. Pemeriksaan tambahan lain seperti elektrolit, hematocrit (Ht),
dan kadar obat hanya untuk mencari penyebab dasar gagal napas.

Penyulit
Henti kardiovaskular (65% pada anak)

8
Tata laksana
Tata laksana gagal napas akut di ruang gawat darurat terdiri atas :
 Survei primer : lakukan pemeriksaan observasional dengan
segitiga penilaian anak
 Prioritas pengobatan : lakukan langkah resusitasi ABC dan penilaian
derajat kesadaran
 Survei sekunder : anamnesis dan pemeriksaan fisis singkat
dikerjakan simultan dan komprehensif bersamaan pada saat melakukan
prioritas pengobatan sesuai diagnosis.
Prioritas pertama dalam tata laksana gagal napas akut adalah menjamin
kecukupan pertukaran gas dan sirkulasi darah (langkah ABC resusitasi
kardiopulmonal). Oksigen harus diberikan untuk mempertahankan saturasi
oksigen arteri >95%. Bila ventilasi tidak adekuat, maka harus segera diberikan
bantuan ventilasi balon ke masker dan O2.

a) Fase Resusitasi
Stabilisasi dan mencegah perburukan. Berikan oksigenasi, control saluran
respiratori, tata laksana ventilasi, stabilisasi sirkulasi, dan terapi farmakologis.
Bila penderita sadar: penanganan minimal, bayi di pangkuan orang tua, dalam
posisi yang nyaman, jangan memaksakan penderita dalam posisi tidur, berikan
suplemen oksigen (aliran rendah atau tinggi), pasang pemantau kardiorespirasi
dan pulse oximeter, akses i.v. bila perlu, anamnesis, dan pemeriksaan klinis
singkat. Bila penderita tidak sadar : buka jalan napas (maneuver tengadah
kepala/head tilt, angkat dagu/chin lift atau mengedapkan rahan/jaw thrust) dan
letakkan dalam posisi pemulihan, isap lendir (10 detik), ventilasi tekanan (+)
dengan O2 100%. Lakukan intubasi endotrakea dan pijat jantung luar bila
diperlukan.

b) Fase Perawatan Lanjutan


Melakukan diagnosis diferensial dan investigasi lanjut, rencana terapi yang
disesuaikan dengan diagnosis (antibiotic, bronkodilator, nutrisi, fisioterapi,
pemantauan, radiologis). Pemantauan penderita gagal napas akut harus dilakukan
penilaian ulang dan pengawasan ketat. Pemantauan kerja jantung, tekanan darah,
pulse-oxymetri, saturasi oksigen, dan kapnometri. AGD dilakukan 15-20 menit
sesudah dilakukan ventilasi mekanik.
Bebaskan jalan napas

9
Bebaskan jalan napas baik dengan pengaturan posisi kepala anak (sniffing
position), pembersihan lendir atau kotoran dari jalan napas atau dengan alat
seperti pemasangan pipa endotracheal atau tracheostomy.
Pemberian O2
Oleh karena semua penderita dengan gagal napas mengalami hipoksia maka
pemberian okseigen adalah suatu keharusan. Oksigen yang kering dan dingin akan
menyebabkan gangguan gerakan mukosilier saluran napas dan pengentalan mucus
sehingga akan memperbesar tahanan saluran napas dan memperburuk keadaan.
Mengingat bahaya keracunan oksigen yang bisa terjadi pada pemberian O2 dengan
konsentrasi tinggi dan waktu lama maka pemberian oksigen sebaiknya diberikan
dalam konsentrasi minimal yang sudah dapat memberikan oksigenasi jaringan
yang cukup yaitu saturasi O2 > 90% (keadaan ini sudah dapat dicapai pada PaO 2
60 mmHg). Oksigen dapat diberikan melalui :
 Masker 6-10 L/menit
 Kanula hidung dapat diberikan dengan flow 2-4 L/menit, sebab flow yang
lebih tinggi akan menyebabkan rasa yang tidak enak, pusing, kekeringan
dan luka pada selaput lendir hidung.
 Incubator : oksigen dimasukkan ke dalam incubator, tapi cara ini sangat
boros.
 Head box : bisa memberikan O2 sampai 90% tergantung ada/tidaknya
kebocoran headbox
 Tenda oksigen
Sesudah pemberian oksigen akan segera tampak tanda-tanda perbaikan klinis
yaitu sianosis berkurang atau hilang, fekuensi pernafasan dan retraksi berkurang.

Device Flow rate (L/menit) Delivery O2 (%)


Nasal kanul 1 21-24
2 25-28
3 29-32
4 33-36
5 37-40
6 41-44
Simple oxygen face mask 6-10 35-60
Face mask w/ O2 reservoar 6 60
(rebreathing mask) 7 70
8 80
9 90
10-15 95-100

Kontrol sekresi

10
Penderita-penderita gagal napas banyak mengeluarkan lendir sehingga
memperberat beban pernapasan, oleh karena itu perawatan jalan napas memegang
peran penting dalam tatalaksana gagal napas.
 Pengaturan posisi kepala
 Pengisapan lendir
 Humidifaksi udara pernapasan sangat perlu dilakukan untuk lebih
mengencerkan secret yang kental. Bila secret sangat kental atau purulent
bisa digunakan nebulizer. Seringkali dengan cara-cara ini sudah cukup
berhasil sehingga tidak perlu intubasi
 Fisioterapi dada (chest physiotherapy), tindakan ini dilakukan untuk
membantu pengeluaran lendir dari saluran napas dengan cara menepuk-
nepuk dada (chest clapping), vibrasi, hiperinflasi dan pengaturan posisi
tubuh. Bila dilakukan dengan baik dapat memperbaiki oksigenasi jaringan,
tapi cara-cara fisioterapi yang tidak baik justru dapat memperberat
hipoksia. Karena itu untuk mencegah terjadinya hipoksia sebelum
dilakukan fisioterapi sebaiknya dilakukan oksigenasi dulu dengan O2
100%.
 Dapat diberikan mukolitik untuk menghancurkan sekret.
 Pemberian cairan yang cukup, penderita-penderita gagal napas akut
bisaanya tidak bisa makan dan minum, selain itu terjadi kehilangan cairan
karena panas, hiperventilasi dan beban pernapasan yang berat (excessive
work of breathing) sehingga anak ini bisa mengalami dehidrasi dan
pengentalan mukus, oleh Karena itu penting pemberian cairan yang cukup.
Penderita yang mendapatkan ventilator dengan O2 dan humidifikasi bisa terjadi
kelebihan cairan dan terjadi udem paru, karena itu pada penderita-penderita ini
pemberian cairan dibatasi.
Pengobatan terhadap penyebab gagal napas
 Antibiotika
 Pemberian bronkodilator
 Aminofilin untuk apnea of prematurity
 Naloxone pada keracunan narkotika
 Physostignin pada blockade neuromuscular karena pemberian muscle
relaxant.
Bantuan pernapasan
Bantuan pernapasan dapat dilakukan dengan banyak cara tergantung kondisi
penderita.
a. CPAP (Continuous Positive Airway Pressure)
Diberikan pada anak yang masih bisa bernapas spontan dengan diberikan
tekanan positif (Positive End Expiratory Pressure = PEEP). Dengan
memberi tekanan positif pada akhir expirasi diharapkan alveoli tetap

11
terbuka sehingga pertukaran gas tetap berjalan dengan baik. CPAP dapat
diberikan dengan kanula nasal, masker sederhana atau dengan pipa
endotracheal.
b. Non invasive Positive Pressure Ventilation (NPPV)
c. Ventilasi mekanik konvensional
d. Nonconventionan mechanical ventilation
 Inversi ratio ventilation : waktu inspirasi lebih panjang dari waktu
ekspirasi atau dengan rasio I : E terbalik. Berbeda dengan fisiologi
pernapasan dimana ekspirasi selalu lebih lama dari inspirasi, oleh
karena itu perlu sedasi dan paralisis otot-otot pernapasan. Cara ini
dapat meningkatkan Mean Airways pressure dan memperbaiki
oksigenasi
 Airway Pressure Release Ventilation (ARPV)
 High Frequency Ventilation/ High Frequency Oscilatory
Ventilation, di sini prinsip yang dipakai adalah volume tidal yang
lebih kecil dari dead space tapi frequency pernapasan lebih tinggi
yaitu 150-900x/m (2-15 Hz), sehingga memperkecil resiko
kerusakan paru yang bisa terjadi (ventilator induce lung injury).
 Liquid ventilator
Terapi lain
a. prone positioning
Penempatan penderita yang mendapat ventilator pada posisi
tengkurap selama waktu tertentu sudah terbukti memperbaiki oksigenasi.
Mekanisme bagaimana posisi telungkup ini dapat memperbaiki oksigenasi
belum jelas, diduga cara ini dapat membuka alveolus di bagian dorsal
tubuh yang bisaanya menutup sehingga akan memperluas permukaan paru
yang terlibat dalam pertukaran gas.

b. nitric oxide (NO)


NO adalah Free radial endogen yang dapat menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah. Pemberian nitric oxide secara inflasi dapat
mengurangi vasokonstriksi pulmonal yang bisaanya terjadi pada gagal
napas akut sehingga pada akhirnya akan memperbaiki ketidaksesuaian
antara ventilasi dan perfusi (V/Q mismatch) dan meningkatkan oksigenasi.

c. extracorporal Life support (ECLS)/ extracorporal membran oxygenation


(ECMO)
Dengan pemakaian ECMO maka fungsi paru diganti oleh alat (artifisial
membran) diluar tubuh, darah vena dikeluarkan melalui kanula kemudian
dialirkan melalui oxygenator (artifisial membran) kemudian darah yang
kaya oksigen ini dimasukkan kembali ke dalam tubuh dengan pompa
masuk ke dalam aorta (veno arterial/VA) atau ke dalam vena (VV).
Penggunaan ECMO ini memberikan hasil yang memuaskan pada neonatus

12
dengan angka keberhasilan 80%, tetapi pada anak dan dewasa tingkat
keberhasilannya 52%. Walaupun penggunaan ECMO pada penderita-
penderita gagal napas akut berat dengan prediksi kemungkinan mati 80%
memberi hasil yang baik, tapi keberhasilan pemberian surfaktan dan
peakaian HFOV (High Frequency Oscilatory Ventilation) menyebabkan
ECMO berkurang.

Prognosis
Bergantung pada etiologi, diagnosis dini, dan kecepatan serta penanganan gagal
napas.

13
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Abdul Latief. Gagal Napas Akut Pada Anak. Banjarmasin : Perinatologi &

Pediatri Gawat Darurat. 2005.

Garna, Herry, Heda MN. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.

Edisi ke-5. Bandung : Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unpad ;

2014.

Johnston MV. Seizures in childhood. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson

HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-20.

Philadelphia: Saunders Elsevier; 2015.

Karande S, Murkey R, Ahuja SKulkarni M. Clinical profil and outcome of acute

respiratory failure. Indian J Pediatr 2003; 70 (11):865 – 9

Profan P, Noviski N. Pediatric Acute Hypoxemic Respiratory Failure :

Management of Oxygenation. J Intensive Care Med. 2004;19 (3): 140 – 53

Randolph AG, Meert KL, O’Neil ME, Hanson JH, Luckett PM, Arnold JH et al.

The feasibility of conducting clinical trials in infants and Children Alt

acute respiratory failure. Am J Respir Crit Care Med. 2003; 167 : 1334 –

40

14

Anda mungkin juga menyukai