Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri, yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Berdasarkan keterangan tersebut maka tifoid adalah
seseorang yang terinfeksi bakteri yang disebut bakteri Salmonella enterica
serovar typhi (S typhi) yang berdampak kepada tubuh seseorang secara
menyeluruh ditandai dengan adanya demam. Penyakit ini ditularkan melalui
konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh tinja atau urin
orang yang terinfeksi. Gejala biasanya muncul 1-3 minggu setelah terkena,
dan gejala meliputi demam tinggi, malaise, sakit kepala, mual, kehilangan
nafsu makan ,sembelit atau diare, bintik-bintik merah muda di dada (Rose
spots), dan pembesaran limpa dan hati (Inawati, 2017).

Menurut data WHO (World Health Organisation) memperkirakan angka


insedensi diseluruh dunia demam tifoid diperkirakan 216.000-600.000
kematian. Kematian tersebut, sebagian besar terjadi di Negara-negara
berkembang dan 80% kematian terjadi di Asia. Kematian di rumah sakit
berkisar antara 0-13,9%. Prevalensi pada anak-anak kematian berkisar antara
0-14,8%. (WHO, 2013). Pada tahun 2014 diperkirakan 21 juta kasus demam
tifoid sekitar 220.000 diantaranya meninggal dunia setiap tahun (WHO,
2014).

Penyakit demam tifoid merupakan penyakit yang berada pada usus halus dan
dapat menimbulkan gejala terus menerus, ditimbulkan oleh Salmonella
thyposa. Hampir 30% kunjungan ke dokter dan lebih dari 5 juta kunjungan ke
emergensi karena keluhan demam (Garna, 2012). Penyakit menular ini masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan jumlah kasus sebanyak 22
juta per tahun di dunia dan menyebabkan 216.000–600.000. Kematian di
rumah sakit berkisar antara 0-13,9%. Prevalensi pada anak-anak kematian
berkisar antara 0-14,8% (WHO, 2014).

Studi yang dilakukan di daerah urban di beberapa negara Asia pada anak usia
5–15 tahun menunjukkan bahwa insidensi dengan biakan darah positif
mencapai 180–194 per 100.000 anak, di Asia Selatan pada usia 5–15 tahun
sebesar 400–500 per 100.000 penduduk, di Asia Tenggara 100– 200 per
100.000 penduduk, dan di Asia Timur Laut kurang dari 100 kasus per
100.000 penduduk. Komplikasi serius dapat terjadi hingga 10%, khususnya
pada individu yang menderita tifoid lebih dari 2 minggu dan tidak mendapat
pengobatan yang adekuat. Case Fatality Rate (CFR) diperkirakan 1–4%
dengan rasio 10 kali lebih tinggi pada anak usia lebih tua (4%) dibandingkan
anak usia ≤4 tahun (0,4%). Pada kasus yang tidak mendapatkan pengobatan,
CFR dapat meningkat hingga 20% (Purba, dkk, 2017).

Di Indonesia sendiri penyakit tifoid bersifat endemik, menurut WHO angka


penderita demam tifoid di Indonesia mencapai 81% per 100.000. Distribusi
prevalensi tertinggi pada usia 5-14 tahun (1,9%), usia 1-4 tahun (1,6%), usia
15-24 tahun (1,5%) dan usia <1 tahun (0,8%). Kondisi ini menunjukkan
bahwa anak-anak (0-18 tahun) merupakan populasi penderita demam tifoid
terbanyak di Indonesia (Depkes RI, 2013).

Profil Kesehatan Indonesia (2011) memperlihatkan bahwa gambaran 10


penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit, prevalensi kasus
demam thypoid sebesar 5,13%. Total kasus demam tifoid mencapai 41.081
penderita yaitu 19.706 jenis kelamin laki-laki, 21.375 perempuan 274
penderita meninggal dunia. Penyakit ini termasuk dalam kategori penyakit
dengan Case Fatality Rate tertinggi sebesar 0,67%. Prevalensi tertinggi
demam tifoid di Indonesia terjadi pada kelompok usia 5–14 tahun. Pada usia
5–14 tahun merupakan usia anak yang kurang memperhatikan kebersihan diri
dan kebiasaan jajan yang sembarangan sehingga dapat menyebabkan tertular
penyakit demam tifoid. pada anak usia 0–1 tahun prevalensinya lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok usia lainnya dikarenakan kelompok usia ini
cenderung mengkonsumsi makanan yang berasal dari rumah yang memiliki
tingkat kebersihannya yang cukup baik dibandingkan dengan yang dijual di
warung pinggir jalan yang memiliki kualitas yang kurang baik (Nurvina,
2013).

Pada tahun 2014, angka kesakitan tifoid di Indonesia menempati urutan ke


tiga dari 10 penyakit terbanyak yang dirawat inap di rumah sakit, yaitu
dilaporkan sebesar 80.850 kasus yang meninggal sebanyak 1.747 kasus.
Kejadian demam tifoid di Indonesia sekitar 1100 kasus per 100.000 penduduk
per tahunnya dengan angka kematian 3,1-10,4% (Purba, dkk, 2017). Badan
Litbangkes (2008) Menurut Departemen Kesehatan RI penyakit ini
menduduki urutan kedua sebagai penyebab kematian pada kelompok umur 5-
14 tahun di daerah perkotaan dan prevalensi penyakit ini di Kalimantan
Selatan masih cukup tinggi yaitu sebesar 1,95% (Arifin, 2009).

Demam tifoid klinis tersebar di seluruh kabupaten/kota di Provinsi


Kalimantan Selatan dengan prevalensi 1,95% (rentang 0,42-4,29%). Enam
dari 13 kabupaten/kota dengan prevalensi tifoid klinis lebih tinggi dari angka
prevalensi provinsi yaitu Kabupaten Banjar (4,3%), Hulu Sungai Selatan
(3,5%), Balangan (2,8%), Barito Kuala dan Hulu Sungai Utara (2,7%), serta
Tapin (2,2%). Pada 6 kabupaten/kota, kasus Tifoid klinis terdeteksi lebih
banyak berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan, sedangkan pada kabupaten
yang lain lebih banyak terdeteksi melalui gejala klinis (Riskesdas Provinsi
Kalsel, 2007).

RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin pada tahun 2013 angka
kejadian demam tifoid yaitu 193 kasus yang terjadi pada anak umur <1 tahun-
14 tahun. Data di ruangan anak Alexandri RSUD DR. H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin pada tahun 2014 angka kejadian demam tifoid mengalami
peningkatan yaitu 273 kasus.

Salah satu masalah yang timbul pada pasien demam tifoid yaitu
hipertermia/peningkatan suhu tubuh yang juga disebut dengan demam.
Demam adalah tanda bahwa tubuh sedang melawan infeksi atau bakteri yang
membuatnya sakit. Pengukuran suhu tubuh diberbagai daerah tubuh seperti di
axilla (ketiak), suhu oral (mulut), suhu rektal (anus), suhu frontal (dahi) dan
suhu membran telinga memiliki batasan nilai atau derajat demam yang
berbeda-beda (Nurdiansyah, 2011). Pengukuran suhu pada oral dan rektal
lebih menunjukkan suhu tubuh sebenarnya, namun hal ini tidak
direkomendasikan kecuali benar-benar dapat dipastikan keamanannya
khususnya pada anak-anak (Mansur, 2014).

Selama mengalami demam, metabolisme meningkat dan kebutuhan oksigen


bertambah. Metabolisme tubuh meningkat 10-12% untuk setiap derajat
kenaikan suhu. Metabolisme yang meningkat menyebabkan peningkatan
penggunaan energi dan akan memproduksi panas tambahan. Peningkatan
metabolisme akan menghabiskan cadangan energi tubuh, akibatnya anak akan
mengalami kelemahan umum. Peningkatan suhu tubuh juga akan
meningkatkan risiko kekurangan volume cairan akibat peningkatan IWL
(insensible water lose) melalui pernafasan dan pengeluaran keringat
(diaphoresis) seiring dengan peningkatan metabolisme tubuh. Kebutuhan
cairan yang tidak terpenuhi dapat menyebabkan kerusakan jaringan karena
adanya penurunan proses perfusi jaringan (Potter & Perry, 2010).

Suhu tubuh yang optimum sangat penting untuk kehidupan sel agar dapat
berfungsi secara efektif. Perubahan suhu tubuh yang ekstrem dapat
membahayakan bagi tubuh. Oleh karena itu, perawat harus berusaha untuk
dapat memelihara suhu tubuh klien agar tetap normal. Ada beberapa tindakan
yang dapat dilakukan untuk memelihara suhu tubuh di antaranya adalah
melalui terapi farmakologi dan non farmakologi. Terapi farmakologi berupa
obat-obatan medis atau antipiretik, dan terapi non farmakologi salah satunya
yaitu melalui kompres. Beberapa tindakan kompres yang dapat dilakukan
untuk menurunkan suhu tubuh anatara lain kompres hangat basah, kompres
hangat kering, kompres dingin basah, kompres dingin basah, kompres dingin
(Asmadi, 2008).

Kompres adalah metode pemeliharaan suhu tubuh dengan menggunakan


cairan atau alat yang dapat menimbulkan hangat atau dingin pada bagian
tubuh yang memerlukan. Jenis kompres ada dua, yaitu kompres hangat dan
kompres dingin. Tindakan ini bermanfaat untuk melebarkan pembuluh darah
dan mempercepat pertukaran panas antara tubuh dengan lingkungan, serta
menurunkan suhu tubuh pada bagian perifer. Intervensi pemberian kompres
hangat dalam menangani demam dapat dilakukan pada beberapa area
permukaan tubuh yaitu di daerah temporal/frontal (dahi), axilla (ketiak),
servikal (leher) dan femoral (lipatan paha) (Rahmawati & Ikeu, 2013).

Tindakan kompres hangat efektif dalam menurunkan demam. Namun,


efektivitas kompres hangat juga dipengaruhi dari teknik letak pemberiannya
di mana terdapat perbedaan yang signifikan, kompres hangat di daerah axilla
lebih efektif menurunkan suhu tubuh pada anak daripada di dahi/frontral
(Rahmawati & Ikeu, 2013). Pengompresan di dahi lebih dimaksud untuk
mengurangi stress dari pada menurunkan demam anak. Sedangkan kompres
hangat yang dilakukan pada daerah axilla lebih efektif karena pada daerah
axilla banyak terdapat pembuluh darah besar dan kelenjar keringat apokrin
(Corwin, 2009). Selain di daerah axilla, servikal (leher), dan femoral (lipatan
paha) juga merupakan daerah yang mempunyai vaskular yang banyak (Febry
& Zufito, 2010). Pemberian kompres hangat pada daerah yang mempunyai
vaskular yang banyak maka akan memperluas daerah vasodilatasi,
selanjutnya vasodilatasi yang kuat pada kulit akan memungkinkan percepatan
perpindahan panas dari tubuh ke kulit, hingga delapan kali lipat lebih banyak
(Rahmawati & Ikeu, 2013).

Tindakan kompres hangat merupakan salah satu tindakan mandiri dari


perawat, tetapi sering diabaikan bahkan sering dibebankan pada keluarga
pasien. Untuk dapat mengangkat intervensi ini ke permukaan maka perlu
adanya upaya untuk membuktikan efektifitas dari tindakan ini dalam
menurunkan demam khususnya pada pasien anak penderita demam tifoid
(Mohamad, 2013).

Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti tertarik untuk membuktikan secara


teliti tentang pemberian kompres air hangat pada daerah axilla (ketiak) dan
daerah femoral (lipatan paha) terhadap penurunan suhu tubuh pada anak umur
1–14 tahun yang demam tifoid di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan dalam latar belakang di atas,
maka rumusan masalah penelitian ini adalah “bagaimana efektivitas antara
pemberian kompres air hangat pada daerah axilla (ketiak) dan daerah femoral
(lipatan paha) terhadap penurunan suhu tubuh pada anak umur 1–14 tahun
yang demam tifoid di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin?”.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui efektivitas antara pemberian kompres air hangat
pada daerah axilla (ketiak) dan daerah femoral (lipatan paha) terhadap
penurunan suhu tubuh pada anak umur 1–14 tahun yang demam tifoid
di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi suhu tubuh pada anak dengan demam tifoid
sebelum pemberian kompres hangat pada daerah axilla
(ketiak) pada kelompok anak I.
1.3.2.2 Mengidentifikasi suhu tubuh pada anak dengan demam tifoid
sesudah pemberian kompres hangat pada daerah axilla
(ketiak) pada kelompok anak I.
1.3.2.3 Mengidentifikasi suhu tubuh pada anak dengan demam tifoid
sebelum pemberian kompres hangat pada daerah femoral
(lipatan paha) pada kelompok anak II.
1.3.2.4 Mengidentifikasi suhu tubuh pada anak dengan demam tifoid
sesudah pemberian kompres hangat pada daerah femoral
(lipatan paha) pada kelompok anak II.
1.3.2.5 Menganalisa efektivitas antara pemberian kompres air hangat
pada daerah axilla (ketiak) dan daerah femoral (lipatan paha)
terhadap penurunan suhu tubuh pada anak umur 1–14 tahun
yang demam tifoid di RSUD DR. H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini sebagai pembuktian teori yang sudah ada, sehingga
dapat dijadikan pertimbangan secara rasional dalam pemilihan
tindakan keperawatan. Penelitian ini diharapkan memberikan
kontribusi terhadap pengembangan ilmu keperawatan serta merupakan
masukan informasi yang berguna bagi profesi perawat dalam
menyusun program pemberian asuhan keperawatan pada anak.
1.4.2 Manfaat Praktisi
1.4.2.1 Bagi Institusi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan rumah
sakit dalam melakukan tindakan keperawatan dalam
menurunkan suhu tubuh yang mengalami peningkatan.
1.4.2.2 Bagi Profesi Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi
profesi dalam mengembangkan perencanaan keperawatan
pada pasien demam tifoid.
1.4.2.3 Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan perbandingan
serta dapat dijadikan referensi bagi mahasiswa lain yang
ingin melakukan penelitian selanjutnya.
1.4.2.4 Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi peneliti selanjutnya sebagai bahan pembelajaran untuk
menambah wawasan ilmu pengetahuan kesehatan, khususnya
ilmu keperawatan.

1.5 Penelitian Terkait


Tabel 1.1 Penelitian Terkait
No Judul Penelitian Variabel Jenis Penelitian Hasil
dan Penulis
1 Efektivitas Variabel Desain penelitian Ada Efektivitas
Pemberian Kompres independen: Quasi Eksperimen Pemberian
Hangat Pada Daerah kompres hangat dengan rancangan Kompres
Frontal dan Aksila daerah frontal dan Control Group Hangat Pada
Terhadap Penurunan kompres air hangat Design (Pretest- Daerah Frontal
Suhu Tubuh Pada daerah aksila. Postest) dan Aksila
Anak Usia Sekolah Terhadap
yang Mengalami Variabel dependen: Penurunan Suhu
Demam Di Rumah penurunan suhu Tubuh Pada
Sakit Umum Muara tubuh . Anak Usia
Teweh Kabupaten Sekolah yang
Barito Utara (Fajar Mengalami
Ramadhan, 2013). Demam Di
Rumah Sakit
Umum Muara
Teweh
Kabupaten
Barito Utara

Teknik
pemberian
kompres hangat
pada daerah
aksila lebih
efektif terhadap
penurunan suhu
tubuh
dibandingkan
dengan teknik
pemberian
kompres hangat
pada frontal.

2 Efektivitas Variabel Desain Penelitian: Tidak ada


Pemberian Kompres independen: eksperimental perbedaan yang
Hangat Pada Axilla kompres hangat study dengan signifikan antara
dan Servikal (Leher) daerah Axilla dan rancangan pre pemberian
dalam Penurunan kompres air hangat test and post test kompres hangat
Demam Anak di Servikal (Leher). dua kelompok. di axilla dan di
RSU Kota servikal
Tangerang Selatan Variabel dependen: terhadap
(Gilang Dwi Pratiwi penurunan suhu penurunan
dan Nirmala Cahya tubuh . demam anak.
Ningrum, 2017).
Pemberian
kompres hangat
di axilla
maupun di
servikal dapat
dijadikan
intervensi dalam
menurunkan
suhu tubuh anak
yang mengalami
demam.

3 Perbedaan Variabel Desain penelitian Ada perbedaan


Penurunan Suhu independen: ini adalah quasi yang signifikan
Tubuh Anak kompres hangat eksperimen antara
Bronchopneumonia daerah Axilla dan dengan rancangan pemberian
yang diberikan kompres air hangat pretest and kompres hangat
Kompres Hangat di Frontal. posttest two di axilla dan di
Axilla dan Frontal group before after frontal terhadap
(Rahmawati, Sari Variabel dependen: design. penurunan suhu
Fatimah, dan Ikeu penurunan suhu tubuh pada anak
Nurhidayah, 2013). tubuh . demam.

Anda mungkin juga menyukai