Anda di halaman 1dari 6

15 Budaya Amerika di mata saya

Jan 20

Saya seorang ibu rumah tangga, orang Indonesia asli, beragama Islam dan kebetulan tinggal di
California sejak awal tahun 2012. Sebetulnya saya dan suami sudah tinggal di Amerika sejak
tahun 2002. Tapi sebelum awal tahun 2012 itu, pergaulan saya tidak sesemarak sekarang. Dulu
kaki saya seringnya melangkah pergi dan pulang ke tiga tempat saja; asrama mahasiswa,
kampus, dan tempat kerja yang kebetulan ada di dalam kampus. Lingkungan pergaulan saya
kebanyakan dengan mahasiswa dari Indonesia dan dari berbagai negara yang ada di asrama dan
di kampus, teman kerja di kantor, dan sesekali dengan warga Indonesia yang ada di Honolulu,
Hawaii.

Sekarang berbeda, lingkungan pergaulan saya, boleh saya bilang meluas. Saya lebih sering
bertemu dan bergaul dengan para ibu rumah tangga yang warga negara Amerika. Kami tergabung
dalam grup ibu dan anak di kota Riverside yang beranggotakan hampir 60 orang. Sekitar 4
sampai 5 kali seminggu saya dan putri saya, bertemu dengan mereka. Kami ngobrol ngalor-
ngidul sambil mengawasi anak-anak kami bermain, membuat prakarya, atau menikmati suasana
ditempat yang kami kunjungi. Kami bertemu di taman kota yang jumlahnya cukup banyak dan
terawat. Kadang di perpustakaan, di beberapa rumah bergantian, dan di tempat-tempat wisata
pendidikan yang murah dan meriah. Alhamdulillah, saya bersyukur dengan keadaan sekarang.
Ternyata dengan memiliki buah hati, saya juga memiliki teman baru, bertambah pengalaman,
bahkan ilmu baru yang tidak saya ketahui atau bayangkan sebelumnya.

Sebagai seorang pendatang, saya awalnya tidak percaya diri untuk bergabung di grup ini. Tapi
karena besarnya keinginan untuk mencari teman bagi putri saya, saya beranikan diri untuk
mendaftar menjadi anggota grup ini. Awalnya saya merasa kikuk dan canggung, tapi sekarang,
saya dan 6 orang ibu lainnya malah dipercaya menjadi pengurus klub ini. Klub ibu dan anak
yang anggotanya berasal dari keluarga dengan latar belakang yang beragam, baik secara budaya,
agama, maupun sosial.

Betul, itulah Amerika. Siapa yang menyangka bahwa Amerika budayanya sedikit, mereka salah.
Amerika adalah negara imigran. Negara yang penduduknya datang dan berasal dari berbagai
negara di dunia. Budaya Amerika cukup kaya karena diwarnai budaya dari berbagai negara. Bila
saya ada di tempat umum, saya biasa mendengar orang bicara dengan bermacam bahasa atau
paling tidak dengan bahasa Inggris yang berlogat. Perawakan mereka juga tidak semuanya
berambut pirang dan berkulit putih. Dan saya baru tersadarkan belakangan ini bahwa tidak
semua orang Amerika itu beragama Kristen. Tidak semuanya merayakan hari natal, dan tidak
semuanya hidup seperti yang sering terlihat di film-film Amerika di Indonesia. Amerika itu luas,
saya bahkan tidak tahu apa yang menjadi ciri khas masing-masing negara bagiannya. Saya hanya
bisa tahu dari apa yang saya lihat dan rasakan selama tinggal di Honolulu dan di kota Riverside,
California selatan ini. Dua negara bagian yang kebetulan multikultural.

Dan sekedar sharing berdasar pengamatan dan pengalaman saja, dibawah ini saya jelaskan
sedikit gambaran tentang budaya masyarakat Amerika. Sebuah budaya yang saya fikir sudah
dipengaruhi atau dicampuri oleh sejarah negara Amerika itu sendiri, atau oleh penduduknya yang
datang dari berbagai negara. Budaya yang sekiranya bisa sangat berbeda dengan apa yang ada di
Indonesia. Yang bisa terdengar ngeri, aneh, sedap, atau bahkan menimbulkan decak kagum bagi
kita orang Indonesia.

Budaya pertama adalah tentang peran ayah dan ibu dalam keluarga. Mungkin banyak orang
Indonesia mengira kalau perempuan Amerika itu “gila” kerja. Tapi yang saya tahu ternyata
banyak perempuan Amerika yang memilih menjadi IRT (Ibu Rumah Tangga) setelah menikah.
Mereka sebagiannya itu ada yang berniat kembali bekerja formal setelah anak-anak mereka
masuk sekolah atau menginjak usia remaja, atau membuka usaha sendiri. Mungkin karena
memiliki pembantu bukanlah sesuatu yang biasa, karena mahalnya menyewa pengasuh
anak/menitipkan anak pada “day care”, atau karena tidak biasanya mereka menitipkan anak pada
orang tua, maka mau tidak mau harus ada satu dari orang tua yang bersedia tinggal di rumah.
Dan kebanyakan dari para orang tua itu adalah para ibu. Sebuah peran yang bagi sebagian orang
dibilang tradisional. Tapi memang begitulah kenyataannya, peran ayah di Amerika ini masih
sebagai pencari nafkah utama. Kalaupun ada yang sebaliknya, jumlahnya mungkin lebih sedikit.
Dan kalaupun ada wanita-wanita yang memilih bekerja walaupun telah menikah dan punya anak,
jumlahnya pun lebih sedikit.

Kedua adalah tentang definisi keluarga. Keluarga bukan hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak.
Ada juga keluarga yang hanya terdiri dari ibu dan anak saja, ayah dan anak saja, atau ibu dan ibu
plus anak, atau ayah dan ayah plus anak. Anak-anak yang tinggal di Amerika, sejak kecil, apalagi
sekarang-sekarang ini, sudah mulai dikenalkan dengan berbagai cara baik lewat buku, film, atau
media lainnya bahwa keluarga itu bisa bermacam-macam bentuknya. Anak juga bukan berarti
anak kandung. Ada anak asuh, anak adopsi, atau anak tiri yang kesemuanya bisa dibicarakan
secara terbuka di muka umum sebagai hal yang biasa. Lalu mengenai perkawinan, ini adalah
sebuah pilihan. Keluarga bisa berdiri atas dasar perkawinan ataupun tidak. Mereka yang memilih
menikah adalah mereka yang melakukannya karena alasan agama yg mereka percayai, nilai-nilai
yang mereka yakini sebagai sebuah kebaikan, dan kekuatan hukum dari sebuah perkawinan. Tapi
bila ada pasangan yang memilih untuk tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan, mereka tidak
akan dikucilkan oleh masyarakat. Karena mungkin masyarakat atau bahkan tetangganya tidak
tahu menahu soal itu. Tidak kawin atau kawinnya seseorang bukan urusan orang lain apalagi
urusan negara.

Ketiga adalah tentang privasi. Di Amerika ini, hampir semua yang sudah berkeluarga memilih
untuk tinggal berpisah dari orang tua mereka dengan alasan privasi. Begitupun orang tua mereka,
banyak dari mereka yang memilih untuk tidak tinggal bersama anak mereka. Rumah jompo
bukan representasi anak yang tidak mau mengurus orang tua karena bisa jadi tinggal di rumah
jompo adalah keinginan orang tua itu sendiri. Anak berumur satu tahun atau bahkan sejak bayi
sudah biasa tidur dikamarnya sendiri. Dan jika anak menginjak remaja, orang tua tidak bisa
sembarangan masuk ke kamar anak, idealnya mereka harus meminta izin terlebih dahulu bila
pintu kamar anak terkunci.

Mengunjungi rumah seseorangpun demikian. Kita tidak bisa sembarangan datang bertamu tanpa
menelpon atau membuat janji terlebih dahulu. Dan bila kita diundang, kita harus jelas bisa
datang atau tidak dengan memberitahu terlebih dahulu lewat RSVP. Yang lebih menarik lagi
adalah sikap sebagian orang Amerika terhadap media sosial. Walaupun ini bukan jeneralisasi,
tetapi saya juga berjumpa dengan orang Amerika yang sensitif pada pemasangan foto diri atau
anak mereka di medsos, khususnya Facebook. Ada yang sangat anti “di-tag”, yang hati-hati
memposting photo-photo di FB, bahkan ada yang tidak mau sama sekali ikutan FB. Memberi
nomor kontakpun bukan sesuatu yang lazim, apalagi nomor telpon rumah.

Ketiga adalah tentang ketergantungan finansial anak pada orang tua, dan sebaliknya. Di Amerika
ini, bila anak terlahir dari keluarga sederhana, mereka akan sadar bahwa ketika mulai kuliah,
mereka harus mulai bekerja untuk membiayai kebutuhan mereka sehari-hari. Karena biaya kuliah
yang mahal, mereka sadar mereka harus berkompetensi untuk mendapatkan beasiswa, atau bila
tidak, mereka akan meminjam uang pada negara untuk biaya kuliah yang harus diganti setelah
mereka bekerja. Maka dari itu pemandangan mahasiswa kuliah sambil bekerja di Amerika adalah
hal biasa. Mereka bekerja paruh waktu dan tersebar di toko-toko, di restoran, di rumah-rumah
sebagai pengasuh anak, tukang kebon dsb, atau di kantoran yang ada di kampus maupun di
tempat-tempat umum. Begitupun para orang tua, mereka tidak berharap anak mereka membiayai
hidup mereka ketika mereka tua nanti. Mereka kebanyakan bisa hidup dari uang pensiun mereka
sendiri.

Keempat adalah tentang kepemilikan asuransi. Walaupun ada sebagian masyarakat Amerika yang
tidak memiliki asuransi kesehatan, tapi sebagian besar memilikinya. Asuransi yang jenisnya
bermacam-macam tergantung jumlah pembayaran tiap bulannya itu, setidaknya dapat
melindungi masyarakat yang membutuhkan biaya besar dalam berobat. Bahkan orang yang
bekerja legal dengan gaji perjam paling sedikitpun, dapat memiliki asuransi kesehatan.

Kelima adalah tentang budaya mengisi weekend dengan berlibur/bertamasya bersama keluarga.
Di Amerika, hampir setiap orang menantikan weekend yang akan diisi penuh dengan acara
khusus keluarga. Hiking, berolah raga bersama, piknik, atau sekedar makan diluar adalah
sebagian contoh kegiatan mengisi waktu weekend. Kalaupun ada acara sosial, biasanya tidak
akan sebanyak atau sesering yang ada di Indonesia. Karena di acara perkawinan misalnya, tidak
akan mengundang banyak orang melainkan keluarga dan kerabat dekat saja. Dan bagi orang
Amerika, menolak undangan di acara sosial bukanlah sesuatu yang tidak sopan. Seseorang bisa
menolak datang kesebuah undangan, dengan atau tanpa mengungkapkan alasan.

Keenam adalah tentang percakapan sehari-hari. Di Amerika, basa-basi bukan sesuatu yang unik.
Orang biasa berbasa-basi tapi dengan topik yang umum. Cuaca atau kejadian tertentu/berita
hangat di media bisa menjadi “ice breaker” yang ampuh untuk memulai percakapan.
Menanyakan hal pribadi adalah sesuatu yang membuat suasana jadi kaku, walaupun tentu semua
bisa tergantung pada individu maising-masing. Tapi memang di Amerika ini, hal-hal yang
sifatnya pribadi baru bisa ditanyakan bila hubungan seseorang sudah dekat atau sudah merasa
nyaman satu sama lain. Pertanyaan tentang status, pekerjaan, jumlah anak atau sudah punya anak
atau belum, atau mengomentari tentang bentuk fisik dan gaya bicara, adalah hal yang boleh
dibilang “dilarang”.

Ketujuh adalah tentang ungkapan-ungkapan yang membuat suasana jadi hangat dan indah. Kata
terima kasih, selamat jalan, semoga harimu menyenangkan, tolong, ma’af, dan senang bertemu
anda, sering sekali diucapkan dan didengar dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan tersenyum
dengan orang asingpun adalah sesuatu yang biasa. Seperti sebuah norma yang mendarah daging,
kata-kata tersebut menghiasi kehidupan masyarakat Amerika yang terkenal senang menjaga
privasi. Selain ungkapan-ungkapan tersebut, orang Amerika juga senang menggunakan kalimat
hiperbola dalam kalimat-kalimat mereka. Kata-kata seperti extremely, very, super, truly, highly,
especially dan sejenisnya itu sering diselipkan dalam kalimat. “Thank you so very much!”, “You
are extremely kind, I am super thankful to you”, adalah sebagian dari contoh kalimat hiperbola.

Kedelapan adalah soal traktir meneraktir, membayari, atau meminta sesuatu. Dalam budaya
Amerika, meneraktir seseorang itu hanya dilakukan sesekali saja. Itupun biasanya dilakukan oleh
dan kepada orang yang sudah saling dekat, dan hanya pada acara yang sangat special. Orang
yang berulang tahun misalnya, beberapa kali saya menemukan, malah dibayari makan oleh
teman/sahabatnya. Dan lebih asyik lagi, orang yang berulang tahun, seringnya mendapat hadiah
atau acara kejutan dan teman atau kerabatnya. Ia tidak perlu ikutan sibuk mengurus acara ulang
tahunnya sendiri. Bila makan bersama diluar, masing-masing sudah faham, bahwa yang
mengajak bukan berarti yang akan dan harus membayari. Biasanya masing-masing akan
membayar sendiri-sendiri ke kasir, atau mengumpulkan uang pada salah satu orang yang akan
membayarnya ke kasir. Tindakan memintapun bukan sesuatu yang biasa. “Jangan lupa oleh-
olehnya ya?!”, adalah kalimat yang tidak pernah saya dengar dari kawan Amerika saya.

Kesembilan adalah tentang penampilan diri. Walaupun penampilan seseorang bisa tergantung
pada lingkungan pergaulan dan tempat, kebanyakan masyarakat Amerika memang tidak begitu
peduli dengan penampilan. Sepanjang bersih dan sesuai dengan cuaca, mereka tidak peduli apa
pakaian yang dipakai itu mahal atau bagus. Ukuran kesopanan berbeda dengan di Indonesia,
memakai celana pendek dan kaos oblong ditengah siang bolong yang menyengat tidak akan
dianggap tidak sopan. Tetapi saya juga tahu bahwa memakai baju yang terlihat puser dan celana
yang hanya menutupi pantat, bukanlah sesuatu yang baik. Banyak dari kawan Amerika saya yang
melihat hal tersebut jauh dari nilai-nilai kesopanan.

Kesepuluh adalah tentang budaya volunteer, atau kerja sukarela yang luar biasa. Saya sering
berjumpa para manula yang sudah pensiun di tempat-tempat umum yang bekerja sebagai tenaga
volunteer. Alasan mereka bisa bermacam-macam. Selain untuk mengisi waktu dan sekaligus
memanfaatkan ilmu/pengalaman, dengan bekerja sukarela mereka juga dapat bersosialisasi
sambil memelihara ketahanan kerja otak dan daya ingat mereka. Di sekolah-sekolahpun
demikian, banyak para ibu rumah tangga yang berdedikasi menyisihkan waktu mereka untuk
membantu kegiatan di sekolah. Anak remaja juga begitu, bila liburan tiba, mereka akan mencari
kegiatan/ tempat yang bisa menyalurkan bakat/keahlian atau sekedar membantu kelancaran suatu
program/kegiatan tertentu.

Kesebelas adalah tentang sikap pada binatang, khususnya pada binatang peliharaan seperti anjing
atau kucing. Di Amerika, saya jarang sekali menemukan kucing atau anjing yang terlantar. Dan
bilapun ada, mereka akan diambil lembaga yang memang khusus mengurusi binatang peliharaan
yang terlantar (animal shelter). Dan bagi mereka yang ingin memiliki binatang peliharaan,
mereka bisa datang ke animal shelter tersebut untuk mengadopsi. Binatang peliharaan dianggap
sebagai keluarga. Mereka diurus dengan sangat baik, dengan makanan yang sehat, kesehatan
yang memadai, bahkan kalau perlu dengan perawatan kecantikan/salon khusus binatang. Entah
alasan apa yang membuat mereka demikian sayang pada binatang, tapi yang pasti saya
mengagumi hal tersebut. Dan bagi orang yang tinggal sendirian karena sesuatu hal, binatang
peliharaan bisa menjadi teman yang setia dan penjaga rumah yang handal. Bahkan banyak anjing
yang menjadi asisten bagi orang-orang tuna netra. Mereka memang benar-benar dilatih untuk itu.

Keduabelas adalah tentang kepemilikan senjata. Walaupun sudah ada kejadian penembakan
ditempat umum yang menewaskan orang-orang yang tidak berdosa, kepemilikan senjata di
Amerika ini masih diperbolehkan dengan alasan untuk pengamanan diri. Seseorang boleh
menembak sesiapa bila jiwa mereka terancam hilang. Mungkin, budaya ini dipengaruhi oleh
“pop culture”, di film-film misalnya, yang menunjukkan senjata sebagai alat yang canggih untuk
bertahan diri. Mungkin juga sebagian dari mereka sangat percaya pentingnya berdiri dikaki
sendiri, bahwa pada akhirnya mereka akan sendiri dan harus bisa mempertahankan diri sendiri
tanpa sesiapa. Dan karena pengaruh kedua kultur itulah, senjata bisa dipercaya menjadi teman
yang tangguh dan handal. Tapi mungkin juga karena latar belakang sejarah, saya tidak tahu pasti.
Namun yang pasti saya sangat miris oleh berita yang belum lama saya dengar di bulan Desember
2014 lalu, ketika di sebuah toko swalayan seorang anak berumur dua tahun secara tidak sengaja
mengambil senjata dari tas ibunya dan menembakkannya pada ibunya hingga meninggal dunia.

Ketiga belas adalah tentang pekerjaan dan tempat tinggal. Di Amerika ini, bila seseorang
memiliki rumah bukan berarti ia akan terus selamanya tinggal di tempat tersebut. Seseorang bisa
berpindah-pindah tempat tinggal karena mendapatkan pekerjaan yang lebih baik disuatu tempat,
atau karena jumlah keluarga yang berkurang yang menempati rumah tersebut. Pasangan yang
baru menikah biasanya cukup tinggal dengan rumah yang berkamar satu. Kemudian bila mereka
punya anak, satu, dua atau lebih, mereka akan mencari rumah yang lebih besar. Dan nanti bila
anak-anak mereka sudah berkeluarga atau tinggal di tempat masing-masing, pasangan tersebut
akan pindah ke rumah yang lebih kecil. Pilihan rumah yang bisa disewa atau dibeli juga
beragam. Bila membeli, maka jangka waktu membayar kredit rumah bisa berjalan hingga 30
tahun atau lebih. Dan lamanya jangka waktu pembayaran itu tidak sejalan dengan berapa lama
seseorang akan tinggal di tempat itu.

Keempat belas adalah soal minuman keras yang dijual di toko-toko biasa. Bagi kalangan orang
dewasa di Amerika, minum minuman beralkohol tapi tidak sampai mabuk adalah sesuatu yang
lazim dalam acara-acara sosial. Makanan tertentu juga banyak yang menggunakan minuman
beralkohol untuk memperlezat atau menambah aroma sebuah makanan. Tapi bagi sebagian orang
yang mungkin kesepian dan memiliki masalah, minuman beralkohol bisa menjadi obat
kegundahan hati dan fikiran mereka yang selanjutnya bisa mengakibatkan kecanduan.
Kecanduan minuman keras yang tentu saja dapat menyulut penyakit fisik maupun mental. Dan
oleh karena itu, di Amerika ini banyak saya temukan tempat atau institusi yang khusus
mengobati orang-orang yang kecanduan.

Kelima belas adalah soal tradisi berbelanja. Belanja di Amerika ini cukup mudah. Bukan hanya
karena banyaknya pilihan jenis dan kualitas barang dan harga, tetapi memang pelayanan yang
diberikan oleh toko dan pekerjanya kepada para pembeli patut diacungkan jempol. Di toko-toko
milik pengusaha kecil, proses pengembalian barang yang sudah dibeli memang tidak semudah
yang terjadi di toko-toko besar. Bila seseorang memutuskan untuk tidak jadi membeli barang
karena alasan rusak, tidak pas, atau benar-benar tidak jadi membeli karena ragu, orang tersebut
bisa mengembalikan barang yang sudah dibeli dengan sangat mudah. Sang penjaga toko tidak
akan bertanya alasannya sepanjang ada bukti kwitansi pembelian. Tidak hanya itu, belanja online
juga sudah menjadi pilihan bagi banyak orang. Apa saja, dari mulai makanan, pakaian, sampai
barang-barang elektronik, semuanya bisa diakses secara online baik traksaksi maupun sistem
pengiriman dan pengembalian yang mudah.

Yang terakhir dan yang membuat saya sebagai pendatang merasa nyaman tinggal di Amerika
adalah karena budaya teratur dan tertibnya orang Amerika di tempat umum. Budaya mengantri,
membukakan pintu atau lift bagi orang lain, mematuhi lalu lintas, menjaga kebersihan umum,
memberikan kursi pada wanita atau orang-tua di bus umum, memperhatikan serta menjaga alam
dengan baik adalah sebagian contoh sikap individu yang membuat kehidupan bermasyarakat jadi
teratur dan terasa nyaman.

Begitulah budaya Amerika dimata saya, seorang pendatang yang lahir dan dibesarkan di
Indonesia, negeri yang budayanya berbeda dengan Amerika. Saya sadar tulisan ini tidak akan
mewakili pandangan semua orang Indonesia yang tinggal di Amerika, dan saya yakin masih
banyak yang saya lupa bahkan saya tidak ketahui tentang Amerika untuk dituliskan disini. Tapi
apa yang saya lihat, amati, dan alami disini, bagaimanapun berbedanya itu semua, telah
membuka pikiran dan rasa empati saya. Menggiring saya pada pemahaman akan jati diri saya
sendiri. Dan saya bersyukur atas semua ini. Salam hangat untuk pembaca, terima kasih sudah
meluangkan waktu membaca tulisan saya. (Riverside, 19 Januari, 2015).

Tulisan ini juga saya muat di http://sosbud.kompasiana.com/2015/01/20/15-budaya-amerika-


dimata-saya-718091.html

Anda mungkin juga menyukai