Pemfigoid bulosa (PB) adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding tegang, dan pada pemeriksaan imunopatologik ditemukan C3 (komponen komplemen ke-3) pada epidermal basement membrane zone. Hal tersebut dihubungkan dengan autoantibodi dengan bersirkulasi melawan antigen-1 PB dan antigen-2 PB.1,2,3 Kelainan kulit terutama terdiri atas bula dapat bercampur dengan vesikel, berdinding tegang, sering disertai eritema. Tempat predileksi ialah diketiak, lengan bagian fleksor, dan lipat paha. Jika bula-bula pecah terdapat daerah erosif yang luas, tetapi tidak bertambah seperti pada pemfigus vulgaris. Mulut dapat terkena kira- kira pada 20% kasus. 1,2,3 Sebagian besar pasien dengan Pemfigoid Bulosa berumur lebih dari 60 tahun. Meskipun demikian, Pemfigoid Bulosa jarang terjadi pada anak-anak, dan laporan di sekitar awal tahun 1970 (ketika penggunaan immunofluoresensi untuk diagnosis menjadi lebih luas) adalah tidak akurat karena kemungkinan besar data tersebut memasukkan anak-anak dengan penanda IgA, daripada IgG, di zona membran basal. Tidak ada predileksi etnis, ras, atau jenis kelamin yang memiliki kecenderungan terkena penyakit Pemfigoid Bulosa. Insiden Pemfigoid Bulosa diperkirakan 7 per juta per tahun di Prancis dan Jerman, di Skorlandia terdapat lebih kurang 16 kasus per juta orang hidup setiap tahun. Data rekam medik departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) RSUP Dr. M. Hoesin Palembang menunjukkan sebanyak tida kasus PB yang dirawat inap pada tahun 2011.1,2,3,4 Diagnosis didasarkan pada pemeriksaan klinis, histopatologi, dan imunopatologi. Imunofluoresensi langsung (DIF) dari kulit perilesional menyoroti C3 dengan atau tanpa IgG. 1,2,3 Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk membahas Pemfigus Bulosa sebagai laporan kasus di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Palembang BARI.