Anda di halaman 1dari 11

Assalamu’alaikum wr. wb.

Pak Ustadz yang baik, ada beberapa pertanyaan seputar I’tikaf:


1. Sebenarnya apa sih yang dilakukan orang saat I’tikaf, bolehkah
hanya diam saja?
2. Apakah I’tikaf harus selalu di masjid dan harus punya wudlu?
3. Apakah sebelum melakukan I’tikaf harus berniat dulu, bagaimana
niatnya?
4. Apakah benar kita dianjurkan I’tikaf pada 10 malam terakhir bulan
Ramadhan, apa dalilnya?
Mohon penjelasannya.

Jazakallohu khoiron katsiron.


Wassalamu’alaikum wr. wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabaraktuh,

1. Kata i’tikaf berasal dari ‘akafa alaihi’, artinya senantiasa atau


berkemauan kuat untuk menetapi sesuatu atau setia kepada sesuatu.
Secara harfiah kata i’tikaf berarti tinggal di suatu tempat, sedangkan
syar’iyah kata i’tikaf berarti tinggal di masjid untuk beberapa hari,
teristimewa sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Selama hari-hari itu, seorang yang melakukan i’tikaf (mu’takif)
mengasingkan diri dari segala urusan duniawi dan menggantinya dengan
kesibukan ibadat dan zikir kepada Allah dengan sepenuh hati. Dengan
i’tikaf seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, kita berserah diri
kepada Allah dengan menyerahkan segala urusannya kepada-Nya, dan
bersimpuh di hadapan pintu anugerah dan rahmat-Nya.

Yang dilakukan pada saat i’tikaf pada hakikatnya


adalah taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah. Makna taqrrub adalah
mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan beragam rangkaian ibadah.
Di antaranya:
A. Shalat

Baik shalat wajib secara berjamaah atau punshalat sunnah, baik yang
dilakukan secara berjamaah maupun sendirian. Misalnya shalat tarawih,
shalat malam (qiyamullail), shalat witir, shalat sunnah sebelum shalat
shubuh, shalat Dhuha’, shalat sunnah rawatib (qabliyah dan ba’diyah) dan
lainnya.

B. Zikir

Semua bentuk zikir sangat dianjurkan untuk dibaca pada saat i’tikaf.
Namun lebih diutamakan zikir yang lafaznya dari Al-Quran atau
diriwayatkan dari sunnah Rasulullah SAW secara shahih. Jenis lafadznya
sangat banyak dan beragam, tetapi tidak ada ketentuan harus disusun
secara baku dan seragam. Juga tidak harus dibatasi jumlah hitungannya.

C. Membaca ayat Al-Quran

Membaca Al-Quran (tilawah) sangat dianjurkan saat sedang beri’tikaf.


Terutama bila dibaca dengan tajwid yang benar serta dengan tartil.

D. Belajar Al-Quran

Bila seseorang belum terlalu pandai membaca Al-Quran, maka akan lebih
utama bila kesempatan beri’tikaf itu juga digunakan untuk belajar membaca
Al-Quran, memperbaiki kualitas bacaan dengan sebaik-baiknya. Agar
ketika membaca Al-Quran nanti, ada peningkatan.

E. Belajar Memahami Isi Al-Quran

Selain pentingnya membaca Al-Quran dengan berkualitas, maka


meningkatkan pemahaman atas setiap ayat yang dibaca juga tidak kalah
pentingnya. Sebab Al-Quran adalah pedoman hidup kita yang secara
khusus diturunkan dari langit. Tidak lain tujuannya agar mengarahkan kita
ke jalan yang benar. Apalah artinya kita membaca Al-Quran, kalau kita
justru tidak paham makna ayat yang kita baca.
Tentunya belajar baca dan memahami ayat Al-Quran membutuhkan guru
yang ahli di bidangnya. Tanpa guru, sulit bisa dicapai tujuan itu.

F. Berdoa

Berdoa adalah meminta kepada Allah atas apa yang kita inginkan, baik
yang terkait dengan kebaikan dunia maupun kebaikan akhirat. Dan aktifitas
meminta kepada Allah bukanlah kesalahan, bahkan bagian dari
pendekatan kita kepada Allah. Allah SWT senang dengan hamba-Nya
yang meminta kepada-Nya. Meski tidak langsung dikabulkan, tetapi karena
meminta itu adalah ibadah, maka tetaplah meminta.

Semakin banyak kita meminta, maka semakin banyak pula pahala yang
Allah berikan. Dan bila dikabulkan, tentu saja menjadi kebahagiaan
tersendiri.

Dan meminta kepada Allah (berdoa) sangat dianjurkan untuk dilakukan di


dalam berik’tikaf.

Namun dari semua kegiatan di atas, bukan berarti seorang yang beri’tikaf
tidak boleh melakukan apapun kecuali itu. Dia boleh makan di malam hari,
dia juga boleh isterirahat, tidur, berbicara, mandi, buang air, bahkan boleh
hanya diam saja. Sebab makna i’tikaf memang diam. Tetapi bukan berarti
diam saja sepanjang waktu i’tikaf.

Adapun yang terlarang dilakukan saat i’tikaf adalah bercumbu dengan isteri
hingga sampai jima’. Sedangkan yang dimakruhkan adalah berbicara yang
semata-mata hanya masalah kemegahan dan kesibukan keduniaan saja,
yang tidak membawa manfaat secara ukhrawi.

Bicara masalah dagang, tentu boleh bila terkait dengan bagaimana dagang
yang sesuai syariat. Sebab syariat itu tentu bukan hanya bicara hal-hal di
akhirat saja, tetapi tercakup luas semua masalah keduniaan.

Sunnat bagi orang yang sedang i’tikaf tidak boleh menengok yang sakit,
jangan menyaksikan jenazah, tidak boleh menyentuh perempuan dan
jangan bercumbu, dan jangan keluar (dari masjid) untuk satu keperluan
kecuali dalam perkara yang tidak boleh tidak, dan tidak ada i’tikaf
melainkan di masjid kami." (HR Abu Dawud).

2. I’tikaf tidak sah dilakukan kecuali di masjid. Ini adalah hal yang
kebenarannya telah menjadi kesepakatan semua ulama. Sesuai dengan
firman Allah SWT:

Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, janganlah kamu


campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan
Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
(QS Al-Baqarah: 187)
Sedangkan masalah wudhu, bukan merupakan syarat. Namun sebagian
ulama mewajibkan seseorang berwudhu’ bila masuk masjid. Sebagian lain
tidak mewajibkan tapi hanya menyunnahkan.

3. Niat adalah syarat sah semua ibadah. Tanpa niat, semua ibadah tidak
sah. Tetapi niat itu bukan lafadz yang diucapkan, melainkan sesuatu yang
ditetapkan di dalam hati. Lafadz niat hanya sekedar menguatkan, bahkan
hukumnya diperdebatkan para ulama. Sebagian menganjurkannya, tetapi
sebagian lain malah melarangnya.

Jadi niatkan saja di dalam hati bahwa anda akan melakukan i’tikaf, maka
sah sudah niat anda.

4. Benar, ‘itikaf itu hukumnya sunnah untuk dilakukan di 10 hari terakhir


bulan Ramadhan. Dalilnya adalah perbuatan nabi SAW yang telah
melakukannya, bahkan tiap tahun tanpa meninggalkannya sekalipun.
Sehingga ada sebagian ulama yang nyaris hampir mewajibkannya. Namun
hukumnya tidak wajib, tetapi sunnah yang sangat dianjurkan.

Adapun dalilnya adalah:

Dari Aisyah Ra. ia berkata, "Rasulullah SAW melakukan i’tikaf pada


sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sampai saat ia dipanggil Allah
Azza wa Jalla." (HR Bukhari dan Muslim).
Dan dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, "Rasulullah SAW melakukan i’tikaf pada
sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan." (HR Bukhari dan Muslim).
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi
wabaraktuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

I’tikaf di Malam Hari, Siangnya Kerja


Muhammad Abduh Tuasikal, MSc July 29, 2013.

Ada yang bertanya, bolehkah di malam hari itu melakukan i’tikaf dan di
siang harinya tetap bekerja. Permasalahan yang ditanyakan ini kembali
pada masalah batasan minimal waktu i’tikaf.

Jangka Waktu Minimal I’tikaf


Mengenai waktu minimal disebut i’tikaf terdapat empat pendapat di antara
para ulama.

Pendapat pertama: Yang dianut oleh jumhur (mayoritas) ulama hanya


disyaratkan berdiam di masjid. Jadi telah dikatakan beri’tikaf jika berdiam di
masjid dalam waktu yang lama atau sebentar walau hanya beberapa saat
atau sekejap (lahzhoh). Imam Al Haromain dan ulama lainnya berkata,
“Tidak cukup sekedar tenang seperti dalam ruku’ dan sujud atau
semacamnya, tetapi harus lebih dari itu sehingga bisa disebut i’tikaf.”

Pendapat kedua: Sebagaimana diceritakan oleh Imam Al Haromain dan


selainnya bahwa i’tikaf cukup dengan hadir dan sekedar lewat tanpa
berdiam (dalam waktu yang lama). Mereka analogikan dengan hadir dan
sekedar lewat saat wukuf di Arofah. Imam Al Haromain berkata, “Menurut
pendapat ini, jika seseorang beri’tikaf dengan sekedar melewati suatu
tempat seperti ia masuk di satu pintu dan keluar dari pintu yang lain, ketika
itu ia sudah berniat beri’tikaf, maka sudah disebut i’tikaf. Oleh karenanya,
jika seseorang berniat i’tikaf mutlak untuk nadzar, maka ia dianggap telah
beri’tikaf dengan sekedar lewat di dalam masjid.”

Pendapat ketiga: Diceritakan oleh Ash Shoidalani dan Imam Al Haromain,


juga selainnya bahwa i’tikaf dianggap sah jika telah berdiam selama satu
hari atau mendekati waktu itu.

Pendapat keempat: Diceritakan oleh Al Mutawalli dan selainnya yaitu


disyaratkan i’tikaf lebih dari separuh hari atau lebih dari separuh malam.
Karena kebiasaan mesti dibedakan dengan ibadah. Jika seseorang duduk
beberapa saat untuk menunggu shalat atau mendengarkan khutbah atau
selain itu tidaklah disebut i’tikaf, haruslah ada syarat berdiam lebih dari itu
sehingga terbedakanlah antara ibadah dan kebiasaan (adat). Demikian
disebutkan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 6: 513.[1]

Pendapat Jumhur Ulama


Sebagaimana dikemukakan di atas, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat
minimal waktu i’tikaf adalah lahzhoh, yaitu hanya berdiam di masjid
beberapa saat. Demikian pendapat dalam madzhab Abu Hanifah, Asy
Syafi’i dan Ahmad.
Imam Nawawi berkata, “Waktu minimal itikaf sebagaimana dipilih oleh
jumhur ulama cukup disyaratkan berdiam sesaat di masjid. Berdiam di sini
boleh jadi waktu yang lama dan boleh jadi singkat hingga beberapa saat
atau hanya sekejap hadir.” Lihat Al Majmu’ 6: 489.

Alasan jumhur ulama:

1. I’tikaf dalam bahasa Arab berarti iqomah (berdiam). Berdiam di sini bisa
jadi dalam waktu lama maupun singkat. Dalam syari’at tidak ada ketetapan
khusus yang membatasi waktu minimal I’tikaf.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “I’tikaf dalam bahasa Arab berarti iqomah
(berdiam). … Setiap yang disebut berdiam di masjid dengan niatan
mendekatkan diri pada Allah, maka dinamakan i’tikaf, baik dilakukan dalam
waktu singkat atau pun lama. Karena tidak ada dalil dari Al Qur’an maupun
As Sunnah yang membatasi waktu minimalnya dengan bilangan tertentu
atau menetapkannya dengan waktu tertentu.” Lihat Al Muhalla, 5; 179.

2. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ya’la bin Umayyah radhiyallahu
‘anhu bahwa ia berkata,
‫ وما أمكث إال ألعتكف‬، ‫إني ألمكث في المسجد الساعة‬

“Aku pernah berdiam di masjid beberapa saat. Aku tidaklah berdiam selain
berniat beri’tikaf.” Demikian menjadi dalil Ibnu Hazm dalam Al Muhalla 5:
179. Al Hafizh Ibnu Hajr juga menyebutkannya dalam Fathul Bari lantas
beliau mendiamkannya.

3. Allah Ta’ala berfirman,


‫اج ِد‬
ِ ‫س‬َ ‫عا ِكفُونَ فِي ْال َم‬
َ ‫َوأ َ ْنت ُ ْم‬

“Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ibnu Hazm


berkata, “Allah Ta’ala tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk
beri’tikaf (dalam ayat ini). Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa.” Lihat Al
Muhalla, 5: 180.
Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf
pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut
berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).” (Al Inshof, 6: 17)

Bedakan dengan I’tikaf Nadzar


Beda halnya jika i’tikafnya adalah i’tikaf nadzar, maka harus ditunaikan
sesuai dengan hari yang ditentukan. Misalnya, jika ia bernadzar i’tikaf 3
hari 3 malam, maka ia harus menjalaninya tanpa keluar-keluar dari masjid
ketika itu. Contohnya saja dari perbuatan ‘Umar bin Khottob yang
bernadzar untuk i’tikaf semalam. ‘Umar berkata pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
ِ ‫ قَا َل فَأ َ ْو‬، ‫ف لَ ْيلَةً فِى ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام‬
َ‫ف بِنَ ْذ ِرك‬ َ ‫ُك ْنتُ نَ َذ ْرتُ فِى ْال َجا ِه ِليَّ ِة أ َ ْن أ َ ْعت َ ِك‬

“Aku dahulu pernah bernadzar di masa Jahiliyah untuk beri’tikaf selama


satu malam di masjidil harom.” Beliau pun bersabda, “Tunaikanlah
nadzarmu.” (HR. Bukhari no. 2032 dan Muslim no. 1656). Ibnu Hazm
berkata, “Dalil ini adalah umum yaitu perintah untuk menunaikan nadzar
berupa i’tikaf. Dan dalil tersebut tidak khusus menerangkan jangka waktu
i’tikaf. Sehingga kelirulah yang menyelisihi pendapat kami ini.” (Al Muhalla,
5: 180)

Jawaban …
Sehingga jika ada yang bertanya, bolehkah beri’tikaf di akhir-akhir
Ramadhan hanya pada malam hari saja karena pagi harinya mesti kerja?
Jawabannya, boleh. Karena syarat i’tikaf hanya berdiam walau sekejap,
terserah di malam atau di siang hari. Misalnya sehabis shalat tarawih,
seseorang berniat diam di masjid dengan niatan i’tikaf dan kembali pulang
ke rumah ketika waktu makan sahur, maka itu dibolehkan.

Baca penjelasan selengkapnya mengenai masalah ini di artikel: Batasan


Minimal Waktu I’tikaf.

Hanya Allah yang memberi taufik.

Sumber : https://rumaysho.com/3509-i-tikaf-di-malam-hari-siangnya-
kerja.html

Waktu untuk I’tikaf


OLEH ALSHA TOUR
SABTU, 18 FEBRUARI 2017
Bagikan :

Kegiatan I’tikaf merupakan salah satu hal penting yang ditunggu-tunggu di


bulan suci ramadhan. Karena pada kegiatan I’tikaf ini, kaum muslimin
dianjurkan untuk berdiam diri di dalam masjid, dengan memperbanyak
ibadah-ibadah. Disamping yang wajib, juga memperbanyak ibadah yang
sunnah.
Antara lain, memperbanyak tilawah, sholat sunnah tahajud, dhuha, rawatib,
shalat taubat, perbanyak dzikir, dll.

I’tikaf biasanya dilakukan mulai dari hari ke 21 ramadhan hingga puasa


terakhir. Hal ini dilakukan, dengan harapan akan bertemu malam lailatul
qodar. Momen seperti ini begitu ditunggu-tunggu kaum muslimin saat bulan
ramadhan.

Namun, dari zaman ke zaman dan semakin padatnya aktivitas masyarakat


muslim. Dengan berbagai bidang profesi masing-masing tentunya.
Menjadikan kegiatan I’tikaf tidak bisa dilakukan secara full time, 10 hari
berturut-turut terakhir ramadhan.

Maka dari itu, waktu I’tikaf terbagi menjadi dua bagian:

1. I’tikaf dengan Waktu Minimal


Dengan waktu yang minimal ini, dalam arti bisa beri’tikaf hanya dalam
jangka waktu sebagian saja. Misal hanya beberapa jam saja, atau separuh
hari, yang itupun tidak lepas dengan jalan mengisinya dengan ibadah-
ibadah.

Hal ini berdasarkan beberapa alasan sebagai berikut:


Pertama: Rasulullaah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi izin ‘Umar
untuk melaksanakan nazar dia untuk i’tikaf semalaman di Masjidil Haram.

Kedua: Ada beberapa riwayat para sahabat radiyiallaahu ‘anhum dan


orang-orang salafussholiih yang menyatakan bahwa puasa merupakan
syarat dari i’tikaf. Juga ada riwayat yang menjelaskan bahwa puasa bukan
merupakan bagian dari syarat untuk beri’tikaf. Sebagaimana yang telah kita
ketahui, bahwa puasa belum terealisasi, bila dilakukan selama kurang ½
hari.
Ketiga: Apabila ada syariat yang menetapkan bahwa I’tikaf bisa dikerjakan
dalam tempo setengah hari. Sudah barang tentu juga terdapat riwayat Nabi
sallallaahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Dan juga memberi perintah
kepada para sahabatnya. Hal ini menjadi sangat ma’ruf, karena mereka
akan sering hilir mudik di masjid.

Keempat: Para sahabat Nabi sering duduk di masjid ketika menunggu


waktu shalat atau juga melaksanakan ibadah-ibadah dan aktivitas lainnya
yang bermanfaat. Akan tetapi tidak terdapat riwayat yang valid dan
menyatakan bahwa saat mereka melaksanakan aktivitas tersebut, juga
telah berniat I’ttikaf di masjid.

2. I’tikaf dengan Waktu Maksimal


“Di dalam hadits ‘Aisyah, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf
pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga Allah mewafatkannya”
memiliki kandungan bahwa I’tikaf tidak dibenci jika dilakukan di setiap
waktu dan para ulama bersepakat bahwa tidak ada batasan maksimal
untuk beri’tikaf.”

Aktivitas nabi yang melaksanakan I’tikaf di 10 malam terkahir, bukan


merupakan tindakan mengkhususkan waktu I’tikaf. Akan tetapi, hal
tersebut dilakukan dalam rangka mencari malam-malam lailatul qadr.
Karena lailatul qadr ada di antara 10 malam terakhir. Jadi, meskipun kita
telah melaksanakan I;tikaf sejak pertengahan ramadhan pun
diperbolehkan.

“Sesungguhnya saya beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan


dalam rangka mencari malam Lailatul Qadr. Kemudian saya beri’tikaf di
sepuluh hari pada pertengahan Ramadhan, dan saya didatangi oleh (Jibril)
dan diberitahu bahwa malam tersebut terletak pada sepuluh hari terakhir
Ramadhan. Oleh karena itu, siapa diantara kalian yang ingin beri’tikaf,
silahkan beri’tikaf. Maka para sahabat pun beritikaf bersama beliau.”

Anda mungkin juga menyukai