Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. .LATAR BELAKANG

Pelayanan kesehatan maternal dan neonatal merupakan salah satu unsur penentu
status kesehatan. Pelayanan kesehatan neonatal dimulai sebelum bayi dilahirkan, melalui
pelayanan kesehatan yang diberikan kepada ibu hamil. Pertumbuhan dan perkembangan bayi
periode neonatal merupakan periode yang paling kritis karena dapat menyebabkan kesakitan
dan kematian bayi (Safrina, 2011).
Setiap tahun diperkirakan 4 juta bayi meninggal pada bulan pertama kehidupannya
dan dua pertiganya meninggal pada minggu pertama. Penyebab utama kematian pada minggu
pertama kehidupan adalah komplikasi kehamilan dan persalinan seperti asfiksia, sepsis dan
komplikasi berat bayi lahir rendah (BBLR). Kurang lebih 98% kematian ini terjadi di negara
berkembang dan sebagian besar kematian ini dapat dicegah dengan pencegahan dini dan
pengobatan yang tepat (Maryanti,2011).
Berdasarkan data World Health Organization (WHO), setiap tahunnya kira-kira 3%
(3,6 juta) dari 120 juta bayi baru lahir di dunia mengalami asfiksia, hampir satu juta bayi ini
meninggal. Survei WHO tahun 2002 dan 2004 menyebutkan bahwa sekitar 23% seluruh
kematian neonatal disebabkan oleh asfiksia dengan proporsi lahir mati yang lebih besar.
(Salim,2012)
Angka Kematian Bayi di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN
lainnya. Angka Kematian Neonatus (AKN), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka
Kematian Balita (AKABA) merupakan beberapa indikator status kesehatan masyarakat.
Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, AKB 34 per 1.000
kelahiran hidup, AKN 19 per 1.000 kelahiran hidup, AKABA 44 per 1.000 kelahiran hidup
(Fadila,2012).
Angka kematian bayi ini sebanyak 47% meninggal pada masa neonatal, setiap lima
menit terdapat satu neonatus yang meninggal. Adapun penyebab kematian bayi baru lahir di
Indonesia, salah satunya asfiksia yaitu sebesar 27% yang merupakan penyebab ke-2 kematian
bayi baru lahir setelah bayi berat lahir rendah (BBLR) (Salim,2012).

1
Faktor yang menyebabkan kejadian Asfiksia adalah faktor ibu yaitu usia ibu kurang
dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun (DepKes RI, 2009). Kehamilan pada usia yang terlalu
muda dan tua termasuk dalam kriteria kehamilan risiko tinggi dimana keduanya berperan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun janin (Widiprianita, 2010). Selain
itu bayi baru lahir yang asfiksi sangat rentan terpengaruh bila tidak ditangani dengan cepat
dan tepat. Pola pernafasan normal adalah teratur dengan waktu ekspirasi lebih panjang
daripada waktu inspirasi, karena pada inspirasi otot pernafasan bekerja aktif, sedangkan pada
waktu ekspirasi otot pernapasan bekerja secara pasif. Pada keadaan sakit dapat terjadi
beberapa kelainan pola pernapasan yang paling sering adalah takipneu. Ganguan pernafasan
pada bayi dan anak dapat disebabkan oleh berbagai kelainan organic, trauma, alargi, insfeksi
dan lain-lain. Gangguan dapat terjadi sejak bayi baru lahir.Dan salah satu dari bayi resiko
tinggi adalah bayi dengan sindroma gawat nafas (SGN/RDS). Respiratory Distress Syndrome
( RDS ) didapatkan sekitar 5 -10% pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-
1500 gram (lemons et al,2001). Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat
badan. (www.google.com)
Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi pada bayi yang
lahir dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu; 15-30% pada bayi antara 32-36 minggu
dan jarang sekali ditemukan pada bayi yang cukup bulan. Insiden pada bayi prematur kulit
putih lebih tinggi dari pada kulit hitam dan lebih sering terjadi pada bayi laki-laki dari pada
perempuan (nelson,1999). Selain itu kenaikan frekuensi juga sering terjadi pada bayi yang
lahir dari ibu yang menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan, misalnya ibu
menderita penyakit diabetes, hipertensi, hipotensi, seksio serta perdarahan antepartum.
(surasmi,dkk.2003)
Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bayi resiko
tinggi ( SGN ) dapat hidup dengan baik tanpa mengalami cacat. Hal ini terjadi jika ia dirawat
di ruang perawatan intensif neonatus, dengan tenaga perawat atau bidan yang memiliki
spesialisasi kealihan di bidang tersebut.
Dalam mengantisipasi tingkat kebutuhan masyarakat yang semakin bermutu terhadap
pelayanan kebidanan, perubahan-perubahan yang cepat dalam pemerintahan maupun dalam
masyarakat dan perkembangan IPTEK serta persaingan yang ketat di era global ini
diperlukan tenaga kesehatan khususnya tenaga bidan yang berkualitas baik tingkat
pengetahuan, keterampilan dan sikap profesionalisme (IBI,2007).

2
Pencapaian kemampuan bidan sesuai dengan Permenkes 572/1996 tidaklah mudah,
karena kewenangan yang diberikan oleh Departemen Kesehatan ini mengandung tuntutan
akan kemampuan bidan sebagai tenaga profesional dan mandiri. Pencapaian kemampuan
tersebut dapat diawali dari institusi pendidikan yang berpedoman kepada kompetensi inti
bidan dan melalui institusi pelayanan dengan meningkatkan kemampuan bidan sesuai dengan
kebutuhan (IBI,2007).
Dalam upaya pengadaan tenaga bidan yang profesional sesuai dengan kewenangan
yang tertuang dalam Kepmenkes No 900 tahun 2002, diperlukan fokus dan kompetensi
pendidikan yang diaplikasikan pada masa studi. Kompetensi yang diharapkan dikuasai oleh
mahasiswa adalah mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada kasus fisiologis secara
komprehensif dan mampu melaksanakan asuhan kebidanan patologi dan kegawatdaruratan
(Sujianti,2010), salah satunya adalah asuhan kebidanan neonatus pada pada bayi asfiksia
dana tau dengan syndrome gangguan napas.

I.2. TUJUAN

I.2.1. Tujuan Umum

Setelah membaca makalah ini mahasiswa dapat memahami apa yang dimaksud

dengan Asfiksia dan hal-hal yang menyangkut asuhan kebidanannya.

I.2.2. Tujuan Khusus

Setelah membaca makalah ini mahasiswa dapat :

 Mengetahui definisi Asfiksia

 Mengetahui Patofisiologi Asfiksia

 Mengetahui etiologi Asfiksia

 Mengetahui manifestasi klinis Asfiksia

 Mengetahui Pengkajian klinis dan diagnosis Asfiksia

 Mengetahui tentang penatalaksanaan Asfiksia

3
I.3. RUMUSAN MASALAH

1. Apa Pengertian Asfiksia ?


2. Bagaimana Patofisiologi Asfiksia ?
3. Bagaimana Etiologi Asfiksia ?
4. Bagaimana Manifestasi Klinik Asfiksia ?
5. Bagaimana Pengkajian Klinis Asfiksia ?
6. Apa Diagnosis Asfiksia ?
7. Bagaimana Penatalaksanaan ?

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Asfiksia

Beberapa definisi asfiksia yakni :


a. Asfiksia pada bayi baru lahir adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak
bernapas secara spontan dan teratur. Bayi yang mengalami gawat janin
sebelumnya sering akan mengalami asfiksia sesudah persalinan. (Maryunani,
2014)

b. Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara
spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya
akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya
dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang
mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan (Asuhan
Persalinan Normal, 2007).

c. Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas
secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin
dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul
dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat
asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara
sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut
yang mungkin timbul. (Wiknjosastro,1999) .

II.2 Patofisiologi Asfiksia

Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan
untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru
janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah.
Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi

5
pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang bertekanan
lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta.
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber
utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru,
dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan
oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli.
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada
sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan udara
dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami
relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang.
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan
sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus
arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena
pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian jantung
kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan
keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi pembuluh
darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru mengalami
relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang sebelumnya melalui
duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan mengambil banyak oksigen
untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh.
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan
paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas yang
dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan paru
merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk
adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru
menjadi kemerahan.
Bila terdapat gangguaan pertukaran gas/pengangkutan O2 selama kehamilan
persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi
fugsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian. Kerusakan dan
gangguan fungsi ini dapat reversibel/tidak tergantung kepada berat dan lamanya
asfiksia. Asfiksia yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnu (Primany apnea)

6
disertai dengan penurunan frekuensi jantung selanjutnya bayi akan memperlihatkan
usaha bernafas (gasping) yang kemudian diikuti oleh pernafasan teratur. Pada
penderita asfiksia berat, usaha bernafas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya berada
dalam periode apnu kedua (Secondary apnea). Pada tingkat ini ditemukan bradikardi
dan penurunan tekanan darah.
Disamping adanya perubahan klinis, akan terjadi pula G3 metabolisme dan
pemeriksaan keseimbangan asam basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama dan
pertukaran gas mungkin hanya menimbulkan asidoris respiratorik, bila G3 berlanjut
dalam tubuh bayi akan terjadi metabolisme anaerobik yang berupa glikolisis
glikogen tubuh , sehingga glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan
berkuang.asam organik terjadi akibat metabolisme ini akan menyebabkan
tumbuhnya asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan
kardiovaskuler yang disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya hilangnya
sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung terjadinya
asidosis metabolik akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot
jantung sehinga menimbulkan kelemahan jantung dan pengisian udara alveolus yang
kurang adekuat akan menyebabkan akan tingginya resistensinya pembuluh darah
paru sehingga sirkulasi darah ke paru dan kesistem tubuh lain akan mengalami
gangguan. Asidosis dan gangguan kardiovaskuler yang terjadi dalam tubuh berakibat
buruk terhadap sel otak. Kerusakan sel otak yang terjadi menimbuikan kematian atau
gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya.

II.3 Etiologi / Penyebab Asfiksia

Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia


pada bayi baru lahir, diantaranya adalah menurut Waspodo dkk(ed) (2007) :
a) Faktor ibu

- Preeklampsia dan eklampsia


- Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
- Partus lama atau partus macet. Insiden bith asfiksia di Warri adalah
28/1000. Sebagian besar pasien berasal dari persalinan lama dan
pengiriman di pusat-pusat yang belum diakui (ugwu,meggy dkk 2012 )

7
- Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
- Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
- Anemia
- Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)
- Prematuritas
- Ketuban pecah dini yang membawa infeksi

b) Faktor Tali Pusat

- Lilitan tali pusat


- Tali pusat pendek
- Simpul tali pusat
- Prolapsus tali pusat.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Putri Ramdani, dkk 2013Berdasarkan
hasil analisa data, bahwa BBL yang mempunyai kadar pH darah funiculus umbilicalis
<7 dan >7 cenderung mengalami asfiksia, pH 7 merupakan keadaan netral, diatas 7
menjadi peningkatan alkalinitas sedangkan dibawah 7 dan peningkatan keasaman
(asiditas) pH adalah ukuran keseimbangan asam basa dalam darah. Kondisi
patofisiologi yang menyebabkan asfiksia meliputi kurangnya oksigenasi sel, retensi
karbon dioksida berlebihan, dan asidosis metabolik. Kombinasi ketiga peristiwa itu
menyebabkan kerusakan sel dan lingkungan biokimia yang tidak cocok dengan
kehidupan
c) Faktor Bayi

· Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)


· Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu,
ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)
· Kelainan bawaan (kongenital)
d) Persalinan dan kehamilan

1) Anoreksia akibat kontraksi uterus yang terlampau kuat dan berlangsung


terlampau lama.
2) Narkosis akibat pemberian analgesik dan anestesi yang berlebihan.
3) Hipotensi maternal akibat anastesi spinal.

8
4) Obstruksi saluran nafas akibat aspirasi darah, lendir.
5) Partus lama
6) Kelahiran yang sukar (dengan atau tanpa forcep) sehingga
menyebabkan perdarahan cerebral atau kerusakan pada sistem saraf
pusat.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Siti Mulidah tahun 2006 terdapat
hubungan yang sangat bermakna antara jenis persalinan dengan kejadian
asfiksia.Seksio sesarea dengan presentase terbesar dikarenakan kebanyakan dilakukan
apabila ibu maupun janin dalam keadaan darurat misalnya gawat janin, eklamsia,
preeklamsia, kelainan letak janin, panggul sempit, oligohidramnion, ketuban pecah
dini, dan partus lama

II.4 Manifestasi Klinis

Asfiksia biasanya merupakan akibat dari hipoksi janin yang menimbulkan tanda:

1) DJJ lebih dari 1OOx/mnt/kurang dari lOOx/menit tidak teratur

2) Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala

3) Apnea

4) Pucat '

5) sianosis

6) penurunan terhadap stimulus.

II.5 Pengkajian Klinis

– Foto Polos dada


– Laboratorium : Darah rutin, analisa gas darah 6
o Pada pemeriksaan analisa gas darah, menunjukkan hasil :
 Pa O2 < 50 mm H2O
 PaCO2> 55 mm H2O
 pH < 7,30 ( Maryunani, 2014)

9
II.6 Diagnosis

II.6.1 Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan gangguan/ kesulitan bernapas waktu lahir
dan lahir tidak bernafas/menangis. Pada anamnesis juga diarahkan untuk
mencari faktor resiko.
II.6.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, skor apgar dipakai untuk menentukan derajat
berat ringannya asfiksia

Berdasarkan penilaian apgar dapat diketahui derajat vitalitas bayi adalah


kemampuan sejumlah fungsi tubuh yang bersifat esensial dan kompleks untuk
kelangsungan hidup bayi seperti pernafasan, denyut jantung, sirkulasi darah
dan refleks-refleks primitif seperti mengisap dan mencari puting susu, salah
satu cara menetapkan vitalitas bayi yaitu dengan nilai apgar. (IDAI, 1998)
1. Skor apgar 7-10 ( Vigorous Baby). Dalam hal ini bayi di anggap
sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa.
2. Skor apgar 4-6 (Mild-moderate asphyxia)- Asfiksia sedang.
Pada pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit,
tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.
3. Asfiksia berat. Skor apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisis akan
terlihat frekuensi jantung kurang dari 100/menit, tonus otot buruk, sianosis
berat, dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada. Sedangkan
Asfiksia berat dengan henti jantung. Dimaksudkan dengan henti jantung

10
ialah keadaan (1) bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit
sebelum lahir lengkap, (2) bunyi jantung bayi menghilang post partum.
Dalam hal ini pemeriksaan fisis lainnya sesuai dengan yang ditemukan pada
penderita asfiksia berat.

Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila
nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit
sampai skor menjadi 7. Nilai apgar berguna untuk menilai keberhasilan
resusitasi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai
resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak
menangis.

II.7 Penatalaksanaan

Menurut Maryunani, 2014 tindakan untuk mengatasi masalah kegawatan


pernafasan meliputi :
1) Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekwat.
2) Mempertahankan keseimbangan asam basa.
3) Mempertahankan suhu lingkungan netral.
4) Mempertahankan perfusi jaringan adekwat.
5) Mencegah hipotermia.
6) Mempertahankan cairan dan elektrolit adekwat.
Penatalaksanaan secara umum :
 Persiapkan Peralatan resusitasi dan penyokongnya
 Tenaga medis yang terlatih
 Lakukan ABC (airway, breathing, circulation). Membersihkan saluran napas,
memastikan pernapasan yang memadai dan sirkulasi adalah baris pertama
manajemen. Seorang bayi dalam stres pernapasan jelas perlu pada pemantauan
pulse oksimeter berkesinambungan untuk memutuskan kapan intubasi dan
ventilasi diperlukan.
 Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling seringdan
bila bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %

- Pantau selalu tanda vital


- Jaga patensi jalan nafas
- Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)

11
b. Jika bayi mengalami apneu
- Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
- Lakukan penilaian lanjut
c. Bila terjadi kejang potong kejang
d. Segera periksa kadar gula darah
e. Pemberian nutrisi adekuat
 Hindari penggunan oksigen yang tidak diperlukan. Diberikan dengan head box,
sebaiknya dengan pemantauan meter FiO2 dan oksimeter pulse untuk menentukan
jumlah oksigen diperlukan. Soft cannulae hidung juga dapat digunakan untuk berikan
oksigen. Oksigen harus diberikan dalam dosis yang tepat, dan hindari pemakaian
yang tidak diperlukan karena merupakan racun bagi prematur neonatus.

 Pemeliharaan suhu yang tepat sangat penting. HMD dan PPHN yang diperburuk oleh
hipotermia.
 manajemen Cairan dan elektrolit: Elektrolit keseimbangan, cairan, kalsium dan
glukosa homeostasis yang semua sama pentingnya. Cairan biasanya dimulai pada
60ml/kg/day Dextrose 10% atau tiga empat pemeliharaan harian mana yang lebih
baik.
 Pemeliharaan hemoglobin yang memadai: Setiap neonatus dengan gangguan
pernapasan harus memiliki sel dikemas volume (Packed Cell Volume) di atas 40%
(tetapi kurang dari 75%).
 HARUS gunakan antibiotik hingga sepsis dieklusi.terutama pada bayi prematur.
Dimulai dari spektrum luas.

Bantuan pernafasan
Bila O2 dg head box tidak berhasil, harus segera berikan bantuan Napas diberikan dalam
bentuk CPAP (continuous positive airway pressure) atau intermittent mandatory
ventilation (IMV). CPAP : bantuan pernapasan dengan cara meningkatkan tekanan
pulmoner secara artifisial pada saat fase ekspirasi pada bayi
yang bernapas secara spontan . Intermittent Positive Pressure Ventilation (IPPV) atau

12
Intermittent Mandatory Pressure Ventilation (IMV) : pernapasan bayi diambil alih
sepenuh nya oleh mesin ventilator mekanik dan meningkatkan tekanan pulmoner baik
pada fase inspirasi maupun ekspirasi.

CPAP sebaiknya dimulai lebih awal pada bayi dengan HMD. Indikasi memulai CPAP
apabila score downes >6 saat lahir atau kebutuhan FiO2 >0,6 untuk menjaga saturasi
pada pulse oximeter. Gangguan nafas sedang atau berat dan apnu berulang. Skor 3 atau
lebih pada (arterial blood gas)ABG menunjukkan kebutuhan untuk CPAP(continuous
positive airway pressure ) atau ventilasi mekanis.

Bila bayi sering apnu : berarti CPAP gagal harus segera dilakukan intubasi dan
pemberian ventilasi.

Indikasi Ventilasi Tekanan positip


_ Skor Downes' >8
_ Episode apnu berat, gasping saat usaha napas
_ pH <7.25 dan PaCO2 >55-60 mmHg atau meningkat >5-10 mmHg/jam
_ Berat lahir <1500 gram, umur gestasi <31 minggu ( saat di kamar bersalin )
_ CPAP gagal : PaO2 <60 mmHg, FIO2=0.6, CPAP=6 cm H2O
_ pH <7.20 setelah terapi (asidosis metabolik/respiratorik)
_ Syok (PEEP of 2-3 cm H2O)8 ( Ismawati, 2010)

13
CPAP gagal maka harus segera diberikan bantuan napas dengan Ventilator
mekanik
_ 1. Retraksi sedang sampai berat
_ 2. Laju pernapasan > 70 /menit
_ 3. Sianosis dengan FiO2 > 0.4
_ 4. Serangan apnu berulang
_ 5. Syok atau ancaman syok
_ 6. PaO2 < 50 mm Hg dengan FiO2 > 1.0
_ 7. PaCO2 > 60
_ 8. PH < 7.25 14

Sedangkan Tindakan pencegahan yang harus dilakukan untuk mencegah


komplikasi pada bayi resiko tinggi adalah mencegah terjadinya kelahiran prematur,
mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis,
melaksanakan manajemen yang tepat terhadap kehamilan dan kelahiran bayi resiko
tinggi, dan pada penatalaksanaan kelahiran dengan usia kehamilan 32 minggu atau
kurang dianjurkan memberi dexametason atau betametason 48-72 jam sebelum
persalinan. Pemberian glukortikoid juga dianjurkan karana berfungsi meningkatkan
perkembangan paru janin.
Upaya terkoordinasi diperlukan untuk mengurangi beban kematian neonatal
terkait dengan BA spesifik-Cally di pengaturan sumber daya rendah. kematian janin
neonatal dan akhir terkait erat dengan kematian ibu, yang membutuhkan solusi umum.
Ada kebutuhan mendesak untuk mengembangkan strategi untuk identifikasi dan
pengelolaan asfiksia lahir dengan melibatkan semua jalur untuk kelangsungan hidup,
termasuk perempuan, keluarga, masyarakat, petugas kesehatan masyarakat, profesional
kesehatan dan pembuat kebijakan. Ada kebutuhan untuk mempertahankan cakupan
tinggi kelahiran terampil-tendants, promosi persiapan persalinan, perawatan baru lahir
penting termasuk kebersihan dan perawatan termal untuk lahir, tenaga kerja masyarakat
dilatih baru untuk pengakuan awal, arahan pada perawatan kesehatan primer dengan
dilengkapi dan dilatih tenaga kesehatan, (factor resiko terkait, 2014).

14
BAB III

PENUTUP

III. 1. KESIMPULAN

Asfiksia Neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas secara

spontan dan teratur segera setelah lahir, sehingga dapat menurunkan O2 dan mungkin

meningkatkan C02 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut.

Dari etiologinya,asfiksia neonatorum bisa berasal dari banyak factor,diantaranya:

1. Faktor ibu: hipoksia ibu,gangguan aliran darah uterus

2. Faktor plasenta: gangguan mendadak pada plasenta

3. Faktor fetus: kompresi umbilicus

4. Faktor neonates: depresi pusat pernapasan bayi baru lahir

Sedangkan berdasarkn klasifikasinya,asfiksia neonatorum dibagi:

1. Vigorous Baby

2. Mild Moderate asphyksia / asphyksia sedang

3. Asphyksia berat

Tindakan untuk mengatasi asfiksia neonatorum disebut resusitasi bayi baru lahir yang

bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan membatasi gejala sisa yang

mungkin muncul.

III. 2. SARAN

Setelah pembaca mengetahui apa pengertian dan etiologi dari asfiksia neonatorum,

diharapkan pembaca bisa mengantisipasi terhadap terjadinya asfiksia neonatorum dan dapat

melakukan pencegahan serta memahami tindakan pengobatan yang dapat dilakukan pada

bayi dengan asfiksia neonatorum.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Maryuani, Anik dkk. 2014. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal.

Jakarta : Trans Info Media

2. Prof. Dr. Hanifa Winkjosastro, SpOG. Ilmu Kebidanan Edisi Ke 3. Yayasan

Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo, Jakarta. 2007

3. Setiawan S.Kp Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana

Untuk Pendidikan Bidan. Penerbit Buku Kedokteran. Cetakan I. 1998. EGC.

4. Ismawati, Cahyo. 2010. BBLR. Yogyakarta : Nuha Medika

5. Buku Acuan Panduan ASUHAN PERSALINAN NORMAL&INISIASI

MENYUSUI DINI. Edisi 3 (Refisi) Jakarta : Jaringan Pelatihan Klinik, 2007

6. Ugwu, G.I Megil. 2012 Incidence of Birth Asphyxia as Seen in Central

Hospital and GN Children’s Clinic both in Warri Niger Delta of Nigeria: An

Eight Year Retrospective Review. Global Journal of Health Science; Vol. 4,

No. 5;

7. Tabassum, Farhana. 2014. Risk Factors Associated with Birth Asphyxiain

Rural District Matiari, Pakistan:A Case Control Study. International Journal of

Clinical Medicine, 2014, 5, 1430-1441

8. Ramdani, Putri Dkk. 2013. Hubungan Kadar PH Darah Funiculus Umbilicalis

Dengan Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir Di RSUD Cilacap. Jurnal Ilmiah

Kebidanan, Vol. 4 No. 1 Edisi Desember 2013, hlm. 137-144

9. Zainudin, Zulkarnaen Dkk. 2010. Hubungan Jenis Persalinan Dengan

Kejadian Asfiksia Neonatorum di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou manado.

16

Anda mungkin juga menyukai