Anda di halaman 1dari 28

TRAUMA KAPITIS

I. KONSEP DASAR
A. Definisi & Etiologi
Cedera pada otak bisa berasal dari trauma langsung atau tidak langsung pada
kepala. Trauma tidak langsung disebabkan
karena tingginya tahanan atau kekuatan yang
merobek terkena pada kepala akibat menarik
leher. Trauma langsung bila kepala langsung
terluka. Semua itu berakibat terjadinya
akselerasi-deselerasi dan pembentukan
rongga.. trauma langsung juga menyebabkan
rotasi tengkorak dan isinya. Kekuatan itu bisa terjadi seketika atau menyusul rusaknya
otak oleh kompresi, goresan atau tekanan.

B. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya
melalui proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan oksigen. Jadi kekurangan
aliran darah keotak tidak walaupun
sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula
dengan kebutuhan glukosa sebagai
bahan bakar metabolisme otak, tidak
boleh kurang dari 20 mg%, karena
akan menimbulkan koma.
Kebutuhan glukosa sebanyak 25%
dari seluruh kebutuhan glukosa
tubuh, sehingga bila kadar glukosa
plasma turun sampai 70% akan
terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral.
Pada saraf otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolic anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan as. Laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini menyebabkan
timbulnya metabolic asidiosis. Dalam keadaan normal aliran darah serebral (CBF)
adalah 50 – 60 ml/ menit /100gr jaringan otak yang merupakan 15% dari curah
jantung (CO).

C. Mekanisme Cedera
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam
menentukan berat-ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Cedera
percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala
yang diam, seperti trauma akibat benda tumpul, atau karena terkena lemparan
benda tumpul. Cedar perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur
objek yang secara relative tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua
kekuatan ini mungkin terjadi secara bersaman bila terdapat gerakan kepala tiba-
tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara
kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi
pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi
alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan mungkin karena memar
pada permukan otak, laserasi substansia alba, cedara robekan atau hemoragi.
Sebagai akibat, cedaea sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi
hyperemia (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas
kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan intracranial
(TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi
hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.

D. Manifestasi Klinis
Trauma otak mempengaruhi setiap system tubuh. Manifestasi klinis cedera
otak meliputi gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba
deficit neurologik, dan perubahan tanda vital. Mungkin ada gangguan penglihatan
dan pendengaran, disfungsi sensori, kejang otot, sakit kepala, vertigo, gangguan
pergerakan, kejang, dan banyak efek lainnya. Karena cedera SSP sendiri tidak
meyebabkan syok, adanya syok hipovolemik menunjukkan kemungkinan cedera
multisistem.
1. Cedera Kepala Ringan
a. cedera kepala sekunder yang ditandai dengan nyeri kepala, tidak pingsan, tidak
muntah, tidak ada tanda-tanda neurology.
b. Komusio serebri ditandai denga tidak sadar kurang dari 10 menit, muntah,
nyeri kepala, tidak ada tanda-tanda neurology.
2. Cedera Kepala Sedang
Ditandai dengan pingsan lebih dari 10 menit, muntah, amnesia, dan tanda-tanda
neurology.
3. Cedera Kepala Berat
a. laserasi serebri ditandai dengan pingsan berhari-hari atau berbulan-bulan,
kelumpuhan anggota gerak, biasanya disertai fraktur basis kranii.
b. Perdarahan epidural ditandai dengan pingsan sebentar-sebentar kemudian sadar
lagi namun beberapa saat pingsan lagi, mata sembab, pupil anisokor, bradikardi,
tekanan darah dan suhu meningkat.
c. Perdarahan subdural ditandai dengan perubahan subdural, nyeri kepala, TIK
meningkat, lumpuh.

E. Klasifikasi Cedera Kepala


1. Klasifikasi Patologi Cedera Kepala
a. Cedera kepala primer
Cedera kepala primer mencakup : fraktur tulang, cedera fokal, dan cedera
otak difusa, yang masing-masing mempunyai mekanisme etiologis dan
patofisiologi yang unik.
1) Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak,
naumun biasanya jejas ini bukan merupakan penyebab utama
timbulnya kecacatan neurologis.
2) Cedera fokal merupakan akibat kerusakan setempat yang biasanya
dijumpai pada kira-kira separuh dari kasus cedera kepala berat.
Kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural,
dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata
telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas.
3) Cedar otak difusa pada dasarnya berbeda dengan cedera fokal, di mana
keadaan ini berkaitan dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya
tidak tampak secara makroskopis. Mengingat bahwa kerusakan yang
terjadi kebanyakan melibatkan akson-akson, maka cedar ini juga
dikenal dengan cedera aksional difusa.
b. Kerusakan otak sekunder
Cedera kepala berat seringkali menampilkan abnormalitas/gangguan
sistemik akibat hipoksia dan hipotensi, di mana keadaan-keadaan ini
merupakan penyebab tersering dari kerusakan otak sekunder . hipoksia dan
hipotensi semata akan menyebabkan perubahan-perubahan minimal, yang
kemusian bersamaan dengan efek cedera mekanis memperberat gangguan-
gangguan metabolisme serebral.
Hipoksia dapat merupaka akibat dari kejadian aspirasi, obstyruksi jalan
nafas, atau cedera toraks yang terjadi bersamaan dengan trauma kepala,
namun sering juga terjadi hipoksia pascacedera kepala dengan ventilasi
normal dan tanpa adanya keadaan-keadaan tersebut di atas. Hipotensi pada
penderita cedera kepala biasanya hanya sementara yaitu sesaat setelah konkusi
atau merupaka tahap akhir dari kegagalan meduler yang berkaitan dengan
herniasi serebral.
c. Edema serebral
Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepal madalah edema
vasogenik dan edema iskemik. Edema vasogenik disebabkan oleh adanya
peningkatan oermeabilitas kapiler akibat sawar darah otak sehingga terjadi
penimbunan cairan plasma ekstraseluler terutama di massa putih serebral.
Edema iskemik merupakan penimbunan cairan intraseluler sehingga sel
tersebut tidak dapat mempertahankan keseimbangan cairannya.
Edema serebral yang mencapai maksimal pada hari ke tiga pascacedera,
dapat menimbulkan suatu efek massa yang bermakna. Di samping itu edema
ini sendiri dapat juga terjadi, tanpa adanya tampilan suatu kontusi atau
perdarahan intraserebral. Keadaan ini dapat terjadi akibat gangguan sekunder
dari hipotensi sistemik dan hipoksia, cedera arterial atau hipertensi
intracranial. Gangguan aliran darah serebral traumayika yang mengakibatkan
anoksia jaringan juga tampil sebagai daerah “swelling” hipodens difus.
d. Pergeseran otak(Brain Shift)-herniasi batang otak
Adanya suatu massa yang berkembang membesar (hematom, abses atau
pembengkakan otak) di semua lokasi dalam kavitas intracranial
(epidural/subdural/intraserebral,supra-/infratentorial)biasanya akan
menyebabkan pergeseran dan distorsi otak, yang bersamaan dengan
peningkatan intracranial akan mengarah terjadi herniasi otak, keluar dari
kompartemen intracranial di mana massa tersebut berada.
2. Klasifikasi Klinis Cedera Kepala
Cedera kepala pada praktek klinis sehari-hari dikelompokkan atas empat gradasi
sehubungan dengan kepentingan seleksi perawatan penderita, pemantauan
diagnostic-klinik penanganan dan prognosisnya, yaitu :
 Tingkat I : bila dijumpai adanya riwayat kehilangan
kesadaran/pingsan yang sesaat setelah mengakami trauma, dan kemudian
sadar kembali. Pada waktu diperiksa dalam keadaan sadar penuh, orientasi
baik, dan tidak ada deficit neurologist.
 Tingkat II : kesadaran menurun namun masih dapat mengikuti perintah-
perintah yang sederhana, dan dijumpai adanya deficit neurologist fokal.
 Tingkat III : kesadaran yang sangat menurun dan tidak bisa mengikuti
perintah (walaupun sederhana)sana sekali. Penderita masih bisa bersuara ,
namun susunan kata-kata dan orientasinya kacau, gaduh gelisah. Respon
motorik bervariasi dari keadaan yang masih mampu melokalisir rasa sakit
sampai tidak ada respon sama sekali. Postur tubuh dapat menampilkan
posisi dekortikasi-deserebrasi.
 Tingkat IV : tidak ada fungsi neurologist sama sekali.
 Pemeriksaan GCS
Pemeriksaaan GCS
Dilakukan dengan memeriksa respon dari 3 area : membuka mata, respon
verbal dan respon motorik. Skor terendah 3 dan tertinggi 15. Respon motorik
dinilai yang terbaik dari kedua sisi.

Respon membuka mata (eye)


(4). Spontan dengan adanya kedipan
(3). Dengan suara
(2). Dengan nyeri
(1). Tidak ada reaksi
Respon bicara (verbal)
(5). Orientasi baik
(4). Disorientasi (mengacau/bingung)
(3). Keluar kata-kata yang tidak teratur
(2). Suara yang tidak berbentuk kata
(1). Tidak ada suara
Respon bicara (verbal) untuk anak-anak
(5). Kata-kata bermakna, senyum, mengikuti objek
(4). Menangis, tapi bisa diredakan
(3). Teriritasi secara menetap
(2). Gelisah, teragitasi
(1). Diam saja
Respon motorik (motor)
(6). Mengikuti perintah
(5). Melokalisir nyeri
(4). Menarik ekstremitas yang dirangsang
(3). Fleksi abnormal (dekortikasi)
(2). Ekstensi abnormal (decerebrasi)
(1). Tidak ada gerakan
Nilai GCS = (E+V+M) = 15 (terbaik) dan 3 (terburuk)

Kategori Penentuan Keparahan Cedera Kepala berdasarkan Nilai Glasgow Coma


Scale(GCS).

Penentua
n Deskripsi Frekuensi
keparahan

Minor  GCS 13 – 15 55 %
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi
kurang dari 30 menit.
 Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio serebral,
hematoma
 Tidak ada intoksikasi obat atau alcohol
 Dapat mengeluh nyeri kepala atau dizziness
 Pemerikasaan Neuorologi normal

 GCS 9 – 12
Sedang  Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 24 %

menit tetapi kurang dari 24 jam.


 Dapat mengalami fraktur tengkorak
 Muntah
 Seizure
 Intoksikasi obat atau alcohol
 Tidak ada riwayat cedera atau riwayat tidak jelas
 GCS 3 – 8
Berat  Kehilanmgan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 21 %
24 jam
 Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intracranial.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Rontgen tengkorak
Untuk mengetahui perubahan struktur tengkorak.
2. Ct scan kepala
Untuk mengetahui perubahan struktur tengkorak, adanya Sol, hemoragik,
pergeseran jaringan otak.
3. Angiografi serebral
Untuk mengetahui hematoma serebral, kelainan sirkulasi serebral.
4. EEG
Untuk mengetahui pergeseran susunan garis tengah otak
5. Laboratorium
Pemeriksaan darah, Hb dan leukosit.

G. Penatalaksanaan
Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat/emergensi
didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap “6 B”, yakni :
1. Breathing
Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan penderita. Adanya
obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-tindakan : suction,
intubasi, trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu,
merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edem serebri.
2. Blood
Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb,
leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mencirikan
adanya suatu peninggian tekanan intracranial; sebaliknya tekanan darah yang
menurun dan makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok
mhipovolemik akibat perdarahan (yang kebanyakan bukan dari kepala/otak)dan
memerlukan tindakan transfusi.
3. Brain
Langkah awal penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata,
motorik, dan verbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan implikasi
perbaikan/perburukan cedera kepal tersebut, dan bila pada pemantauan
menunjukkan adanya perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebnih mendalam
mengenai keadaan pupil(ukuran, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya) serta
gerakan-gerakan bola mata.
4. Bladder
Kandung kemih perlu selalu dikosongkan(pemasangan kateter) mengingat bahwa
kandung kemih yang epnuh merupakan suatu rangsangan untuk mengedan
sehingga tekanan intracranial cenderung lebih meningkat.
5. Bowel
Seperti halnya di atas, bahwa usus yang penuh juga cenderung untuk meninggikan
TIK.
6. Bone
Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder infeksi.

H. Komplikasi
Jangka pendek :
1. Hematom Epidural
o Letak : antara tulang tengkorak dan duramater
o Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya
o Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri
kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam
kemudian timbul gejala-gejala yang memperberat progresif seperti nyeri kepala,
pusing, kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada
sisi perdarahan mula-mula sempit, lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi
terhadap refleks cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi
tentorial.
o Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)
o Interval lucid
o Peningkatan TIK
o Gejala lateralisasi → hemiparese
o Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati
hematoma subkutan
o Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar.
Pada sisi kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda kerusakan
traktus piramidalis, misal: hemiparesis, refleks tendon meninggi dan refleks
patologik positif.
o CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks
o LCS : jernih
o Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan
pengikatan pembuluh darah.
2. Hematom subdural
o Letak : di bawah duramater
o Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan
laserasi piamater serta arachnoid dari kortex cerebri
o Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama
Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma
o CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian
Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent.
Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim otak
(bagian dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar sesuai lengkung tulang
tengkorak)
Isodens → terlihat dari midline yang bergeser
o Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak
(dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural
hematom akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.
3. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak pada
lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa
hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita dengan
perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi
dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan
manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.
4. Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya, mungkin
hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya lebih
berat. Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin melambat. Gejala-gejala
kerusakan jaringan otak juga tidak ada. Cairan otak pun normal, hanya
tekanannya dapat meninggi.
• TIK meningkat
• Cephalgia memberat
• Kesadaran menurun
Jangka Panjang :
1. Gangguan neurologis
Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N. VIII,
disartria, disfagia, kadang ada hemiparese
2. Sindrom pasca trauma
Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi berkurang, libido menurun,
mudah tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa, gangguan
tingkah laku, misalnya: menjadi kekanak-kanakan, penurunan intelegensia,
menarik diri, dan depresi.

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M.E, MF, Geissler, Ac. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. EGC : Jakarta.

Harnawati, 21 Februari (2008). Trauma kapitis, diakses tanggal 15 Agustus 2010,


<http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/02/21/trauma-kapitis/>.

Kadri, A. 23 Desember (2008). Peranan marker koagulasi sebagai predictor outcome


pada penderita trauma kapitis. Universitas Sumatera Utara : Medan.
Majid, Y. 22 Desember (2008). Trauma capitis, diakses tanggal 15 Agustus 2010,
<http://patoflowaskep.blogspot.com/2008/12/trauma-capitis.html>.

Smeltzer, SC. & Bare, BG. (2002). Keperawatan medikal bedah. EGC : Jakarta.

Laporan Pendahuluan

TRAUMA KAPITIS
Oleh :
Dian Ayu Ismarani B.
C 121 06 022

C. I. Lahan C.I. Institusi

( ) ( )

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2010

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA KAPITIS

DASAR DATA PENGKAJIAN PASIEN


Data tergantung pada tipe, lokasi, dan keparahan cedera dan mungkin dipersulit oleh cedera
tambahan pada organ-organ vital.

Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, hilang keseimbangan.
Tanda :.Perubahan kesadaran,letargi,hemiparese quadreplegia, ataksia, cara berjalan tak tegap.
Masalah dalam keseimbangan cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot, otot
spastik.
Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi).
Perubahan frekwensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
Tanda :Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif.
Eliminasi
Gejala : Inkontinentia kandungan kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi.
Makanan/Cairan
Gejala : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera.
Tanda :Muntah (mungkin proyektil).
Gangguan menelan (batuk, air liur keluar disfagia)
Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian. Vertigo, sinkope,
tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas. Perubahan dalam
penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang,
fotofobia.
Gangguan pengecapan dan juga penciuman.
Tanda ;Perubahan kesadaran sampai koma.
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata,
ketidakmampuan mengikuti.
Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran.
Wajah tidak simetri.
Genggaman lemah, tidak seimbang.
Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah.
Apraksia, hemiparise, quedreplegia.
Postur (dekortikasi, deserebrasi), kejang.
Sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan.
Kehilangan sensasi sebagian tubuh.
Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Tanda :Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak
bisa beristirahat, merintih.
Pernapasan
Tanda :Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor,
tersedak.
Ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda :Fraktur/dislokasi.
Gangguan penglihatan
Kulit laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon eye” tanda Batle di
sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma).. Adanya aliran cairan
(drainase) dari telinga/hidung (CSS).
Gangguan kognitif.
Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami
paralysis.
Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria,
anomia.
Pemenuhan Pembelajaran
Gejala : Penggunaan alkohol/obat lain.
Pertimbangan Rencana Pemulangan :
Membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi, menyiapkan makan,
belanja, perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang dan
penempatan fasilitas lainnya di rumah.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Scan CT (tanpa/dengan kontras): mengidentifikasi adanya SOL, hemoragic, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan pemeriksaan berulang mungkin diperlukan
karena iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24 – 72 jam pascatrauma.
MRI : sama dengan skan CT dengan/tanpa menggunakan kontras.
Angiografi serebral : menunjukan kelaianan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan, trauma.
EEG : Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis,
Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis
tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.
BAER (Brain Auditori Evoked Respons) : menentuk fungsi korteks dan batang otak.
PET (Positron Emission Tomografi) : menunjukan perubahan aktivitas metabolisme dalam
otak.
Pungsi Lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarachniod .
GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahuai adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang dapat
meningkatkan TIK..
Kimia/Elektrolit Darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan
TIK/perubahan mental.
Pemeriksaan Toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab dalam
penurunan kesadaran.
Kadar Antikonvulsan Darah : Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif untuk mengatasi kejang.

PRIORITAS KEPERAWATAN
1. Memaksimalkan perfusi/fungsi serebral.
2. Mencegah atau meminimalkan komplikasi.
3. Mengoptimalkan fungsi otak/mengembalikan pada keadaan sebelum terjadi trauma.
4. Menyokong proses koping dan pemulihan keluarga.
5. Memberikan informasi mengenai proses/prognosis penyakit, rencana tindakan dan
sumber daya yang ada .

TUJUAN PEMULANGAN
1. Fungsi serebral meningkat ; defisit neurology dapat diperbaiki atau distabilkan (tidak
berkembang lagi)
2. Komplikasi tidak terjadi.
3. AKS (Aktivitas Kegiatan sehari-hari) dapat terpenuhi sendiri atau dengan bantuan orang
lain.
4. Keluarga memahami keadaan yang sebenarnya dan dapat terlibat dalam proses
pemulihan.
5. Proses/prognosis penyakit dan penanganan (tindakannya) dapat dipahami dan mampu
mengidentifikasi dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia.

DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI


1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh
SOL (hemoragi dan hematom), edema serebral, penurunan TD/hipoksia ditandai dengan
:
Perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, peruhan respon motorik,
sernsorik, gelisah, perubahan tanda vital
Tujuan : mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi
motorik/sesnsorik.
Kriteria : Tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda peningkatan TIK.
Intervensi :
a. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang
menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan
TIK.
R/ : menentukkan pilihan intervensi, penurunan tanda gwjala neurologis atau
kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal mungkin menunjukan
bahwa pasien itu perlu dipindahkan ke perawatan intensif untuk memantau TIK
dan atau pembedahan
b. Pantau/catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar
(misalnya Skala Coms Glascow)
R/ : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan
perkembangan kerusakan SSP.
- Evaluasi kemampuan membuka mata, seperti spontan (sadar penuh),
membuka hanya jika diberi rangsangan nyeri, atau tetap tertutup (koma).
R/ : Menentukan tingkat kesadaran.
- Kaji respon verbal; catat apakah pasien sadar, orientasi terhadap orang,
waktu dan tempat baik atau malah bingung; menggunakan kata-kata/frase
yang tidak sesuai
R/ : mengukur kesesuaian dalam berbicara dan menentukan tingkat
kesadaran.
- Kaji respon motorik terhadap perintah yang sederhana, gerakan yang
bertujuan (patuh terhadap perintah, berusaha untuk menghilangkan rangsang
nyeri yang diberikan) dan gerakan yang tidak bertujuan (kelainan postur
tubuh). Catat gerakan anggota tubuh dan catat sisi kiri dan kanan secara
terpisah .
R/ : Mengukur kesadaran secara keseluruhan dan kemamppuam untuk
berespon pada rangsangan eksternal dan merupakan petunjuk keadaan
kesadaran terbaik pada pasien yang matanya tertutup sebagai akibat pasien
trauma atau afasia. Pasien dikatakan sadar apabila pasien dapat meremas atau
melepas tangan pemeriksa atau dapat menggerakan tangan sesuai dengan
perintah. Gerakan yang bertujuan dapat meliputi mimik kesakitan atau
gerakan menarik atau menjauhi rangsangan nyeri. Gerakan lain (fleksi
abnormal dari ekstremitas tubuh) biasanya sebagai indikasi kerusakan serebral
yang menyebar. Tidak adanya gerakan spontan pada salah satu sisi tubuh yang
menandakan kerusakan pada jalan motorik pada hemisfer otak yang
berlawanan (kontralateral).
c. Pantau TD
- Catat adanya hipertensi sistolik secara terus menerus dan tenaga nadi
yang semakin berat; observasi terhadap hipertensi pada pasien yang
mengalami trauma multiple.
R/ : Normalnya, autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang konstan
pada saat ada fluktasi tekanan darah sistemik. Kehilangan autoregulasi dapat
mengikuti kerusakakan vaskularisasi serebral lokal atau menyebar.
Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti oleh penurunan tekanan
darah diastole merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh
penurunan tingkat kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat juga
mengakibatkan kerusakan/iskemia serebral.
- Frekwenai jantung, catat adanya bradikardia, takikardia, atau bentuk disritmia
lainnya.
R/ : Perubahan pada ritme (paling sering bradikaria) dan disritmia dapat
timbul yang mencerminkan adanya depresi/trauma pada batang otak pada
pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung sebelumnya.
- Pantau pernapasan meliputi pola dan iramanya, seperti adanya periode apnue
setelah hiperventilasi yang disebut pernapasan cheynestokes.
R/ : Napas yang tidak teratur dapat menunjukan adanya gangguan
serebral/peningkatan TIK dan memerlukan intervensi yang lebih lanjut
termasuk kemungkinan dukungan napas buatan.
d. Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketjaman, kesamaan antara kiri dan kanan,
dan reaksinya terhadap cahaya.
R/ : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (N.III) dan berguna untuk
menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/kesamaan ditentukan oleh
keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap
cahaya mencerminkan fungsi yang terkoordinasi dari saraf cranial optikus dan
okulomotorius.
e. Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya penglihatan yang kabur, ganda,
lapang pandang menyempit dan kedalaman persepsi.
R/ : Gangguan penglihatan, yang dapat diakibatkan oleh kerusakan mikroskopik
pada otak, mempunyai konsekwensi terhadap keamanan dan juga akan
mempengaruhi pilihan intervensi.
f. Kaji l;etak/gerakan mata, catat apakah pada posisi tengah atau ada deviasi pada
satu sisi atau kebawah. Catat pula hilangnya refleks DOLLS EYE.
R/ : Posisi dan gerakan mata membantu menemukan lokasi area otak yang
terlibat. Tanda awal dari peningkatan TIK adalah kegagalan dalam kegagalan
dalam abduksi pada mata, mengindikasikan penekanan/trauma pada saraf cranial
V.Hilangnya DOLLS EYE mengindikasikan adanya penurunan pada fungsi
batang otak dan prognosisnya jelek.
g. Catat ada tidaknya refelks-refleks tertentu seperti refleks menelan, batuk dan
Babinski dan sebagainya.
R/ : Penurunan refleks menandakan adanya kerusakan pada tingkat otak tengah
atau batang otak dan sangat berpengaruh langsung terhadap pasien. Refleks
Babinski positif mengindikasikan adanya trauma sepanjang jalur piramida pada
otak
h. Pertahankan kepala/leher pada posisi tengah/posisi netral, sokong dengan
gulungan handuk kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada kepala.
R/ : Kepala yang miring pada satu sisi akan menekan vena jugularis dan
menghambat aliran darah vena.yang selanjutnya akan meningkatkan TIK.
i. Kolaborasi :
- Tinggikan kepala pasien 15 – 45 derajat sesuai indikasi yang dapat
ditoleransi.
R/ : Meningkatkan aliran balik vena dari kepal sehingga akan mengurangi
kongesti dan edema atau risiko terjadinya peningkatan TIK.
- Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
R/ : menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan vasodilatasi dan
volume darah serebral yang meningkatkan TIK.
- Berikan obat sesuai indikasi.
Diuretik (manitol, furosemid)
R/ : Diuretik dapat digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel
otak, menurunkan edema otak dan TIK.
Steroid (dexametason, metilprednisolon).
R/ : menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema jaringan.
Antikonvulsan (Fenitoin).
R/ : untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktivitas kejang.
Analgetik (Kodein).
R/ : Untuk menghilangkan nyeri.
Sedatif (Difenhidramin).
R/ : untuk mengendalikan kegelisahan.
Antipiretik ( asetaminofen).
R/ : Mengendalikan demam.

2. Risiko pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, obstruksi
trakeobronchial.
Tujuan : mempertahankan pola pernapasan normal/efektif, bebas sianosis dengan GDA
dalam batas normal pasien.
Intervensi :
a. Pantau frekwensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidak teraturan pernapasan.
R/ : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal (umumnya mengikuti
cedera otak) atau menandakan lokasi /luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat,
periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
b. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.
R/ : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan kemungkinan
lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
c. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif jika pasien sadar.
R/ : mencegah/menurunkan atelektasis.
d. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat
karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
R/ : Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan
imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapapan
pada trachea yang lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati, karena hal
tersebut dapat mengakibatkan hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang pada
akhirnya akan berpengaruh cukup besar terhadap perfusi serebral.
e. Kolaborasi :
- Pantau atau gambarkan analisa gas darah, tekanan oksimetri
R/ : Menentukan kecukupan pernapasan. Keseimbangan asam basa dan kebutuhan
akan terapi.
- Lakukan ronsen toraks ulang
R/ : melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tanda komplikasi yang
berkembang (seperti atelektasis atau bronkopneumonia).
- Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.
R/ : Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan peningkatan TIK
fase akut namun tindakan ini seringkali berguna pada pada akut rehabilitasi untuk
memobilisasi dan memberikan jalan napas dan menurunkan risiko
atelektasis/komplikasi paru lainnya.

3. Perubahan Persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi sensori, transmisi


dan/atau integrasi (trauma atau defisit neureologis, ditandai dengan :
Disorientasi waktu, tempat dan orang; perubahan dalam respons terhadap rangsang;
inkoordinasi motorik; perubahan dalam postur; ketidakmampuan untuk memberitahu
posisi bagian tubuh (propiosepsi); perubahan pola komunikasi, distorsi audiotorius dan
visual; konsentrasi buruk, perubahan proses berpikir/berpikir ngacau.
Tujuan : Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi
persepsi.
Kriteria : Mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlambatan residu.
Mendemonstrasikan perubahan perilaku/gaya hidup untuk mengkompensasi/defisit hasil.

Intervensi :
a. Evaluasi/pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam
perasaan/afektif, sensorik dan proses piker
R/ : Fungsi serebral bagian atas biasanya terlebih dahulu oleh adanya gangguan
sirkulasi, oksigenasi. Kerusakan dapat terjadi saat trauma awal atau kadang-kadang
berkembang setelahnya akibat dari pembengkakan atau perdarahan. Perubahan
motorik, persepsi, kognitif dan kepribadian mungkin berkembang dan menetap
dengan perbaikan respons secara perlahan-lahan atau tetap bertahan secara terus
menerus pada derajat tertentu.
b. Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas/dingin, benda tajam/tumpul
dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh. Perhatikan adanya masalah
penglihatan atau sensasi yang lain.
R/ : Informasi penting untuk keamanan pasien. Semua sistem sensorik dapat
terpengaruh dengan adanya perubahan yang melibatkan peningkatan atau penurunan
sensitivitas atau kehilangan sensasi/kemampuan untuk menerima dan berespons
secara sesuai pada suatu stimuli.
c. Hilangkan suara bising/stimuli yang berlebihan sesuai kebutuhan
R/ : menurunkan ansietas, respon emosi yang berlebihan/bingung yang berhubungan
dengan sensorik yang berlebihan.
d. Buat jadual istirahat yang adekuat/periode tidur tanpa adanya gangguan.
R/ : Mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan, memberikan kesempatan untuk
tidur REM (ketidakadanya tidur REM ini dapat meningkatkan gangguan persepsi
sensorik).
e. Gunakan penerangan siang atau malam hari.
R/ : Memberikan perasaan normal tentang pola perubahan waktu dan pola
tidur/bangun.
f. Kolaborasi :
- Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terpi wicara, dan terapi
kognitif.
R/ : Pendekatan antar disiplin dapat menciptakan rencana penatalaksanaan
terintegrasi yang didasarkan atas kombinasi kemampuan/ketidakmampuan secara
individu yang unik dengan berfokus pada peningkatan evaluasi dan fungsi fisik, dan
ketrampilan perceptual.

4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif ditandai
dengan : ketidakmampuan bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik, termasuk
mobilitas ditempat tidur, pemindahan, ambulasi. Kerusakan koordinasi, keterbatasan
rentang gerak, penurunan kekuatan kontrol otot.
Tujuan : melakukan kembali/mempertahankan posisi fungsi optimal dibuktikan
oleh tidak adanya kontraktur, footdrop.
Kriteria hasil : Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang
sakit dan /atau kompensasi. Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan
dilakukannya kembali aktivitas. Mempertahankan integritas kulit, kandung kemih dan
fungsi usus.
Intervensi :
a. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang
terjadi.
R/ : Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi
pilihan intervensi yang akan dilakukan.
b. Kaji derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan (0-4).
R/ : Pasien mampu mandiri (nilai 0) atau memerlukan bantuan/peralatan yang
minimal (nilai 1); memerlukan bantuan sedang/dengan pengawasan/diajarkan (nilai
2); memerlukan bantuan/peralatan yang terus menerus dan alat khusus (nilai 3); atau
tergantung secara total pada pemberi asuhan (nilai 4). Seseorang dalam semua
kategori sama-sama mempunyai risiko kecelakaan, namun kategori dengan nilai 2 –
4 mempunyai risiko yang terbesar untuk terjadinya bahaya tersebut sehubungan
imobilisasi.
c. Beri/Bantu untuk melakukan latihan rentang gerak.
R/ : Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi/posisi normal ekstremitas dan
menurunkan terjadinya vena yang statis.
d. Berikan perawatan kulit yang cermat, masase dengan pelembab, dan ganti
linen/pakaian yang basah dan pertahankan linen tersebut tetap bersih dan bebas dari
kerutan (jaga tetap tegang).
R/ : Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan risiko terjadinya
ekskoriasi kulit.
e. Pantau haluaran urine. Catat warna dan bau dari urine. Bantu dengan latihan kandung
kemih jika memungkinkan.
R/ : Pemakaian kateter Foley selama fase akut memungkinkan dibutuhkan untuk
jangka waktu yang panjang sebelum memungkinkan untuk dilakukan latihan
kandung kemih. Saat kateter dilepas, beberapa metode kontrol dapat dicoba seperti
kateterisasi intermiten (selama pengosongan sebagian atau seluruhnya);kateter
eksternal, interval diatas pispot memberikan duk inkontinen.
f. Berikan cairan dalam batas-batas yang dapat ditoleransi (contoh toleransi
neurologis dan jantung).
R/ : sesaat setelah fase akut cedera kepala, dan jika pasien tidak memiliki faktor
kontraindikasi yang lain, pemberian cairan yang memadai akan menurunkan risiko
terjadinya infeksi saluran kemih/batu ginjal/batu kandung kemih dan berpengaruh
cukup baik terhadap konsistensi feses yang normal dan turgor kulit menjadi optimal.

5. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur
invasif, penurunan kerja sillia, statis cairan tubuh, kekurangan nutrisi, respon inflamasi
(penggunaan steroid), perubahan sistem integritas tertutup (kebocoran CSS).
Tujuan : mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi, mencapai
penyembuhan luka tepat waktu bila ada.
Intervensi :
a. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan yang baik.
R/ : Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
b. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka, garis jahitan), daerah
yang terpasang alat invasi (terpasang infus dan sebagainya), catat karakterisitik dari
drainase dan adanya inflamasi.
R/ : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan
dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
c. Pantau suhu tubuh secara teratur. Catat adanya demam, mengigil, diaforosis, dan
perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
R/ : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan
evaluasi atau tindakan dengan segera.
d. Anjurkan untk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus
menerus, observasi karakterisitk sputum.
R/ : Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan risiko
terjadinya pneumonia, atelektasis. Catatan : Drainase postural harus digunakan
dengan hati-hati jika ada risiko terjadinya peningkatan TIK.
e. Berikan perawatan perawatan perineal. Pertahankan integritas dan sistem drainase
urine tertutup jika menggunakannya. Anjurkan untuk minum adekuat.
R/ : Menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan bakteri atau infeksi yang
merambah naik.
f. Observasi warna/kejernihan urine. Catat adanya bau busuk (yang tidak enak).
R/ : Sebagai indicator dari perkembangan infeksi pada saluran kemih yang
memerlukan tindakan dengan segera.
g. Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah pengunjung yang
mengalami infeksi saluran infeksi bagian atas.
R/ : Menurunkan pemajanan terhadap “pembawa kuman penyebab infeksi”
h. Kolaborasi :
- Berikan antibiotik sesuai indikasi.
R/ : Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma (perlukaan),
kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan risiko terjadinya
infeksi nosokomial.
- Ambil bahan pemeriksaan (spesimen) sesuai indikasi.
R/ : Kultur/sensitivitas, pewarnaan gram Gram dapat dilakukan untuk memastikan
adanya infeksi dan mengidentifikasi organisme penyebab dan untuk menentukan obat
pilihan yang sesuai.
6. Risiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan perubahan
kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang
diperlukan untuk mengunyah dan menelan, status hipermetabolik.
Tujuan : mendemonstrasikan kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan. Tidak
mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai laboratorium dalam batas-batas normal.
Intervensi :
a. Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi.
R/ : menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien terlindung dari
aspirasi
b. Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya atau suara yang hiperaktif.
R/ : Bising usus membantu dalam menentukan respons untuk makan atau
berkembangnya komplikasi seperti paralitik ileus.
c. Timbang berat badan sesuai indikasi.
R/ : mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.
d. Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien seperti tinggikan kepala tempat
tidur selama makan atau selamam pemberian makan lewat NGT.
R/ : menurunkan risiko regurgitasi atau terjadinya aspirasi.
e. Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur.
R/ : meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang
diberikan yang dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.
f. Tingkatkan kenyaman, lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat makan.
Anjurkan orang terdekat untuk membawa makanan yang disukai pasien.
R/ : Dapat meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi makan.
g. Kolaborasi :
- Konsultasi dengan ahli gizi.
R/ : merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan
kalori/nutrisi tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh, dan keadaan
penyakit sekarang.
- Pantau pemeriksaan laboratorium seperti albumin darah, zat besi,
ureum/kreatinin, glukosa, AST/ALT dan elektrolit darah.
R/ : mengidentifikasi defisiensi nutrisi. Fungsi organ dan respons terhadap terapi
nutrisi tersebut.
- Berikan makan dengan cara yang sesuai seperti melalui NGT, melalui oral dengan
makanan lunak dan cairan yang agak kental.
R/ : pemilihan rute pemberian tergantung pada kebutuhan dan kemampuan pasien.

7. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan


kurang pemajanan, tidak mengenal sumber-sumber informasi, kurang
mengingat/keterbatasan kognitif ditandai dengan meminta informasi, pernyataan salah
konsepsi, ketidakakuratan mengikuti instruksi.
Tujuan :
- Berpartisipasi dalam proses belajar.
- Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan pengobatan,
potensial komplikasi.
- Melakukan prosedur yang diperlukan dengan benar.
Intervensi :
a. Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari pasien dan juga
keluarganya.
R/ : memungkinkan untuk menyampaikan informasi yang didasarkan atas kebutuhan
secara kebutuhan.
b. Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan proses trauma dan pengaruh
sesudahnya.
R/ : membantu dalam menciptakan harapan yang realistis dan meningkatkan
pemahaman pada keadaan saat ini.
c. Diskusikan rancana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
R/ : berbagai tingkat bantuan perlu direncanakan yang didasarkan atas kebutuhan
yang bersifat individual.
d. Berikan instruksi dalam bentuk tulisan dan jadwal mengenai aktivitas, obat-obatan
dan faktor-faktor penting lainnya.
R/ : memberikan penguatan visual dan rujukan setelah sembuh.
e. Diskusikan dengan pasien dan orang terdekat perkembangan dari gejala seperti
munculnya tanda dan gejala yang pernah dialaminya saat trauma terjadi (pikiran
melayang, pikiran kacau, mimpi berulang/mimpi buruk), emosi/fisik yang sulit
berespon; perubahan gaya hidup termasuk adaptasi dan tingkah laku yang merusak.
R/ : Dapat menjadi tanda adanya eksaserbasi respon pasca traumatik yang dapat
terjadi dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah mengalami trauma.

Anda mungkin juga menyukai