Anda di halaman 1dari 14

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Pengkajian
1. Usia dan Jenis Kelamin
Menurut Smeltzer, S.C dan B.G bare (2002) dalam Mulyati (2014), faktor
risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II, diantaranya
adalah usia, pada usia di atas 65 tahun ke atas resistensi insulin cenderung
meningkat. Menurut PERKENI (2006) dalam Sari (2016) batasan umur yang
berisiko terhadap diabetes melitus tipe 2 di Indonesia adalah 45 tahun keatas.
Angka Kejadian Diabetes Melitus sebagian besar terjadi pada perempuan,
dibandingkan laki-laki, hal ini disebabkan karena pada perempuan memiliki
LDL atau kolesterol jahat tingkat trigliserida yang lebih tinggi dibandingkan
dengan laki-laki, dan juga terdapat perbedaan aktivitas dan gaya hidup sehari-
hari yang sangat mempengaruhi kejadian suatu penyakit (Jelantik dan Haryati,
2014).
Berdasarkan pengkajian didapatkan pasien merupakan seorang perempuan
dan berumur 42 tahun. Terdapat perbedaan teori dan kejadian dilapangan
bahwa pada usia 42 tahun seseorang dapat menderita penyakit Diabetes
Mellitus, hal tersebut dikarenakan faktor makanan yang tidak sehat, aktifitas
fisik yang kurang, kegemukan serta gaya hidup yang modern.
2. Keluhan Utama
Pada pasien Diabetes Mellitus biasanya pasien mengeluh, cemas, lemah,
anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen, nafas pasien mungkin berbau
aseton pernapasan kussmaul, poliuri, polidipsi, penglihatan yang kabur,
kelemahan dan sakit kepala (Mastika, 2010).
Berdasarkan pengkajian pasien mengeluhkan nyeri. Pasien mengatakan
nyeri di daerah luka di bokong, nyeri di rasakan menyebar ke pinggang dan
paha, nyeri seperti diremas –remas, dari 0-10 nyeri dirasakan 9 sangat nyeri,
nyeri di rasakan terus menerus, berhenti jika diberikan anti nyeri saja.

72
73

Nyeri dirasakan dikarenakan adanya kerusakan integritas jaringan berupa


luka di bokong kiri pasien, luka berlubang, terdapat pus, tampak kemerahan,
terdapat granulasi, tidak terdapat jaringan nekrotik ukuran luka panjang 3,5
cm, lebar 2cm, kedalaman 8cm, derajat luka III: ulkus dalam, meliputi jaringan
lunak subkutan sampai dengan otot.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengatakan ± 1 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien tidak
nafsu makan, mual, muntah dirumah, karena sakit pasien berobat dengan
mantri dan mantri memberikan obat suntikan dibokong kiri via Intramuskular,
tetapi setelah disuntik kulit bokong pasien kemerahan dan semakin hari
semakin memerah hingga melepuh, dan seperti ada kulit yang menonjol berisi
cairan (bula), karena kondisi pasien tidak ada kemajuan sampai-sampai pasien
sempat kejang dari subuh (18 juni 2017) lalu keluarga pasien sepakat untuk
membewa pasien berobat ke RSUD H. Moch Ansari Saleh Banjarmasin, di
IGD Pasien dipasang infus RL 20 Tpm, memdapatkan infus NACL 0,45 2 liter
diguyur, 20 Tpm, injeksi ceftriaxone 1 gr, ranitidine 50 mg, novorapid 50 unit,
diazepam 5 mg, pasien dipasang kateter, lalu pasein mendapatkan perawatan
rawat inap di ruang Nilam. Saat masuk ruang NIlam pasien masuk dengan
penurunan kesadaran dengan GCS 9 (somnolen) tetapi setelah mendapatkan
perawatan pasien perlahan mengalami pemulihan kesadaran tetapi gula darah
yang tidak stabil.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pasien Diabetes Mellitus biasanya memiliki riwayat penyakit
Diabetes Mellitus atau penyakit – penyakit lain yang ada kaitannya dengan
defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya riwayat penyakit
jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat
maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita (Mastika, 2010).
Berdasarkan pengkajian ditemukan sebelumnya pasien tidak memiliki
riwayat penyakit Diabetes Mellitus, pasien hanya memiliki riwayat tekanan
darah tinggi, maag, dan riwayat jatuh. seseorang dapat menderita penyakit
74

Diabetes Mellitus, hal tersebut dikarenakan faktor makanan yang tidak sehat,
aktifitas fisik yang kurang, kegemukan serta gaya hidup yang modern.

B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien Diabetes Mellitus dapat ditemukan hasil yang
tidak normal pada sistem pernapasan, sistem sirkulasi, sistem neurologi, Sistem
Perkemihan, sistem pencernaan, sistem muskuloskeletal, sistem integument.
Sistem Pernafasan yaitu frekuensi pernafasan meningkat, nafas dalam,
hiperventilasi (bila terjadi gangguan keseimbangan asam–basa / asidosis metabolik
akibat penumpukan benda keton dalam tubuh). Sistem Sirkulasi yaitu terjadi
perubahan tekanan darah : Hipotensi, nadi lemah dan cepat (bila terjadi syok
hipovolemik akibat diuresis osmotik). Tekanan darah : meningkat (apabila DM
sudah kronis sehingga pembuluh darah mengalami aterosklerosis. Turgor kulit
menurun , CRT lambat (bila terjadi syok hipovolemik akibat diuresis osmotik ).
Adanya luka / ulserasi yang sulit sembuh (akibat gangguan perfusi perifer). Sistem
Neurologi yaitu kesemutan, rasa baal akibat neuropati. Neuropati terjadi karena
regenerasi sel mengalami gangguan akibat kekurangan bahan dasar utama yang
berasal dari unsur protein. Akibatnya banyak sel saraf rusak terutama bagian
perifer. Terjadi gangguan penglihatan (penglihatan kabur). Terjadi penurunan
kesadaran (bila terjadi KAD / koma diabetikum), kejang (tahap lanjut dari KAD).
Sistem pencernaan yaitu abdomen tegang atau nyeri. Sistem perkemihan yaitu
urine encer, urine berkabut. Sistem muskuloskeletal penurunan kekuatan otot,
kram otot, penurunan umum rentang gerak. Parastesia / paralisis otot ( bila kadar
kalium menurun dengan cukup tajam akibat diuresis osmotik). Sistem Integument
yaitu adanya luka akibat Diabetes Mellitus atau kelainan kulit gatal-gatal, bisul.
Gatal biasanya terjadi di daerah ginjal, lipatan kulit seperti di ketiak dan dibawah
payudara, biasanya akibat tumbuhnya jamur (Mastika, 2010).
Berdasarkan pengkajian ditemukan masalah pada sistem muskuloskletal dan
sistem integumen. Pada sistem muskuluskletal terjadi penurunan kekuatan otot
75

pada bagian ekstermitas bawah yaitu paha kiri dikarenakan adanya luka dan nyeri
didaerah bokong.
Kekuatan otot :

5555 5555

5555 4444

Keterangan:
0: Otot sama sekali tidak mampu bergerak
1: Hanya ada kontraksi otot, tanpa ada gerakan persendian
2: Ada pergerakan, tidak mampu melawan gaya gravitasi
3: Hanya mampu melawan gaya gravitasi
4: Mampu mengerakan persendian ddengan gaya gravitasi, mampu melawan
dengan tahanan sedang
5: Mampu menggerakan persendian dalam lingkup gerak penuh, mampu
melawan gaya gravitasi, mampu melawan tahanan penuh
Pada sistem integumen didapatkan kerusakn integritas jaringan di area
bokong kiri terdapat luka diabetic, tampak kemerahan disekitar luka, tampak
berlubang, ukuran luka P=3,5 cm, L=2cm, kedalaman= 8cm, terdapat pus, teraba
panas, terdapat granulasi disekitar luka, tidak terdapat jaringan nekrotik. Derajat
luka III: ulkus dalam, meliputi jaringan lemak subcutan sampai dengan otot

C. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien Diabetes Mellitus
adalah nyeri akut, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, defisit
volume cairan, kerusakan integritas kulit, intoleransi aktivitas, hiperglikemia,
hipoglikemia, risiko injury.
Berdasarkan pengkajian kelompok menemukan tiga diagnossa prioritas yaitu
nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis ditandai dengan pasien
76

mengunggapkan nyeri pada bokong kiri dan ekspresi wajah meringis menyatakan
adanya nyeri, kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan agen cidera fisik
ditandai dengan adanya luka di bokong sebelah kiri dengan derajat luka iii: ulkus
dalam meliputi jaringan subkutan sampai ke otot, dan resiko ketidakstabilan
glukosa darah dengan factor resiko pasien merupakan penderita Diabetes Mellitus
type II dan ketoasidosis diabetik. Berikut merupakan penjelasan terkait tiga
diagnosa asuhan keperawatan yang dilakukan.
1. Nyeri Akut
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat
sangat subyektif karena perasaan berbeda pada setiap orang dalam skala atau
tigkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan dan
mengevaluasi rasa nyeri yang dialami (Hidayat, 2014). Menurut Tamsuri
(2007) dalam Sari (2016) Secara umum nyeri merupakan suatu rasa yang tidak
nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri didefenisikan sebagai suatu keadaan
yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang
pernah mengalaminya.
Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak
menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial,
atau digambarkan degan istilah seperti kerusakan, awitan tia-tiba atau perlahan
dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir tang dapat diantisipasi atau
dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan (Wilkonson, 2016).
Menurut Potter & Perry (2006) dalam Sari (2016) Nyeri merupakan
campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku. Stimulus penghasil nyeri
mengirimkan impuls melalui serabut saraf perifer. Serabut nyeri rmemasuki
medulla spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya
sampai di dalam massa berwarna abu-abu di medulla spinalis. Terdapat pesan
nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri
sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks
serebral. Sekali stimulus nyeri mencapai korteks serebral, maka otak
menginterpretasi kualitas nyeri dan memproses informasi tentang pengalaman
77

dan pengetahuan yang lalu serta assosiasi kebudayaan dalam upaya


mempersepsikan nyeri.
Nyeri diawali sebagai pesan yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat
kimia (substansi P, bradikinin, prostaglandin) dilepaskan, kemudian
menstimulasi saraf perifer, membantu mengantarkan pesan nyeri dari daerah
yang terluka ke otak. Sinyal nyeri dari daerah yang terluka berjalan sebagai
impuls elektrokimia di sepanjang nervus ke bagian dorsal spinal cord (daerah
pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh). Pesan kemudian
dihantarkan ke thalamus, pusat sensoris di otak di mana sensasi seperti panas,
dingin, nyeri, dan sentuhan pertama kali dipersepsikan. Pesan lalu dihantarkan
ke cortex, di mana intensitas dan lokasi nyeri dipersepsikan. Penyembuhan
nyeri dimulai sebagai tanda dari otak kemudian turun ke spinal cord. Di bagian
dorsal, zat kimia seperti endorphin dilepaskan untuk mengurangi nyeri di
daerah yang terluka.
Proses nyeri akan melewati beberapa tahapan yang diawali dengan
stimulasi, transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi. Stimulasi, dimana
pesepsi nyeri diantarkan oleh neuron yang bertindak sebagai reseptor,
pendeteksi stimulus, penguat, dan penghantar menuju sistem saraf pusat.
Reseptor khusus tersebut dinamakan nociceptor. Nociceptor ini terdapat pada
kulit, organ visceral dan permukaan sendi. Transduksi, merupakan proses
ketika suatu stimuli nyeri diubah menjadi suatu aktivitas listrik yang akan
diterima ujung-ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan),
suhu (panas) atau kimia (subtansi nyeri). Transmisi merupakan dimana
terjadinya proses penerusan implus nyeri dari nociceptor saraf perifer melewati
cornu dorsalis dan corda spinalis menuju korteks serebri. Cornu dorsalis dari
medulla spinalis dapat dianggap sebagai tempat memproses sensori. Modulasi
adalah proses pengendalian internal oleh sistem saraf, dan dapat meningkatkan
atau mengurangi penerusan dari implus nyeri. Persepsi merupakan hasil
rekontruksi susunan saraf pusat tentang implus nyeri yang diterima.
Rekonsrtuksi merupakan hasil interaksi sistem saraf sensoris, informasi
78

kognitif dan pengalaman emosional. Persepsi menentukan berat ringannya


nyeri yang dirasakan. Setelah sampai ke otak, nyeri yang dirasakan secara
sadar dan menimbulkan respon berupa perilaku dan ucapan yang merepons
adanya nyeri. Perilaku yang ditunjukkan seperti menghindari stimulus nyeri,
atau ucapan akibat respon seperti” aduh”, “auw”, dan “ah” (Hidayat, 2014).
Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri menurut Potter dan Perry (2006)
dalam Sari (2016) yaitu usia, jenis kelamin, budaya, perhatian, ansietas,
dukungan keluarga dan support sosial. Pengukuran intensitas nyeri dapat
dilakukan dengan beberapa cara yaitu, skala deskritif, skala numerik, skala
visual analog scale (VAS). Skala deskriftif merupakan alat pengukuran ringkat
keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsi Verbal Descriptor
Scale (VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata
pendeskripsi yang tersusun dengan jarak sama di sepanjang garis. Pendeskripsi
ini dirangking dari “tidak nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”.
Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien memilih
intensitas nyeri yang ia rasakan.
Skala penilaian Numerical Rating Scales (NRS) lebih digunakan sebagai
alat pendeskripsi kata. Dimana menilai nyeri klien dengan menggunakan skala
0-10. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan
patokan 10 cm,. Skala penilaian Numerical Rating Scales (NRS) lebih
digunakan sebagai alat pendeskripsi kata. Dimana menilai nyeri klien dengan
menggunakan skala 0-10. Skala Visual Analog Scale (VAS) merupakan suatu
garis llurus/horizontal sepanjang 10 cm, yang mewakili intensitas nyeri yang
terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Pasien diminta
untuk menunjuk titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi
sepanjang garis tersebut. Ujung kiri biasanya menandakan “tidak ada nyeri”
atau “tidak nyeri”, sedangkan ujung kanan biasanya menandakan “berat” atau
“nyeri tidak tertahankan”.
Selain skala penilaian pengukuran intensitas nyeri, nyeri juga dikaji
dengan cara PQRST yaitu (provokes, quality, region, severity, time), provokes
79

yaitu faktor yang memengaruhi gawat atau ringannya nyeri, quality yaitu
kualitas nyeri, seperti apa rasa nyeri tersebut, region yaitu yaitu daerah mana
nyeri terasa, severity yaitu keparahan atau intensitas nyeri, time yaitu waktu
terjadinya nyeri.
Berdasarkan data pengkajian, Ny. N merasakan nyeri kurang dari satu
bulan, nyeri tersebut digolongkan sebagai nyeri akut. Pengkajian nyeri pada
pasien menggunakan pengkajian nyeri PQRST. P merupakan penyebab,
penyebab nyeri yang pasien rasakan karena adanya luka di bagian bokong kiri
pasien dengan panjang 3,5 cm, lebar 2cm, dan kedalam 8 cm. Q merupakan
kualitas, kualitas nyeri yang dirasakan pasien seperti diremas-remas, R
merupakan lokasi, lokasi nyeri yang dirasakan pasien adalah di bokong kiri
pasien menjalar hingga pinggang dan paha, S merupakan skala, pengukuran
skala nyeri menggunakan pengukuran skala nyeri numerik, dari 0-10 skala
nyeri yang dirasakan pasien adalah 9, T merupakan waktu, nyeri dirasakan
terus menerus dan berkurang bila diberikan anti nyeri.
Berdasarkan data di atas kelompok sepakat untuk mengakat diagnosa
nyeri akut berhubungan dengan agens penyebab cidera biologis ditandai
dengan pasien mengungkapkan nyeri pada bokong kiri pasien dan ekspresi
wajah meringis menyatakan adanya nyeri. Dari diagnosa ini intervensi yang
direcanakan adalah intervensi sesuai panduan NANDA NIC-NOC. Berikut ini
merupakan implementasi yang diberikan kelompok terhadap pasien untuk
mengatasi nyeri yaitu:
1.Melakukan penkajian nyeri PQRST
2.Mengobservasi reaksi non verbal nyeri dari ketidaknyamanan
3.Memberikan posisi yang nyaman
4.Mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam dan mendengar lagu kesukaan
5.Menganjurkan untuk meningkatkan istirahat
6.Memonitor tanda-tanda vital
Kolaborasi
7.Memberikan analgetik ketorolac 30mg
80

Asuhan keperawatan dengan diagnosa nyeri akut berhubungan dengan


agens penyebab cidera biologis ditandai dengan pasien mengungkapkan nyeri
pada bokong kiri pasien dan ekspresi wajah meringis diberikan selama tiga
hari. Hari pertama dimulai dari hari pengkajian Senin, 26 Juni 2017, pada hari
pertama pasien mengatakan nyeri di daerah luka, di bokong nyeri dirasakan
menyebar ke pinggang dan paha nyeri serperti diremas-remas, dari 0-10 nyeri
dirasakan 9 (sangat nyeri), nyeri dirasakan terus-menerus, berkurang jika diberi
anti nyeri, pasien dengan wajah meringis mengartikan pasien menyatakan
nyeri. Posisi yang nyaman diberikan dengan posisi miring kanan, teknik
relaksasi diajarkan dan pasien mampu untuk melakukan teknik napas dalam,
memonitor tanda-tanda vital dilakukan tekanan darah 110/80 mmHg, nadi
110x/menit, pernapasan 22x/menit, temperature 36,5°C, injeksi ketorolac
30mg diberikan. Setelah diberikan injeksi analgetik pasien mengatakan nyeri
berkurang tetapi nyeri masih terasa, nyeri dirasakan menyebar kepinggang dan
paha, terasa seperti diremas-remas, dari 0-10 nyeri dirasakan 7, nyeri
dirasakan terus menerus, nyeri berkurang setelah diberikan analgetik.
Asuhan keperawatan pada hari ke dua hari Selasa, 27 Juni 2017 dilakukan,
evaluasi yang didapatkan pasien mengatakan nyeri berkurang, dari 0-10 nyeri
dirasakan 5, nyeri dirasakan masih menyebar ke pinggang dan paha, nyeri
seperti diremas remas, nyeri dirasakan terus menerus tekanan darah 120/80
mmHg, nadi 110x/menit, pernapasan 22x/menit, temperature 36,2°C, injeksi
ketorolac 30mg diberikan. Asuhan keperawatan pada hari ke tiga hari Rabu, 28
Juni 2017 dilakukan, evaluasi yang didapatkan pasien mengatakan nyeri masih
terasa, dari 0-10 nyeri dirasakan 5, nyeri dirasakan masih menyebar ke
pinggang dan paha, nyeri seperti diremas remas nyeri diraskan terus menerus,
pasien dengan wajah meringis mengartikan pasien menyatakan nyeri, tekanan
darah 110/70 mmHg, nadi 100x/menit, pernapasan 20x/menit, temperature
36,6°C, injeksi ketorolac 30mg diberikan. Asuhan keperawatan diberikan
selama tiga hari sebagai asuhan kelompok, tetapi asuhan keperawatan tetap
diberikan sampai dengan pasien pulang dari rumah sakit, (Sabtu, 01 Juli 2017).
81

Dalam pelaksanaan asuhan keperawatan ada beberapa ketidaksesuaian


teori dengan kondisi dilapangan. Menurut Sari (2016), adanya nyeri dapat
merubah tanda-tanda vital meliputi tekanan darah, nadi, pernapasan dan
temperatur. Pada pasien tidak terjadi perubahan tanda-tanda vital yang
signifikan, ekspresi wajah pada saat pasien menyatakan nyeri pada skala 9 dan
skala 5 tidak terlalu berbeda, hal tersebut tidak dapat dipastikan dengan secara
pasti karena nyeri merupakan ungkapan subjektif pasien.
2. Kerusakan Integritas Jaringan
Kerusakan integritas jaringan adalah kerusakan pada membran mukosa,
jaringan kornea,integumen, atau subcutan (Wilkinson, 2016). Luka diabetik
merupakan kondisi kerusakan jaringan kulit akibat gangguan metabolisme dan
vaskularisasi. Upaya untuk mencegah perluasan luka dan membantu proses
penyembuhan maka perlu dilakukan perawatan luka diabetik dengan baik.
Menurut Waspadji (2004) dalam wibowo, dkk, (2014), perawatan luka sangat
penting pada pasien dengan luka diabetik dan tindakan tersebut harus
dilakukan dengan baik dan teliti, adapun tindakan yang harus dilakukan saat
perawatan luka adalah mengurangi jaringan yang sudah mati sehingga
mengurangi cairan dan mencegah infeksi.
Berdasarkan data pengkajian pada hari Senin, 26 Juni 2017, pada Ny. N
mengatakan terdapat luka pada bokong sebelah kiri, luka tersebut didapat
sebelum masuk rumah sakit, setelah disuntik oleh matri, dibokong kiri via
Intramuskular, tetapi setelah disuntik kulit bokong pasien kemerahan dan
semakin hari semakin memerah hingga melepuh, tidak kunjung sembuh dan
seperti ada kulit yang menonjol berisi cairan, lalu pecah pada saat dirumah
sakit. Tampak luka pada area bokong kiri, luka berlubang, terdapat pus,
tampak kemerahan, terdapat granulasi, tidak terdapat jaringan nekrotik ukuran
luka panjang 3,5 cm, lebar 2cm, kedalaman 8cm, tampak perban luka pada
pasien rembes oleh darah, tampak bekas darah diselimut. Penilaian derajat luka
menggunakan penilaian derajat luka tekan menurut EPUAP (European
82

Pressure Ulcer Advisory Panel) NPUAP (National Pressure Ulcer Advisory


Panel) yaitu:
1. Derajat I (Non-blanchable erythema)
Kulit kemerahan, tidak hilang jika tidak ditekan, terlokalisasi, tidak ada
kerusakan jaringan.
2. Derajat II (Partial thickness)
Adanya kerusakan sebagian dermis, terdapat luka, kulit nampak rusak
dengan warna luka merah, tidak ada nanah.
3. Derajat III (Full thickness tissue loss)
Hilangnya jaringan kulit, subkutan sampai dengan otot, tetapi tendon dan
tulang tidak terpapar, bernanah.
4. Derajat IV
Hilangnya jaringan secara luas dan total sehingga tendon, tulang terpapar.
Pada pasien ditemukan derajat luka III: ulkus dalam, meliputi jaringan
lunak subkutan sampai dengan otot. Berdasarkan data di atas kelompok
sepakat untuk mengangkat diagnosa kerusakan integritas jaringan berhubungan
dengan agens cidera fisik ditandai dengan adanya luka pada bokong sebelah
kiri, dengan derajat luka III: ulkus dalam, meliputi jaringan lunak subkutan
sampai dengan otot. Dari diagnosa ini intervensi yang direcanakan adalah
intervensi sesuai panduan NANDA NIC-NOC. Berikut ini merupakan
implementasi yang diberikan kelompok terhadap pasien untuk mengatasi
kerusakan integritas jaringan yaitu:
1. Menganjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
2. Memonitor kulit akan adanya kemerahan
3. Memonitor aktivitas dan mobilitas pasien
4. Mengobservasi luka: lokasi, dimensi, kedalaman luka, karakteristik warna
cairan granulasi, jaringan nekrotik, tanda-tanda infeksi lokal.
5. Memberikan posisi yang nyaman yang mengurangi tekanan
6. Melakukan perawatan luka
83

Asuhan keperawatan kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan


agens cidera fisik ditandai dengan adanya luka pada bokong sebelah kiri,
dengan derajat luka III: ulkus dalam, meliputi jaringan lunak subkutan sampai
dengan otot, diberikan selama tiga hari dari hari pertama Senin, 26 Juni 2017
sampai dengan hari Rabu, 28 Juni 2017.
Perawatan luka diberikan dengan cairan Nacl 0,9% luka dibersihkan,
penenkanan untuk mengeluarkan pus, terdapat pus, kemudian luka diberikan
salep decubal, dan ditutup dengan kassa yang telah dibasahi dengan Nacl 0,9%,
lalu lalu ditutup kassa kering dan diberikan perekat (hifafix).
Evaluasi yang didapatkan selama asuhan keperawatan diberikan terjadinya
perbaikan luka dari semula sebelumnya luka pada area bokong kiri, luka
berlubang, terdapat pus, tampak kemerahan, terdapat granulasi, tidak terdapat
jaringan nekrotik ukuran luka panjang 3,5 cm, lebar 2cm, kedalaman 8cm,
pada hari ke tiga setelah dilakukan asuhan keperawatan luka pada area bokong
kiri, luka berlubang, tidak terdapat pus, tampak kemerahan, terdapat granulasi,
tidak terdapat jaringan nekrotik ukuran luka panjang 3 cm, lebar 2cm,
kedalaman 6cm.
Dalam pelaksanaan asuhan keperawatan ada ketidaksesuaian teori dengan
kondisi dilapangan pada pasien Diabetes Mellitus biasanya luka terjadi di kaki
(foot ulcer diabetic). Menurut Silaban (2013), kaki diabetik adalah infeksi,
ulserasi, dan atau destruksi jaringan ikat dalam yang berhubungan dengan
neuropati dan penyakit vaskuler perifer pada tungkai bawah, selain itu ada juga
yang mendefinisikan sebagai kelainan tungkai kaki bawah akibat diabetes
melitus yang tidak terkendali dengan baik yang disebabkan oleh gangguan
pembuluh darah, gangguan persyarafan dan infeksi. Tetapi pada pasien Ny. N
yang merupakan penderita Diabetes Mellitus luka terjadi pada bagian bokong
tidak di bagian kaki, luka pasien tidak kunjung sembuh dikarena gula darah
yang tidak terkontrol.
84

3. Risiko Ketidakstabilan Gula darah


Menurut Murray R. K et al (2003) dalam Mastika (2010), glukosa, suatu
gula monosakarida, adalah salah satu karbohidrat terpenting yang digunakan
sebagai sumber tenaga utama dalam tubuh. Glukosa merupakan prekursor
untuk sintesis semua karbohidrat lain di dalam tubuh seperti glikogen, ribose
dan deoxiribose dalam asam nukleat, galaktosa dalam laktosa susu, dalam
glikolipid, dan dalam glikoprotein dan proteoglikan.
Menurut Henrikson J. E. et al (2009) dalam Mastika (2010), kadar
glukosa darah adalah istilah yang mengacu kepada tingkat glukosa di dalam
darah. Konsentrasi gula darah, atau tingkat glukosa serum, diatur dengan ketat
di dalam tubuh. Umumnya tingkat gula darah bertahan pada batas-batas yang
sempit sepanjang hari (70-150 mg/dl). Tingkat ini meningkat setelah makan
dan biasanya berada pada level terendah pada pagi hari, sebelum makan. Ada
beberapa tipe pemeriksaan glukosa darah. Pemeriksaan gula darah puasa
mengukur kadar glukosa darah selepas tidak makan setidaknya 8 jam.
Pemeriksaan gula darah postprandial 2 jam mengukur kadar glukosa darah
tepat selepas 2 jam makan. Pemeriksaan gula darah ad random mengukur kadar
glukosa darah tanpa mengambil kira waktu makan terakhir.
Risiko ketidakstabilan glukosa darah adalah risiko terjadi variasi kadar
glukosa atau gula darah dari rentang normal yang dapat meengganggu
kesehatan (Wilkinson, 2016).
Berdasarkan data pengkajian pada hari Senin, 26 Juni 2017 pasien Ny. N
memiliki risiko ketidakstabilan glukosa darah sehingga kelompok mengangkat
diagnosa ketidakstabilan glukosa darah dengan faktor risiko pasien merupakan
penderita Diabetes Mellitus type 2 dan ketoasidosis diabetik. Dari diagnosa ini
intervensi yang direcanakan adalah intervensi sesuai panduan NANDA NIC-
NOC. Berikut ini merupakan implementasi yang diberikan kelompok terhadap
pasien untuk mengatasi risiko ketidakstabilan glukosa darah yaitu:
1. Memantau kadar glukosa dalam darah
85

2. Memantau tanda-tanda hiperglikemi, poliuria, polidipsi, polipagi, dan


kelelahan
3. Memonitor tanda tanda vital
4. Memberikan cairan IV: RL 20 tpm
Kolaborasi:
5. Memberikan insulin novorapid 16 unit
Asuhan keperawatan risiko ketidakstabilan glukosa darah dengan faktor
risiko pasien merupakan penderita Diabetes Mellitus type 2 dan ketoasidosis
diabetik diberikan selama tiga hari dari hari pertama Senin, 26 Juni 2017
sampai dengan hari Rabu, 28 Juni 2017.
Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan kadar gula darah 2 jam post
prandial dilakukan oleh pihak laboratorium setiap hari. Evaluasi yang
didapatkan selama pemberian asuhan keperawatan, tidak ada tanda-tanda
hiperglikemia, poliuria, polidipsi, polipagi dan kelelahan. Hasil gula darah
pasien dalam rentang normal selama tiga hari pemberian asuan keperawatan,
injeksi novorapid 16 unit diberikan pada hari pertama saja (Senin, 26 Juni
2017) dan dihentikan pemberian untuk hari selanjutnya.
Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Hari/Tanggal Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Senin, Glukosa Darah
26 Juni 2017 Blood glucose fasting 70 mg/dl 76-110

Blood glucose 2J PP 107 mg/dl Tidak boleh lebih


dari 125
Selasa, Glukosa Darah 110 mg/dl 76-110
27 Juni 2017 Blood glucose fasting
Blood glucose 2J PP 77 mg/dl Tidak boleh lebih
dari 125
Rabu, Glukosa Darah 107 mg/dl 76-110
28 Juni 2017 Blood glucose fasting
Blood glucose 2J PP 95 mg/dl Tidak boleh lebih
dari 125

Anda mungkin juga menyukai