Anda di halaman 1dari 15

FUNGSI DAN PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

OLEH:
Andik Hariyanto ( 160710101507)

Sayit Ardi Ansyah (160710101471)

Hananto Setyo Nugroho (160710101473)

Dosen : Nuzulia Kumala Sari, S.H., M.H.

MATA KULIAH HUKUM ISLAM

KELAS G

UNIVERSITAS JEMBER

FAKULTAS HUKUM

2017

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah


memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan
kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Hukum
Islam yang berjudul “FUNGSI DAN PENERAPAN HUKUM ISLAM DI
INDONESIA” ini. Kemudian shalawat beserta salam kita curahkan kepada Nabi
besar Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-Qur’an
dan As sunnah untuk keselamatan umat di dunia.

Makalah ini merupakan tugas mata kuliah Hukum Islam, di Fakultas


Hukum Universitas Jember. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Ibu Nuzulia Kumala Sari, S.H.,M.H. selaku dosen
pembimbing mata kuliah Hukum Islam dan juga kepada segenap pihak yang telah
membantu dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-
kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah
ini. Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan manfaat positif bagi
kita semua.
Aamiin.

Jember, 19 Mei 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ……… ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……….1
B. Rumusan Masalah .1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sumber-Sumber Hukum Islam 2

2.2 Fungsi Hukum Islam Dalam Kehidupan Masyarakat ………. 5

2.3 Penerapan Hukum Islam Dalam Tata Hukum

di Indonesia……………………………………………………….… 7

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan 11
3.2 Saran 11

DAFTAR PUSTAKA 12

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara kita Indonesia yang berlandaskan hukum sudah sewajarnya
menjadikan hukum sebagai aturan pedoman yang digunakan dalam kehidupan
bermasyarakat salah satunya adalah hukum Islam yang dijadikan pedoman bagi
umat Islam.
Berbeda dengan sistem hukum yang lain, hukum Islam tidak hanya merupakan
hasil pemikiran yang dipengaruhi oleh kebudayaan manusia di suatu tempat pada
suatu massa tetapi dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui wahyunya yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad sebagai rasulnya
melalui sunnah beliau yang terhimpun dalam kitab hadits. Dasar inilah yang
membedakan hukum Islam secara fundamental dengan hukum yang lain.
Adapun konsepsi hukum Islam, dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh
Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia
lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan,
hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia
lain dalam bermasyarakat, dan hubungan manusia dengan benda serta alam
sekitarnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah sumber hukum islam ?
2. Apa fungsi hukum islam dalam kehidupan masyarakat ?
3. Penerapan hukum islam dalam tata hukum di Indonesia

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sumber - Sumber Hukum Islam


A. Al Qur’an
Secara etimologi Alquran berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan, atau
qur’anan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu).
Sedangkan secara terminologi (syariat), Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang
diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu
‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-
Naas. Dan menurut para ulama klasik, Alquran adalah Kalamulllah yang
diturunkan pada rasulullah dengan bahasa arab, merupakan mukjizat dan
diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
Pokok-pokok kandungan dalam Alquran antara lain: Tauhid, yaitu
kepercayaan ke-esaann Allah SWT dan semua kepercayaan yang berhubungan
dengan-Nya. Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari
kepercayaan ajaran tauhid Janji dan ancaman, yaitu janji pahala bagi orang yang
percaya dan mau mengamalkan isi Alquran dan ancaman siksa bagi orang yang
mengingkari.
Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiaran syariat
Allah SWT maupun kisah orang-orang saleh ataupun kisah orang yang
mengingkari kebenaran Al-Quran agar dapat dijadikan pembelajaran.
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:

1. Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia


dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan.
Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut
Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
2. Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan
manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta
manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam

5
Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
3. Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal
manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk
sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.

Sedangkan khusus hukum syariat dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:

1. Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah
SWT, misalnya salat, puasa, zakat, dan haji
2. Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama
manusia dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah
sebagai berikut:

 Hukum munakahat (pernikahan).


 Hukum faraid (waris).
 Hukum jinayat (pidana).
 Hukum hudud (hukuman).
 Hukum jual-beli dan perjanjian.
 Hukum tata Negara/kepemerintahan
 Hukum makanan dan penyembelihan.
 Hukum aqdiyah (pengadilan).
 Hukum jihad (peperangan).
 Hukum dauliyah (antarbangsa).

B. Hadist
Kedudukan Hadist sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada
keterangan ayat-ayat Alquran dan Hadist juga didasarkan kepada pendapat
kesepakatan para sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan
tentang wajib mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun
setelah beliau wafat.
Menurut bahasa Hadist artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan
tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk. Pengertian Hadist seperti ini

6
sejalan dengan makna hadis Nabi yang artinya : ”Barang siapa yang membuat
sunnah (kebiasaan) yang terpuji, maka pahala bagi yang membuat sunnah itu dan
pahala bagi orang yang mengerjakanny; dan barang siapa yang membuat sunnah
yang buruk, maka dosa bagi yang membuat sunnah yang buruk itu dan dosa bagi
orang yang mengerjakannya.
Sementara itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan para ulama ahli hadis
mengartikan Al-Hadis, Al-Sunnah, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik dalam
bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul
mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad
SAW dalam bentuk ucapan, perbuatan dan persetujuan beliau yang berkaitan
dengan hukum.
Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran, Hadist memiliki fungsi
yang pada intinya sejalan dengan alquran. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat
dilepaskan dari adanya sebagian ayat Alquran :

1. Yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian;


2. Yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian;
3. Yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan; dan ada
pula
4. Isyarat Alquran yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak) yang
5. Menghendaki penetapan makna yang akan dipakai dari dua makna tersebut;
bahkan terdapat sesuatu yang secara khusus tidak dijumpai keterangannya di
dalam Alquran yang selanjutnya diserahkan kepada hadis nabi.

Di dalam hukum islam rujukan-rujukan dan dalil telah ditentukan sedemikian


rupa oleh syariat, mulai dari sumber yang pokok maupun yang bersifat alternatif.
Sumber tertib hukum Islam ini secara umumnya dapat dipahami dalam firman
Allah dalam QS. An-nisa: 59: "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah RasulNya dan ulil amri di antara kamu. Jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu maka kembalikanlah ia pada Allah (al quran) dan Rasul
(sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kapada Allah dan hari akhir. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik (akibatnya)".(QS. An-nisa: 59)

7
Dari ayat tersebut, dapat diperoleh pemahaman bahwa umat islam dalam
menjalankan hukum agamanya harus didasarkan urutan:

1. Selalu menataati Allah dan mengindahkan seluruh ketentuan yang berlaku


dalam alquran.
2. Menaati Rasulullah dengan memahami seluruh sunnah-sunnahnya
3. Menaati ulil amri (lembaga yang menguasai urusan umat islam).
4. Mengenbalikan kepada alquran dan sunah jika terjadi perbedaan dalam
menetapkan hukum

Secara lebih teknis umat islam dalam berhukum harus memperhatikan sumber
tertib hukum:

1. Al Quran
2. Sunah atau hadits Rasul
3. Keputusan penguasa; khalifah (ekseklutif), ahlul hallli wal‘aqdi (legislatif),
amupun qadli (yudikatif) baik secara individu maupun masing- masing
konsensus kolektif (ijma’)
4. Mencari ketentuan ataupun penjelasan yang ada dalam Al qur’an kembali jika
terjadi kontroversi dalam memahami ketentuan hukum.

Dengan komposisi itu pula hukum islam dapat diklasifikasikan menjadi dua
jenis:

1. Dalil Naqli yaitu Al Quran dan as sunah


2. Dalil Aqli yaitu pemikiran akal manusia

2.2 Fungsi Hukum Islam Dalam Kehidupan Masyarakat


Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri manusia
membutuhkan pertolongan satu sama lain dan memerlukan organisasi dalam
memperoleh kemajuan dan dinamika kehidupannya. Setiap individu dan
kelompok sosial memiliki kepentingan. Namun demikan kepentingan itu tidak
selalu sama satu saama lain, bahkan mungkin bertentangan. Hal itu mengandung
potensi terjanya benturan daan konflik. Maka hal itu membutuhkan aturan main.
Agar kepentingan individu dapat dicapai secara adil, maka dibutuhkan penegakan

8
aturan main tersebut. Aturan main itulah yang kemudian disebut dengan hukum
islam yang dan menjadi pedoman setiap pemeluknya.
Dalam hal ini hukum islam memiliki tiga orientasi, yaitu:
1. Mendidik individu (tahdzib al-fardi) untuk selalu menjadi sumber kebaikan,
2. Menegakkan keadilan (iqamat al-‘adl),
3. Merealisasikan kemashlahatan (al-mashlahah).
Orientasi tersebut tidak hanya bermanfaat bagi manusia dalam jangka pendek
dalam kehidupan duniawi tetapi juga harus menjamin kebahagiaan kehidupan di
akherat yang kekal abadi, baik yang berupa hukum-hukum untuk menggapai
kebaikan dan kesempurnaan hidup (jalbu al manafi’), maupun pencegahan
kejahatan dan kerusakan dalam kehidupan (dar’u al-mafasid). Begitu juga yang
berkaitan dengan kepentingan hubungan antara Allah dengan makhluknya
maupun kepentingan orientasi hukum itu sendiri.
Sedangkan fungsi hukum islam dirumuskan dalam empat fungsi, yaitu:
1. Fungsi ibadah
Dalam adz-Dzariyat: 56, Allah berfirman: "Dan tidak aku ciptakan jin dan
manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu". Maka dengan daalil ini fungsi
ibadah tampak palilng menonjol dibandingkan dengan fungsi lainnya.
2. Fungsi amr makruf naahi munkar (perintah kebaikan dan peencegahan
kemungkaran).
Maka setiap hukum islam bahkan ritual dan spiritual pun berorientasi
membentuk mannusia yang yang dapat menjadi teladan kebaikan dan pencegah
kemungkaran.
3. Fungsi zawajir (penjeraan)
Adanya sanksi dalam hukum islam yang bukan hanya sanksi hukuman dunia,
tetapi juga dengan ancaman siksa akhirat dimaksudkan agar manusia dapat jera
dan takut melakukan kejahatan.
4. Fungsi tandzim wa ishlah al-ummah (organisasi dan rehabilitasi masyarakat)
Ketentuan hukum sanksi tersebut bukan sekedar sebagai batas ancaman dan
untuk menakut-nakuti masyarakat saja, akan tetapi juga untuk rehaabilitasi dan
pengorganisasian umat menjadi leboh baik. Dalam literatur ilmu hukum hal ini
dikenal dengan istilah fungsi enginering social.

9
Keempat fungsi hukum tersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja untuk
bidang hukum tertentu tetapi satu dengan yang lain juga saling terkait.

2.3 Penerapan Hukum Islam Dalam Tata Hukum di Indonesia


Terhitung sejak tahun 1970an sampai sekarang arah dinamika hukum Islam
dan proses transformasi hukum Islam telah berjalan sinergis searah dengan
dinamika politik di Indonesia. Tiga fase hubungan antara Islam dan negara pada
masa Orde Daru yakni fase antagonistik yang bernuansa konflik, fase resiprokal
kritis yang bernuansa strukturalisasi Islam, dan fase akomodatif yang bernuansa
harmonisasi Islam dan negara, telah membuka pintu lebar bagi islamisasi pranata
sosial, budaya, politik dan hukum Islam di Indonesia.
Berkenaan dengan itu, maka konsep pengembangan hukum Islam yang secara
kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan social budaya, politik dan hukum dalam
masyarakat. Kemudian diubah arahnya yakni secar kualifatif diakomodasikan
dalam berbagai perangkat aturan dan perundang-undangan yang dilegislasikan
oleh lembaga pemerintah dan negara. Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya
disebut sebagai usaha transformasi (taqnin) hukum Islam ke dalam bentuk
perundang-undangan.
Di antara produk undang-undang dan peraturan yang bernuansa hukum Islam,
umumnya memiliki tiga bentuk: Pertama, hukum Islam yang secara formil
maupun material menggunakan corak dan pendekatan keislaman; Kedua, hukum
Islam dalam proses taqnin diwujudkan sebagai sumber-sumber materi muatan
hukum, di mana asas-asas dan pninsipnya menjiwai setiap produk peraturan dan
perundang-undangan; Ketiga, hukum Islam yang secara formil dan material
ditransformasikan secara persuasive source dan authority source.
Sampai saat ini, kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia
semakin memperoleh pengakuan yuridis. Pengakuan berlakunya hukum Islam
dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan yang berimplikasi kepada
adanya pranata-pranata sosial, budaya, politik dan hukum. Salah satunya adalah
diundangkannya Hukum Perkawinan No. 1/1974.

10
Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa berlakunya hukum Islam di
Indonesia telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar pada tiga alasan,
yaitu: Pertama, alasan filosofis, ajaran Islam rnerupakan
pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan
mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila);
Kedua, alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia
menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam
memiliki tingkat aktualitas yang berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis
yang tertuang dalam pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi
keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal.
Implementasi dan tiga alasan di atas, sebagai contoh adalah ditetapkannya
UUPA No.7/1989 yang secara yuridis terkait dengan peraturan dan perundang-
undangan lainnya, seperti UU No.2/1946 Jo, UU No.32/1954, UU Darurat
No.1/1951, UU Pokok Agraria No.5/1960, UU No.14/1970, UU No.1/1974,
UU No.14/1985, Perpu Nol/SD 1946 dan No.5/SD 1946, PP. No.10/1947 Jo.
PP. No.19/1947, PP. No.9/1975, PP. No.28/1977, PP. No.10/1983 Jo, PP.
No.45/1990 dan PP. No. 33/1994. Penataan Peradilan Agama terkait pula
dengan UU No.2/1986 tentang Peradilan Umum, UU No.5/1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, dan UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama.
Dalam kenyataan lebih konkret, terdapat beberapa produk peraturan
perundang-undangan yang secara formil maupun material tegas memiliki muatan
yuridis hukum Islam, antara lain:
a. UU No. 1/1974 tentang Hukum Perkawinan
b. UU No. 7/ 1989 tentang Peradilan Agarna (Kini UU No. 3,72006)
c. UU No. 7/1992 tentang Perbankan Syari’ah (Kini UU No. 10/1998)
d. UU No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
e. UU No. 38/ 1000 tentang Pangelo!aan Zakat, Infak dan Shadaqah (ZTS)
f. UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe
Aceh Darussalam
g. UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan partai Islam
h. UU No. 4 1/2004 tentang wakaf

11
Di samping tingkatannya yang berupa Undang-Undang, juga terdapat
peraturan-peraturan lain yang berada di bawah Undang-Undang, antara lain:
a. PP No.9/1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan
b. PP No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
c. PP No.72/1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip
Bagi Hasil
d. Inpres No.1/ 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
e. Inpres No.4/2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi Khusus di NAD.
Dari sekian banyak produk perundang-undangan yang memuat materi
hukum Islam, peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya UU No.7/1989
tentang Peradilan Agama. Betapa tidak, Peradilan Agama sesungguhnya telah
lama dikenal sejak masa penjajahan (Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa
kemerdekaan, mulai Orde Lama hingga Orde Baru, baru kurun waktu akhir 1980-
an UUPA No.7/1980 dapat disahkan sehagai undang-undang. Padahal UU
No.14/1970 dalam pasal 10-12 dengan tegas mengakui kedudukan Peradilan
Agama berikut eksistensi dan kewenangannya.
Keberadaan UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No.1/1991
tentang Kompilasi Hukum Islam sekaligus merupakan landasan yuridis bagi umat
Islam untuk menyelesaikan masalah-masalah perdata. Padahal perjuangan umat
Islam dalam waktu 45 tahun sejak masa Orde lama dan 15 tahun sejak masa Orde
Baru, adalah perjuangan panjang yang menuntut kesabaran dan kerja keras hingga
disahkannya UU No.7/1989 pada tanggal 29 Desember 1989.
Sejalan dengan perubahan iklim politik dan demokratisasi di awal tahun
1980-an sampai sekarang, tampak isyarat positif bagi kemajuan pengernbangan
hukum Islam dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Pendekatan struktural
dan harmoni dalam proses islamisasi pranata sosial, budaya, politik, ekonomi dan
hukum, semakin membuka pintu lebar-lebar bagi upaya transformasi hukum Islam
dalam sistem hukum nasional. Tinggal bagaimana posisi politik umat Islam tidak
redup dan kehilangan arah, agar ia :etap eksis dan memainkan peran lebih besar
dalam membesarkan dan kemajukan Indonesia baru yang adil dan sejahtera.
Kehadiran ICMI pada awal tahun 1990-an sesungguhnya merupakan rea1itas
sosial dan politik yang tidak dapat dihindari. Di mana peran besar yang

12
ditampilkan oleh elite politik Islam di lingkungan birokrasi, serta peran tokoh-
tokoh Islam yang aktif dalam berbagai organisasi kemasyarakatan Islam,
dipandang sangat penting terutama dalam merespon kehendak umat Islam secara
kolektif. Dengan kata lain, adanya berbagai produk perundang-undangan dan
peraturan berdasarkan hukum Islam, bukan perkara yang mudah, seperti
membalikkan kedua telapak tangan, tetapi semua itu telah dilakukan melalui
proses politik dalam rentang sejarah yang cukup lama.

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa, Hukum Islam
bersumber pada dalil naqli seperti Al qur’an dan tuntunan nabi Muhammad SAW
yang terdapat dalam as-sunnah (hadist). Dan juga dalil aqli yaitu akal fikiran
seperti ijtihad, guna mencari kebenaran dalam dalil naqli tersebut.
Dalam penerapannya di masyarakat, Hukum Islam memiliki fungsi mengatur
segala aspek kehidupan manusia, atau dapat diklasifikasikan seperti, fungsi
ibadah, fungsi amar ma‟ruf nahi munkar, fungsi zawazir, dan fungsi tanzim wa
islah al ummah.
Sedangkan penerapan syari’at Islam dalam system Hukum Nasional, dapat
diketahui seperti, penerapan nilai-nilai syariat Islam dalam beberapa produk
hukum yang diciptakan oleh lembaga negara yang memiliki kewenangan
legeslasi. Lembaga-lembaga tersebut telah menghasilkan Undang-Undang yang
berbasis syariah seperti Undang-Undang Zakat, Undang-Undang Waris, Undang-
Undang pernikahan, Undang-Undanh Perbankan Syariah dan sebagainya. Selain
itu, terdapat Undang-Undang yang memberikan kebebasan terhadap
penyelenggaraan otonomi khusus di Nanggroe Aceh Drussalam.

3.2 Saran
Dalam penulisan tugas makalah tentang Hukum Islam ini akan lebih
bermanfaat dan bermakna apabila ada kritik dan saran yang konstruktif untuk
pembuatan makalah selanjutnya.
Demikian makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.
Apabila terdapat kesalahan dapat dimaafkan dan memakluminya. Sebab kami
sebagai hamba Allah yang tidak luput dari kesalahan.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Rosyadi, A. Rahmat, dan Ahmad, H.M. Rais. 2006. Formalisasi Syari’at


Islam Dalam Prespektif Tata Hukum Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.
2. Syafaul Mudawam. 2012. Syari’ah-Fiqih-Hukum Islam: Studi Tentang
Konstruksi Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta: Jurnal Ilmu Syari’ah dan
Hukum. Vol. 46,No.2:404-450.
3. Nurjiddin. 2013. Sejarah Penerapan Hokum Islam di Indonesia. Nganjuk:
Jurnal Ulumuddin. Vol. 3,No. 2: 48-55.
4. Nur Rohim Yunus. 2015. Penerapan Syariat Islam Terhadap Peraturan
Daerah Dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia. Jakarta: Jurnal Studia
Islamika. Vol. 12,No.2:253-279.

15

Anda mungkin juga menyukai