Anda di halaman 1dari 5

Tokoh Kuat Asia Belum Cukup Kuat

New York, (Analisa)


Di seluruh Asia,
dunia agaknya sudah menyaksikan munculnya kembali sejumlah orang kuat. Presiden Tiongkok
Xi Jinping semakin memegang kendali sejak berkuasa dalam 2012. Dua tahun kemudian, PM
Narendra Modi dari India dan Presiden Joko Widodo (dikenal dengan “Jokowi”) di Indonesia
meraih kekuasaan dengan menghandalkan kampanye bagi memperkuat ekonomi dn melakukan
reformasi politik. Ketiga tokoh itu diketahui memiliki ketegasan yang memang dibutuhkan oleh
negara-negara berkembang raksasa ini untuk meremajakan ekonomi mereka yang menjanjikan
namun dalam keadaan sulit.
Tapi di awal 2017 ini, masih dalam keadaan menunggu, program reformasi Jokowi yang kurang
bersemangat membuat pertumbuhan sama kurang bersemangatnya. Manifesto pro-pasar Xi, yang
disetujui tahun 2013, sudah entah kemana-mana, membuat Tiongkok melemah bersama dengan
pemasukan utang yang lebih besar dari kapanpun. Sementara India memiliki kinerja terbaik
dalam kelompok itu, Modi tetap enggan melakukan penekanan kepada berbagai perubahan
penting yang bisa mengangkat pertumbuhan lebih tinggi.
Kebenarannya ialah bahwasanya tokoh-tokoh kuat Asia itu ternyata masih belum cukup kuat.
Ini menjadi masalah bagi dunia yang memperhitungkan emerging markets di Asia dan di mana-
mana untuk mengangkat pertumbuhan global. Capital Economics merilis sebuah laporan
berjudul “The End of the Golden Age” (“Akhir Era Keemasan”), yang memprediksikan bahwa
“ekspektasi yang meluas bagi rebound berkesinambungn di dalam pertumbuhan emerging
markets setelah beberapa tahun belakangan akan mengecewakan.” PDB emerging economies,
riset tersebut melengkapi porkasnya, akan tumbuh tidak lebih dari 4% dalam tahun-tahun
mendatang, jauh lebih lamban dari 6% yang tercatat sejak tahun 2000.
Membandingkan kebijakan-kebijakan sekarang dengan pengambilan keputusan berani di masa
lalu di Asia, di India di awal 1990-an, PM P.V. Narasimha Rao dan menteri keuangannya
Manmohan Singh menghapuskan sejumlah besar peraturan yang sebelumnya dianggap suci. Di
awal 1980-an, Deng Xiaoping dan sebuah tim yang berpikiran maju menyingkirkan irasionalitas
ekonomi Mao. Bahkan Soeharto di Indonesia, dengan banyak sekali kesalahannya, memulai
perubahan-perubahan drastis yang dengan signifikan mengurangi tingkat kemiskinan di negara
dengan populasi terbanyak keempat di dunia itu.
Penggerak utama
Mengapa para pemimpin sekarang tidak bertindak sekeras para pendahulu mereka? Sebagian
adalah karena masalah keberhasilan. Walau jutaan orang di ketiga negara itu masih terperangkap
dalam kemiskinan, secara keseluruhan mereka kurang nekat dibandingkan yang pernah mereka
lakukan, dengan mengurangi sejumlah urgensi untuk menembus kesulitan dan berpotensi
menyebabkan perubahan tidak populer. Sejak 1980, PDB per kapita di Indonesia naik lebih lima
kali lipat, di India, enam kali, dan di Tiongkok lebih 26 kali. Walau kenyataannya globalisasi
telah menjadi penggerak utama semua peningkatan tersebut, masih saja ada suara-suara keras
yang tidak yakin tentang perlunya terus keterbukaan, terutama terhadap gejolak di dalam
ekonomi global selama dekade terakhir.
Juga, tidak dapat dibantah, sebagian besar hasil yang menggantung rendah sudah dipetik.
Sebelumnya, berkaitan dengan ekonomi berbiaya rendah terhadap perdagangan global, jasa dan
rantai persediaan cukup untuk memacu kemajuan dramatis di dalam produktivitas dan
pendapatan. Negara-negara ekonomi sekarang jauh lebih kompleks dan tantangan yang mereka
hadapi – seperti dorongan untuk berinovasi – jauh lebih berat. Prospek pembukaan sektor-sektor
terlindung dan regulasi yang tidak teruraikan mengancam kepentingan-kepentingan khusus yang
menguntungkan dari booming-booming sebelumnya. Peta jalan reformasi Xi, misalnya,
mempengaruhi semua pihak, mulai dari perusahaan-perusahaan dan bank-bank pemerintah
hingga kader-kader Komunis dan para hartawan yang manja.
Memang benar, tidak satupun dari para pemimpin Asia ini yang bebas bertindak sesuai keinginan
mereka. Modi masih harus bertentangan dengan pihak oposisi politik yang bersemangat, dan
Jokowi harus berjalan berjingkat melampaui lapangan politik bahkan di dalam partainya sendiri.
Bahkan Xi menghadapi pertemuan utama Partai Komunis nanti dalam tahun ini, yang bisa
mengarah kepada perombakan para pemimpin tinggi negaranya.
Di saat sama, demokrasi sendiri tidak menjadi penghalang. Nampaknya akan ada hubungan baik
antara genggaman pertumbuhan Xi atas Tiongkok dan tingkat reformasi pasar-bebas, misalnya.
Modi yang terpilih secara demokratis tak dapat dibantah telah memperkenalkan lebih banyak
reformai yang sangat berarti di India – dengan mengurangi berbagai rintangan atas investor asing
dan menghantarkan reformasiper pajakan penting – dibandingkan Xi. Setelah melalui awal yang
lamban, Jokowi, juga, paling tidak telah memangkas birokrasi dan membuat jauh lebih mudah
untuk memulai perusahaan-perusahaan baru di Indonesia.
Untuk orang kuat ekonomi lainnya yang memproklamirkan dirinya sendiri – Donald Trump –
pelajarannya melimpah-ruah. Banyak miripnya dengan Xi, Modi dan Jokowi, kemunculan
Trump telah mendongkrak harapan investor dan CEO untuk berbagai perubahan besar dan
bersahabat dengan bisnis. Namun ekspektasi yang besar bisa dengan sangat cepat berubah
bahkan menjadi kekecewaan besar. Rekan-rekan Trump di Asia, semuanya membolehkan
selingan politik untuk secara sambilan menjalankan agenda reformasi mereka. Dengan Gedung
Putih Trump berada dalam gejolak, Trump kemungkinan akan membuat kekeliruan serupa.
Kecuali para pemimpin Asia yang sekarang kembali berjalan di relnya, maka ekonomi mereka
tidak akan melemah. Modi harus memulai lagi kampanye land reform untuk mempercepat proses
pembangunan industri, dan melakukan privatisasi perusahaan-perusahaan pemotongan kayu
pemerintah. Jokowi perlu berusaha memajukan program infrastruktur yang meningkatkan
produktivitas. Baik Modi maupun Jokowi juga harus mengurangi segala macam rintangan untuk
mempekerjakan dan memberhentikan pekerja guna menarik sektor manufaktur yang akan
meningkatkan ekspor dan pendapatan. Xi perlu menghentikan subsidi untuk perusahaan-
perusahaan zombie, memperkecil kapasitas ekses, dan, di atas segala-galanya, membiarkan
kekuatan pasar berperan lebih besar di dalam pasar keuangan dan pasar modal.
Jika mereka tidak bisa melangkah dengan jauh lebih berani – dan segera – maka era keemasan
Asia mungkin benar-benar akan berakhir, kata analis Michael Schuman menutup analisisnya.
(Blmbrg/sy.a)

BERITA TAMBAHAN :

IMF Bantu Cetak Uang Negara Somalia


Nairobi, (Analisa)
Dana Moneter
Internaional (IMF) berencana akan mengganti uang kertas yang dicetak sebelum negara itu
terjerumus ke dalam perang saudara hampir tiga dekade lalu.
Uang shiling Somalia yang baru kemungkinan sudah bisa beredar dalam tahun ini, bersama
dengan dolar yang menjadi alat pembayaran utama, dan akan menggantikan uang palsu yang
banyak beredar, kata Samba Thiam, pimpinan IMF di negara itu.
“Sekitar 98% uang tersebut yang beredar di negara itu palsu,” kata Thiam dalam sebuah
wawancara di Nairobi, ibukota negara tetangganya, Kenya, Jumat lalu. “Yang 2% lagi adalah
uang yang dicetak dalam 1990-1991, dan masih beredar, namun bentuknya sudah sangat kumal,”
katanya.
Somalia terjerumus ke dalam jurang anarki yang dimulai dengan diktator terguling Mohamed
Siad Barre dalam1991. Pemberontakan Islamis berikutnya mempercepat kehancuran institusi
politik dan ekonominya, hingga memangkas pendapatan per kapita negara itu menjadi $435 dan
membuat Somalia menjadi negara termiskin kelima di dunia, menurut Bank Dunia.
Mencetak uang baru itu, yang didahului dengan nominal kecil, ditujukan untuk memulihkan
kekuatan Bank Sentral Somalia guna menetapkan kebijakan moneter, katanya. Sementara
institusi itu tidak punya uang untuk mendanai rencana tersebut, para donor akan mendukung
reformasi, dan pendanaan akan disetujui sebaik pemerintah memutuskan apakah menginginkan
rezim mata uang yang mengambang atau dengan rate tetap.
Sementara Somalia memenuhi syarat untuk pembatalan utang, negara itu harus membersihkan
semua tunggakannya yang merupakan bagian dari utang sebesar $5,3 miliar kepada kreditur
internasional seperti IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Afrika untuk mengamankan dana
segar, kata Thiam. Penghapusan pinjaman Somalia tergantung kepada kemajuan ke arah
pemberantasan korupsi, memperkenalkan uang baru dan kebijakan moneter efektif di dalam
ekonomi negara itu yang bernilai $6 miliar.
“Tentu ada kendala,” kata Thiam. “Namun ada keinginan umum dari para kreditur untuk
menghapuskan utang Somalia jika tiba waktunya. Ini tentunya prospek yang bagus. Mereka tidak
akan diminta membayar kembali utangnya besok, hingga mereka punya waktu untuk bekerja
dengan mengkonsolidasikan ekonomi mereka. Utang tersebut adalah isu yang akan diatasi
sewaktu-waktu,” katanya menambahkan. (Blmbrg/sy.a)

Asia's Strongmen Aren't Strong Enough


Feb 19, 2017 5:00 PM EST
By Michael Schuman
Across Asia, the world has supposedly been witnessing the return of the strongman. Chinese
President Xi Jinping has been grasping more and more control in his own hands since claiming
power in 2012. Two years later, Prime Minister Narendra Modi in India and President Joko
Widodo (known as “Jokowi”) in Indonesia won office by selling themselves as forceful
economic and political reformers. All three were heralded as the firm hands these giant
developing nations needed to rejuvenate their promising but troubled economies.
Yet here we are, at the start of 2017, still waiting. Jokowi’s lackluster reform program has
produced equally lackluster growth. Xi’s much-hyped pro-market manifesto, approved in 2013,
has gone almost nowhere, leaving China to limp along on ever-greater infusions of debt. While
India is the best performing of the bunch, Modi has remained reluctant to press ahead on key
changes that could lift growth even higher.
The truth is that Asia's strongmen aren't strong enough.
This matters to a world counting on emerging markets in Asia and elsewhere to lift global
growth. In October, Capital Economics released a report darkly entitled “The End of the Golden
Age,” which predicted that “widespread expectations for a sustained rebound in emerging market
growth after the slowdown of recent years will be disappointed.” Emerging economies’ GDP, the
research outfit forecast, would grow no more than 4 percent in coming years, sharply slower than
the 6 percent notched since 2000.
To be fair, as big economies like India and China advance, eye-popping growth rates naturally
become harder to come by. But these countries don’t lack potential -- they lack leadership.
Compare current policies to the bold decision-making witnessed during Asia's go-go years. In
India in the early 1990s, Prime Minister P.V. Narasimha Rao and his finance chief Manmohan
Singh tore down large swaths of a regulatory raj that had been considered sacrosanct. In the early
1980s, Deng Xiaoping and a team of forward-thinkers discarded the economic irrationalities of
Mao. Even Suharto in Indonesia, with his myriad faults, instituted dramatic changes that greatly
alleviated poverty in the world’s fourth-most populous country.
Why haven't today's leaders acted as forcefully? Partly it's a problem of success. Though
millions of people in these countries remain trapped in poverty, overall they are a lot less
desperate than they once were, easing some of the urgency to force through difficult and
potentially unpopular changes. Since 1980, GDP per capita in Indonesia has increased more than
five times, in India, six times, and in China more than 26 times. Despite the fact that
globalization has been the prime driver of these gains, there are still powerful voices who aren’t
convinced further opening is necessary or desirable, especially in light of the turmoil in the
global economy over the past decade.
Arguably, too, most of the low-hanging fruit has been plucked. Previously, connecting low-cost
economies to global trade, services and supply chains was sufficient to spur dramatic gains in
productivity and incomes. Today's economies are far more complex and their challenges -- such
as spurring innovation -- much tougher. The prospect of opening protected sectors and
untangling regulations threatens special interests that benefited from the earlier booms. Xi's
reform roadmap, for instance, affects everyone from state enterprises and banks to Communist
cadres and coddled tycoons.
True, none of these Asian leaders are free to act as they wish. Modi still must contend with a
spirited political opposition, and Jokowi has had to tiptoe through a political minefield even
within his own party. Even Xi faces a major Communist Party conference later this year, which
may lead to a reshuffling of the country’s top leaders.
At the same time, democracy isn't the roadblock. There seems to be an inverse relationship
between Xi’s expanding grip on China and the pace of free-market reform, for instance. The
democratically elected Modi has arguably introduced more meaningful reforms in India --
reducing barriers to foreign investors and ushering in a major and long overdue tax reform --
than Xi has. After a slow start, Jokowi, too, has at least sliced red tape and made it easier to start
new companies in Indonesia.
For another self-proclaimed economic strongman -- Donald Trump -- the lessons abound. Much
like Xi, Modi and Jokowi, Trump’s arrival has boosted the hopes of investors and CEOs for
great, business-friendly changes. But high expectations can very quickly turn into even bigger
disappointment. Trump's Asian counterparts all allowed political distractions to sidetrack their
reform agendas; with his White House in turmoil, Trump may be making the same mistake.
Unless today’s Asian leaders get back on track, their economies won’t either. Modi must resume
the campaign for land reform to speed the process of building industry, and launch a sweeping
privatization of lumbering state companies. Jokowi needs to push forward with a productivity-
enhancing infrastructure program. Both Modi and Jokowi must also reduce barriers to hiring and
firing workers to attract the manufacturing that would increase exports and incomes. Xi needs to
stop subsidizing zombie enterprises, slim excess capacity and, most of all, allow market forces to
have greater sway in financial and capital markets. If they can't act more boldly -- and soon --
Asia’s golden age might truly be over.
This column does not necessarily reflect the opinion of the editorial board or Bloomberg LP
and its owners.
IMF to Help Somalia Print First Banknotes in a Quarter Century
by Felix Njini
20 Februari 2017 06.00 WIB
The International Monetary Fund is backing Somalia’s plans to replace tattered currency notes
that were printed before the Horn of Africa nation plunged into civil war almost three decades
ago.
The new Somali shilling notes may come into circulation this year, alongside the dollar that’s
been the main means of payment, and will replace fake or old currency in circulation, said
Samba Thiam, the IMF’s country head.
“About 98 percent of the currency circulating in the country is fake,” Thiam said in an interview
Friday in Nairobi, the capital of neighboring Kenya. “The remaining 2 percent is currency
printed during 1990-91, still circulating, but in very bad shape.”
Somalia’s descent into anarchy began with the ouster of dictator Mohamed Siad Barre in 1991. A
subsequent Islamist insurgency has hastened the destruction of its political and economic
institutions, slashing annual per capita income to $435 and making Somalia the world’s fifth-
poorest country, according to the World Bank.
Printing of the new notes, which will initially be in small denominations, is aimed at restoring
the Central Bank of Somalia’s powers to set monetary policy, he said. While the institution
doesn’t have the money to finance the plan, donors will back the reforms and financing will be
agreed on once the government decides whether it wants a floating- or fixed-rate currency
regime.

Debt Cancellation

While Somalia qualifies for debt cancellation, it would have to clear arrears that are part of $5.3
billion owed to international creditors such as the IMF, World Bank and African Development
Bank to secure fresh funding, Thiam said. Writing off Somalia’s loans depends on progress
toward curbing corruption, introducing a new currency and an effective monetary policy in the
$6 billion economy.
“There are hurdles,” Thiam said. “But there is a general willingness from creditors to write off
Somalia’s debt when the time comes, it’s a good prospect. They will not be asked to repay the
debt tomorrow, so they have time to work on consolidating their economic base. The debt is an
issue that will be resolved some time.”
Before it's here, it's on the Bloomberg Terminal.

Anda mungkin juga menyukai