Authorized
Diperiksa Niken Larasati, SE
Person
: 1. Bahwa sesuai dengan tugas pokok dan fungssi rumah sakit dituntut untuk
Menimbang Bahwa dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan terutama pasien
Tuberculosis dengan strategi DOTS memerlukan koordinasi disetiap lini
pelayanan.
2. Bahwa untuk melaksanakan hal tersebut diperlukan Kebijakan Pedoman
Penyelenggaraan Tuberculosis dengan Strategi DOTS
3. Bahwa untuk maksud di atas perlu ditetapkan dalam Keputusan Direktur
Rumah sakit Budi Mulya
Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit.
3. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/SK/V/ 2009 tentang
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.07.06/III/2371/ 09 tentang Ijin
Penyelenggaraan Rumah sakit
MEMUTUSKAN
Menetapkan : 1. Seluruh pelaksana pelayanan di tiap unit pelayanan rumah sakit
mempunyai kewajiban untuk menjaring pasien-pasien yang memiliki
gejala menderita TB (suspek pasien TB)
Pertama : 2. Penegakan diagnosis dan pengobatan pasien TB adalah mengacu pada
Standar WHO dan ISTC (International Standart of Tuberculosis Care)
Kedua : 3. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan
Ketiga : 4. Apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dan atau kesalahan dalam
penetapan ini, akan diadakan perubahan dan atau perbaikan sebagaimana
mestinya.
Ditetapkan di : Kesamben
Tanggal : Xxxxxx, Agustus
2018
Direktur,
Rumah Sakit Budi Mulyo
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada tahun 1990, hampir sepertiga penduduk dunia ter infeksi tuberkulosis dan diperkirakan ada
9 juta pasien tuberkulosis baru dan3 juta kematian akibat penyakit tuberkulosis. Sekitar 95%
kasus dan 98% kematian akibat tuberkulosis di dunia, terdapat di negara-negara berkembang.
Penyebab utama meningkatnya masalah tuberkulosis antara lain adalah:
1. Komitmen politik khususnya pendanaan yang tidak memadai
2. Organisasi pelayanan tuberkulosis yang belum memadai (kurangnya akses ke pelayanan,
obat tidak selalu terjamin ketersediaannya, keterbatasan jumlah pengawas menelan obat,
pencatatan dan pelaporan yang belum standar, dsb.)
3. Tatalaksana kasus yang belum memadai (penemuan kasus dan pengobatan yang tidak
standar)
4. Dampak pandemi HIV dan berkembangnya masalah MDR-TB
Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan tuberkulosis sebagai
kedaruratan dunia (global emergency). WHO dan IUATLD telah mengembangkan strategi
penanggulangan tuberkulosis yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment
Short-course) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang efektif (cost-efective).
Global Plan untuk tahun 2006-2015 WHO merekomendasikan 6 elemen kunci Strategi Stop
Tuberkulosis, yang terdiri dari :
1. Meningkatkan dan memperluas Ekspansi DOTS yang berkualitas
Komponen-komponen tambahan
a. Memperhatikan masalah.TB/HIV and MDR-TB
b. Berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan
c. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan
d. Memberdayakan pasien tuberkulosis dan masyarakat
e. Memberdayakan dan meningkatkan penelitian
Pada tahun 2005 International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) dikembangkan oleh semua
organisasi profesi international, dan standar tersebut juga didukung oleh organisasi profesi di
Indonesia untuk dilaksanakan. ISTC merupakan standar yang harus dipenuhi dalam menangani
pasien tuberkulosis, yang terdiri dari 6 standar untuk penegakkan diagnosis, 9 standar untuk
pengobatan dan 2 standar untuk fungsi tanggungjawab kesehatan masyarakat. (lihat lampiran)
C. BATASAN OPERASIONAL
1. TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium
tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ
tubuh lainnya.
2. Cara penularan
a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
b. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak.
c. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu
yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman.
d. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
e. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien
tersebut.
f. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi
percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebu
1) Risiko penularan
a) Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB
paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar
dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
b) Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu
tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang di antara 1000 penduduk
terinfeksi setiap tahun.
c) ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
d) Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.
e) Risiko menjadi sakit TB
2) Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
3) Dengan ARTI 1%, diperkirakan di antara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000
terinfeksi TB dan 10% di antaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun.
Sekitar 50 di antaranya adalah pasien TB BTA positif.
4) Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya
tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
D. LANDASAN HUKUM
1. Undang–Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495 );
2. Undang–Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
3. Undang-undang Nomor Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437)
4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1277/Menkes/SK/XI/ 2001 tentang Susunan
Organisasi dan Tatakerja Depkes RI;
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 565/Menkes/Per/III/ 2011 tentang Strategi Nasional
Pengendalian Tuberkulosis tahun 2011-2014;
6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman
Penanggulangan Tuberkulosis (TB).
BAB II STANDAR KETENAGAAN
1. Bersertifikat
pelatihan TB DOTS
4 Farmasi
2. Minimal berijazah
D3 farmasi
1. Bersertifikat
pelatihan TB DOTS
5 Analis Laboratorium
2. Minimal berijasah
analis
6 Administrasi
B. DISTRIBUSI KETENAGA AN
STANDAR FASILITAS
STANDAR SARANA RUANGAN POLI TB-DOTS
a. Suspek tuberkulosis atau pasien tuberkulosis dapat datang ke Poli Umum, IGD atau
langsung ke poli spesialis (Penyakit Dalam. Paru)
b. Suspek tuberkulosis dikirim untuk dilakukan pemeriksaan penunjang (Laboratorium
Mikrobiologi, PK, PA dan Radiologi).
c. Hasil pemeriksaan penunjang dikirim ke Dokter yang bersangkutan. diagnosis dan
klasifikasi dilakukan oleh dokter poliklinik masing-masing atau Unit DOTS.
d. Setelah diagnosis tuberkulosis ditegakkan pasien dikirim ke Unit DOTS untuk registrasi
(bila pasien meneruskan pengobatan di rumah sakit tersebut), penentuan PMO,
penyuluhan dan pengambilan obat, pengisian Kartu Pengobatan Tuberkulosis (TB-01).
Bila pasien tidak menggunakan obat paket, pencatatan dan pelaporan dilakukan di
Poliklinik masing-masing dan kemudian dilaporkan ke Unit DOTS.
e. Bila ada pasien tuberkulosis yang dirawat dibangsal, petugas bangsal menghubungi unit
DOTS untuk registrasi pasien(bila pasien meneruskan pengobatan di rumah sakit
tersebut). Paket OAT dapat diambil di Unit DOTS.
f. Pasien tuberkulosis yang dirawat inap, saat akan keluar dari RS harus melalui Unit DOTS
untuk konseling dan penanganan lebih lanjut dalam pengobatannya
g. Rujukan (pindah) dari/ ke UPH lain, berkoordinasi dengan unit DOTS (lihat gambar alur
rujukan)
2. JEJARING EKSTERNAL
Jejaring eksternal adalah jejaring yang dibangun antara Dinas Kesehatan, RS, puskesmas dan
unit pelayanan TB lainnya dalam penanggulangan tuberkulosis dengan strategi DOTS.
a. Tujuan jejaring eksternal :
1. Semua pasien tuberkulosis mendapatkan akses pelayanan DOTS yang berkualitas,
mulai dari diagnosis, follow up sampai akhir pengobatan
2. Menjamin kelangsungan dan keteraturan pengobatan pasien sehingga mengurangi
jumlah pasien yang putus berobat .
b. Dinas Kesehatan berfungsi :
1) Koordinasi antara rumah sakit dan UPK lain
2) Menyusun protap jejaring penanganan pasien tuberkulosis.
3) Koordinasi sistem surveilens
4) Menyusun perencanaan, memantau, melakukan supervisi dan mengevaluasi
penerapan strategi DOTS di rumah sakit.
5) Menyediakan tenaga/ petugas untuk mengumpulkan laporan
c. Tim TB-DOTS
Untuk melaksanakan fungsi tersebut di atas bila perlu dapat dibentuk Tim TB-DOTS.
Agar jejaring dapat berjalan baik diperlukan
1) Seorang koordinator jejaring DOTS rumah sakit di tingkat propinsi atau kabupaten
kota yang bekerja penuh waktu.
2) Peran aktif Wasor Propinsi/Kabupaten/kota
3) Mekanisme jejaring antar institusi yang jelas
4) Tersedianya alat bantu kelancaran proses rujukan antara lain berupa
o formulir rujukan
o daftar nama dan alamat lengkap pasien yang dirujuk
o daftar nama dan nomor telepon petugas
5) Dukungan & kerjasama antara UPK pengirim pasien tuberkulosis dengan UPK
penerima rujukan
6) Pertemuan koordinasi secara berkala minimal setiap 3 bulan antara Komite DOTS
dengan UPK yang dikoordinasi oleh Dinkes Kabupaten/kota setempat dengan
melibatkan semua pihak lain yang terkait.
d. Tugas Koordinator Jejaring DOTS Rumah Sakit
1) Memastikan mekanisme jejaring seperti yang tersebut diatas berjalan dengan baik.
2) Memfasilitasi rujukan antar UPK dan antar prop/kab/kota
3) Memastikan pasien yang dirujuk melanjutkan pengobatan ke UPK yang dituju dan
menyelesaikan pengobatannya.
4) Memastikan setiap pasien mangkir dilacak dan ditindak lanjuti
5) Supervisi pelaksanaan kegiatan di Unit DOTS
6) Validasi data pasien di rumah sakit
7) Monitoring dan evaluasi kemajuan ekspansi Hospital DOTS
Pilihan 1 :Rumah sakit menjaring suspek tuberkulosis, menentukan diagnosa dan klasifikasi
pasien serta melakukan pengobatan, kemudin merjukan ke puskesmas/UPK lain untuk
melanjutkan pengobatan tetapi pasien kembali ke rumah sakit untuk konsultasi keadaan klinis/
periksa ulang
Pilihan 2 : Rumah sakit menjaring suspek tuberkulosis dan menentukan diagnosis dan klasifikasi
pasien , kemudian merujuk ke puskesmas
Pilihan 3 : Rumah sakit menjaring suspek tuberkulosis dan menentukan diagnosis dan klasifikasi
pasien serta memulai pengobatan , kemudian merujuk ke puskesmas
Pilihan 4 : Rumah sakit melakukan seluruh kegiatan pelayanan DOTS
BAB V LOGISTIK
A. PENGERTIAN
1. KESELAMATAN PASIEN (PATIENT SAFETY)
adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman.
Sistem tersebut meliputi:
a. Asesmen risiko
b. Identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien
c. Pelaporan dan analisis insiden
d. Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya
e. Implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko
Sistem ini mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh:
a. Kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan
b. Tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
B. TUJUAN
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit
2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat
3. Menurunkan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) di rumah sakit
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan Kejadian
Tidak Diharapkan (KTD)
C. STANDAR KESELA MATAN PASIEN
1. Hak pasien
2. Mendidik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselamatan pasien
5. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
6. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
D. TATA LAKSANA SASARAN KESELAMATAN PASIEN
1. Memberikan pertolongan pertama sesuai dengan kondisi yang terjadi pada pasien
2. Melaporkan pada dokter jaga IGD
3. Memberikan tindakan sesuai dengan instruksi dokter jaga
4. Mengobservasi keadaan umum pasien
E. TATA LAKSANA PENANGA NAN KEJADIAN KESEL AMATAN PASIEN
1. KETEPATAN IDENTIFIKASI PASIEN
Kegiatan untuk melakukan verifikasi atas kebenaran atau kesesuaian sosok orang yang akan
mendapatkan pelayanan kesehatan diagnosis dan/atau pengobatan dengan identitas orang
tersebut sebagaimana tercantum dalam file rekam medis pasien atau dokumen lain yang
berkaitan dengan sosok orang tersebut.
Kegiatan identifikasi pasien dilakukan sebelum melakukan pemberian obat-obatan, prosedur
pemeriksaan penunjang medis radiologi (rontgen, MRI, CT-Scan), Laboratorium, endoskopi,
treadmill, EEG ; pengambilan sampel (misalnya darah, tinja, urin, dan sebagainya) ;
intervensi pembedahan dan prosedur invasif lainnya ; transfusi darah ; transfer pasien ;
konfirmasi kematian.
Para staf IGD harus mengkonfirmasi identifikasi pasien dengan benar dengan menanyakan
nama dan tanggal lahir/ umur pasien, kemudian membandingkannya dengan yang
tercantum di rekam medis dan gelang pengenal. Jangan menyebutkan nama, tanggal lahir,
dan alamat pasien dan meminta pasien untuk mengkonfirmasi dengan jawaban ya / tidak.
Identifikasi pasien yang dalam keadaan tidak sadar dapat dilakukan melalui keluarga dan
atau pengantar yang mengetahui identitas pasien. Apabila pasien datang dalam keadaan
tidak sadar dan tidak ada keluarga dan atau pengantar yang mengetahui identitas pasien,
maka pasien sementara akan diidentifikasi sebagai Mr. X atau Ms. X, sampai identitas yang
sesungguhnya diketahui lebih lanjut.
2. PENINGKATAN KOMUNIKASI YANG EFEKTIF
Komunikasi efektif adalah tepat waktu, akurat, jelas, dan mudah dipahami oleh penerima,
sehingga dapat mengurangi tingkat kesalahan (kesalahpahaman).
Prosesnya adalah pemberi pesan secara lisan memberikan pesan, setelah itu dituliskan
secara lengkap isi pesan tersebut oleh si penerima pesan ; isi pesan dibacakan kembali (read
back) secara lengkap oleh penerima pesan ; dan penerima pesan mengkonfirmasi isi pesan
kepada pemberi pesan.
Komunikasi dilakukan sedemikian sehingga isi pesan yang hendak disampaikan benar-benar
diterima oleh penerima sesuai dengan maksud pemberi pesan. Komunikasi per lisan dengan
menggunakan telepon dilaksanakan sedemikian sehingga sebelum pembicaraan diakhiri,
penerima informasi/ instruksi mengulang kembali informasi/ instruksi yang diberikan dan
pemberi informasi/ instruksi mengecek kebenaran informasi/ instruksi yang diberikan. (lihat
SPO Konsultasi dengan Dokter per Telepon). Informasi/ instruksi lisan yang telah diterima
segera dicatat pada status rekam medis pasien, untuk selanjutnya pada kesempatan
pertama dimintakan tanda tangan dari pemberi instruksi.
3. PENINGKATAN KEAMANAN OBAT YANG PERLU DIWASPADAI (HIGH ALERT MEDICATION)
Sasaran high alert medication ditujukan pada identifikasi, pengelolaan, pelaporan serta
dokumentasi obat–obat yang mempunyai risiko tinggi menyebabkan cidera pada pasien bila
digunakan secara salah. Obat–obat yang perlu diwaspadai (High Alert Medications) adalah
obat–obat yang mempunyai risiko tinggi menyebabkan cidera pada pasien bila digunakan
secara salah yang daftarnya diperoleh dari hasil inventarisasi unit pelayanan. Obat-obatan
yang perlu diwaspadai diberi label khusus dengan menggunakan stiker berwarna (lihat SPO
Pemberian Label Obat yang Perlu Diwaspadai).
LASA (nama obat, rupa dan ucapan mirip) adalah obat–obat yang memiliki nama, rupa dan
ucapan mirip yang perlu diwaspadai khusus agar tidak terjadi kesalahan pengobatan
(dispensing error) yang bisa menimbulkan cidera pada pasien. Pemberian obat-obatan
tersebut diberikan kepada pasien dengan melakukan pengecakan ulang atas obat dan pasien
yang akan diberi.
Contoh rupa mirip: Dextrose 40% dan Magnesium Sulfat, Oxytocin dan Lidocaine. Contoh
ucapan mirip: Phenobarbital dan Phentobarbital.
4. KEPASTIAN TEPAT-LOKASI, TEPAT-PROSEDUR DAN TEPAT-PASIEN OPERASI
Tindakan Pembedahan yang dilakukan oleh dokter IGD harus menjamin ketepatan pada pasien
dan pada Lokasi yang tepat, dan menggunakan metode yang sesuai untuk mencegah komplikasi
anestesi dan melindungi pasien dari rasa nyeri. Dokter IGD mengidentifikasi dan mengantisipasi
secara efektif ancaman hilangnya fungsi pernapasan, risiko kehilangan darah, menghindari
penggunaan obat yang dapat menimbulkan reaksi alergi atau reaksi obat yang tidak
dikehendaki pada pasien yang diketahui berisiko, secara konsisten menggunakan metode
pencegahan terjadinya infeksi luka operasi, mencegah tertinggalnya instrumen bedah dan/atau
kasa pada luka/tempat operasi, mengidentifikasi secara akurat dan mengamankan spesimen
bedah, dan melakukan komunikasi dan konsultasi atas informasi penting atas jalannya tindakan
pembedahan yang aman. Formulir Persetujuan Tindakan Medis (informed consent) harus
sudah ditandatangani oleh yang berkepentingan, segera setelah penjelasan/ informasi yang
diperlukan disampaikan kepada pasien dan/ atau keluarganya (lihat SPO Persetujuan
Tindakan Medis).
5. PENGURANGAN RISIKO INFEKSI TERKAIT PELAYANAN KESEHATAN
Semua bahan/material yang terkontaminasi darah dan komponen cairan tubuh pasien harus
dianggap berpotensi terhadap penularan infeksi, oleh karena itu perlu dilakukan
penggunaan alat pelindung diri (APD) dan dilakukan prosedur dekontaminasi terlebih dahulu
(lihat SPO Penggunaan APD dan SPO Dekontaminasi)
Semua peralatan medis yang akan dipergunakan untuk melakukan prosedur invasif terhadap
pasien harus terjamin sterilitasnya (lihat SPO Sterilisasi Alat)
Semua tenaga medis/ keperawatan/ paramedis lain harus melakukan cuci tangan sebelum
dan setelah melakukan tindakan terhadap pasien (lihat SPO Cuci Tangan). Pasien perlu diberi
informasi mengenai maksud dan tujuan tindakan cuci tangan serta setiap prosedur septik
dan antiseptik yang dilakukan terhadapnya
Mencuci tangan adalah prosedur tindakan membersihkan tangan dengan menggunakan
sabun/ anti septic di bawah air bersih yang mengalir atau cairan lainnya. Lima momen cuci
tangan, meliputi: sebelum kontak dengan pasien; sebelum tindakan aseptik ; setelah kontak
pasien ; setelah kontak cairan tubuh pasien ; setelah kontak lingkungan.
c. Insiden yang dilaporkan adalah kejadian yang sudah terjadi, potensial terjadi ataupun
yang nyaris terjadi.
1). Siapa yang membuat Laporan Insiden?
a). Siapa saja atau semua staf RS yang menemukan kejadian
b). Siapa saja atau semua staf yang terlibat dalam kejadian.
2). Masalah yang dihadapi dalam Laporan Insiden
a). Laporan dipersepsikan sebagai “pekerjaan perawat”
b). Laporan sering disembunyikan, karena takut disalahkan.
c). Laporan sering terlambat
d). Bentuk laporan miskin data karena adanya budaya blame culture.
3). Bagaimana cara membuat Laporan Insiden?
a). Karyawan diberikan pelatihan mengenai sistem pelaporan insiden mulai dari
maksud, tujuan dan manfaat laporan, alur pelaporan, bagaimana cara mengisi
formulir laporan insiden, kapan harus melaporkan, pengertian-pengertian yang
digunakan dalam sistem pelaporan dan cara menganalisis laporan.
BAB VII KESELAMATAN KERJA
Upaya untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para karyawan
rumah sakit dilakukan dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian
bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi.
B. PROMOSI KESEHATAN
1. Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja bagi SDM Rumah Sakit:
a. Pemeriksaan fisik lengkap
b. Kesegaran jasmani;
c. Rontgen paru-paru (bilamana mungkin);
d. Laboratorium rutin;
e. Pemeriksaan lain yang dianggap perlu;
f. Pemeriksaan yang sesuai kebutuhan guna mencegah bahaya yang
diperkirakan timbul, khususnya untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu.
g. Jika 3 (tiga) bulan sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh
dokter (pemeriksaan berkala), tidak ada keragu-raguan maka tidak perlu
dilakukan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja.
2. Melakukan pemeriksaan kesehatan berkala bagi SDM Rumah Sakit
a. Pemeriksaan berkala meliputi pemeriksaan fisik lengkap, kesegaran
jasmani, rontgen paru-paru (bilamana mungkin) dan laboratorium rutin, serta
pemeriksaanpemeriksaan lain yang dianggap perlu;
b. Pemeriksaan kesehatan berkala bagi SDM Rumah Sakit sekurang-kurangnya 1
tahun.
c. Melakukan pemeriksaan kesehatan khusus pada :
1) SDM Rumah Sakit yang telah mengalami kecelakaan atau penyakit
yang memerlukan perawatan yang lebih dari 2 (dua) minggu;
2) SDM Rumah Sakit yang berusia di atas 40 (empat puluh) tahun
atau SDM Rumah Sakit yang wanita dan SDM Rumah Sakit yang cacat serta
SDM Rumah Sakit yang berusia muda yang mana melakukan pekerjaan
tertentu;
3) SDM Rumah Sakit yang terdapat dugaan-dugaan tertentu mengenai
gangguan-gangguan kesehatan perlu dilakukan pemeriksaan khusus
sesuai dengan kebutuhan;
4) Pemeriksaan kesehatan kesehatan khusus diadakan pula apabila
terdapat keluhan-keluhan diantara SDM Rumah Sakit, atau atas
pengamatan dari Organisasi Pelaksana K3RS.
d. Melaksanakan pendidikan dan penyuluhan/pelatihan tentang kesehatan
kerja dan memberikan bantuan kepada SDM Rumah Sakit dalam penyesuaian
diri baik fisik maupun mental.
Yang diperlukan antara lain:
1) Informasi umum Rumah Sakit dan fasilitas atau sarana yang terkait dengan
K3;
2) Informasi tentang risiko dan bahaya khusus di tempat kerjanya;
3) SOP kerja, SOP peralatan, SOP penggunaan alat pelindung diri
dan kewajibannya;
4) Orientasi K3 di tempat kerja;
5) Melaksanakan pendidikan, pelatihan ataupun promosi/penyuluhan
kesehatan kerja secara berkala dan berkesinambungan sesuai
kebutuhan dalam rangka menciptakan budaya K3.
e. Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental (rohani) dan kemampuan fisik
SDM Rumah Sakit :
1) Pemberian makanan tambahan dengan gizi yang mencukupi untuk SDM
Rumah Sakit yang dinas malam, petugas radiologi, petugas lab, petugas
kesling dll;
2) Pemberian imunisasi bagi SDM Rumah Sakit;
3) Olah raga, senam kesehatan dan rekreasi;
4) Pembinaan mental/rohani.
A. INDIKATOR PROGRAM TB
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB digunakan beberapa indikator.
Indikator penanggulangan TB secara Nasional ada 2 yaitu:
1. Angka Penemuan Pasien Baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR) dan
2. Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR).
Selain itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional tersebut di atas,
yaitu:
1. Angka Penjaringan Suspek
2. porsi Pasien TB Paru BTA positif diantara Suspek yang diperiksa dahaknya
3. porsi Pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru
4. porsi pasien TB anak diantara seluruh pasien
5. angka Notifikasi Kasus (CNR)
6. Angka Konversi
7. Angka Kesembuhan
8. Angka Kesalahan Laboratorium
Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kemajuan (marker of
progress).
Indikator yang baik harus memenuhi syarat-syarat tertentu seperti:
1. Sahih (valid)
2. Sensitif dan Spesifik (sensitive and specific)
3. Dapat dipercaya (realiable)
4. Dapat diukur (measureable)
5. Dapat dicapai (achievable)
Jumlah suspek yang diperiksa bisa didapatkan dari buku daftar suspek (TB .06) sarana pelayanan
kesehatan yang tidak mempunyai wilayah cakupan penduduk, misalnya rumah sakit, BP4 atau
dokter praktek swasta, indikator ini tidak dapat dihitung.
Angka ini sekitar 5 - 15%. Bila angka ini terlalu kecil (< 5%) kemungkinan disebabkan:
1. Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi kriteria suspek, atau
Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu).
D. PROPORSI PASIEN TB PARU BTA POSITIF DIAN TARA SEMUA PASIEN TB PARU
TERCATAT/DIOBATI
Adalah prosentase pasien TB paru BTA positif diantara semua pasien TB paru tercatat. Indikator
ini menggambarkan prioritas penemuan pasien TB yang menular diantara seluruh pasien TB paru
yang diobati.
Rumus:
Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih rendah, itu berarti mutu
diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular
(pasien BTA Positif).
E. PROPORSI PASIEN TB A NAK DIANTARA SELURUH PASIEN TB
Adalah prosentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh pasien TB tercatat.
Rumus :
Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan dalam mendiagnosis TB
pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini terlalu besar dari 15%, kemungkinan terjadi
overdiagnosis.
F. ANGKA PENEMUAN KASUS (CASE DETECTION RATE = CDR)
Adalah prosentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati dibanding jumlah
pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Case Detection Rate
menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut.
Rumus:
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh berdasarkan perhitungan angka insidens
kasus TB paru BTA positif dikali dengan jumlah penduduk. Target Case Detection Rate Program
Penanggulangan TB Nasional minimal 70%.
G. ANGKA NOTIFIKASI KA SUS (CASE NOTIFICATION RATE = CNR)
Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan tercatat
diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini apabila dikumpulkan serial, akan
menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah tersebut.
Rumus :
Jumlah pasien TB (semua tipe) yg dilaporkan dlm TB.07 x 100.000
Jumlah penduduk
Angka ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya
penemuan pasien pada wilayah tersebut.
H. ANGKA KONVERSI ( CONVERSION RATE)
Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB paru BTA positif yang mengalami perubahan
menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif. Indikator ini berguna untuk
mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung
menelan obat dilakukan dengan benar.
Contoh perhitungan angka konversi untuk pasien baru TB paru BTA positif
Jumlah pasien baru TB paru BTA positif yg konversi x 100%
Jumlah pasien baru TB paru BTA positif yg diobati
Di sarana pelayanan kesehatan, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu
dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang mulai berobat dalam 3-6 bulan
sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang hasil pemeriksaan dahak negatif,
setelah pengobatan intensif (2 bulan). Di tingkat kabupaten, provinsi dan pusat, angka ini
dengan mudah dapat dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah
80%.
I. ANGKA KESEMBUHAN (CURE RATE)
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB paru BTA positif
yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien baru TB paru BTA positif yang
tercatat. Angka kesembuhan dihitung juga untuk pasien BTA positif pengobatan ulang dengan
tujuan:
1. Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat terjadi di
komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans kekebalan obat.
2. Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat baris kedua
(second-line drugs).
3. Menunjukan prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi pada pasien
dengan HIV.
Di sarana pelayanan kesehatan, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu
dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang mulai berobat dalam 9-12
bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang sembuh setelah selesai
pengobatan.
Di tingkat kabupaten, provinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari laporan TB.08. Angka
minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka kesembuhan digunakan untuk mengetahui hasil
pengobatan.
1. Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap perlu
diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap, meninggal, gagal,
default, dan pindah.
2. Angka default tidak boleh lebih dari 10%, karena akan menghasilkan proporsi kasus
retreatment yang tinggi dimasa yang akan datang yang disebabkan karena ketidak-
efektifan dari pengendalian TB.
3. Menurunnya angka default karena peningkatan kualitas penanggulangan TB akan
menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang antara 10-20 % dalam beberapa tahun.
Sedangkan angka gagal untuk pasien baru BTA positif tidak boleh lebih dari 4% untuk
daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh lebih besar dari 10% untuk
daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.
J. ANGKA KEBERHASILAN PENGOBATAN
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB paru BTA positif
yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara
pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan
penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap. Cara perhitungan untuk
pasien baru BTA positif dengan pengobatan kategori1.
Rumus :
Jumlah pasien baru TB BTA positif (sembuh + pengobatan lengkap) x 100%
Jumlah pasien baru TB BTA positif yg diobati
K. ANGKA KESALAHAN LABO RATORIUM
Pada saat ini Penanggulangan TB sedang dalam uji coba untuk penerapan uji silang pemeriksaan
dahak (cross check) dengan metode Lot Sampling Quality Assessment (LQAS) di beberapa
provinsi. Untuk masa yang akan datang akan diterapkan metode LQAS di seluruh sarana
pelayanan kesehatan.
1. METODE LQAS
Perhitungan angka kesalahan laboratorium metode ini digunakan oleh provinsi uji coba.
Untuk mengetahui klasifikasi kesalahan dapat dilihat pada tabel.
Klasifikasi kesalahan
Angka kesalahan baca sediaan (error rate) ini hanya bisa ditoleransi maksimal 5%.
Apabila error rate ≤ 5 % dan positif palsu serta negatif palsu keduanya ≤ 5% berarti mutu
pemeriksaan baik.
Error rate ini menjadi kurang berarti bila jumlah slide yang di uji silang (cross check) relatif
sedikit. Pada dasarnya error rate dihitung pada masing-masing laboratorium pemeriksa,
di tingkat kabupaten/ kota. Kabupaten/kota harus menganalisa berapa persen
laboratorium pemeriksa yang ada di wilayahnya melaksanakan cross check, di samping
menganalisa error rate per PRM/PPM/RS/BP4, supaya dapat mengetahui kualitas
pemeriksaan slide dahak secara mikroskopis langsung.
L. ANGKA KEBERHASILAN RUJUKAN
Angka keberhasilan rujukan adalah persentase pasien TB yang dirujuk dan sampai di sarana
pelayanan kesehatan rujukan diantara seluruh pasien TB yang dirujuk.
Angka ini dihitung untuk mengetahui keberhasilan rujukan.
Rumus:
M. ANGKA DEFAULT
Angka Default adalah persentase pasien TB yang default diantara seluruh pasien TB yang diobati
dalam kurun waktu tertentu.
Angka ini dihitung untuk mengetahui kepatuhan pengobatan pasien TB.
Rumus:
Demikian Pedoman Pelayanan Tim TB-DOTS ini disusun agar semua pihak yang terkait dalam
penyelenggaraan pelayanan TB-DOTS dapat melaksanakan semua ketentuan dan prosedur yang
diatur dalam Pedoman ini, sesuai dengan kebutuhan pelayanan medis kepada pasien. Apabila di
kemudian hari didapatkan kondisi yang tidak lagi dimungkinkan menggunakan ketentuan dalam
Pedoman ini, dapat dilakukan pembicaraan dengan semua pihak terkait untuk dilakukan perubahan
kebijakan dan sistem pelayanan TB-DOTS sesuai dengan kondisi tersebut.
Ditetapkan di : Blitar
Tanggal : Agustus 2018
Direktur,
Rumah Sakit BUDI MULYO,