Baik shalat wajib secara berjamaah atau punshalat sunnah, baik yang
dilakukan secara berjamaah maupun sendirian. Misalnya shalat tarawih,
shalat malam (qiyamullail), shalat witir, shalat sunnah sebelum shalat
shubuh, shalat Dhuha’, shalat sunnah rawatib (qabliyah dan ba’diyah) dan
lainnya.
B. Zikir
Semua bentuk zikir sangat dianjurkan untuk dibaca pada saat i’tikaf.
Namun lebih diutamakan zikir yang lafaznya dari Al-Quran atau
diriwayatkan dari sunnah Rasulullah SAW secara shahih. Jenis lafadznya
sangat banyak dan beragam, tetapi tidak ada ketentuan harus disusun
secara baku dan seragam. Juga tidak harus dibatasi jumlah hitungannya.
D. Belajar Al-Quran
Bila seseorang belum terlalu pandai membaca Al-Quran, maka akan lebih
utama bila kesempatan beri’tikaf itu juga digunakan untuk belajar membaca
Al-Quran, memperbaiki kualitas bacaan dengan sebaik-baiknya. Agar
ketika membaca Al-Quran nanti, ada peningkatan.
F. Berdoa
Berdoa adalah meminta kepada Allah atas apa yang kita inginkan, baik
yang terkait dengan kebaikan dunia maupun kebaikan akhirat. Dan aktifitas
meminta kepada Allah bukanlah kesalahan, bahkan bagian dari
pendekatan kita kepada Allah. Allah SWT senang dengan hamba-Nya
yang meminta kepada-Nya. Meski tidak langsung dikabulkan, tetapi karena
meminta itu adalah ibadah, maka tetaplah meminta.
Semakin banyak kita meminta, maka semakin banyak pula pahala yang
Allah berikan. Dan bila dikabulkan, tentu saja menjadi kebahagiaan
tersendiri.
Namun dari semua kegiatan di atas, bukan berarti seorang yang beri’tikaf
tidak boleh melakukan apapun kecuali itu. Dia boleh makan di malam hari,
dia juga boleh isterirahat, tidur, berbicara, mandi, buang air, bahkan boleh
hanya diam saja. Sebab makna i’tikaf memang diam. Tetapi bukan berarti
diam saja sepanjang waktu i’tikaf.
Adapun yang terlarang dilakukan saat i’tikaf adalah bercumbu dengan isteri
hingga sampai jima’. Sedangkan yang dimakruhkan adalah berbicara yang
semata-mata hanya masalah kemegahan dan kesibukan keduniaan saja,
yang tidak membawa manfaat secara ukhrawi.
Bicara masalah dagang, tentu boleh bila terkait dengan bagaimana dagang
yang sesuai syariat. Sebab syariat itu tentu bukan hanya bicara hal-hal di
akhirat saja, tetapi tercakup luas semua masalah keduniaan.
Sunnat bagi orang yang sedang i’tikaf tidak boleh menengok yang sakit,
jangan menyaksikan jenazah, tidak boleh menyentuh perempuan dan
jangan bercumbu, dan jangan keluar (dari masjid) untuk satu keperluan
kecuali dalam perkara yang tidak boleh tidak, dan tidak ada i’tikaf
melainkan di masjid kami." (HR Abu Dawud).
2. I’tikaf tidak sah dilakukan kecuali di masjid. Ini adalah hal yang
kebenarannya telah menjadi kesepakatan semua ulama. Sesuai dengan
firman Allah SWT:
3. Niat adalah syarat sah semua ibadah. Tanpa niat, semua ibadah tidak
sah. Tetapi niat itu bukan lafadz yang diucapkan, melainkan sesuatu yang
ditetapkan di dalam hati. Lafadz niat hanya sekedar menguatkan, bahkan
hukumnya diperdebatkan para ulama. Sebagian menganjurkannya, tetapi
sebagian lain malah melarangnya.
Jadi niatkan saja di dalam hati bahwa anda akan melakukan i’tikaf, maka
sah sudah niat anda.
Ada yang bertanya, bolehkah di malam hari itu melakukan i’tikaf dan di
siang harinya tetap bekerja. Permasalahan yang ditanyakan ini kembali
pada masalah batasan minimal waktu i’tikaf.
1. I’tikaf dalam bahasa Arab berarti iqomah (berdiam). Berdiam di sini bisa
jadi dalam waktu lama maupun singkat. Dalam syari’at tidak ada ketetapan
khusus yang membatasi waktu minimal I’tikaf.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “I’tikaf dalam bahasa Arab berarti iqomah
(berdiam). … Setiap yang disebut berdiam di masjid dengan niatan
mendekatkan diri pada Allah, maka dinamakan i’tikaf, baik dilakukan dalam
waktu singkat atau pun lama. Karena tidak ada dalil dari Al Qur’an maupun
As Sunnah yang membatasi waktu minimalnya dengan bilangan tertentu
atau menetapkannya dengan waktu tertentu.” Lihat Al Muhalla, 5; 179.
2. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ya’la bin Umayyah radhiyallahu
‘anhu bahwa ia berkata,
وما أمكث إال ألعتكف، إني ألمكث في المسجد الساعة
“Aku pernah berdiam di masjid beberapa saat. Aku tidaklah berdiam selain
berniat beri’tikaf.” Demikian menjadi dalil Ibnu Hazm dalam Al Muhalla 5:
179. Al Hafizh Ibnu Hajr juga menyebutkannya dalam Fathul Bari lantas
beliau mendiamkannya.
Jawaban …
Sehingga jika ada yang bertanya, bolehkah beri’tikaf di akhir-akhir
Ramadhan hanya pada malam hari saja karena pagi harinya mesti kerja?
Jawabannya, boleh. Karena syarat i’tikaf hanya berdiam walau sekejap,
terserah di malam atau di siang hari. Misalnya sehabis shalat tarawih,
seseorang berniat diam di masjid dengan niatan i’tikaf dan kembali pulang
ke rumah ketika waktu makan sahur, maka itu dibolehkan.
Sumber : https://rumaysho.com/3509-i-tikaf-di-malam-hari-siangnya-
kerja.html