Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

KANKER NASOFARING (KNF)


R. 27 RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners


Departemen Medikal

Oleh:
Ni Putu Ika Purnamawati
170070301111032

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2018
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
KARSINOMA NASOFARING (KNF)

Oleh :
Ni Putu Ika Purnamawati
170070301111032

Telah diperiksa dan disetujui pada :


Hari :
Tanggal :

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

( ) ( )
LAPORAN PENDAHULUAN
KANKER NASOFARING
1. Definisi
Karsinoma (Kanker) Nasofaring (KNF)
merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah
nasofaring dengan predileksi di fossa
Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma
nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala
dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia.
(Efiaty & Nurbaiti, 2001).
Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah tumor
ganas jenis karsinoma yang berasal dari elemen
epitelial maupun kripta yang berada di mukosa
nasofaring.
Secara anatomis, nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di
bagian atas, belakang dan lateral. Rongga nasofaring terletak di belakang kavum nasi
dan berada di tepi bebas palatum mole. Dinding anterior dibentuk oleh lobang koane
dan pinggir posterior kavum nasi. Lantai dibentuk oleh permukaan atas palatum mole,
sedangkan atap dan dinding posterior dibentuk oleh tulang sfenoid, basis oksifut dan
vertebra servikalis (Vasef & Ferlito, 1997).
Fosa Rosenmuleri, yang terletak di dinding lateral nasofaring merupakan lokasi
tersering timbulnya KNF, diikuti sekitar tuba Eustachius, dinding posterior dan atap
nasofaring. Pada mulanya, tumbuhnya tumor sedemikian kecil sehingga sukar
diketahui, selanjutnya tumor dapat meluas ke hidung, tenggorok, serta dasar
tengkorak. Lapisan mukosa nasofaring terdiri dari jaringan epitel, limfoid dan kelenjar
liur minor. Struktur ini memberi konsekuensi terhadap kejadian bermacam-macam jenis
tumor ganas nasofaring. Secara mikroskopis tumor ganas nasofaring dapat dibedakan
menjadi tiga kelompok utama yaitu karsinoma sel skuamosa, limfoma dan campuran.
Tumor ganas nasofaring lebih dari 85% adalah jenis karsinoma, lebih kurang 15%
limfoma maligna dan kurang dari 2% tumor jaringan ikat (Neel & Slavit, 1993;
Ballenger, 1994).

2. Klasifikasi
Stadium klinik KNF perlu ditegakkan, hal ini berguna untuk menentukan jenis
terapi dan prognosis penyakit. Klasifikasi stadium KNF berdasarkan pada TNM sistem
American Joint Committee on Cancer Staging and End Result Reporting/International
Union Againt Cancer (AJCC/IUAC) 2011.
Tumor Keterangan
primer (T)
Tx Tumor primer tak dapat ditetnukan
To Tidak tampak tumor primer
Tis Tumor insitu
T1 Tumor terbatas pada satu di nasofaring, atau meluas ke
orofaring dan atau ke kavum nasi tanpa perluasan ke
parafaring
T2 Tumor meluas ke parafaring
T3 Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan atau
sinus paranasal
T4 Tumor meluas ke intrakranial dan atau keterlibatan saraf
kranial, hipofaring, orbita, atau perluasan ke fossa
infratemporal/ruang mastikator

Pembesaran kelenjar getah bening regional (N)


Nx Adanya pembesaran kelenjar getah bening tak dapat
ditentukan
No Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening regional
N1 Metastasis KGB unilateral ukuran terbesar kurang dari atau
sama dengan 6 cm, di atas klavikula, dan atau unilateral
bilateral, KGB retrofaring, ukuran kurang atau sama dengan 6
cm
N2 metastasis KGB bilateral ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atas supraklavikula
N3 Metastasis KGB lebih dari 6 cm dan atau di atas fossa
supraklavikula
N3a Ukuran lebih dari 6 cm
N3b Perluasan ke fossa supraklavikula

Metastasis jauh (M)


Mx Metastasis jauh tidak dapat ditentukan
Mo
Tidak ada metastasis jauh
M1 Ada metastasis jauh

Stadium T N M
Stadium 0 T1s No Mo
Stadium I T1 No Mo
Stadium II T2 N1 Mo
T2 No Mo
T2 N1 Mo
Stadium III T1 N2 Mo
T2 N2 Mo
T3 No Mo
T3 N1 Mo
T3 N2 Mo
T3 No Mo
Stadium IVa T4 No Mo
T4 N1 Mo
T4 N2 Mo
Stadium IVb Semua T N3 Mo
Stadium IVc Semua T Semua N Mo
(NCCN guideline, 2011)

KNF merupakan kanker sel skuamus yang berasal dari epitel yang melapisi
nasofaring. Menurut WHO KNF diklasifikasikan dalam 3 tipe yaitu :
1. Tipe 1.karsinoma sel skuamosa berkeratin,ditandai dengan:
 Adanya bentuk kromatin di dalam mutiara skuamosa atau sebaga sel
mengalami keratinisasi (diskratosis).
 Adanya stratifikasi dari sel, terutama pada sel yng terletak di permukaan atau
suatu rongga kistik.
 Adanya jembatan intersel (intercellular bridges). Jembatan intersel ini mungkin
disebabkan arena sel mengalami pegerutan akibat dehidrasi pada waktu
membuat sediaan.
2. Tipe 2.karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin, ditandai dengan :
 Masing-masing sel tumor mempunyai batas yang jelas dan terlihat tersusun
tertur/berjajar
 Sering terlihat bentuk plekiform yang mungkin terihat sebagai sel tumor yang
jernih atau terang yang disebabkan adanya glikogen dalam sitoplasma sel.
 Tidak terdapat musin atau diferensiasi dari kelenjar.
3. Tipe 3 karsinoma tidak berdifrensiasi,ditandai dengan:
 Susunan sel tumor berbentuk sinsitial.
 Batas sel atu dengan yang lain suit dibedakan.
 Sel tumor berbentuk spindle dan beberapa sel mempunyai inti yang
hiperkromatik dan sel ini sering bersifat dominan.
 Sel tumor tidak memproduksi musin
Tipe 2 dan 3 biasanya lebih radiosensitive dan memiliki hubungan yang kuat
dengan VEB (Pahala, 2009)

3. Etiologi
Karsinoma nasofaring disebabkan oleh multifaktor. Sampai sekarang penyebab
pastinya belum jelas. Faktor yang berperan untuk terjadinya karsinoma nasofaring ini
adalah faktor makanan seperti mengkonsumsi ikan asin, sedikit memakan sayur dan
buah segar. Faktor lain adalah non makanan seperti debu, asap rokok, uap zat kimia,
asap kayu bakar dan asap dupa (kemenyan). Faktor genetik juga dapat mempengaruhi
terjadinya karsinoma nasofaring. Selain itu terbukti juga infeksi virus Epstein-Barr dapat
menyebabkan karsinoma nasofaring (Nasution,2007).
a. Infeksi Virus Epstein-barr Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya
keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada
penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang
berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di
dalam sel host Infeksi Virus Epstein Barr (Brennan, 2006). Metode imunologi
membuktikan virus EB membawa antigen yang spesifik seperti antigen kapsid
virus (VCA), antigen membran (MA), antigen dini (EA), antigen nuklir (EBNA), dll
Konsumsi ikan asin Beberapa peneliti epidemologi dan laboratorium
menghubungkan ikan yang diasinkan yang merupakan makanan kegemaraan
penduduk cina selatan kemungkinan sebagai salah satu faktor yang
menyebabkan KNF. Hal ini didasari atas insiden KNF yang tinggi pada masyarakat
nelayan di hongkong yang makanannya banyak mengkonsumsi ikan yang
diasinkan dan sedikit mengandung sayur dan buah. Kebiasaan memakan makan
yang di asinkan juga di temukan pada penduduk keturunan cina yang bermigrasi
ke Negara lain seperti ke Malaysia timur dan Negara asia tenggara.
Penelitian lain sebelumnya di cina juga mendapatkan bahwa penduduk yang
mulai mengkonsumsi ikan asin setelah masa diasapi mempunyai resiko terjadi
KNF yang lebih tinggi. Tan tjin joe mengirim 12 jenis ikan asin yang berbeda dari
Sumatra utara dan dianalisa oleh prof.HO di hongkong, ternyata ke 12 ikan
tersebut dijumpai nitrosamine (Brennan,2006).
Selain ikan asin, uap nitrosamin tingkat tinggi juga ditemukan pada berbagai
makan yang di awetkan di china, Greenland dimana bahan makan tersebut
mengandung precursor nitrosamine yang tinggi setelah di cerna di lambung.
b. Faktor genetik
Berdasarkan fakta-fakta yang ada terdapat perbedaan frekuensi yang nyata
diantara beberapa kelompok etnik, yaitu adanya peningkatan risiko pada keluarga
penderita KNF. Dan masih tingginya imigran Cina yang terkena KNF di daerah
yang insiden KNF nya sangat rendah.
Penelitian pertama tentang adanya kelainan genetik ras Cina yang
dihubungkan dengan kejadian KNF adalah penelitian tentang Human Leucocyte
Antigen (HLA). Pada etnik Cina, KNF dihubungkan dengan ditemukannya HLA
tipe A2 dan Bw46 (Cottrill dan Nutting, 2003). Penelitian di Medan menemukan
gen yang potensial sebagai penyebab kerentanan timbulnya KNF pada suku
Batak adalah gen HLA-DRB1*08 (Munir D, 2007).
c. Lingkungan dan kebiasaan hidup
Faktor lingkungan lain yang mempunyai risiko terhadap KNF adalah
merokok, terpapar bahan dari industri seperti formaldehid, asap kayu bakar, asap
dupa, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan KNF belum
dapat dijelaskan. Penelitian matching case control di Semarang dilaporkan
paparan formaldehid berbentuk uap dan asap yang terhirup berpeluang terbesar
terhadap terjadinya KNF (Nolodewo A, Yuslam, dan Muyassaroh, 2007). Perokok
berat berisiko 2-4 kali dibanding yang tidak merokok. Konsumsi alkohol yang
tinggi tidak menunjukkan risiko pada masyarakat Cina, walaupun di Amerika
Serikat menunjukkan adanya hubungan (Yi, dan Jhen,2009).
d. Radang Kronis
Beberapa peneliti lain melaporkan adanya hubungan yang bermakna
antara adanya infeksi kronis di hidung seperti rhinitis, sinusitis, atau polip nasi dan
infeksi kronis di telinga tengah dengan timbulnya KNF. Adanya peradangan
menahun di nasofaring maka mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap
karsinogen penyebab KNF (Zahara,2007).

4. Patofisiologi
Terlampir

5. Manifestasi klinis
Gejala klinis KNF dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu: Pertama,
gejala lokal yang disebabkan oleh tumor primernya. Gejala ini terdiri dari gejala hidung
dan gejala telinga, yang merupakan gejala dini KNF. Gejala pada hidung dapat berupa
pilek terus menerus dan buntu hidung satu atau dua lubang hidung, lendir dapat
bercampur darah atau nanah yang berbau. Gejala pada telinga berupa tinitus,
pendengaran berkurang atau otitis media yang berulang. Kedua, gejala karena
tumbuh dan meluasnya tumor, ini merupakan gejala lanjut KNF. Tumor dapat
meluas ke hidung, tenggorok, serta dasar tengkorak. Tumor yang tumbuh ke depan
mengisi nasofaring dan menutup koane sehingga timbul gejala buntu hidung, bila
tumbuh ke bawah menyebabkan palatum mole bomban (Roezin & Syafril, 2006).
Tumor yang tumbuh infiltratif ke atas melalui foramen laserum dapat
mengenai duramater sehingga menimbulkan sefalgia yang berat. Infiltrasi ke atas juga
bisa mengenai saraf kranialis, bila saraf VI terkena akan menimbulkan diplopia,
saraf V akan menimbulkan trigeminal neuralgia, saraf III dan IV menimbulkan
ptosis dan optalmoplegia. Tumor dapat tumbuh lebih lanjut melalui foramen jugulare
akan mengenai saraf IX, X, XI dan XII. Tumor yang mengenai saraf IX dan X terjadi
parese palatum mole, faring dan laring. Gangguan pada saraf ini akan menimbulkan
gangguan makan, minum dan suara parau. Gejala karena metastasis melalui aliran
getah bening, akan menimbulkan pembesaran kelenjar getah bening leher bisa
unilateral atau bilateral. Gejala karena metastasis jauh melalui darah bisa mengenai
hati, tulang, paru, ginjal, limfa dan lainnya (Chong & Ong, 2008).
Diagnosis KNF didasarkan pada umur penderita dan gejala klinis, melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Sebagai pedoman diagnosis KNF adalah
bila dijumpai salah satu dari TRIAS atau tiga kelompok gejala berikut ini yaitu: pertama,
adanya tumor leher, gejala telinga dan hidung. Kedua, adanya tumor leher, gejala
intrakranial (saraf kranialis), gejala telinga atau hidung. Ketiga, adanya gejala
intrakranial, gejala telinga dan hidung. Diagnosis pasti KNF ditegakkan berdasarkan
hasil pemeriksaan histopatologi biopsi jaringan nasofaring dan dari pemeriksaan ini
dapat ditentukan jenis histopatologinya (Roezin & Syafril, 2006).
Penderita KNF sering mengalami satu atau lebih dari 4 kelompok gejala yaitu
gejala hidung, telinga, keterlibatan saraf kranial, dan pembesaran kelenjar limfe leher.
a. Gejala Hidung
 Epistaksis : Gejala ini timbul akibat permukaan tumor rapuh sehingga iritasi
ringan dapat terjadi perdarahan.
 Hidung sumbat : Gejala ini akibat pertumbuhan massa tumor yang menutup
koana, infiltrasi tumor dapat terjadi ke mukosa kavum nasi, dan massa tumor
dapat menonjol kedalam kavum nasi (Asroel,2002).
b. Gejala Telinga
Gejala ini disebabkan perluasan tumor ke latero-posterior sampai ruang para
nasofaringeal sehingga terjadi gangguan pada fungsi tuba Eustachius.
c. Gangguan pendengaran
 Tinnitus : Sering dijumpai pada penderita KNF, dapat sangat mengganggu
dan sulit diobati. Gejala ini juga disebabkan akibat gangguan fungsi tuba
 Nyeri telinga / Otalgia : Bila dijumpai gejala otalgia, maka tumor sudah
menginfiltrasi daerah parafaring dan mendestruksi basis kranii. Nyeri yang
hebat pada telinga dapat juga terjadi akibat infiltrasi tumor pada
glossofaringeus
 Otitis media serosa sampai perforasi membran timpani : Disfungsi tuba
Eustachius dari infiltrasi ke m.levator veli palatini menyebabkan terjadi otitis
media serosa pada 40 % penderita
d. Gejala Neurologis
 Sindroma Petrosfenoidal : Akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui
foramen laserum dan ovale sepanjang fosa kranii medial sehingga mengenai
saraf kranial anterior berturut-turut yaitu saraf VI, III, IV, sedangkan saraf II
paling akhir mengalami gangguan. Dapat pula menyebabkan parese saraf V.
Parese saraf II menyebabkan gangguan visus, parese saraf III menimbulkan
ptosis, dan parese saraf III, IV, dan VI menyebabkan keluhan diplopia karena
saraf-saraf tersebut berperan dalam pergerakan bola mata, dan saraf V
(trigeminus) dengan keluhan rasa kebas di pipi dan wajah yang biasanya
unilateral. Apabila semua saraf grup anterior (n. II – n. VI) terkena, maka akan
timbul gejala : neuralgia trigeminal unilateral, oftalmoplegi unilateral, serta
gejala nyeri kepala hebat yang timbul akibat penekanan tumor pada
duramater.
 Sindroma Parafaring : Gejala ini timbul akibat gangguan saraf kranial grup
posterior (n. IX, X, XI dan XII) karena penjalaran retroparotidean dimana tumor
tumbuh ke belakang masuk ke dalam foramen jugularis dan kanalis nervus
hipoglosus. Manifestasi kelumpuhan ialah : nervus IX : kesulitan menelan
karena hemiparese.konstriktor faringeus superior, nervus X : gangguan
motorik berupa afoni, disfoni, disfagia dan spasme esofagus. Gangguan
sensorik berupa nyeri daerah laring dan faring, dyspnoe dan hipersalivasi.
nervus XI : kelumpuhan atau atrofi m. trapezius, sternokleidomastoideus serta
hemiparese palatum molle, nervus XII : hemiparese dan atrofi sebelah lidah,
nervus VII dan nervus VIII jarang terkena KNF karena letaknya agak tinggi
(Munir,2007)
e. Limfadenopati servikal
Gejala ini paling sering ditemukan dan membawa penderita berkonsultasi dengan
dokter, sebagian besar penderita datang dengan pembesaran kelenjar leher baik
unilateral atau bilateral. Pembesaran kelenjar leher ini merupakan penyebaran
terdekat secara limfogen dari KNF. Pembesaran kelenjar yang agak khas akibat
metastasis adalah lokasi pada ujung prosesus mastoideus di belakang angulus
mandibula yaitu kelenjar jugulodigastrik dan kelenjar servikal posterior (atas dan
tengah), kemudian diikuti kelenjar servikal tengah. Penelitian di Hongkong
mendapatkan sebagian besar penderita KNF (74.5%) datang berobat dengan
keluhan benjolan di leher, dan paling banyak bilateral sebesar 50% (Lee et al,
1997), sedangkan di Taiwan mendapatkan 64 dari 83 penderita KNF dengan
pembesaran kelenjar leher (Liu et al,2003). Dari enam sentra di Malaysia keluhan
utama adalah bengkak di leher (42%), hidung sumbat (30%), keluhan telinga
(11%), sakit kepala (5%), saraf kranial (6 %), dll (6%). Tumor biasa teraba keras,
tidak nyeri, dapat terfiksir atau mudah digerakkan (Siregar,2010).
f. Gejala Metastasis Jauh
Metastasis jauh dari KNF dapat secara limfogen atau hematogen, yang dapat
mengenai spina vertebra torakolumbar, femur, hati, paru, ginjal dan limpa.
Metastasis jauh dari KNF terutama ditemukan di tulang, paru-paru, hepar dan
kelenjar getah bening supraklavikular. Metastasis sejauh ini menunjukkan
prognosa yang sangat buruk, biasanya 90% meninggal dalam waktu 1 tahun
setelah diagnosis ditegakkan (Siregar,2010)

6. Pemeriksaan Penunjang
Pengetahuan mengenai epidemiologi dan gambaran klinis KNF sangat diperlukan
untuk meningkatkan kewaspadaan dokter terhadap pasien yang mempunyai resiko
tinggi untuk terjadinya keganasan ini. Setelah dicurigai kemungkinan adanya
KNF,pemeriksa yang menyeluruh dan teliti harus segera dilakukan untuk menegakkan
diagnosis yang pasti dan stadium penyakit ini.
a. Anamnesis
Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita KNF. Gejalanya sangat
bervariasi antara satu pasien dengan pasien yang lain (Munir, 2009). Demikian
pula dengan keluhan yang ditimbulkannya. Pada stadium dini, keluhan yang ada
erring tidak menimbukan kecurigan atas keberadan tumor ini. Jika ada biasanya
berupa keluhan telinga, hidung atau keduannya.
b. Pemeriksaan
Pada kasus KNF pemeriksaan yang teliti keseluruhan kepala dan leher
merupakan bagian yang terpenting dala menegakkan diagnosis. Nasofaring
merupakan daerah yang tersembunyi atau daerah yang paling sulit diperiksa
dengan cara konvensional
a. Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateter
Pemeriksaan ini dilakukan pada penderita dewasa yang tidak sensitif,
dilakukan dengan menggunakan kaca nasofaring. Tumor yang tumbuh
eksofitik dan sudah agak besar akan tampak dengan mudah.
b. Rinoskopi posterior dengan menggunakan kateter
Dua buah kateter dimasukkan masing-masing ke dalam rongga hidung kanan
dan kiri. Setelah tampak di orofaring, ujung kateter tersebut dijepit dengan
pinset dan ditarik keluar, kemudian disatukan dengan masing-masing ujung
kateter yang lainnya. Kedua ujung ini ditarik dengan keras agar palatum molle
terangkat ke atas sehingga rongganya menjadi luas, selanjutnya dikunci
dengan klem. Dengan kaca nasofaring rongga nasofaring tampak dengan
jelas
c. Endoskopi
d. Nasofaringoskopi kaku (Rigid nasopharyngoscopy)
Alat yang digunakan terdiri dari teleskop dengan sudut bervariasi yaitu 0, 30,
dan 70 derajat dengan tang biopsi.
Nasofaringoskopi dapat dilakukan dengan cara:
 Transnasal, teleskop dimasukkan melalui hidung
 Transoral, teleskop dimasukkan melalui rongga mulut.
e. Nasofaringoskopi lentur (Flexible nasopharyngoscopy)
Alat ini bersifat lentur dengan ujungnya yang dilengkapi alat biopsi. Endoskopi
fleksibel memungkinkan pemeriksaan yang lebih menyeluruh terhadap
nasofaring, meskipun masuknya hanya melalui satu sisi kavum nasi. Biopsi
massa tumor dapat dilakukan dengan melihat langsung sasaran. Alat
endoskopi fleksibel ini memiliki saluran khusus untuk suction dimana forsep
biopsi dapat dimasukkan melaluinya, sehingga biopsi tetap dapat dilakukan
dengan pandangan langsung

c. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperkuat kecurigaan adanya tumor di
daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang dapat membantu dalam
melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran tumor ke
jaringan sekitarnya. (Chan,Teo, dan Johnson,2002).
 Foto polos nasofaring dan dasar tengkorak : Pemeriksaan ini dapat
memperlihatkan bayangan jaringan lunak(soft tissue) di daerah nasofaring
terutama pada tumor yang tumbuh secara eksofitik atau adanya destruksi
dasar tengkorakatau os vertebra servikal.
 CT scan nasofaring, pada KNF yang tumbuh endofitik/ submukosa dapat
dideteksi dengan CT scan. Pemeriksaan ini dapat juga mengetahui
penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya yang belum terlalu luas, dan juga
dapat mendeteksi erosi basis krani dan penjalaran perineural melalui
foramen ovale sebagai jalur utama perluasan ke intrakranial. CT scan
dilakukan tanpa zat kontras atau bila diperlukan dapat digunakan zat
kontras bila terdapat kesulitan dalam menentukan batas tumor atau untuk
menilai kelenjar limfe dan pembuluh darah. Selain itu, dapat pula menilai
kekambuhan tumor setelah pengobatam, adanya metastasis, dan juga
akibat komplikasi paska radioterapi seperti nekrosis lobus temporal dan
atrofi kelenjar hipofise.
 Magnetic Resonance Imaging(MRI) lebih baik dari CT dalam
memperlihatkan jaringan lunak nasofaring superfisial atau dalam dan untuk
membedakan tumor dengan jaringan lunak. MRI juga lebih sensitif untuk
menilai metastase kelenjar retrofaring dan kelenjar leher dalam. Akan
tetapi MRI kemampuannya terbatas dalam detail tulang dan CT harus
dilakukan bila status dasar tengkorak tidak dapat ditentukan dengan jelas
oleh MRI.
 Positron Emission Tomography (PET), merupakan pemeriksaan yang
paling sensitif untuk menilai adanya tumor residual atau rekuren pada KNF
(Chan,Teo,dan Johnson,2002)
b. Pemeriksaan Patologi Anatomi
 Sitologi
Sediaan sitologi eksfoliatif dari nasofaring didapat dengan beberapa cara
seperti melalui kerokan (scrapping), sikatan (brushing), usapan (swab)
atau dengan menggunakan alat khusus yang dihubungkan dengan
penghisap. Akan tetapi pemeriksaan ini hasilnya sering meragukan,
sehingga pemeriksaan sitologi ini belum dapat diterima untuk
mendiagnosis KNF.
c. Pemeriksaan Imunohistokimia
Merupakan teknik deteksi antigen dalam jaringan yang melibatkan deteksi
substansi kimia spesifik dalam jaringan dengan menggunakan derivat antibodi
terhadap substans. Antibodi digunakan terhadap potongan jaringan dan
dibiarkan berikatan dengan antigen yang sesuai. Sistem deteksi digunakan
untuk identifikasi lokasi antibodi menggunakan penanda molekuler yang dapat
dilihat. Deteksi antibodi ini dihubungkan dengan molekul petanda seperti zat
fluororesens atau suatu enzim yang mengkatalis reaksi lebih lanjut
membentuk produk berwarna yang dapat dilihat.
d. Pemeriksaan Serologi
Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang
berperan dalam timbulnya KNF menjadi dasar dari pemeriksaan serologi ini.
Antibodi terhadap VEB baik Ig G dan Ig A penderita KNF meningkat sampai 8-
10 kali lebih tinggi dibandingkan penderita tumor lain atau orang yang sehat.
Titer imunoglobulin A (Ig A) terhadap virus Epstein Barr spesifik untuk kapsul
virus (viral capsid antigen/VCA) dan antigen awal (early antigen/EA) tetapi
tingkat spesifisitasnya kurang terutama pada titer yang rendah, sedangkan IgA
VEB anti EA sangat spesifik untuk KNF tetapi kurang sensitif, dan titernya
akan menurun mendekati normal pada KNF stadium lanjut. Titer yang tinggi
dapat merupakan indikator KNF. Pemeriksaan ini juga berguna untuk tindak
lanjut penderita paska pengobatan untuk mengetahui kemungkinan residif.

d. Polimerase Chain Reaction (PCR)


Digunakan untuk menyalin rantai DNA spesifik dalam jumlah besar, sehingga
dapat menunjukkan ada atau tidaknya sebuah gen, mendeteksi adanya mutasi,
amplifikasi, rekayasa genetika, dan untuk mendeteksi DNA virus atau bakteri.

7. Penatalaksanaan
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada
penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan komputer. Pengobatan tambahan
yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer,
interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus. Semua pengobatan tambahan ini
masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terpai
adjuvant (tambahan) ( Roezin, Anida, 2007 National Cancer Institute, 2009).
Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil saat ini
sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian pula
telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-
platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan harapan
kesembuhan yang lebih baik. Kombinasi kemoterapi dengan mitomycin C dan 5-
fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat radiosensitizer
memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma
nasofaring (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2002 dan Arisandi, 2008).
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher
yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran
selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi sisa tumor induk (residu) atau kambuh
(residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi (Roezin,
Anida, 2007).
Perawatan paliatif harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut
rasa kering disebakan oleh keusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu
penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain menasihatkan pasien untuk makan
dengan banyak kuah, membawa minuman kemanapun pergi dan mencoba memakan dan
mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya air liur. Gangguan
lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di daerah leher karena
fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-
kadang muntah atau rasa mual ( Roezin, Anida, 2007).
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana
tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul metastasis
jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut
diatas tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien akhirnya meninggal dalam keadaan
umum yang buruk , perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan
dan terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor (Fuda Cancer Hospital
Guangzhou, 2002 dan Roezin, Anida, 2007).
Beberapa macam pengobatan untuk penderita nasopharing carsinoma, antara
lain:
a. Terapi Radiasi
Terapi ini dapat merusak dengan cepat sel-sel kanker yang tumbuh. Terapi ini
dilakukan selama 5-7 minggu. Terapi ini digunakan untuk kanker pada tingkatan
awal.
Efek samping dari terapi ini adalah: mulut terasa kering, kehilangan
pendengaran dan terapi ini memperbesar resiko timbulnya kanker pada lidah
dan kanker tulang.
b. Kemoterapi
Merupakan terapi dengan menggunakan bantuan obat-obatan. Terapi ini bekerja
dengan cara mereduksi sel-sel kanker yang ada, namun adakalanya sel-sel yang
sehat (tidak terkena kanker) juga tereduksi. Efek samping dari terapi ini adalah
rambut rontok, mual, lemas (seperti kehilangan tenaga). Efek samping yang
timbul tergantung pada jenis obat yang diberikan.
c. Pembedahan
Tujuan dari pembedahan ini adalah untuk mengambil kelenjar getah bening yang
telah terkena kanker.
d. Radioterapi
Hal yang perlu dipersiapkan adalah keadaan umum pasien baik, hygiene mulut,
bila ada infeksi mulut diperbaiki dulu. Pengobatan tambahan yang diberikan
dapat berupa diseksi leher (benjolan di leher yang tidak menghilang pada
penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran dan tumor induknya sudah
hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik), pemberian
tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus.

8. Komplikasi
Reaksi akut terjadi selama terapi dan biasanya bersifat reversibel, sedangkan
reaksi yang bersifat kronis biasanya terjadi menahun dan bersifat irreversibel.
Komplikasi akut yang dapat terjadi adalah:
o Mukositis: Mukositis oral merupakan inflamasi pada mukosa mulut berupa eritema
dan adanya ulser yang biasanya ditemukan pada pasien yang mendapatkan
terapi kanker. Biasanya pasien mengeluhkan rasa sakit pada mulutnya dan dapat
mempengaruhi nutrisi serta kualitas hidup pasien.
o Kandidiasis: Pasien radioterapi sangat mudah terjadi infeksi opurtunistik berupa
kandidiasis oral yang disebabkan oleh jamur yaitu Candida albicans. Infeksi
kandida ditemukan sebanyak 17-29% pada pasien yang menerima radioterapi.
o Dysgeusia adalah respon awal berupa hilangnya rasa pengecapan, dimana salah
satunya dapat disebabkan oleh terapi radiasi.
o Xerostomia: Xerostomia atau mulut kering dikeluhkan sebanyak 80% pasien yang
menerima radioterapi. Xerostomia juga dikeluhkan sampai radioterapi telah
selesai dengan rata-rata 251 hari setelah radioterapi. Bahkan tetap dikeluhkan
setelah 12-18 bulan setelah radioterapi tergantung pada dosis yang diterima
kelenjar saliva dan volume jaringan kelenjar yang menerima radiasi.
Komplikasi kronis diantaranya:
o Karies gigi : Karies gigi dapat terjadi pada pasien yang menerima radioterapi.
Karies gigi akibat paparan radiasi atau yang sering disebut dengan karies radiasi
adalah bentuk yang paling destruktif dari karies gigi, dimana mempunyai onset
dan progresi yang cepat. Karies gigi biasanya terbentuk dan berkembang pada 3-
6 bulan setelah terapi radiasi dan mengalami kerusakan yang lengkap pada
semua gigi pada periode 3-5 tahun.
o Osteoradionekrosis: Osteoradionekrosis (ORN) merupakan efek kronis yang
penting pada radioterapi. Osteoradionekrosis adalah nekrose iskemik tulang yang
disebabkan oleh radiasi yang menyebabkan rasa sakit karena kehilangan banyak
struktur tulang.
o Nekrose pada jaringan lunak: Komplikasi oral kronis lain yang dapat terjadi adalah
nekrose pada jaringan lunak, dimana 95% kasus dari osteoradionekrosis
berhubungan dengan nekrose pada jaringan lunak. Nekrose jaringan lunak
didefinisikan sebagai ulser yang terdapat pada jaringan yang teradiasi, tanpa
adanya proses keganasan (maligna). Evaluasi secara teratur penting dilakukan
sampai nekrose berkurang, karena tidak ada kemungkinan terjadinya
kekambuhan. Timbulnya nekrose pada jaringan lunak ini berhubungan dengan
dosis, waktu, dan volume kelenjar yang teradiasi.
o Gagal napas dapat terjadi karena adanya metastase dari tumor nasofaring sampai
pada trakea sehingga terjadi sumbatan total pada trakea, transportasi oksigen
menjadi terhambat, jika hal ini terus dibiarkan maka dapat mengakibatkan gagal
napas.
o Peningkatan tekanan intrakranial, dapat terjadi ketika metastase tomor sudah
mencapai lapisan otak, dan menekan/menyesak duramater otak sehingga
merangsang peningkatan tekanan intra kranial.

9. Asuhan Keperawatan
PENGKAJIAN
1. Pola Persepsi Kesehatan Manajemen Kesehatan
Tanyakan pada klien bagaimana pandangannya tentang penyakit yang
dideritanya dan pentingnya kesehatan bagi klien? Biasanya klien yang datang ke
rumah sakit sudah mengalami gejala pada stadium lanjut, klien biasanya kurang
mengetahui penyebab terjadinya serta penanganannya dengan cepat. Kebiasaan
makan makanan yang terpapar ebstein barr virus, makanan yang mengandung
pengawet (karsinogenik), terpapar bahan-bahan kimia seperti tinggal di area dekat
pabrik, pengolahan limbah, asap kayu bakar.
2. Pola Nutrisi Metabolic
Kaji kebiasaan diit buruk (rendah serat, aditif, bahan pengawet), anoreksia,
mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan,
perubahan kelembaban/turgor kulit. Biasanya klien akan mengalami penurunan
berat badan akibat inflamasi penyakit dan proses pengobatan kanker.
3. Pola Eliminasi
Kaji bagaimana pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi
urin, perubahan bising usus, distensi abdomen. Biasanya klien tidak mengalami
gangguan eliminasi.
4. Pola aktivas latihan
Kaji bagaimana klien menjalani aktivitas sehari-hari. Biasanya klien
mengalami kelemahan atau keletihan akibat progresivitas tumor.
Ø Stadium pertama dan dua : Sesak nafas,
Ø Stadium tiga : Tidak bisa menggerakan kepala.
Ø Stadium empat : Sakit kepala, hambatan mobilisasi.
5. Pola istirahat tidur
Kaji perubahan pola tidur klien selama sehat dan sakit, berapa lama klien
tidur dalam sehari? Biasanya klien mengalami perubahan pada pola istirahat.
Adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
6. Pola kognitif persepsi
Kaji tingkat kesadaran klien, apakah klien mengalami gangguan
penglihatan,pendengaran, perabaan, penciuman,perabaan dan kaji bagaimana
klien dalam berkomunikasi? Biasanya klien mengalami gangguan pada indra
penciuman.
7. Pola persepsi diri dan konsep diri
Kaji bagaimana klien memandang dirinya dengan penyakit yang
dideritanya? Konsep diri pasien terutama gambaran diri terhadap perubahan tubuh
misalnya adanya massa yang nampak pada hidung, massa yang mengalami
penyebaran ke depan sehingga bermanifestasi gejala leher gondok, polip pada
hidung, tuba eustachius pada telinga. Apakah klien merasa rendah diri terhadap
penyakit yang dideritanya ? Biasanya klien akan merasa sedih dan rendah diri
karena penyakit yang dideritanya. Ideal diri terhadap kesembuhan pasien. Harga
diri mengenai penyakitnya yang mempengaruhi aktivitas sehingga tidak bias
berkerja. Identitas diri mengkaji pekerjaan pasien, peran diri pasien sebagai kepala
rumah tangga.
8. Pola peran hubungan
Kaji bagaimana peran fungsi klien dalam keluarga sebelum dan selama
dirawat di Rumah Sakit? Dan bagaimana hubungan sosial klien dengan masyarakat
sekitarnya? Biasanya klien lebih sering tidak mau berinteraksi dengan orang lain.
Malu berinteraksi, takut merepotkan orang lain, dan keluarga sangat berperan
dalam proses penyembuhan pasien.
9. Pola reproduksi dan seksualitas
Kaji apakah ada masalah hubungan dengan pasangan? Apakah ada
perubahan kepuasan pada klien? Biasanya klien akan mengalami gangguan pada
hubungan dengan pasangan karena sakit yang diderita oleh klien.
10. Pola koping dan toleransi stress
Kaji apa yang biasa dilakukan klien saat ada masalah? Apakah klien
menggunakan obat-obatan untuk menghilangkan stres? Biasanya klien akan sering
bertanya tentang pengobatan, proses pengobatan yang membutuhkan waktu yang
lama, kualitas hidup bagaimana?
11. Pola nilai dan kepercayaan
Kaji bagaimana pengaruh agama terhadap klien menghadapi penyakitnya?
Apakah ada pantangan agama dalam proses penyembuhan klien? Biasanya klien
lebih mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d terdapat benda asing di jalan nafas.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d nyeri menelan
3. Nyeri akut b/d agen-agen penyebab cidera
4. Ansietas b/d ancaman kematian.
5. Defisiensi pengetahuan b/d keterbatasan kognitif.
6. Gangguan pertukan gas b/d perubahan membrane kapiler-alveolar
7. Ketidakefektifan pola nafas b/d hiperventilasi
8. Gangguan presepsi sensori pendengaran b/d perubahan resepsi, transmisi, dan/
integrasi sensori
9. Resiko infeksi b/d imunitas tubuh menurun
10. Hambatan mobilitas fisik b/d gangguan neuromuskular.
11. Resiko kerusakan integritas kulit b/d factor mekanik (mis: terpotong, terkena
tekanan dan akibat restrain)
12. Resiko cedera b/d disfungsi sensori.
13. Hambatan komunikasi verbal b/d defek anatomis pita suara.

INTERVENSI
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d terdapat benda asing di jalan nafas.
Data subyektif:
- Menyatakan kesulitan untuk bernafas.
Data obyektif:
- Sesak nafas
- Frekwensi nafas > 20 x/menit
- Nampak kebiruan
- Suara serak
NOC: kepatenan jalan napas.

Intervensi
g. Kaji frekuensi, kedalamaan, dan upaya pernapasan.
h. Instruksikan kepada pasien tentang batuk dan teknik napas dalam.
i. Atur posisi pasien dengan bagian kepala tempat tidur dtitinggikan 450.
j. Penghisapan nasofaring untuk mengeluarkan sekret.
k. Berikan udara/oksigen yang telah dihumidifikasi sesuai dengan kebijakan institusi.

2. Nutrisi, ketidakseimbangan: kurang dari kebutuhan tubuh b/d nyeri menelan.


Data subyektif: Mengemukakan tidak nafsu makan, sakit saat mengunyah, Kadang-
kadang mual
Data obyektif:
- BB menurun
- Kulit kering
- Turgor kurang baik
- Tampak lemas.
NOC: asupan makanan dan cairan adekuat
Intervensi
 Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan
 Anjurkan pasien untuk mematuhi diet yang telah diprogramkan.
 Berikan pasien minuman dan kudapan bergizi, tinggi protein, tinggi kalori yang
siap dikonsumsi
 Timbang pasien pada interval yang tepat.
 Ubah posisi pasien semi Fowler atau Fowler tinggi.
 Identifikasi perubahan pola makan.
 Konsultasikan pada ahli gizi untuk memeberikan makanan yang mudah dicerna,
secara nutrisi seimbang.

3. Nyeri akut b/d agen-agen penyebab cidera


Data subyektif:
- Menyatakan nyeri kepala
Data obyektif:
- Raut muka menyeringai
- Perilaku berhati-hati
- Perilaku mengalihkan: menangis, merintih
NOC: pengendalian nyeri
Intervensi
o Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala 0 sampai 10.
o Ajarkan penggunaan teknik relaksasi.
o Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas, bukan pada nyeri dan rasa tidak
nyaman dengan melakukan pengalihan melalui televisi, radio, tape, dan interaksi
dengan pengunjung.
o Jadwalkan periode istirahat, berikan lingkungan yang tenang.
o Gunakan pendekatan yang positif Untuk mengoptimalkan respons pasien
terhadap analgesik.
o Kelola nyeri pascabedah awal dengan pemberian opiat yang terjadwal.

4. Ansietas b/d perubahan status kesehatan.


DS:
o Pasien mengeluh ketakutan.
DO:
- Gelisah
- Wajah tegang
NOC: menunjukkan pengendalian diri terhadap ansietas.

Intervensi
1. Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien.
2. Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan secara verbal pikiran dan
perasaan untuk mengeksternalisasikan ansietas.
3. Pada saat ansietas berat, dampingi pasien, bicara dengan tenang, dan berikan
ketenangan serta rasa nyaman.
4. Sediakan pengalihan melalui televisi, radio, permainan, serta okupasi.
5. Dampingi pasien (misalnya, selama prosedur) untuk meningkatkan keamanan
dan mengurangi rasa takut.
6. Berikan obat untuk menurunkan ansietas.

5. Defisiensi pengetahuan b/d keterbatasan kognitif.


DS:
o Pasien mengungkapkan masalah secara verbal
DO:
- Tidak mengikuti instruksi yang diberikan secara akurat
- Pasien tampak histeris
NOC: memperlihatkan pengetahuan proses penyakit.
Intervensi
a. Lakukan penilaian terhadap tingkat pengetahuan pasien saat ini dan pemahaman
terhadap materi.
b. Bina hubungan saling percaya.
c. Beri penyuluhan sesuai dengan tingkat pemahaman pasien, ulangi informasi bila
diperlukan.
d. Ikutsertakan keluarga atau orang terdekat.
e. Ciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar.
f. Rencanakan penyesuaian dalam terapi bersama pasien dan dokter.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC.
Jakarta.
Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3.
Jakarta : EGC;1999
Dunna, D.I. Et al. (1995). Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process Approach. 2 nd
Edition : WB Sauders.
Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001
Lab. UPF Ilmu Penyakit THT FK Unair. (1994). Pedoman Diagnosis Dan Terapi
Lab/UPF Ilmu Penyakit THT. Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetom Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya.
R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta : EGC ;
1997
Rothrock, C. J. (2000). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. EGC : Jakarta.
Sjamsuhidajat & Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.
Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih
bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC;
2001
Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (2000). Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT.
Edisi kekempat. FKUI : Jakarta.
Sri Herawati. (2000). Anatomi Fisiologi Cara Pemeriksaan Telinga, Hidung,
Tenggorokan. Laboratorium Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga Surabaya.
Patofisiologi

Infeksi virus Mutasi gen Berfungsinya Gangguan mekanisme


( Virus SV –4) pengendali onkogen pengendalian
pertumbuhan ( Carsinogenic pertumbuhan normal
Agent)

Perubahan epitel siliadan mukosa / ulserasi bronchus

Jinak (Epidermoid, sel Ganas/kanker (Sel kecil/oat cell)


besar, adeno carsinoma ) Kurang kohesif
Kohesif Pertumbuhan cepat
Tumbuh lambat Pola tidak teratur
Pola teratur Ketakutan Tidak berkapsul
Berkapsul (Kecemasan)

Lumen Proksimal Kompetisi Metastase


distal Pemakaian Hematogen/Limfogen/Langsung
Nutrisi,
rangsangan
Sumbatan organ viseral
partial/total Multiorgan failure
melalui
transmitor H1, Sepsis
Penekanan reseptor serotonin (5
Pada lobus paru, HT3), Host
prostalagnin, Brokiekta Cytokine
serotonin, sis
bradikinin, Syok Sepsis Hiperter
norefinefrin, ion mi
hidrogen, ion kalium
dan subtance P
Ggn Pola
pertukaran
nafas
gas
tidak
efekti

Nyeri f
Resiko infeksi Ggn Nutrisi

Kelemahan
/Intoleransi aktivitas

Anda mungkin juga menyukai