PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Antibiotik merupakan senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme
atau secara sintetik untuk mencegah dan mengobati infeksi bakteri (1).
Pemakaiannya selama 5 dekade terakhir mengalami peningkatan yang luar
biasa, tidak hanya di Indonesia tapi juga di negara maju seperti Amerika
Serkat. Persoalannya, sampai saat ini masih ada penggunaan yang keliru
terhadap antibiotik. The Center for Disease Control and Prevention in USA
menyebutkan terdapat sekitar 50 juta peresepan antibiotik yang tidak
diperlukan (unnescecery prescribing) dari 150 juta peresepan setiap tahunnya
(2).
Ketika digunakan secara tepat, antibiotik memberikan manfaat yang
tidak perlu diragukan lagi. Namun bila dipakai atau diresepkan secara tidak
tepat (irrational prescribing) dapat menimbulkan kerugian yang luas dari segi
kesehatan, salah satunya adalah resistensi. Resistensi antibiotik dipercepat
oleh penggunaan antibiotik secara berlebihan atau tidak rasional, serta
pencegahan dan pengendalian infeksi yang buruk. Resistensi antibiotik terjadi
saat bakteri penyebab infeksi mengalami kekebalan dalam merespon
antibiotik.
Bakteri yang mengalami kekebalan (bakteri resisten) yaitu kondisi
dimana bakteri menjadi kebal terhadap antibiotik (3). Sehingga, antibiotik
yang awalnya efektif untuk pengobatan infeksi menjadi tidak efektif lagi.
Selain berdampak secara klinis, berdampak pula secara ekonomi. Hal ini
mengakibatkan layanan pengobatan menjadi tidak efektif, peningkatan
morbiditas maupun mortalitas pasien dan meningkatnya biaya perawatan
kesehatan (4). Apabila resistensi terhadap pengobatan terus berlanjut tersebar
1
luas, dunia yang sangat telah maju dan canggih ini akan kembali ke masa-
masa kegelapan kedokteran seperti sebelum ditemukannya antibiotika (5).
Data WHO menunjukkan angka kematian akibat bakteri resisten sampai
tahun 2014 sekitar 700 ribu pertahun. Dengan cepatnya perkembangan dan
penyebaran infeksi akibat bakteri resisten, pada tahun 2050 diperkirakan
kematian akibat bakteri resisten lebih besar dibanding kematian akibat
kanker. Menurut Maura estimasinya bisa mencapai 10 juta jiwa pertahun dan
total gross domestic product yang hilang sekitar 100 triliun dolar. Bila hal ini
tidak segera diantisipasi, akan mengakibatkan dampak negatif pada
kesehatan, ekonomi, ketahanan pangan dan pembangunan global, termasuk
membebani keuangan negara (6).
B. TUJUAN
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
Contoh I
Anamnesis Diagnosis Terapi
1. Diare
2. Disertai darah dan lendir Amoebiasis Metronidazol
3. Serta gejala tenesmus
Contoh II
Anamnesis Diagnosis Terapi
1. Diare
2. Disertai gejala tenesmus Bukan Amoebiasis Bukan Metronidazol
4
non steroid (misalnya ibuprofen) hanya dianjurkan untuk demam yang
terjadi akibat proses peradangan atau inflamasi.
d. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek
terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang
dengan rentang terapi yang sempit akan sangat beresiko timbulnya efek
samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin
tercapainya kadar terapi yang diharapkan.
e. Tepat Cara Pemberian
Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula
antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk
ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan
efektivtasnya.
f. Tepat Interval Waktu Pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis,
agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per
hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat.
Obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut
harus diminum dengan interval setiap 8 jam.
g. Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing.
Untuk Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6
bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14
hari. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang
seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan.
h. Waspada terhadap efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena
itu muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek
samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian
tetrasiklin tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena
menimbulkan kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.
5
i. Tepat penilaian kondisi pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas
terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida.
Pada penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida
sebaiknya dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada
kelompok ini meningkat secara bermakna. Peresepan kuinolon (misalnya
siprofloksasin dan ofloksasin), tetrasiklin, doksisiklin, dan metronidazol
pada ibu hamil sama sekali harus dihindari, karena memberi efek buruk
pada janin yang dikandung.
j. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta
tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau .
Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam daftar
obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan
dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para
pakar di bidang pengobatan dan klinis. Untuk jaminan mutu, obat perlu
diproduksi oleh produsen yang menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat
yang Baik) dan dibeli melalui jalur resmi. Semua produsen obat di
Indonesia harus dan telah menerapkan CPOB.
k. Tepat informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting
dalam menunjang keberhasilan terapi. Sebagai contoh:
- Peresepan rifampisin akan mengakibatkan urine penderita
berwarna merah. Jika hal ini tidak diinformasikan, penderita
kemungkinan besar akan menghentikan minum obat karena menduga
obat tersebut menyebabkan kencing disertai darah. Padahal untuk
penderita tuberkulosis, terapi dengan rifampisin harus diberikan dalam
jangka panjang.
- Peresepan antibiotik harus disertai informasi bahwa obat tersebut
harus diminum sampai habis selama satu kurun waktu pengobatan (1
course of treatment), meskipun gejala-gejala klinik sudah mereda atau
hilang sama sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4
kali sehari berarti tiap 6 jam. Untuk antibiotik hal ini sangat penting,
6
agar kadar obat dalam darah berada di atas kadar minimal yang dapat
membunuh bakteri penyebab penyakit.
l. Tepat tindak lanjut (follow-up)
Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan
upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh
atau mengalami efek samping. Sebagai contoh dalam penatalaksanaan
syok anafi laksis, pemberian injeksi adrenalin yang kedua perlu segera
dilakukan, jika pada pemberian pertama respons sirkulasi kardiovaskuler
belum seperti yang diharapkan.
m. Tepat penyerahan obat (dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat
dan pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotek
atau tempat penyerahan obat di Puskesmas, apoteker/asisten apoteker
menyiapkan obat yang dituliskan peresep pada lembar resep untuk
kemudian diberikan kepada pasien. Proses penyiapan dan penyerahan
harus dilakukan secara tepat, agar pasien mendapatkan obat sebagaimana
harusnya. Dalam menyerahkan obat juga petugas harus memberikan
informasi yang tepat kepada pasien.
n. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan, ketidaktaatan
minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut:
- Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
- Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
- Jenis sediaan obat terlalu beragam
- Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
- Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup mengenai
cara minum/menggunakan obat.
7
pemberian antibiotik (RPA). Tujuan dilakukan penilaian rasionalitas
antibiotik adalah :
1. Mengetahui jumlah atau konsumsi penggunaan antibiotik.
2. Mengetahui dan mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotik
3. Sebagai dasar untuk melakukan surveilans penggunaan antibiotik di
rumah sakit secara sistematik dan terstandar.
Penilaian kuantitas penggunaan antibiotik di Rumah Sakit dapat
diukur secara prospektif melalui studi validasi. Studi validasi adalah studi
yang dilakukan secara prospektif untuk mengetahui perbedaan antara jumlah
antibiotik yang benar-benar digunakan pasien dibandingkan dengan yang
tertulis direkam medik. Penilaian kuantitas penggunaan antibiotik dapat
dilakukan dengan menggunakan parameter perhitungan konsumsi antibiotik
dengan melihat:
a. Persentase pasien yang mendapat terapi antibiotik selama rawat
inap di rumah sakit.
b. Jumlah penggunaan antibiotik dinyatakan sebagai dosis harian
ditetapkan dengan Defined Daily Doses (DDD)/100 patient days.
DDD adalah asumsi dosis rata-rata perhari penggunaan antibiotik
untuk indikasi tertentu pada orang dewasa. Untuk memperoleh data
baku dan supaya dapat dibandingkan data di tempat lain maka
WHO merekomendasikan klasifikasi penggunaan antibiotik secara
Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) Classification.
Penilaian kualitas penggunaan antibiotik dapat dinilai dengan melihat rekam
pemberian antibiotik dan rekam medik pasien. Penilaian dilakukan dengan
mempertimbangkan kesesuaian diagnosis (gejala klinis dan hasil laboratorium),
indikasi, regimen dosis, keamanan dan harga (8).
9
- Menggunakan antibiotik yang tidak efektif secara in vitro atau
in vivo
- Menggunakan antibiotik yang toksik walaupun ada yang
kurang toksik
b. Salah pemberian / pengunaan:
- Dosis tidak tepat
- Rute pemberian tidak tepat
- Durasi penggunaan antibiotik terlalu lama / terlalu singkat
- Kegagalan mendeteksi adanya efek toksik yang terjadi
- Mengganti antibiotik karena faktor tertentu
- Kepatuhan pasien tidak tercapai
c. Faktor lain yang menggagalkan terapi antibiotik:
- Resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik yang digunakan
- Terjadi superinfeksi (10).
F. RESISTENSI ANTIBIOTIKA
10
memecahkan cincin beta laktam dari penisilin, sehingga penisilin
tidak lagi aktif bekerja. Enzim lain yang juga dapat memecah obat
adalah adenilase, fosforilase dan asetilase.
b. Terjadinya perubahan permeabilitas kuman terhadap obat tertentu.
Contoh : beberapa kuman tertentu mempunyai barier khusu terhadap
segolongan obat, misalnya Streptokokus mempunyai barier alami
terhadap obat golongan aminoglikosida.
c. Terjadinya perubahan pada tempat/lokus tertentu didalam sel
sekelompok mikroorganisme tertentu yang menjadi target dari obat.
Contoh : obat golongan aminoglikosida memecah atau membunuh
kuman karena obat ini merusak sistem ribosom subunit 30S. bila oleh
suatu hal, fokus kerja obat pada ribosom 30S berubah, maka kuman
tidak lagi sensitif terhadap golongan obat ini.
d. Terjadinya perubahan pada metabolik pathway yang menjadi target
obat. Contoh : kuman yang resisten terhadap obat golongan
Sulfonamida, tidak memerlukan PABA dari luar sel, tapi dapat
menggunakan asam folat; sehingga sulfonamida yang berkompetisi
dengan PABA tidak berpengaruh apa-apa pada metabolisme sel.
e. Terjadi perubahan enzimatik sehingga kuman meskipun masih dapat
hidup dengan baik tapi kurang sensitif terhadap antibiotik. Contoh :
kuman yang sensitif terhadap sulfonamida mempunyai afinitas yang
lebih besar terhadap sulfonaida dibandingkan dengan PABA sehingga
kuman akan mati.
11
BAB III
12
Hasil analisis menunjukkan bahwa obat diare yang disimpan di rumah tangga
terbanyak adalah adsorbans (40,4%), diikuti antibiotik (22,4%) dan obat
tradisional (18,5%). Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa pemberian
antibiotika untuk pengobatan diare tanpa indikasi tahun 2013 cukup tinggi.
Diare merupakan suatu kondisi seseorang buang air besar dengan
konsistensi lembek atau cair, atau air saja dan frekuensinya lebih sering (biasanya
3 kali atau lebih) dalam satu hari. Secara klinis diare dapat disebabkan oleh
infeksi bakteri (Campylobacter, Salmonella, Shigella, Escherichia coli dan Vibrio
cholera), infeksi virus (rotavirus, norovirus, cytomegalovirus, herpes simplex dan
viral hepatitis), parasit (Giardia lamblia, Entamoeba histolytica dan
Cryptosporidium), malabsorpsi, alergi, keracunan, imunodefisiensi dan lain-lain.
Gejala penyakit diare dapat bervariasi tergantung penyebabnya, jika penyebabnya
infeksi, sering gejala yang timbul adalah sakit perut, kram, kadang-kadang disertai
gejala demam, menggigil dan tinja berdarah.
Pada umumnya, obat diare yang dapat digunakan pada swamedikasi
merupakan golongan obat bebas seperti pengganti cairan tubuh, suplemen zinc,
adsorbans) yang dapat diperoleh tanpa resep dokter. Pemberian antibiotika pada
pengobatan diare harus didasarkan pada pembiakan bakteri yang menunjukkan
hasil positif terinfeksi bakteri tertentu atau sesuai dengan indikasi (diare berdarah,
kolera, diare disertai penyakit penyerta lain). Pemberian antibiotika yang tidak
tepat dapat membunuh flora normal yang dibutuhkan tubuh, menimbulkan
resistensi, selain itu dapat menimbulkan efek samping khususnya pada anak
seperti gangguan fungsi ginjal dan hati.
Swamedikasi diare menggunkan antibiotika menunjukkan mudahnya akses
konsumen dalam mendapatkan antibiotika di apotek dan tempat pelayanan
kesehatan. Konsumen bebas membeli antibiotika tanpa menggunakan resep.
Penggunaan antibiotika tanpa indikasi, mudahnya akses terhadap antibiotika dan
adanya swamedikasi yang tidak tepat merupakan hal-hal yang dapat menimbulkan
resistensi. Oleh karena itu diperlukan peran apoteker dan tenaga kesehatan lainnya
untuk memonitoring dan mengawasi peredaran antibiotika serta perlu
dilakukannya edukasi mengenai penggunaan antibiotika agar antibiotika dapat
digunakan secara tepat, aman dan rasional.
13
Penggunaan obat secara rasional terjadi jika pasien menerima obat yang
tepat dengan kebutuhannya serta ditunjukkan untuk periode waktu yang tepat.
Pengobatan dikatakan tepat pasien apabila obat yang diberikan sesuai dengan
kondisi fisiologis dan patologis pasien atau tidak adanya kontraindikasi dengan
kondisi pasien. Selain itu obat yang diberikan harus tepat meliputi diagnosis,
indikasi, pemilihan obat, dosis, cara pemberian, interval waktu pemberian, lama
pemberian, waspada terhadap efek samping, tepat penilaian kondisi pasien, obat
aman, bermutu baik dan harga terjangkau, pemberian informasi yang tepat serta
tepat tindak lanjut.
14
BAB IV
A. KESIMPULAN
Pengobatan dikatakan tepat pasien apabila obat yang diberikan sesuai dengan
kondisi fisiologis dan patologis pasien atau tidak adanya kontraindikasi
dengan kondisi pasien. Penggunaan antibiotika terutama dalam swamedikasi
diare sangatlah tidak tepat, terutama jika tidak ada hal-hal yang
mengindikasikan bahwa diare tersebut disebabkan oleh bakteri atau
menunjukkan hasil uji kultur bakteri positif. Penggunaan antibiotika untuk
swamedikasi diare bukanlah hal yang tepat. Akibat dari irrasionalitas
penggunaan antibiotika tersebut dapat menyebabkan resistensi. Resistensi
muncul sebagai akibat pemakaian antibiotika yang tidak tepat dosis, macam
dan lama pemberian sehingga kuman berubah menjadi resisten.
B. SARAN
Peningkatan pengawasan, monitoring, dan evaluasi implementasi kebijakan
penggunaan antibiotika di RS, apotek atau pelayanan kesehatan lainnya
sehingga dapat berjalan dengan baik, bila perlu terapkan reward dan
punishment atau motivation. Hasil supervisi, monitoring, evaluasi, umpan
balik dan rekomendasinya agar disosialisasikan. Melakukan edukasi
mengenai penggunaan antibiotika secara tepat, aman dan rasional untuk
mendapatkan hasil terapi yang diinginkan dan mencegah terjadinya resistensi.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Brooks GF, Janet SB, Stephen A.M. Jawetz, Melnick and Adelbergs,
Mikrobiologi Kedokteran (Medical Microbiology) Buku II, Alih Bahasa oleh
Mudihardi, E., Kuntaman, Wasito, E.B., Mertaniasih, N.M., Harsono, S., dan
Alimsardjono, L. Jakarta. Salemba Medika. 2005.
5. APUA (Alliance for the Prudent Use of Antibiotics). The cost of antibiotic resistance
to U.S. families and the health care system. Alliance for the Prudent Use of
Antibiotics. 2010.
16
10. Tripathi K. D. Antimicrobial drugs : general consideration. Essential of
medical pharmacology. Fifth edition. India : Jaypee brothers medical
publishers. 2013. h 688-692.
11. Wattimena JR, Sugiarso NC, Widianto MB, et al, editors. Farmakodinamik
dan Terapi Antibiotik. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press; 1991. h. 1-
2, 19-23, 30-31, 47-48, 309-313.
17