Anda di halaman 1dari 28

Hati-Hati dengan Waktu

Islam adalah agama kerja, artinya, sebuah din yang meletakkan kerja
sebagai suatu amal yang harus dilakukan oleh seorang yang islam dan
beriman. Dalam al-Qur’an kata-kata ‘aml disebut berulang-ulang, belum
lagi dengan pengungkapan lewat kiasan.

Terkadang banyak orang secara sepihak menyimpulkan bahwa Islam tidak


bersikap progresif terhadap budaya kerja. Hal itu disebabkan karena di
dalam Islam ada takdir dan itu wajib diimani.

Takdir inilah yang sering difahami secara negatif, karena adanya


pemahaman bahwa dalam Islam kerja tidaklah penting, karena kondisi
ekonomi, kaya dan miskinnya telah ditentukan oleh Allah. Inilah bias dari
teologi jabbariyah yang menganggap bahwa manusia tidak punya faktor/
upaya penentu.[1]

Allah menciptakan manusia supaya bekerja dan berusaha menghasilkan


sesuatu yang diperlukan bagi kehidupannya, darimana saja yang ada di
segenap penjuru dunia, agar ia dapat memperoleh manfaat baginya serta
seluruh umat di muka bumi ini.

Orang-orang saleh terdahulu dapat mencapai kejayaan yang tinggi serta


keluhuran dan keagungan yang belum pernah dicapai oleh generasi
sekarang, disebabkan karena ketekunan dan kegigihan mereka.
Sementara generasi kita sekarang prestasinya tidak pernah menanjak,
masih terlalu jauh dari cita-cita yang dikehendaki.

Semua itu tiada lain karena generasi kita malas dan bosan untuk bekerja
dan melakukan sesuatu yang bermanfaat, juga rasa pesimis untuk meraih
berbagai prestasi.[2]
ADA BEBERAPA HAL YANG SERING MANUSIA LUPAKAN,

DIANTARANYA PERTANYAAN: KENAPA MANUSIA DICIPTAKAN? APA

KEPENTINGAN DAN TUGAS MEREKA DALAM KEHIDUPAN INI?

Sering sekali manusia melupakan pertanyaan-pertanyaan ini sehingga


mereka hidup dalam penuh kelalaian, hidup hanya dipergunakan untuk
bersenang-senang, makan, minum, dan kesenangan-kesenangan lain
yang bersifat dunia.

Mereka sama sekali tidak memikirkan tentang proses kejadian dirinya yang
hina, sehingga ketika ajal menjemputnya penyesalanlah yang
menghinggapinya dimana saat itu penyesalan sudah tidak berarti lagi.

Nah, dari sinilah perlunya iman yang kuat dalam diri kita supaya kita dapat
berhati-hati dengan waktu, pandai-pandailah memanfaatkannya! Ingatlah!
Hari-hari kita jangan lewati begitu saja, sesaat demi sesaat, semua berlalu
begitu cepatnya.

Begitulah. Diri kita berpindah dari pagi ke petang, dan dari petang hingga
pagi kembali. Apakah kita pernah bermuhasabah (introspeksi) terhadap diri
kita sendiri pada suatu hari? Sehingga kita bisa melihat lembaran-lembaran
hari-hari kita, dengan amal apa kita membukanya dan dengan amal apa
pula kita menutupnya?

:‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫عن ابن عباس رضي هللا عنه قال‬
‫ وص ّحتك قبل‬، ‫ شبابك قبل هرمك‬:‫ وغناك إغتنم خمسا قبل خمس‬،‫سقامك‬
‫ وحياتك قبل موتك‬،‫ وفراغك قبل شغلك‬،‫قبل فقرك‬
Artinya: “Dari Ibn Abbas ra. Berkata: Rasulullah SAW bersabda:
Manfaatkanlah lima kesempatan sebelum datang lima kesempatan yang
lain: jagalah mudamu sebelum tuamu, jagalah sehatmu sebelum sakitmu,
jagalah kayamu sebelum miskinmu, jagalah sempatmu sebelum sempitmu,
dan jagalah hidupmu sebelum matimu. (HR. Hakim. Sanadnya shahih dari
Ibnu Abbas)[3].

“Time is money”,“al-waktu ka al-saif”. Waktu adalah uang, waktu adalah


pedang, waktu adalah perjalanan yang tidak akan pernah kembali, itulah
ungkapan yang sering kita dengar untuk menghargai waktu. Waktu adalah
kehidupan. Tidak ada yang lebih berharga dalam kehidupan ini setelah
iman selain “waktu”.

Waktu adalah benda yang paling berharga dalam kehidupan seorang


muslim. Ia tidak dapat ditukar oleh apapun. Ia juga tidak dapat kembali jika
sudah pergi. Sungguh sangat merugi orang yang menyia-nyiakan
waktunya.

Firman Allah: Artinya: 1. Demi masa. 2. Sesungguhnya manusia itu benar-


benar dalam kerugian, 3. Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.(al-‘Ashr:
1-3).

Dalam sebuah sya’ir dikatakan:

‫[ أال ليت شباب يعود يوما فأخبره بما فعل المصيب‬4

Dalam Islam, waktu bukan hanya sekadar lebih berharga dari pada emas.
Atau seperti pepatah Inggris yang menyatakan time is money. Lebih dari
itu, waktu dalam Islam adalah “kehidupan”, al-waqtu huwa al-hayah,
demikian kata as-Syahid Hasan Al-Banna[5].
Oleh karena itu, Rasulullah saw memerintahkan umatnya agar
memanfaatkan waktu yang tersisa dengan lima hal. Sungguh telah merugi
orang-orang yang tidak bisa memanfaatkannya.

Pertama, masa muda.

Masa muda adalah masa keemasan seorang manusia. Ia merupakan


masa ideal untuk melakukan apa saja: mengukir prestasi dan menggapai
cita-cita. Bahkan, masa muda adalah masa yang harus
“dipertanggungjawabkan” di hadapan Allah.

Hal ini dijelaskan oleh Nabi saw: “Tidak akan tergelincir dua kaki anak
Adam pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara: tentang
usianya untuk apa ia habiskan, masa mudanya untuk apa ia habiskan,
hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan dan tentang
ilmunya apa yang diperbuatkan dengan ilmunya tersebut” (HR. Al-Bazzar
dan Al-Thabrani).

Hadirin sidang Jamaah Jumat yang dimuliakan oleh Allah SWT

Dalam Islam, masa muda adalah bagian dari “umur”. Ia dianggap sebagai
masa yang dinamis, energik, cekatan dan kuat, karena ia merupakan
“kekuatan” di antara dua kelemahan: kelemahan anak-anak dan
kelemahan masa tua.

Hal ini dijelaskan oleh Allah swt dalam firman-Nya: Artinya: “Allah, Dia-lah
yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian dia menjadikan
(kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia
menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban…” (Qs.
Ar-Rum [30]: 54).

Oleh karenanya, Islam memiliki perhatian khusus kepada para pemuda.


“Suatu ketika, khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu duduk dengan para
sahabatnya. Ia berkata kepada mereka: “Berangan-anganlah kalian!” Salah
seorang dari mereka berkata: “Aku berangan-angan, seandainya rumah ini
dipenuhi oleh emas untuk aku infakkan di jalan Allah.”

Umar lalu berkata: “Berangan-anganlah (lagi) kalian!” Salah seorang lagi


berkata: “Aku berangan-angan sekiranya rumah ini dipenuhi dengan
permata agar aku infakkan di jalan Allah dan bersedekah dengannya.”

Lalu Umar berkata lagi: “Berangan-anganlah (lagi) kalian!” Mereka lalu


berkata: “Kami tidak tahu lagi apa yang harus kami katakan wahai Amirul
mukminin?” Umar berkata: “Aku justru berangan-angan agar ada orang-
orang seperti Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah, Mu’adz ibn Jabal dan Salim
budak Abu Hudzaifah, agar aku dapat meninggikan “kalimat Allah” dengan
bantuan mereka.”

Bukankah Mu’adz ibn Jabal seorang faqih yang diutus oleh Rasul ke
Yaman? Ketika itu usianya masih muda. Begitu juga dengan Salim: ia
termasuk salah seorang perawi hadits. Usianya juga masih muda.

Dalam sejarah Islam juga dikenal Muhammad Al-Fatih, pembebas kota


Konstantinopel. Saat itu usianya tidak lebih dari 22 tahun. Usamah ibn Zaid
pergi ke medan perang ketika usianya masih 15 tahun. Padahal ketika
usinya 14 tahun semangat jihadnya sudah berapi-api: ia ingin cepat berada
di shaf para mujahid Allah. Namun Nabi saw melarangnya, karena masih
teramat muda. Ia juga pernah menjadi pemimpin pasukan Rasul, padahal
saat itu para sahabat senior seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq ada. Namun
Rasul saw mempercayakan kepadanya.[6]

Hadirin sidang Jamaah Jumat yang dimuliakan oleh Allah SWT

Adalah hal yang ironis jika masa muda dihabiskan untuk “berfoya-foya”.
Apalagi dihabiskan untuk melakukan hal-hal yang tidak produktif. Dan,
na’udzubillah, jika sampai melakukan tindak kriminal yang tidak diridhai
oleh Allah, seperti mengkonsumsi NAZA (Narkotika dan Zat Adiktif) dan
hobi “mencekek leher botol” alias mabuk-mabukan.

Ini sama artinya menghancurkan umat. Tidak dapat dibayangkan jika para
pemuda justru tidak produktif. Apa yang akan dipersembahkan untuk
Islam?

Kedua, masa sehat.

Pepatah Arab menyatakan:

‫األصح ال ير يها إال المرضى‬


ِ ‫الصحة تاجن على رؤوس‬

Artinya: “Kesehatan adalah mahkota di atas kepala orang yang sehat dan
tidak ada yang dapat melihatnya kecuali orang yang sakit”

Itulah kesehatan. Manusia terkadang lupa akan arti dan makna kesehatan,
kecuali setelah kesehatan itu hilang darinya. Ketika “sakit” datang
menggantikannya, barulah ia sadar bahwa kesehatan itu mahal.

Masa sehat sebaiknya digunakan untuk beramal saleh: membantu orang


tua, menuntut ilmu, mengamalkan ilmu. Kalau masa sakit sudah tiba, tidak
akan pernah sempurna melakukan apapun: ibadah terganggu, pekerjaan
terbengkalai, semangat menurun, dan sebagainya. Maka manfaatkanlah
‘masa sehat’ dengan sebaik-baiknya.

Ketiga, masa kaya.

Kekayaan adalah “titipan Allah”. Maka, ia tidak layak untuk disombongkan


dan dibanggakan. Selagi masih ada waktu dan kesempatan,
pergunakanlah kekayaan itu untuk berbakti kepada Allah. Karena, jika
sudah jatuh miskin, kesempatan untuk beramal saleh pun sirna. Maka,
segeralah nafkahkan harta yang ada, sebelum semuanya sia-sia.
Utsman ibn Affan adalah contoh ideal dalam berinfak. Ia membeli sumur
Maimunah untuk kepentingan kaum Muslimin. Begitu juga dengan
Abdurrahman ibn ‘Auf. Ia adalah contoh konglomerat yang dermawan:
orang kaya tapi takut harta.

Lain lagi dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq: ia meninggalkan “seonggok batu”


untuk keluarganya. Ia menyisakan Allah dan Rasul-Nya untuk keluarganya.
Beliau bahkan berlomba dengan Umar ibn Khaththab. Akhirnya ia menang,
karena Umar ibn Khaththab menafkahkan setengah dari hartanya,
sedangkan ia menafkahkan seluruh hartanya di jalan Allah.

Keempat, masa luang.

Waktu luang adalah kesempatan emas untuk mengin-ventarisir kebajikan.


Waktu luang ini akan sia-sia jika tidak dikontrol. Ia akan terbuang begitu
saja jika tidak langsung dimanfaatkan. Oleh sebab itu makanya Nabi saw
mengingatkan: “Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu di
dalamnya: kesehatan dan waktu luang (kekosongan)” (HR. Bukhari dari
Ibnu Abbas).

Waktu luang adalah “kekosongan”: kosong dari kegiatan yang positif.


Jangan biarkan waktu itu kosong melompong dan berlalu tanpa makna.
Bukankah waktu luang bias diisi dengan membaca Alquran, shalat Dhuha,
shalat Witir, shalat Tahajjud, dan sebagainya. Janganlah waktu luang itu
dikhianati dengan “senda gurau” yang tak bermakna. Karena jumlah waktu
itu sama di mana saja, 24 jam.

Waktu 24 jam ini seharusnya bisa dibagi, idealnya dibagi tiga, yaitu:
sebagian untuk kesehatan (istirahat, olah-raga, bercanda seperlunya),
sebagian lagi untuk jasmani (makan dan minum) dan sepertiga terakhir
untuk Allah. Imam Ibnu Jarir al-Thabari menurut al-Khathib al-Baghadadi
dari al-Samsiy, setiap harinya mampu menulis sekitar empat puluh lembar.
Jangan berleha-leha dalam memburu kebaikan. Imporlah segala jenis
kebaikan, lalu eksporlah ia ke akhirat sana. Al-Tu’adatu fi kulli syain
khairun illa fi a’mal al-akhirah (Berlaku santai dalam setiap sesuatu itu baik,
kecuali dalam amal akhirat), kata Umar ibn Khaththab.

Imam Nawawi ra memberikan nasehat yang sangat berharga: “Hendaklah


bagi seorang penuntut ilmu untuk mengumpulkan ilmu di waktu luang dan
semangat yang menggebu-gebu, masa muda dan ketika tubuh masih kuat,
ketika keinginan masih menggunung dan kesibukan masih sedikit sebelum
tiba hal-hal yang tanpa makna”.

Kelima, hidup.

Kesempatan hidup hanya sekali. Umur begitu singkat. Kita mengira umur
itu begitu panjang. Padahal ia hanya terdiri dari tiga helaan nafas: nafas
yang lalu, yang sudah kita hempaskan; nafas yang sedang kita hirup dan
akan kita hembuskan; dan terakhir nafas yang akan datang.[7]

Kita tidak tahu apakah nafas yang akan datang itu nafas kita yang terakhir
atau tidak. Nafas-nafas itu begitu cepat berlalu. Maka sangat merugi kalau
nafas-nafas itu kita biarkan terhambur tanpa arti. Padahal dalam satu menit
kita bisa membaca surat Al-Fatihah dan surat Al-Ikhlas. Kita juga bisa
berdzikir: mengucapkan subhanallah, Al-hamdulillah dan Allahu Akbar, dan
sebagainya.

Kita hidup di dunia laksana seorang musafir. Tidak ada yang berharga bagi
seorang musafir selain “bekal”. Maka sejatinya, dunia ini adalah “pohon
yang rindang”, tempat berteduh sang musafir. Jika ia tertipu dengan
indahnya pohon tempatnya berteduh, ia tidak akan sampai pada tujuan.

Mau tidak mau, kita semua akan menuju kepada pintu kematian. Maka,
sebelum pergi ke sana, kita berusaha untuk memanfaatkan hidup ini
dengan sebaik-baiknya. Nilai seorang Muslim bukan dinilai dari panjang
pendeknya umur yang diberikan oleh Allah. Tapi akan dinilai dari apa yang
diperbuatnya untuk Allah, untuk Islam.

Umur yang panjang bukan jaminan kebaikan. Bisa jadi umur yang panjang
malah semakin membuka pintu-pintu maksiat. Bisa jadi umur yang singkat,
jika di-manage dengan baik, malah menjadi sangat bermanfaat.

‫ وشر الناس من طال عمره وساء‬،‫خير الناس من طال عمره وحسن عمله‬
‫عمله‬

Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang panjang usianya dan baik


amalnya. Dan sejelek-jelek manusia adalah yang umurnya panjang namun
jelek amalnya”. (HR. Ahmad dan al-Turmudzi dari Abu Bakrah).

Hadirin sidang Jamaah Jumat yang dimuliakan oleh Allah SWT

Kematian adalah suatu peristiwa yang mesti terjadi pada semua makhluk
hidup sebagai tanda habisnya masa kontrak di dunia. Firman Allah surat al-
Imran ayat 185.

ِ ‫ُك ُّل نَ ْف ٍس َذائِقَةُ ْال َم ْو‬


‫ت‬

Artinya: “ setiap makhluk (berjiwa) pasti mengalami mati).”

Dunia ini adalah tempat berbuat dan berbuat, tempat untuk berusaha dan
bekerja, tempat untuk melakukan perbuatan baik dan meninggalkan
perbuatan jahat. Tempat untuk mencari bekal untuk kehidupan akhirat
kelak.

Firman Allah: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Hadirin sidang Jamaah Jumat yang dimuliakan oleh Allah SWT

Supaya manusia termotivasi untuk bisa memanfaatkan waktunya dengan


sebaiknya, ada tiga pertanyaan mendasar mengenai keberadaan dan
tujuan manusia di dunia ini dan pertanyaan itu berlaku sepanjang masa.
Tiga pertanyaan tersebut akan membekas dalam hati manusia jika ia
menjawabnya dengan penuh perenungan.

Pertanyaan pertama, dari mana aku?

Adapun untuk pertanyaan ini adalah merupakan simpul akidah, yang


menurut kaum materialis mereka tidak mempercayainya, kecuali kalau
disana terdapat inderia. Mereka menganggap bahwa dunia dan isinya ini
muncul dengan sendirinya.[8] Sedangkan bagi orang yang beriman,
pertanyaan ini akan memberi atsar yang kuat baginya.

Pertanyaan ini akan mengingatkan dia bahwa dia hanyalah makhluk yang
tidak sempurna, makhluk yang hina yang tidak pantas untuk
menyombongkan diri, makhluk yang tidak mampu apa-apa kecuali Allahlah
yang menghendakinya.

Pertanyaan kedua, untuk apa aku diciptakan?

Mengenai pertanyaan kedua ini merupakan pertanyaan yang wajib dijawab


oleh setiap orang setelah mengetahui bahwa ia didunia ini hanyalah
makhluk bagi Allah dan makhluk yang dipelihara oleh Allah Sang
Pemelihara alam ini.
Yaitu melalui penjabaran: untuk apa manusia diciptakan? Kenapa manusia
diberi keistimewaan yang lebih dibanding makhluk yang lain? Dan apa
kepentingan mereka diatas bumi ini?[9]

Perlu diketahui, bahwa manusia diciptakan di dunia ini dengan berbagai


kelebihannya, bukan hanya sekedar untuk memenuhi hawa nafsu belaka
tapi Allah jadikan manusia dimuka bumi ini adalah sebagai khalifah,
sebagaimana firman-Nya:

Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:


“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui.”

Hal pertama yang harus diketahui manusia sebagai khalifah dimuka bumi
adalah mengenal Allah dengan benar dan menyembah-Nya dengan
sebenar-benar penyembahan. Karena manusia diciptakan dimuka bumi
sebagai khalifah adalah untuk beribadah hanya kepada Allah. Firman
Allah:

Artinya: 56. Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku. 57. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun
dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku
makan. 58.Sesungguhnya Allah dialah Maha pemberi rezki yang
mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.(Q.S. adz-Dzariyat 56-58)

Pertanyaan ketiga, kemanakah tujuanku?


Pertanyaan ketiga ini bagi kaum materialis, mereka memberikan suatu
jawaban, tetapi hal itu justru menurunkan martabat kemuliaan manusia
menempati kedudukan binatang.

Mengenai tempat kembali manusia setelah menjalani kehidupan


bermasyarakat, dengan sederhana sekali mereka mengatakan: secara
mutlak mereka akan hancur dan binasa, mereka dilipat oleh bumi
sebagaimana penguburan bermilyar binatang dan makhluk lainnya di
dalam perut bumi.

Jasad ini akan kembali ke unsur-unsur penciptaannya yang pertama. Jadi


mereka akan kembali menjadi debu yang diterbangkan oleh angin.
Begitulah cerita kehidupan manusia menurut mereka.

Tiada keabadian dan pembalasan, tiada perbedaan antara yang berbuat


baik dan yang berlaku jahat[10]. Berbeda dengan orang mukmin, tentu
mereka sudah mengerti kemana tujuan mereka pergi. Mereka menyadari
bahwa dunia ini hanya sesaat.

Dari tiga pertanyaan diatas, jika seseorang bisa merenungkannya dengan


penuh penghayatan, maka ia akan menjadi seorang yang rajin dan bisa
memanfaatkan waktunya dengan baik, sehingga tidak akan timbul
penyesalan dikemudian hari.

Anjuran Islam untuk Bekerja, lalu Allah telah menanggung rizki makhluk-
Nya.

Artinya: “ dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah
lah yang memberi rizkinya, Dan dia mengetahui tempat berdiam binatang
itu dan tempat penyimpanannya, semua tertulis dalam kitab yang nyata.”
(Q.S. Huud:6)
Akan tetapi, Allah tidak akan mengubah suatu kaum jikalau kaum itu
sendiri tidak mau mengubahnya. Frman Allah: Artinya: “Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga kaum itu
mengubah keadaan mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya
dan tidak ada pelindung baginya. (Q.S. ar-Ra’d: 11).

Dari pernyataan itulah, secara implisit Allah menyatakan bahwa setiap


manusia harus mencari rizkinya dengan jalan bekerja dan beraktivitas.
Islam memberikan apresiasi bagi umatnya yang gigih bekerja. Apresiasi itu
ditunjukkan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut[11]:

a. Perintah untuk giat bekerja setelah selesai ibadah.


Firman Allah, Artinya: “Apabila shalat telah dilaksanakan, maka
bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.”(Q.S. al-Jumu’ah: 10).

Perintah Allah itu memberikan dua pelajaran penting, diantaranya:

Pertama: setiap selesai ibadah haruslah bekerja untuk mencari apa yang
dianugerahkan Allah. Ibadah saja tidak cukup, berdoa meminta rizki tapi
tidak berusaha dan bekerja untuk mencarinya adalah suatu sikap yang
tidak ada tuntunannnya.

Kedua: dalam bekerja haruslah didasari dengan ibadah dan ingat kepada
Allah, sehingga banyaknya rizki dan kesibukan tidak menggoyahkan
keimanan seseorang dan menjadi seorang yang materialistis.

b. Perintah untuk selalu beraktifitas dan dilarang menganggur.


Firman Allah: Artinya: “ Maka apabila kamu telah selesai melakukan (suatu
urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.”(Q.S.
al-Insyrah: 6-7)
Dalam ayat lain Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk menyuruh
kaumnya beraktivitas (bekerja) sesuai dengan keadaannya masing-
masing. Firman Allah surat az-Zumar ayat 39: Artinya: “Katakanlah
(Muhammad), “Wahai kaumku! Berbuatlah menurut kedudukanmu, akupun
berbuat (demikian). Kelak kamu akan mengetahui.”

c. Larangan meminta-minta
Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa “tangan diatas lebih baik daripada
tangan dibawah”. Lebih baik bekerja meskipun pekerjaan itu dipandang
oleh orang sebagai pekerjaan kasar dibanding harus meminta-minta dari
rumah ke rumah atau di pinggir jalan.

d. Dalam berusaha seorang muslim tidak boleh berputus asa.


Dari uraian diatas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam konsep
Islam, bekerja merupakan suatu aktivitas yang bukan hanya bersifat
duniawi saja, melainkan juga ukhrawi.

Artinya, bahwa Islam melibatkan aspek transendental dalam beribadah,


sehingga bekerja tidak hanya bisa dilihat sebagai gejala prilaku ekonomi,
tetapi juga prilaku ibadah. Keduanya dilakukan sekaligus dalam satu
waktu.

Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Maka manfaatkanlah


waktu yang ada, supaya tidak ada penyesalan di kemudian hari.

Penutup Doa Kutbah Kedua tentang Hati-Hati dengan Waktu

َ ‫سلّ ْم‬
‫ت‬ َ ‫ْت و‬ َ ‫صلَّي‬َ ‫ َك َما‬،ٍ‫علَى آ ِل ُم َح َّمد‬ َ ‫علَى ُم َح َّم ٍد َو‬ َ ‫س ِلّ ْم‬
َ ‫ص ِّل و‬َ ‫اللَّ ُه َّم‬
‫علَى ُم َح َّم ٍد‬َ ‫ار ْك‬ ِ ‫ َو َب‬،‫علَى آ ِل إِب َْرا ِهي َْم‬ َ ‫علَى ِإب َْرا ِهي َْم َو‬ َ
َ‫ فِي ال َعالَ ِميْن‬،‫علَى آ ِل إِب َْرا ِهي َْم‬ َ ‫علَى ِإب َْرا ِهي َْم َو‬ َ ‫ت‬ َ ‫ار ْك‬َ َ‫ َك َما ب‬،ٍ‫علَى آ ِل ُم َح َّمد‬ َ ‫َو‬
‫ض‬ َ ‫ار‬ ْ ‫ َو‬،ٌ‫ِإنَّ َك َح ِم ْي ٌد َم ِج ْيد‬
َ ‫ع ْن‬
‫سائِ ِر‬ َ ‫ َو‬، َ‫ت ال ُمؤْ ِمنِيْن‬ ِ ‫اج ِه أ ُ َّم َها‬
ِ ‫ع ْن أَ ْز َو‬ َّ ‫ع ْن ُخلَفَائِ ِه‬
َ ‫ َو‬، َ‫الرا ِش ِديْن‬ َ ‫اللَّ ُه َّم‬
َ ‫ َو‬،‫ت ِإلَى يَ ْو ِم ال ِ ّدي ِْن‬
‫عنَّا‬ ِ ‫ع ْن ال ُمؤْ ِمنِيْنَ َوال ُمؤْ ِمنَا‬ َ ‫ َو‬، َ‫ص َحابَ ِة أَ ْج َم ِعيْن‬ َّ ‫ال‬
َ‫اح ِميْن‬ َّ ‫ َمعَ ُه ْم بِ َر ْح َمتِ َك يَا أ َ ْر َح َم‬.
ِ ‫الر‬
Pada Khutbah kedua ini, marilah kita menundukkan kepala untuk seganap
berdoa kepada sang Pemberi segala hal, Yang menyediakan waktu untuk
manusia, yang memberikan kesemptan kepada kita untuk selalu
memperbaiki diri, memperbanyak amal hingga memberi kita rezeki yang
melimpah..

ِ ‫ص َحا ِب ِه َوقَ َرابَ ِت ِه َوأ َ ْز َو‬


‫اج ِه‬ ْ َ‫علَى آ ِل ِه َوأ‬ َ ‫علَى ُم َح َّم ٍد َو‬ َ ‫ار ْك‬ِ ‫س ِلّ ْم َو َب‬
َ ‫ص ِّل َو‬ َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
َ‫َوذُ ِ ّريَّا ِت ِه أَ ْج َم ِعيْن‬
ْ‫ٱجعَ ْلنَا ُم ْس ِل َمي ِْن لَ َك َو ِمن ذُ ِ ّريَّتِنَا ٓ أ ُ َّمةً ُّم ْس ِل َمةً لَّ َك َوأَ ِرنَا َمنَا ِس َكنَا َوتُب‬ ْ ‫َربَّنَا َو‬
‫ٱلر ِحي ُم‬
َّ ‫اب‬ ُ ‫نت ٱلت َّ َّو‬ َ َ ‫علَ ْينَا ٓ ۖ ِإنَّ َك أ‬ َ
“Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami) sesungguhnya
Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan terimalah
taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima Taubat lagi
Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah : 128)

‫ير ﴿الممتحنة‬ ُ ‫ص‬ ِ ‫علَي َْك تَ َو َّك ْلنَا َوإِلَي َْك أَنَ ْبنَا َو ِإلَي َْك ْٱل َم‬
َ ‫َّربَّنَا‬
‫يز ْٱل َح ِكي ُم‬
ُ ‫نت ْٱلعَ ِز‬
َ َ‫وا َوٱ ْغ ِف ْر لَنَا َربَّنَا ٓ ۖ إِنَّ َك أ‬۟ ‫َربَّنَا َال تَ ْجعَ ْلنَا فِتْنَةً ِلّلَّذِينَ َكفَ ُر‬

”Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya
kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami
kembali. Ya Tuhan kami janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah
bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami ya Tuhan kami.
Sesungguhnya Engkau, Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Al-Mumtahanah :4-5)
ً‫اخ ِرنَا َو َءا َية‬
ِ ‫ون لَنَا ِعيدًا ِ ّأل َ َّو ِلنَا َو َء‬ َّ ‫علَ ْينَا َمآئِ َدة ً ِ ّمنَ ٱل‬
ُ ‫س َما ٓ ِء تَ ُك‬ ِ َ‫ٱللَّ ُه َّم َربَّنَا ٓ أ‬
َ ‫نز ْل‬
َّ َّٰ ‫نت َخي ُْر‬
َ‫ٱلر ِزقِين‬ َ َ‫ٱر ُز ْقنَا َوأ‬
ْ ‫نك ۖ َو‬ َ ‫ِ ّم‬
”Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu kehidupan dari
langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu bagi
orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan
menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau, beri rezeki kami dan Engkaulah
Pemberi rezeki yang paling utama.” (QS. AL-Maaidah :114)

َ‫سنَا َوإِن لَّ ْم تَ ْغ ِف ْر لَنَا َوتَ ْر َح ْمنَا لَنَ ُكون ََّن ِمنَ ْٱل َّٰ َخ ِس ِرين‬
َ ُ‫ظلَ ْمنَا ٓ أَنف‬
َ ‫َربَّنَا‬

”Ya Tuhan kami, kami telah dzalimkan diri kami sendiri, Jika Engkau tidak
mengampuni kami dan Engkau rahmatkan kami, tentulah kami menjadi
orang yang rugi.” (Al A’raf :

َ ‫آئ ذِي ْالقُ ْربَى َويَ ْن َهى‬


‫ع ِن‬ ِ َ‫ان َو ِإيت‬ ِ ‫س‬َ ‫هللا يَأ ْ ُم ُر ُك ْم ِب ْال َع ْد ِل َواْ ِإل ْح‬
َ ‫ ِإ َّن‬،ِ‫ِعبَا َد هللا‬
ُ ‫َآء َو ْال ُمن َك ِر َو ْالبَ ْغي ِ يَ ِع‬
َ‫ظ ُك ْم لَعَلَّ ُك ْم تَ َذ َّك ُر ْون‬ ْ
ِ ‫الفَ ْحش‬.
‫ع ْوهُ يَ ْست َ ِجبْ لَ ُك ْم َولَ ِذ ْك ُر هللاِ أَ ْكبَ ُر‬ ُ ‫هللا ْال َع ِظي َْم َي ْذ ُك ْر ُك ْم َوا ْد‬
َ ‫فَا ْذ ُك ُروا‬
Kehidupan
Istiqomah dalam Keimanan
Oleh: Zulfah Afifah

Sebagaimana dimaklumi oleh umat Islam, berdasarkan dalil-dalil syar’i dari


Alqur’an dan sunnah, bahwa setiap amal dan ucapan dipandang benar dan
dapat diterima, hanya bila berdasarkan aqidah yang benar. Maka jika
aqidah itu tidak benar, dengan sendirinya setiap tindakan maupun ucapan
yang bersumber dari aqidah tadi adalah sah atau batal.

Kitabullah dan sunnah rasul-Nya Al Amin telah memberikan petunjuk,


bahwa aqidah yang benar itu meliputi: iman kepada Alloh, iman kepada
kitab-kitab, iman kepada para Rasul, iman kepada hari akhir, dan iman
kepada qadar baik dan buruk. Dengan prinsip keimanan itu pula Alloh
menurunkan kitab-kitabnya yang mulia dan mengutus Rasul-Nya. Cabang
dari prinsip-prinsip ini diantaranya adalah keimanan pada hal-hal yang
ghaib. [1]

Ke enam prinsip keimanan tersebut kemudian dibagi lagi menjadi


bercabang-cabang iman diantaranya adalah kewajiban seorang muslim
yaitu untuk mengimani dan percaya dengan sepenuh hati terhadap hak
Alloh SWT, terhadap tempat kembali di hari akhir dan perkara-perkara
yang ghaib lainnya. Akibat dari keimanan yang kuat akan menciptakan
akhlak-akhlak yang terpuji. Akhlak terpuji itulah yang seharusnya kita jaga
selalu karena dalam implementasinya peran dari keistiqamahan iman
sangatlah penting.

Setidaknya Naskah khutbah jumat tentang kehidupan ini, akan mengurai


seputar permasalahan berikut:

1. Apa pengertian iman dan siapa orang – orang yang beriman ?


2. Apa pengertian istiqamah dan fadhilahnya?
3. Bagaimanakah iman di atas tauhid ?
4. Kapan istiqamah di kontekstualisasikan?
5. Bagaimana hubungan (korelasi) iman dan istiqamah?

Iman adalah: dzikir dan iman adalah satu rangkaian yang memungkinkan
setiap Muslim menerima siraman kebahagiaan. Dengan iman, seorang
muslim bisa tegar, sabar dan kuat dalam mengarungi kehidupan. Ia
bahagia dalam cobaan hidup yang penuh penderitaan, kesengsaraan dan
kesakitan. Dengan iman di hati, ia bersikap tawakal. Allah berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu ialah orang-orang yang apabila
disebut (nama) Allah, gemetar hati mereka, dan apabila dibacakan kepada
mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambah iman mereka karenanya. Dan
kepada Tuhanlah mereka bertawakal”.

Iman yang benar mempunyai ciri tersendiri yang digambarkan oleh


Alquran. Ia tertegun dan terharu tatkala nama Allah disebut dan bahkan ia
terdorong ingin meluapkan kegembiraan dan kerinduannya dengan
menjerit seraya bersujud dan menangis. Bergetar hatinya dan
bertambahlah imannya tatkala nama Allah disebut.

Ia selalu menjaga hatinya agar tidak lalai akan Allah (dzikrullah). Ia akan
selalu berbisik ke dalam lubuk hatinya tatkala menghadapi persoalan dan
kesulitan di dunia. Karena disitulah Allah meletakkan ilham sebagai
pegangan untuk menentukan sikap. Sehingga kaum yang beriman akan
selalu terjaga dalam hidayah dan bimbingan Allah swt.[2] Seperti dalam
surat al Baqarah: 177:

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu


kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-
orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang
benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.”

Dan dalam surat al Baqarah ayat 285:“ Rasul Telah beriman kepada Al
Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-
orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-
Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): “Kami
tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari
rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.”
(mereka berdoa): “Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah
tempat kembali.””

Di antara ayat-ayat di atas, hadits-hadist juga banyak yang menegaskan


hal yang sama. Di antara jumlah hadits itu, terdapat sebuah hadits sahih
yang masyhur, diriwayatkan oleh iman Muslim dari Amirul Mu’minin Umar
bin khatab ra. Yang menyatakan bahwa malaikat jibril pernah bertanya
pada nabi SAW tentang iman, maka jawab Nabi kepadanya:

‫اااليمان ان تؤمن باهلل ومالءكته وكتبه ورسله واليوم االخر وتؤمن بالقدر‬
‫وشره‬

“Iman itu adalah kamu beriman kepada Alloh, malaikat, kitab-kitabNya,


rasul-rasulNya dan hari akhir serta beriman kepada qadha baik dan buruk.”
(HR. Bukhari, Muslim dari Abu Hurairah ra).[3]

Orang-orang yang beriman

Dalam surat al mu’minun: 1-7 dijelaskan bahwa orang-orang yang


beruntung adalah orang-orang yang beriman. Dan orang yang beriman
yaitu:

1. Orang yang khusyuk dalam shalatnya.


2. Orang yang menjauhkan diri perbuatan yang sia-sia.
3. Orang yang menjaga nama baiknya dan martabatnya sebagai
orang mukmin yang terhormat.

Pada surat al Hajj Alloh berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah
kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan,
supaya kamu mendapat kemenangan.”

Sebagai inti dari kandungan ayat tersebut adalah mengerjakan shalat dan
berbuat kebajikan yang seharusnya semua orang-orang yang beriman
berbuat demikian.Kemudian orang-orang yang beriman juga dituntut
supaya mematuhi putusan pengadilan yang berdasarkan atas hukum Alloh.

Sebagaimana firmannya: “Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin,


bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum
(mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami menden gar, dan kami
patuh”. dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung.”

Dalam ayat-ayat di atas dipertegas lagi bahwa orang-orang yang berbuat


kebaikan, yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan orang yang yakin
tentang hari akhirat, pasti mendapat rahmat dan petunjuk dari Alloh dan
sebagai buahnya adalah mendapat keuntungan dan kemenangan yang
tidak bisa dinilai dengan uang dan harta betapapun banyaknya.[4]

Menurut aqidah ahlus sunnah, iman kepada Alloh juga mencakup


keyakinan bahwa iman itu adalah pernyataan yang disertai amalan iman
dapat bertambah manakala ketaatannya kepada Alloh, dan dapat
berkurang bila seseorang bermaksiyat kepada Alloh. Seorang muslim tidak
boleh melakukan “takfir” (mengafirkan) seseorang muslim lainnya yang
berbbuat dosa, selain dosa syirik. [5]

Dalam kaitan ini Rasulullah bersabda bahwa:


‫ان هللا يخرج من النار من كان في قلبه مثقال خردل من ايمانز‬

“ Sesungguhnya Alloh mengeluarkan dari neraka siapa saja yang di


hatinya masih terdapat keimanan, walaupun itu hanya sebesar biji sawi”

Hadits ini memberikan motivasi pada kita untuk selalu istiqamah dalam
beriman. Istiqamah di sini diartikan mempertahankan keimanan dan
aqidahnya dalam kondisi apapun. Sehingga iman akan selalu terjaga dan
tidak akan tergoyahkan. Keimanan yang kuat adalah kunci orang-orang
yang beriman. Dan telah disebutkan pada hadits tersebut bahwa orang
yang beriman pasti akan masuk masuk surga. Istiqamah dalam beriman
dapat memerangi sifat syirik yang dapat menutup hati dari hidayah-Nya. Di
sinilah dapat kita lihat arti pentingnya istiqamah bagi keimanan.

Istiqamah menurut bahasa berarti: tegak lurus. Adapun makna menurut


istilah agama Islam ialah : Berdiri teguh di atas jalan yang lurus, berpegang
pada aqidah Islam dan melaksanakan syari’atnya dengan tekun, tidak
berubah dan tidak berpaling dalam keadaan bagaimanapun.[6]

Muslim yang beristiqamah adalah muslim yang selalu mempertahankan


keimanan dan aqidahnya dalam kondisi apapun. Ia bak batu karang yang
tegar menghadapi gempuran ombak-ombak yang datang silih berganti.
Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat Raghib yang menyatakan bahwa
seseorang disebut istiqamah bila ia tetap berada di jalan yang lurus.

Dalam hadits Nabi SAW :

‫ قلت‬:‫عن ابي عمرو وقيل ابي عمرة سفيان بن عبد هللا رضلى هللا عنه قال‬
: ‫ قل‬:‫ قال‬.‫يا رسول هللا! قل لى فلى االسالم قوال ال اسال عنه احدا غيرك‬
(‫امنت باهلل ثم استقيم) رواه مسلم‬
“ Dari Abu ‘Amr dan ada pula yang mengatakan dari Abu ‘Amrah yaitu
Sufyan bin Abdullah RA, beliau berkata : Aku telah berkata (memohon
petunjuk) : Wahai Rasulullah SAW katakanlah kepadamu suatu perkara
tentang Islam yang aku tidak lagi menanyakannya kepada seseorang
selain kepadamu. Maka bersabdalah beliau : Katakan lah: Aku percaya
kepada Alloh, kemudian beristiqamahlah kamu”.

Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa esensi dari istiqamah adalah
komitmen dengan aqidah keimanan dengan berbagi tuntutan dan
konsekkuensinya sampai akhir hayat. Orang yang mati dalam keadaan
seperti ini disebut juga dengan ” Husnul Khatimah”(HR. Muslim)

Dan dalam hadits lain:

:‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫وعن ابي هريرة رضى هلل عنه قال‬
‫ وال انت‬:‫ قالوا‬,‫قاربوا وسددوا وعلموا انه لن ينجو احد منكم بعمله‬
(‫ وال انا ان يتغمدنى هللا برحمة منه و فضل)رواه مسلم‬:‫يارسول هللا؟ قال‬

“ Dari Abu Hurairah ra. Berkata, Rasulullah SAW. Bersabda : “ biasa-biasa


lah kamu sekalian di dalam mendekatkan diri kepada Alloh dan berpegang
teguhlah kamu sekalian terhadap apa yang kalian yakini. Ketahuilah bahwa
tak ada seorangpun din antara kamu sekalian yang selamat karena amal
perbuatannya”. Para sahabat bertanya : Tidak juga tuan wahai
Rasullalloh?”. Beliau menjawab : Tidak juga saya, kecuali jika Alloh
melimpahkan rahmat dan karuniaNya”. (riwayat Muslim).[7]

Tersebut dalam QS. Al Jin 72 : 15-17 :“Adapun orang-orang yang


menyimpang dari kebenaran, Maka mereka menjadi kayu api bagi neraka
jahannam. Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas
jalan itu (agama Islam), benar-benar kami akan memberi minum kepada
mereka air yang segar (rezki yang banyak). ‘Untuk kami beri cobaan
kepada mereka padanya. dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan
Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam azab yang amat
berat”.

Dalam surat ini dapat disimpulkan bahwa pengertian istiqamah memiliki


kata dasar yang sama dengan ‫ ; ماق‬berdiri tegak lurus dan ‫ ; ةﻤاقإ‬tanda
dimulainya penegakan salat jamaah. Karena itu istiqamah sering diartikan
dengan teguh hati, taat asas atau konsisten. Istiqamah disini adalah tegak
dihadapan Alloh atau tetap pada jalan yang lurus dengan tetap
menjalankan kebenaran dan menunaikan janji baik yang berkaitannya
dengan ucapan, perbuatan, sikap dan niat. Dengan kata lain, istiqamah
adalah menempuh shiratal mustaqim dengan tidak menyimpang dari ajaran
Tuhan.[8]

Dengan demikian istiqamah meliputi keyakinan (akidah) dan ketaatan


menjalankan syari’at Islam, yang digariskan Alloh dalam al Qur’an dan
RasulNya dalam hadits. Tidak berubah pendirian karena ancaman dan
godaaan , tidak mundur dan tidak berpaling dari taat dan amal karena
hambatan dan tantangan.

Firman Alloh dalam surat fushilat: 6 :Artinya: Katakanlah: “Bahwasanya


Aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku
bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, Maka tetaplah
pada jalan yang lurus menuju kepadanya dan mohonlah ampun
kepadanya. dan Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang
mempersekutukan-Nya,

Lafadz ‫ فاستقيموا‬pada ayat tadi bahwasanya Alloh telah memerintahkan


kepada hambanya untuk beristiqamah dalam hal kebaikan selalu.

Satu hal yang perlu dipahami pula bahwa istiqamah ini terkait dengan
keimanan, dan keimanan itu berkaitan dengan hati. Diantara sifat yang
menonjol dari hati adalah berbolak-balik. Seperti dalam hadits:
‫انما سمي القلب من تقلبه‬

” Dinamakan hati itu ” qalb” karena (sifatnya) yang berbolak- balik”.

Sifat hati yang tidak tetap inilah menyebabkan keadaan seseorang sulit
diprediksi apakah ia tetap beriman (istiqamah) atau ia tidak berhasil
mempertahankan keimanannya(tidak istiqamah) sampai menginjak garis
lurus. Secara umum istiqamah menyangkukt 3 hal:

1. Istiqamah dengan lisan


2. Istiqamah dengan hati
3. Istiqamah dengan jiwa

Fadhilah Istiqamah dalam Keimanan

Kenyataan dalam perjuangan hidup menunjukan bahwa orang-orang


sukses dalam perjuangannya adalan mereka yang memiliki istiqamah.
Perjuangan yang berhasil menggondol piala kemenangan adalah
perjuangan yang pantang surut dan mundur dalam memperjuangkan cita-
citanya. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa istiqamah
membuahkan kemenangan.

Istiqamah dengan menjalankan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan


larangan-larangan. Akan mendapatkan kabar gembira berupa surga bagi
ahli iman dan istiqamah menjelang wafatnya. Dan Kabar gembira tersebut
hanya didapatkan oleh orang-orang yang membersihkan
tauhid(keimanannya) dari noda-noda syirik dan tetap menjaga kemurniaan
tauhidnya hingga berjumpa dengan Alloh.

Istiqamah di atas tauhid

Dalam surat fushilat : 30-32; “Sesungguhnya orang-orang yang


mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” Kemudian mereka meneguhkan
pendirian mereka, Maka malaikat akan turun kepada mereka dengan
mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan
gembirakanlah mereka dengan jannah yang Telah dijanjikan Allah
kepadamu”.

Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di


dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh
(pula) di dalamnya apa yang kamu minta.

‘Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”

Maksudnya adalah mereka berkata bahwa Alloh adalah Rabb dan


sesembahan kami. Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Dia. Mereka
mengatakan hal itu dengan terangan dan didasari dengan keimanan.
Selain itu mereka tetap kokoh tegar dan istiqamah di atas apa yang
mereka ucapkan. Mereka tidak mengganti, merubah dan meninggalkan
penghambaan diri kepada Alloh SWT. Mereka melakukan segala
perintahNya dan meninggalkan segala laranganNya. Demikian Syeikh Abu
Bakr Al Jazairi menerangkan dalan Asairut tafasir 4/575.

Ada beberapa penafsiran para sahabat dan tabiin taentang makna


istiqamah dalam ayat tersebut:

Abu Bakar RA,” mereka tidak mempersekutukan Alloh sedikitpun dan tidak
berpaling kepada selain Alloh. Mereka beristiqamah atas keyakinan bahwa
Alloh adalah Rabb mereka”.

Ibnu Abbas RA,” mereka berisiqamah di atas persaksian bahwa tidak ada
Illah yang berhak disembah kecuali Alloh”.

Umar bin Khattab RA,” mereka istiqamah dengan taat kepada Alloh dan
tidakn menyimpang sebagaiman a menyaimpangnya ssesuatu.
Ali RA,” mereka istiqamah denaag menjalankan kewajiban-kewajiban yang
Alloh perintahkan. Mujahid dan Ibrahim An Nakha’i Rahimakumulloh
berkata” mereka mengucapkan la ilaha illalloh dengan tidak berbuat syirik
setelahnya hingga berjumpa dengan Alloh”.

Mujahid dan Ibrahim An Nakha’i Rahimakumullah berkata: “ Mereka


mengucapkan La ilaha illalloh denagan tidak berbuat syirik setelahnya
hingga berjumpa dengan Alloh.”

Abul Aliah,” mereka berkata (Rabb kami adalah Alloh) kemudian


mengikhlaskan agama dan amalanya untuk Alloh.

Qatadah berkata,” mereka beristiqamah di atas ketaatan Alloh.” [9]

Demikianlah beberapa penafsiran yangb disebutkan oleh sebagian ahl


tafsir antara lain Imam Al Qurthubi Imam As Syaukhani dan Imam Ibnu
Rajab alm Hanbali yang dinukil dalam kitab jami’ul ulum wal Hikam.

Kapan dan Bagaimana Istiqamah Dikontekstualisasikan ?

Istiqamah setiap saat, masa dan keadaan, istiqamah akan sangat


diperlukan ketika terjadi perubahan seperti yang kita hadapi bersama
dalam keseharian; pemilu, promosi jabatan, tempat kerjaan dan lain –lain.
Karena pada saat perubahan biasanya banyak godaan istiqamah
kemudian bisa diartikan denagn tidak kompromi dengan hal-hal yamg yang
negatif, seperti suap, menerima sumbangan dari di korupsi dan lain-lain
perlukan.

Yang perlu dicatat bahwa istiqamah tidak identik dengan stagnasi dan
statis, melainkan lebih dekat kestabilitas yang dinamis. Orang yang
istiqamah ibarat mobil yang stabil dalam perjalanan dan perubahan yan
cepat. Ia akan tetap tenang, konsisten, tidak goyah apalagi takut oleh
lajunya perubahan dan keadaan. Melihat pentingnya istiqamah tadi maka
kita sebagai seorang muslim yang beriman harus beriman dengan
mengistiqamahkannya.

Sayyid Qutub menulis bahwa paling tidak ada tiga hal pokok yang
dikandung oleh surat Jin: 16-17 tadi. Yaitu:

Pertama; adanya hubungan yang sangat erat antara kontistensin suatu


umnan agama untuk melaksanakan tuntuntan agama dengan
kesejahteraan lahir dan batin serta faktor-faktor penyebabnya.

Kedua; kesejahteraan merupakan ujian Alloh kepada hamba-hambaNya.


Bersabar dalam menghadapi kenikmatan kesejahteraan lebih sulit
darraipada kesabaran dalam kesempitan. Karena kesejahteraan sering
memnjadikan orang lupa daaratan dan kesesmpitanmengundan orang
untauk mengingat Tuhannya.

Ketiga; berpaling dari peringa Alloh dapat mengantar kepada ujian Tuhan
berupa limpahan rizki yang menggundang jatuhnya sikas. Dengan kata
lain, peningkata kesejahteraan atau rizki yang dibarengi dengan
pengabdian nilai-nilai Ilahi akan mengakibatakan peningkatan siksa. Dalam
perspekotif ini, kita bisa mengulas mengapa negara-negara yang mayoritas
Muslim dan alamnya makmur, tapi miskin dan tertinggal, seperti kita
Indonesia ini.

Korelasi Iman dengan Istiqamah

Istiqamah telah menjadi sunatullah bahwa setiap manusia yang hidup di


dunia ini pasti tidak terlepas dari cobaan dan rintangan hidup karena
memang hidup ini sendiri, baik sukses, beruntung atau tidak adalah
cobaan. Namun dalam menghadapi ini ada yang merasakannya denagna
ringan dan tidak tergoda, tetap ada juga yang merasakannya berat dan
terdorong untuk melanggar. Pada saat seperti itulah seseorang diiuji
keimanannya.
Salah satu cara untuk mempaertaahankannya adalah dengan istiqamah.
Bahkan setiap muslim dituntut untuk istiqamah yang sebenar-benarnya dan
sesempurna-sempurnanya istiqamah. Istiqamah yang benar dan sempurna
yaitu benar dan lurus, konsisten dengan teguh hati dalam setiap ucapan,
perbuatan dan tujuan.

Untuk beristiqamah tentunya tidaklah mudah bahkan sangatlah sulit.


Namun untuk memperoleh hikmahnya secara optimal dan pahala yang
besar, istiqamah adalah jalannya. Dalam sebuah ujaran arab ” istiqamah
itu lebih baik dan utama dari seribu karamah”. Untuk itulah, maka
diperlukan kesungguhan lahir (ijtihad dan jihad) dan batin (mujahadah)
dengan tetap waspada terhadap berbagai macam dan bentuk rayuan dan
godaan. Setiap muslim dituntut melakukan istiqamah ini.

Anda mungkin juga menyukai