Anda di halaman 1dari 15

PENYEMBUHAN LUKA

Disusun oleh:

Leli Ulinni'mah 130112160700

Dosen Pembimbing:

dr. Ali Sundoro, Sp.BP-RKKF

SUBDIVISI BEDAH PLASTIK


BAGIAN/SMF ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2018
1. Definisi
Penyembuhan luka adalah suatu proses seluler dan biokimia yang
mengarah pada pengembalian fungsi dan integritas suatu jaringan yang
mengalami kerusakan atau jejas. Walaupun masing-masing jaringan dari tiap
individu memiliki karakter cara penyembuhan yang unik, namun setiap
penyembuhan jaringan melewati proses yang sama yaitu fase hemostasis dan
inflamasi, fase proliferasi, serta fase maturasi dan remodeling jaringan yang
bertujuan untuk menggabungkan bagian luka dan mengembalikan fungsinya
(Schwartz, 2010)
Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan, walaupun
beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses
penyembuhan (Monaco and Lawrence, 2003).

2. Fase penyembuhan luka


Setiap proses penyembuhan luka akan melalui 3 tahapan yang dinamis,
saling terkait dan berkesinambungan, serta tergantung pada tipe/jenis dan
derajat luka. Sehubungan dengan adanya perubahan morfologik, tahapan
penyembuhan luka terdiri dari:
1. Fase Hemostasis dan Inflamasi (Schwartz and Neumeister, 2006)
Fase hemostasis dan inflamasi adalah adanya respons vaskuler dan
seluler yang terjadi akibat perlukaan pada jaringan lunak. Tujuannya
adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda
asing, sel-sel mati, dan bakteri, untuk mempersiapkan dimulainya proses
penyembuhan.
Pada awal fase ini, kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan
keluarnya platelet yang berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi
vaskuler yang terbuka dengan membuat pembekuan darah dan juga
mengeluarkan substansi vasokonstriktor yang mengakibatkan pembuluh
darah kapiler vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan endotel yang
akan menutup pembuluh darah. Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit,
dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler karena stimulasi saraf
sensoris (local sensoris nerve ending), local reflex action, dan adanya
substansi vasodilator : histamin, serotonin dan sitokin.
Histamin selain menyebabkan vasodilatasi juga mengakibatkan
meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar
dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka. Secara klinis terjadi
edema jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis. Eksudasi
ini juga mengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke ekstra
vaskuler. Fungsi netrofil adalah melakukan fagositosis benda asing dan
bakteri di daerah luka selama 3 hari dan kemudian akan digantikan oleh
sel makrofag yang berperan lebih besar jika dibanding dengan netrofil
pada proses penyembuhan luka. Neutrofil akan memasuki tahap apoptosis
segera setelah menginfiltrasi luka dan kemudian mengeluarkan sitokin
selama proses apoptosis itu, dimana sitokin-sitokin tersebut berperan
dalam rekruitmen sel makrofag. Fungsi makrofag disamping fagositosis
adalah (MacKay and Miller, 2003):
a. Sintesa kolagen
b. Membentuk jaringan granulasi bersama dengan fibroblast
c. Memproduksi growth factor yang berperan pada re-epitelisasi
d. Membentuk pembuluh kapiler baru atau angiogenesis
Dengan berhasil dicapainya luka yang bersih, tidak terdapat infeksi
serta terbentuknya makrofag dan fibroblas, keadaan ini dapat dipakai
sebagai pedoman/parameter bahwa fase inflamasi ditandai dengan adanya
eritema, hangat pada kulit, edema, dan rasa sakit yang berlangsung sampai
hari ke-3 atau hari ke-4.
Gambar 1. Fase Hemostasis dan Inflamasi (Mallefet and Dweck, 2008)

2. Fase Proliferasi (Fase Fibroplasia)


Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia, karena yang menonjol
adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase
inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel
mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida,
asam aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat
yang akan mempertautkan tepi luka (Diegelmann and Evans, 2004).
Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki
dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran
fibroblast sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab
pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan
selama proses rekonstruksi jaringan.
Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel
fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan
penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblast akan aktif bergerak dari
jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang
(proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, asam
hyaluronat, fibronectin dan proteoglikans) yang berperan dalam
membangun jaringan baru (Mallefet and Dweck, 2008).
Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal
jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannnya
subtrat oleh fibroblast, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh
darah baru dan juga fibroblast sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki
kawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di
dalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan
proses proliferasi fibroblast dengan aktifitas sintetiknya disebut
fibroplasia. Respons yang dilakukan fibroblast terhadap proses fibroplasia
adalah (MacKay and Miller, 2003):
a. Proliferasi
b. Migrasi
c. Deposit jaringan matriks
d. Kontraksi luka
Angiogenesis, suatu proses pembentukan pembuluh kapiler baru
didalam luka, mempunyai arti penting pada tahap proleferasi proses
penyembuhan luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit (diabetes),
pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid) mengakibatkan lambatnya
proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis. Jaringan vaskuler
yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk
memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka, karena
biasanya pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan
oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses
terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet
dan makrofag (growth factors).
Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblast mengeluarkan
keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis
sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya
membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa
kolagen oleh fibroblast, pembentukan lapisan dermis ini akan
disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan
granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup
luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi myofibroblast yang
mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi
kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan
dengan defek luka minimal (David, 2004; Monaco and Lawrence, 2003).

Gambar 2. Fase Proliferasi (Mallefet and Dweck, 2008)

3. Fase Remodelling
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir
sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase remodelling adalah
menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan
penyembuhan yang kuat dan berkualitas. Fibroblast sudah mulai
meninggalkan jaringan grunalasi, warna kemerahan dari jaringan mulai
berkurang karena pembuluh mulai regresi, dan serat fibrin dari kolagen
bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari
jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah
perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan
dilanjutkan pada fase remodelling. Selain pembentukan kolagen, juga akan
terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda
(gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah
menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat, dengan struktur yang
lebih baik (proses re-modelling).
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan
keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan.
Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau
hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan
kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan
sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit
mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal.
Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun
outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik
masing-masing individu, lokasi, serta luasnya luka (David, 2004; Mallefet
and Dweck, 2008; Schwartz and Neumeister, 2006).

Gambar 3. Fase Remodelling (Mallefet and Dweck, 2008)


Gambar 4. Fase seluler, biokimia, dan mekanis dari proses penyembuhan
luka (Schwartz, 2010)
3. Klasifikasi Luka
Luka dapat diklasifikasikan menjadi akut atau kronik. Luka akut dapat
sembuh dalam proses dan jangka waktu yang sesuai tanpa ada komplikasi, dan
hasil penyembuhannya akan baik, contohnya pada luka pasca operasi. Luka insisi
yang bersih dan ditutup dengan penjahitan dapat sembuh dengan intensi primer.
Namun, karena adanya kontaminasi bakteri atau kehilangan bagian dari suatu
jaringan, luka akan lebih lama terbuka akan terbentuk jaringan granulasi dan
kontraksi, dan luka dapat sembuh dengan intensi sekunder. Intensi tertier, atau
penutupan luka primer yang terlambat, berlangsung dengan kombinasi dari proses
penjahitan dan terbukanya luka sampai terbentuk jaringan granulasi dan kontraksi
dengan sendirinya.

Gambar 4. Macam-macam proses penutupan luka


4. Kontraksi Luka

Semua jenis luka mengalami proses kontraksi. Untuk luka yang tidak
memiliki batas yang jelas, maka area luka tersebut akan berkurang seiring dengan
adanya proses ini (dengan proses secondary intention), pemendekkan dari bekas
luka itu sendiri menghasilkan suatu kontraktur. Myofibroblast diyakini sebagai sel
yang paling bertanggung jawab dalam proses ini. Myofibroblast mengandung
aktin yang tebal dari otot polos , disebut juga serabut stress, yang memberikan
kemampuan kontraktik dari myofibril. Aktin ini tidak terdeteksi sampai hari ke 6,
lalu aktin akan meningkat sampai 15 hari setelahnya. Setelah 4 minggu, ekspresi
dari aktin ini akan hilang dan aktin mengalami apoptosis.

5. Penyembuhan Luka di Jaringan Tertentu


1. Kulit
Fase penyembuhan luka dapat diibagi 3 tahap yang saling terkait
dan overlap: inflamasi, formasi jaringan baru dan remodelling. Hal
pertama yang terjadi setelah cedera pada jaringan adalah inflamasi melalui
peran sel-sel inflamasi. Sel inflamasi pertama yang direkrut adalah
neutrofil. Sel-sel inflamasi akan secara masiv menginfiltrasi luka pada 24
jam pertama setelah cedera. Neutrofil akan memasuki tahap apoptosis
segera setelah menginfiltrasi luka dan kemudian mengeluarkan sitokin
selama proses apoptosis itu, dimana sitokin-sitokin tersebut berperan
dalam rekruitmen sel makrofag. Makrofag akan menuju jaringan luka 2
hari setelah cedera dan melakukan aktifitas fagositosis.
Proses selanjutnya adalah pembentukan formasi jaringan baru.
Proses reepitelisasi ini dimulai beberapa jam setelah formasi luka
terbentuk. Keratinosit dari tepi luka akan bermigrasi melintasi wound bed
pada permukaan antara dermis luka dan bekuan fibrin. Migrasi ini
difasilitasi oleh produksi protease spesifik seperti kolagenase dari sel
epidermal untuk mendegradasi matrix ekstraseluler. Angiogenesis masiv
akan terjadi seiring kebutuhan akan suplai oksigen dan nutrien jaringan
untuk penyembuhan luka. Kemudian beberapa dari fibroblast akan
berdiferensiasi menjadi miofibroblas. Sel kontraktile ini akan membantu
menyambung jarak antar tepi luka. Disaat bersamaan growth factors yang
diproduksi jaringan granulasi akan memudahkan proliferasi dan
diferensiasi sel epitelial memperbaiki integritas barier epitel.
Fase terakhir adalah remodeling yang terdiri atas apoptosis
miofibroblas, sel endotelial dan makrofag. Pada fase ini akan terjadi
involusi bertahap dari jaringan granulasi dan terjadi regenerasi kulit
(Modero and Khosrotehrani, 2010).
2. Fase Penyembuhan Pada Tulang
Penyembuhan fraktur pada tulang adalah sebuah mekanisme yang
komplek dan proses regenerasi unik dalam mengembalikan fungsi dan
bentuk tulang.
Proses penyembuhan tulang didahului oleh proses inflamasi dan
didominasi oleh fase pembentukan formasi tulang. Selama fase
penyembuhan, kalus eksternal terbatas pada kapsula fibrosa yang tersusun
oleh jaringan granulasi yang tidak beraturan. Fase inflamasi lebih lanjut
ditandai invasi invasi sel mesenkimal yang berdiferensiasi menjadi
kondrosit untuk pembentukan tulang rawan dan osteoblast untuk
pembentukan tulang. Sel-sel debris inisial dan hematoma selanjutnya akan
digantikan oleh jaringan fibrosa. Jumlah kolagen tipe I akan meningkat
sampai 5 hari setelah fraktur, tetapi kolagen tipe III adalah yang dominan
dalam menyusun jaringan.
Fase reparasi tulang dikaitkan dengan pertumbuhan formasi tulang
intramembran dari regio periosteal. Fase ini ditandai dengan invasi
pembuluh darah dan pertumbuhan kalus, dimana puncak pertumbuhannya
biasa ditemukan hari 14 setelah fraktur.
Fase remodelling ditandai terbentuknya formasi endochondral
trabekular yang dihubungkan dengan osteoblast dan TRAP-positive
settlement pada rongga sumsum tulang, penyatuan fragmen dan regenerasi
celah sumsum tulang. Hal ini sesuai dengan data percobaan dari model
percobaan fraktur pada kelinci yang menunjukkan peningkatan jumlah
tulang trabekular dengan penyusun dominannya kolagen tipe I, sedang
kolagen tipe III dan tipe V tetap ditemukan didaerah puasat dari trabekula.
Selanjutnya tulang menyembuh tanpa adanya scar (Coulibaly et al, 2010).

6. Gangguan Penyembuhan Luka


Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari tubuh sendiri
(endogen) dan oleh penyebab dari luar tubuh (eksogen). Penyebab endogen
terpenting adalah gangguan koagulasi yang disebut koagulopati, dan gangguan
sistem imun. Semua gangguan pembekuan darah akan menghambat penyembuhan
luka, sebab homeostatis merupakan titik tolak dan dasar fase inflamasi. Gangguan
sistem imun akan menghambat dan mengubah reaksi tubuh terhadap luka,
kematian jaringan dan kontaminasi.
Penyebab eksogen meliputi penyinaran sinar ionisasi yang akan
mengganggu mitosis dan merusak sel dengan akibat dini maupun lanjut.
Pemberian sitostatik, obat penekan imun misalnya setelah transplantasi organ, dan
kortikosteroid juga akan mempengaruhi penyembuhan luka. Pengaruh setempat
seperti infeksi, hematom, benda asing, serta jaringan mati seperti sekuester dan
nekrosis sangat menghambat penyembuhan luka (Sjamsuhidajat and Jong, 1997).

7. Perawatan Luka
Hasil penelitian tentang perawatan luka menunjukkan bahwa lingkungan
luka yang lembab lebih baik daripada lingkungan kering. Laju epitelisasi luka
yang ditutup poly-etylen dua kali lebih cepat daripada luka yang dibiarkan kering.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa migrasi epidermal pada luka superficial
lebih cepat pada suasana lembab daripada kering. Perawatan luka lembab tidak
meningkatkan infeksi. Pada kenyataannya tingkat infeksi pada semua jenis
balutan lembab adalah 2,5 %, lebih baik dibanding 9 % pada balutan kering.
Lingkungan lembab meningkatkan migrasi sel epitel ke pusat luka dan
melapisinya sehingga luka lebih cepat sembuh. Konsep penyembuhan luka
dengan teknik lembab ini merubah penatalaksanaan luka dan memberikan
rangsangan bagi perkembangan balutan lembab.
Penggantian balutan dilakukan sesuai kebutuhan, tidak berdasarkan
kebiasaan melainkan disesuaikan terlebih dahulu dengan tipe dan jenis luka.
Penggunaan antiseptik hanya untuk yang memerlukan saja, karena efek toksinnya
terhadap sel sehat. Untuk membersihkan luka hanya diperlukan normal saline.
Citotoxic agent seperti povidine iodine, dan asam asetat, seharusnya tidak secara
sering digunakan untuk membersihkan luka, karena dapat menghambat
penyembuhan dan mencegah reepitelisasi. Luka dengan sedikit debris
dipermukaannya dapat dibersihkan dengan kassa yang dibasahi dengan sodium
klorida dengan tidak terlalu banyak manipulasi gerakan. Tepi luka seharusnya
bersih, berdekatan dengan lapisan sepanjang tepi luka. Tepi luka ditandai dengan
kemerahan dan sedikit bengkak dan hilang kira-kira satu minggu. Kulit menjadi
tertutup hingga normal dan tepi luka menyatu.
Adapun tujuan dari perawatan luka antara lain (Dudley, 2000; Julia, 2000):
1. Memberikan lingkungan yang memadai untuk penyembuhan luka
2. Absorbsi drainase
3. Menekan dan imobilisasi luka
4. Mencegah luka dan jaringan epitel baru dari cedera mekanis
5. Mencegah luka dari kontaminasi bakteri
6. Meningkatkan hemostasis dengan menekan dressing
7. Memberikan rasa nyaman mental dan fisik pada pasien

8. Komplikasi Penyembuhan Luka


Keloid dan jaringan parut hipertrofik timbul karena reaksi serat kolagen
yang berlebihan dalam proses penyembuhan luka. Serat kolagen disini teranyam
teratur. Keloid yang tumbuh berlebihan melampaui batas luka, sebelumnya
menimbulkan gatal dan cenderung kambuh bila dilakukan intervensi bedah.
Parut hipertrofik hanya berupa parut luka yang menonjol, nodular, dan
kemerahan, yang menimbulkan rasa gatal dan kadang – kadang nyeri. Parut
hipertrofik akan menyusut pada fase akhir penyembuhan luka setelah sekitar satu
tahun, sedangkan keloid tidak.
Keloid dapat ditemukan di seluruh permukaan tubuh. Tempat predileksi
merupakan kulit, toraks terutama di muka sternum, pinggang, daerah rahang
bawah, leher, wajah, telinga, dan dahi. Keloid agak jarang dilihat di bagian sentral
wajah pada mata, cuping hidung, atau mulut.
Pengobatan keloid pada umumnya tidak memuaskan. Biasanya dilakukan
penyuntikan kortikosteroid intrakeloid, bebat tekan, radiasi ringan dan salep
madekasol (2 kali sehari selama 3-6 bulan). Untuk mencegah terjadinya keloid,
sebaiknya pembedahan dilakukan secara halus, diberikan bebat tekan dan
dihindari kemungkinan timbulnya komplikasi pada proses penyembuhan luka
(Sjamsuhidajat and Jong, 1997).

ANATOMI KULIT

The skin is the largest organ of the body, accounting for about 15% of the
total adult body weight. It performs many vital functions, including protection
against external physical, chemical, and biologic assailants, as well as prevention
of excess water loss from the body and a role in thermoregulation. The skin is
continuous, with the mucous membranes lining the body’s surface.

Anda mungkin juga menyukai