Anda di halaman 1dari 22

1.

Konsep Dasar Lansia


A. Pengertian Lansia
Menurut Saparinah (2003) lansia yang berusia lebih dari 60 tahun merupakan kelompok
umur yang mencapai tahap pensiun, pada tahap ini akan mengalami berbagai penurunan daya
tahan tubuh atau kesehatan dan berbagai tekanan psikologis. Dengan demikian akan timbul
perubahan-perubahan dalam hidupnya. Menurut Nugroho (2008) lansia merupakan kelompok
orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan bertahap dalam jangka waktu
beberapa decade terjadinya suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita
Menurut Hardywinoto (1999) periode kemunduran pada masa lanjut usia dapat
dikategorikan menjadi 2 yaitu lanjut usia potensial dan lanjut usia tidak potensial. Lanjut usia
potensial adalah lanjut usia yang masih mampu memenuhi segala kebutuhan hidup tanpa harus
menggantungkan diri pada orang lain. Lanjut usia tidak potensial adalah lanjut usia yang tidak
berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
Depkes (2001) menyatakan batasan lansia dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Kelompok pra senelis atau pra lansia
Kelompok pralansia adalah kelompok usia dalam fase persiapan masa lanjut usia yang
menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa (45-59 tahun).
b. Kelompok usia lanjut
Kelompok usia lanjut adalah kelompok dalam masa senium (60 tahun keatas).
c. Kelompok usia lanjut dengan risiko tinggi
Kelompok usia lanjut dengan risiko tinggi adalah kelompok berusia lebih dari 70 tahun atau
lebih atau seseorang dengan usia 60 tahun lebih dengan masalah kesehatan.

B. Konsep Sindrom Geriatric


Pasien geriatri adalah pasien usia lanjut yang memiliki karakteristik khusus yang
membedakannya dari pasien usia lanjut pada umumnya. Karakteristik pasien geriatri yang
pertama adalah multipatologi, yaitu adanya lebih dari satu penyakit kronis degeneratif.
Karakteristik kedua adalah daya cadangan faali menurun karena menurunnya fungsi organ
akibat proses menua. Karakteristik yang ketiga adalah gejala dan tanda penyakit yang tidak
khas. Tampilan gejala yang tidak khas seringkali mengaburkan penyakit yang diderita pasien.
Karakteristik berikutnya adalah penurunan status fungsional yang merupakan kemampuan
seseorang untuk melakukan aktivitas seharihari. Penurunan status fungsional menyebabkan
pasien geriatri berada pada kondisi imobilisasi yang berakibat ketergantungan pada orang lain.
Karakteristik khusus pasien geriatri yang sering dijumpai di Indonesia ialah malnutrisi.
melaporkan malnutrisi merupakan sindrom geriatri terbanyak pada pasien usia lanjut yang
dirawat (42,6%) di 14 rumah sakit.
Sindrom Geriatri Masalah yang sering dijumpai pada pasien geriatri adalah sindrom geriatri
yang meliputi: imobilisasi, instabilitas, inkontinensia, insomnia, depresi, infeksi, defisiensi imun,
gangguan pendengaran dan penglihatan, gangguan intelektual, kolon irritable, impecunity, dan
impotensi. Imobilisasi adalah keadaan tidak bergerak/ tirah baring selama 3 hari atau lebih,
diiringi gerak anatomis tubuh yang menghilang akibat perubahan fungsi fisiologis. Imobilisasi
menyebabkan komplikasi lain yang lebih besar pada pasien usia lanjut bila tidak ditangani
dengan baik. Gangguan keseimbangan (instabilitas) akan memudahkan pasien geriatri terjatuh
dan dapat mengalami patah tulang.
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu
yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, sehingga
mengakibatkan masalah sosial dan higienis. Inkontinensia urin seringkali tidak dilaporkan oleh
pasien atau keluarganya karena malu atau tabu untuk diceritakan, ketidaktahuan dan
menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar pada orang usia lanjut serta tidak perlu diobati.
Prevalensi inkontinensia urin di Indonesia pada pasien geriatri yang dirawat mencapai 28,3%.
Biaya yang dikeluarkan terkait masalah inkontinensia urin di poli rawat jalan Rp 2.850.000,- per
tahun per pasien. Masalah inkontinensia urin umumnya dapat diatasi dengan baik jika dipahami
pendekatan klinis dan pengelolaannya.
Insomnia merupakan gangguan tidur yang sering dijumpai pada pasien geriatri. Umumnya
mereka mengeluh bahwa tidurnya tidak memuaskan dan sulit memertahankan kondisi tidur.
Sekitar 57% orang usia lanjut di komunitas mengalami insomnia kronis, 30% pasien usia lanjut
mengeluh tetap terjaga sepanjang malam, 19% mengeluh bangun terlalu pagi, dan 19%
mengalami kesulitan untuk tertidur.
Gangguan depresi pada usia lanjut kurang dipahami sehingga banyak kasus tidak dikenali.
Gejala depresi pada usia lanjut seringkali dianggap sebagai bagian dari proses menua.
Prevalensi depresi pada pasien geriatri yang dirawat mencapai 17,5%.12 Deteksi dini depresi
dan penanganan segera sangat penting untuk mencegah disabilitas yang dapat menyebabkan
komplikasi lain yang lebih berat.
Infeksi sangat erat kaitannya dengan penurunan fungsi sistem imun pada usia lanjut.
Infeksi yang sering dijumpai adalah infeksi saluran kemih, pneumonia, sepsis, dan meningitis.
Kondisi lain seperti kurang gizi, multipatologi, dan faktor lingkungan memudahkan usia lanjut
terkena infeksi. Gangguan penglihatan dan pendengaran juga sering dianggap sebagai hal
yang biasa akibat proses menua. Prevalensi gangguan penglihatan pada pasien geriatri yang
dirawat di Indonesia mencapai 24,8%.
Gangguan penglihatan berhubungan dengan penurunan kegiatan waktu senggang, status
fungsional, fungsi sosial, dan mobilitas. Gangguan penglihatan dan pendengaran berhubungan
dengan kualitas hidup, meningkatkan disabilitas fisik, ketidakseimbangan, jatuh, fraktur
panggul, dan mortalitas.
Pasien geriatri sering disertai penyakit kronis degeneratif. Masalah yang muncul sering
tumpang tindih dengan gejala yang sudah lama diderita sehingga tampilan gejala menjadi tidak
jelas. Penyakit degeneratif yang banyak dijumpai pada pasien geriatri adalah hipertensi,
diabetes melitus, dislipidemia, osteoartritis, dan penyakit kardiovaskular. Penelitian multisenter
di Indonesia terhadap 544 pasien geriatri yang dirawat inap mendapatkan prevalensi hipertensi
dan diabetes melitus sebesar 50,2% dan 27,2%.

C. Gangguan Kesehatan Pada Lansia


Banyak terjadi kemunduran pada fungsi fisiologis lansia sehingga berakibat pada
munculnya berbagai macam gangguan kesehatan. Nugroho (2000) menyatakan gangguan
kesehatan yang biasa dialami oleh lansia yaitu:
1. Masalah fisik umum
Masalah fisik umum yang biasa dialami oleh lansia adalah mudah jatuh dan mudah lelah.
Banyak faktor yang menyebabkan lansia mudah jatuh. Faktor instrinsik yang menyebabkan
lansia mudah jatuh adalah gangguan gaya berjalan, kelemahan otot ekstrimitas bawah,
kekakuan sendi, dan sinkope atau pusing. Faktor ekstrinsik misalnya lantai yang terlalu licin
dan tidak rata, tersandung benda, dan cahaya kurang terang.
Mudah lelah pada lansia disebabkan oleh faktor psikologi (perasaan bosan, keletihan, dan
depresi), pengaruh obat, gangguan organis yang meliputi anemia, kekurangan vitamin,
perubahan pada tulang (Osteomalasia), gangguan pencernaan, kelainan metabolisme
(diabetes militus, hipertiroid), gangguan ginjal dengan uremia, gangguan faal hati,
gangguan sistem peredaran darah dan jantung.
2. Gangguan kardiovaskuler
Jantung dan pembuluh darah memberikan oksigen dan nutrien pada setiap sel hidup yang
diperlukan untuk bertahan hidup. Penurunan fungsi kardiovaskuler akan berdampak pada
fungsi yang lainnya. Peningkatan usia menyebabkan jantung dan pembuluh darah
mengalami perubahan baik secara struktural maupun fungsional. Secara umum, perubahan
yang disebabkan oleh penuaan berlangsung lambat dan tidak disadari (Steanly & Beare,
2007). Perubahan pada sistem kardiovaskuler meliputi:
a. Ventrikel kiri menebal.
b. Katup jantung menebal dan membentuk penonjolan.
c. Jumlah sel peacemaker yang berfungsi menghasilkan impuls listrik menurun.
d. Arteri menjadi kaku dan tidak lurus pada kondisi dilatasi (pelebaran atau peregangan
struktur tabular).
e. Vena mengalami dilatasi, katup menjadi tidak kompeten.
Manifestasi klinis penuaan pada sistem kardiovaskuler menurut (Steanly & Beare, 2007)
adalah:
a. Tekanan darah tinggi
Takanan darah tinggi atau hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya penyakit
kardiovaskuler. Kombinasi hipertensi dengan diabetes atau hiperlipidemia semakin
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler. Hipertensi dibagi menjadi dua yaitu:
1. Hipertensi esensial
2. Hipertensi non esensial
Hampir 90% tekanan darah tinggi tergolong tekanan darah tinggi esensial atau tekanan
darah tinggi yang tidak diketahui penyebabnya. Tekanan darah tinggi esensial biasanya
menyerang anak muda. Tekanan darah tinggi untuk lansia cenderung hipertensi non
esensial.
b. Aterosklerosis
Aterosklerosis merupakan proses patofisiologis yang paling sering mempengaruhi fungsi
kardiovaskuler. Aterosklerosis adalah proses penyakit yang secara umum memiliki
dampak pada hampir semua arteri. Aterosklerosis pada lansia dan orang masih muda
hampir sama, akan tetapi dampak pada lansia lebih berat karena proses akumulasi yang
lebih lama (Steanly & Beare, 2007).
c. Disritmia
Disritmia meningkat pada lansia karena perubahan struktural dan fungsional pada
proses penuaan. Disritmia dipicu oleh tidak terkoordinasinya jantung dan sering
dimanifestasikan sebagai perubahan perilaku, palpitasi, sesak napas, keletihan, dan
jatuh (Steanly & Beare, 2007). Gangguan kardiovaskuler dapat berupa nyeri dada,
sesak napas pada kerja fisik, palpitasi, dan edema kaki (Nugroho, 2010).
3. Berat badan menurun
Berat badan menurun pada lansia disebaban oleh:
a. Nafsu makan menurun karena kurang adanya gairah hidup atau kelesuan.
b. Penyakit kronis.
c. Gangguan pada saluran pencernaan sehingga penyerapan makanan terganggu.
d. Faktor sosio ekonimis (pensiunan).
4. Gangguan eliminasi
Gangguan eliminasi lansia terkait dengan gangguan pada sistem ekskresi pada tubuh
manusia, meliputi:
a. Gangguan pada sistem alat kemih
Penyimpanan dan pengeluaran urin dalam interval yang sesuai adalah suatu proses
koordinasi volunter dan involunter yang rumit. Sistem tersebut harus utuh secara fisik,
neurologis, harus terdapat kesadaran kognitif, keinginan untuk berkemih, dan tempat
serta situasi yang tepat untuk melakukannya (Staenly & Beare, 2007).
Perubahan yang biasa menyertai penuaan adalah kapasitas kandung kemih yang lebih
kecil, peningkatan volume residu, dan kontraksi kandung kemih yang tidak disadari.
Perubahan yang terjadi pada wanita lansia adalah penurunan produksi estrogen
menyebabkan atrofi jaringan uretra dan efek setelah melahirkan dapat dilihat pada
melemahnya otot dasar panggul. Perubahan pada lansia pria adalah hipertrofi prostat
menyebabkan tekanan pada leher kandung kemih dan uretra (Staenly & Beare, 2007).
Pemeriksaan mikroskopik ginjal lansia menunjukkan hanya 30% ginjal yang utuh.
Kondisi seperti itu menyebabkan daya kerja ginjal berkurang. Gangguan pada sistem
alat kemih biasa ditandai dengan:
1) Inkontinensia uri
Inkontinensia uri (gangguan terlalu sering kencing) dihubungkan dengan keinginan
yang kuat dan mendesak untuk berkemih dengan kemampuan yang kecil untuk
menunda berkemih. Proses inkontinensia uri terjadi apabila kandung kemih hampir
penuh sebelum kebutuhan untuk berkemih dirasakan sehingga berakibat sebagian
kecil sampai sedang urin keluar sebelum seseorang mencapai toilet (Staenly &
Beare, 2007).
Nugroho (2000) menyatakan penyebab inkontinensia uri adalah:
a. Melemahnya otot dasar panggul yang menyangga kendung kemih dan
memperkuat sfingter uretra.
b. Konstraksi abnormal pada kandung kemih.
c. Obat diuretik dan obat penenang yang terlalu banyak.
d. Radang kandung kemih dan saluran kemih.
e. Kelainan kontrol dan persarafan pada kandung kemih.
f. Hipertrofi prostat.
g. Faktor psikologi.
2) Retensio urine
Retensio urine adalah suatu keadaan penumpukan urin dikandung kemih dan tidak
mempunyai kemampuan untuk mengosongkan secara sempurna (Staenly & Beare,
2007). Tanda dan gejala dalam retensio urine adalah:
a) Urin mengalir lambat.
b) Poliuria yang makin lama menjadi parah karena pengosongan kendung kemih
tidak efisien.
c) Distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih.
d) Terasa ada tekanan.
b. Inkontinensia alvi
Incontinensia alvi adalah ketidakmampuan untuk mengontrol buang air besar yang
menyebabkan tinja (feses) bocor tidak terduga dari dubur. Kondisi tersebut dapat terjadi
karena penurunan fungsi usus yang sebelumya bertugas sebagai penyerap dan
pengeluaran feses (Staenly & Beare, 2007).
5. Gangguan pada sistem muskuloskeletal
Perubahan normal muskuloskeletal pada lansia meliputi penurunan tinggi badan,
redistribusi massa otot dan lemak subkutan, peningkatan porositas tulang, atrofi otot,
pergerakan yang lambat, pengurangan kekuatan, dan kekauan sendi (Staenly & Beare,
2007). Masalah muskuloskeletal yang sering terjadi adalah:
a. Osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu kondisi penurunan massa tulang secara keseluruhan
sehingga seseorang tidak mampu berjalan atau bergerak. Osteoposisis sering
ditemukan pada wanita, walaupun pria juga masih mengalami osteoporosis. Hilangnya
substansi tulang menyebabkan tulang menjadi lemah secara mekanis dan cenderung
untuk mengalami fraktur baik spontan maupun akibat trauma. Ketika kemampuan
menahan berat badan normal menurun atau tidak ada sebagai konsekuensi dari
penurunan atau gangguan mobilitas maka akan terjadi osteoporosis karena tulang
jarang digunakan (Staenly & Beare, 2007).
b. Osteoartritis
Osteoartritis adalah gangguan yang berkembang secara lambat, tidak simetris, dan non
inflamasi. Osteoarthritis terjadi pada sendi yang dapat digerakkan khususnya pada sendi
yang menahan berat tubuh. Kerusakan sendi akibat penuaan memainkan peranan
dalam perkembangan osteoartritis (Staenly & Beare, 2007).
c. Artritis reumatoid (penyakit radang sendi)
Staenly & Beare (2007) menyatakan artritis reumatoid (AR) adalah penyakit inflamasi
artikuler yang paling sering pada lansia. AR adalah suatu penyakit kronis sistemik yang
berkembang secara perlahan dan ditandai oleh adanya radang yang sering kambuh
pada sendi diartrodial dan struktur yang berhubungan. AR sering disertai dengan nodul
reumatoid, arthritis (radang sendi), neuropati (gangguan saraf), skleritis (radang pada
bagian putih mata), perikarditis (radang pada perikardium), limfadenopati (pembesaran
kelenjar getah bening), dan splenomegali (pembesaran limfa).
6. Gangguan fungsi paru dan jantung
Hubungan antara jantung dan paru sangat dekat sehingga apabila salah satu terganggu
maka akan menganggu fungsi yang lainnya. Paru memiliki struktur gelembung sangat
halus yang dinamakan alveolus, apabila terjadi kerusakan pada alveolus tersebut maka
akan menyebabkan darah antara paru dan jantung terbendung. Gejala yang timbul apabila
terjadi penyakit paru yaitu; batuk, sesak nafas, kulit membiru karena kekurangan oksigen,
dan sakit dada.

2. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) pada Lanut Usia


a. Definisi COPD
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau juga dikenali sebagai Penyakit
Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan obstruksi saluran pernafasan yang progresif dan
ireversibel; terjadi bersamaan bronkitis kronik, emfisema atau kedua-duanya (Snider, 2003).
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) bukanlah penyakit tunggal, tetapi merupakan satu
istilah yang merujuk kepada penyakit paru kronis yang mengakibatkan gangguan pada
sistem pernafasan.
Sementara menurut Affyarsyah Abidin, Faisal Yunus dan Wiwien Heru Wiyono (2009),
PPOK adalah penyakit paru kronik yang tidak sepenuhnya reversibel, progresif, dan
berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal terhadap partikel dan gas yang
berbahaya. Kata “progresif” disini berarti semakin memburuknya keadaan seiring berjalannya
waktu (National Heart Lung and Blood Institute, 2009). Jadi dapat disimpulkan PPOK
(Penyakit Paru Obstruktif Kronik) adalah penyakit obstruksi saluran nafas kronis dan
progressif yang dikarakterisir oleh adanya keterbatasan aliran udara yang bersifat
irreversibel, yang disebabkan oleh bronkitis kronis, emfisema, atau keduanya.

b. Klasifikasi COPD
Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia (PDPI)/Gold tahun 2005 sebagai berikut :
a. PPOK Ringan
 Gejala klinis :
- Dengan atau tanpa batuk
- Dengan atau tanpa produksi sputum
- Sesak nafas, derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1
 Spirometri :
- VEP > 80% prediksi (normal spirometri) atau
- VEP/KVP < 70%
b. PPOK Sedang
 Gejala klinis :
- Dengan atau tanpa batuk
- Dengan atau tanpa produksi sputum
- Sesak nafas, derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas)
 Spirometri :
- VEP/KVP < 70%
- VEP 50% - 80% prediksi
c. PPOK Berat
 Gejala klinis :
- Sesak nafas, derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal nafas kronik
- Eksaserbasi lebih sering terjadi
- Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan
 Spirometri :
- VEP1/KVP < 70%
- VEP1 < 30% prediksi atau VEP1 > 30% dengan gagal nafas kronik

c. Etiologi
a) Bronkitis Kronis
Yaitu keadaan pengeluaran mukus secara berlebihan ke batang bronchial secara
kronik atau berulang dengan disertai batuk, yang terjadi hampir setiap hari selama
sekurangnya tiga bulan dalam 1 tahun selama 2 tahun berturut turut
b) Emphysema
Yaitu kelainan paru-paru yang ditandai dengan pembesaran jalan nafas yang sifatnya
permanen mulai dari terminal bronchial sampai bagian distal (alveoli : saluran, kantong
udara dan dinding alveoli).
c) Asthma Bronkiale
Hiperaktivitas bronkus yang faktor prediasposisinya adalah alergen (debu, bulu
binatang, kulit dll), infeksi saluran nafas, stress, olahraga (kegiatan jasmani berat ),
obat-obatan, polusi udara, lingkungan kerja, dan lain-lain, (iklim, bumbu masak, bahan
pengawet dll)

d. Faktor Resiko
a) Genetik.
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi lingkungan
genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan telah di teliti lama
adalah defisiensi α1 antitripsin, yang merupakan protease serin inhibitor. Biasanya jenis
PPOK yang merupakan contoh defisiensi α1 antitripsin adalah emfisema paru yang
dapat muncul baik pada perokok maupun bukan perokok, tetapi memang akan
diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa
patogenesis PPOK itu dengan gen yang terdapat pada kromosom 2q.
b) Pertumbuhan dan perkembangan paru.
Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong kepada
terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi bayi
pada saat dalam kandungan, saat lahir, dan dalam masa pertumbuhannya. Dimana
pada suatu studi yang besar didapatkan hubungan yang positif antara berat lahir dan
VEP1 pada masa dewasanya.

c) Stres Oksidatif.
Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus dialami oleh
paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi yang cukup baik
secara enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan keseimbangan antara oksidan dan
anti oksidan yang ada akan menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan
mengaktivasi respon inflamasi pada paru-paru. Ketidak seimbangan inilah yang
kemudian memainkan peranan yang penting terhadap patogenesis PPOK.
d) Infeksi.
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar
terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan
dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan peranan
yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap infeksi virus juga
dihubungkan dengan PPOK, dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran
nafas berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan pada
terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan dengan
di temukannya obstruksi saluran nafas pada dewasa tua pada saat umur diatas 40
tahun.
e) Komorbiditas.
Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana didapatkan dari
suatu penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive Disease, bahwa
orang dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi risiko menderita PPOK.
f) Asap Rokok
Penyebab utama dari PPOK adalah asap rokok, baik karena dihisap sendiri
secara langsung (perokok aktif) maupun karena menghisap asap rokok orang lain
(perokok pasif). Asap rokok dapat menekan sistem pertahan saluran napas, paralisis
pada silia dan penurunan aktivitas makrofag alveolus, dan produksi mukus yang
berlebihan sehingga terjadi obstruksi saluran napas.
Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh
lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu
diperhatikan :
a. Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-
rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
g) Polusi Udara
Berbagai macam deb, zat kimia, dan serta dalam lingkungan kerja mempunyai
pengaruh merugikan pada sistem pernapasan. Selain itu hasil sampingan bahan bakar
seperti minyak tanah, batu bara, kayu bakar, dan diesel dapat menjadi faktor resiko
PPOK.
e. Manifestasi COPD
Manifestasi klinis penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah batuk, sputum putih
atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen dan sesak, sampai
menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas.
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi akut
dimana kondisi pasien mengalami perburukan dari kondisi sebelumnya dan bersifat akut.
Eksaserbasi akut ini dapat ditandai dengan gejala yang khas, seperti sesak nafas yang
semakin memburuk, batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi sputum atau
dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise, kelelahan dan gangguan
tidur. Gejala klinis PPOK eksaserbasi akut ini dapat dibagikan menjadi dua yaitu gejala
respirasi dan gejala sistemik. Gejala respirasi berupa sesak nafas yang semakin bertambah
berat, peningkatan volume dan purulensi sputum, batuk yang semakin sering, dan nafas
yang dangkal dan cepat. Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh,
peningkatan denyut nadi serta gangguan status mental pasien (Riyanto, Hisyam, 2006).

Diagnosis PPOK dipertimbangkan apabila pasien mengalami gejala batuk, sputum yang
produktif, sesak nafas, dan mempunyai riwayat terpajan faktor risiko. Diagnosis memerlukan
pemeriksaan spirometri untuk mendapatkan nilai volume forced expiratory maneuver (FEV 1)
dan force vital capacity (FVC). Jika hasil bagi antara FEV 1 dan FVC kurang dari 0,7, maka
terdapat pembatasan aliran udara yang tidak reversibel sepenuhnya (Fahri, Sutoyo, Yunus,
2009). Pada orang normal volume forced expiratory maneuver (FEV 1) adalah 28ml per
tahun, sedangkan pada pasien PPOK adalah 50 - 80 ml. Menurut National Population Health
Study (NPHS), 51% penderita PPOK mengeluhkan bahwa sesak nafas yang mereka alami
menyebabkan keterbatasan aktivitas di rumah, kantor dan lingkungan social (Abidin, Yunus,
Wiyono, 2009).

5. Patofisiologi COPD
Terlampir.
Patofisiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Iritasi Saluran nafas
Faktor Resiko PPOM Genetik, paparan partikel, pertumbuhan dan perkembangan paru,
stres oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status
Inflamasi
sosioekonomi, nutrisi dan komorbiditas.

Ketidakefektifan Makrofag,
sel-sel silia Bronkospasme Hipertrofi, Hiperplasi Ketidakefektifan pola neutrofil, limfosit T
bersihan jalan nafas
mengalami atropi Kelenjar Mukus nafas
Menyumbat melepaskan sitokinin dan
Paralisis Silia Obstruksi Sal. nafas Hipersekresi mukus mediator (LB4, IL 8,
saluran nafas
Statis Mukus yang reversibel (banyak dan kental) TNF)
Obstruksi lumen ketidakseimbangan aktifitas
Erosi Epitel, pembentukan jaringan parut, Dispnea protease atau inaktifitas
metaplasi skuamosa serta penebalan lapisan antiprotease, terjadi stres
Infeksi kuman Jari-jari sal. Nafas
mukosa Kerja nafas oksidatif
(sekunder) berkurang Inflamasi semakin parah

Obstruksi saluran nafas yang irreversibel Peningkatan resistensi


sal. Nafas
Bronkritis Kronik
Menghalangi
keluarnya udara

Diperlukan tekanan intra


thorakal u/ ekspirasi
Penekanan bronkus
udara dipaksa keluar dari
Ekspirasi sulit Ekspirasi memanjang
sal yg sempit
Udara terperangkap dalam alveoli vokal fremitus melemah
Penggabungan bbrp
Pengembangan paru berlebihan Melebarkan duktus fragmentasi jar.elastis interalveolar
alveolus (bula)
(hiperinflasi paru) alveolaris dan Rusaknya sekat interalveolar
Area difusi berkurang
Nadi meningkat pe↑ denyut jantung untuk
hipoksia
me↑ curah jantung
Gangguan difusi O2 dan CO2

MK: Gangguan pertukaran Gas


6. Pemeriksaan Penunjang
A. Anamnesis
 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
 Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.
B. Pemeriksaan fisis PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
1. Inspeksi
 Pursed - lips breathing* (mulut setengah terkatup mencucu)
 Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
 Penggunaan otot bantu napas -Hipertropi otot bantu napas
 Pelebaran sela iga
 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan
edema tungkai
 Penampilan pink puffer* atau blue bloater*

2. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
3. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah
4. Auskultasi
 Suara napas vesikuler normal, atau melemah
 Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
 Ekspirasi memanjang
 Bunyi jantung terdengar jauh
Keterangan :

* Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan
pursed - lips breathing

*Blue bloater

Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai
dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
*Pursed - lips breathing

Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2
yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi
pada gagal napas kronik.

C. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
 Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP % ).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
 Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudiandilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE <
20% nilai awal dan< 200 ml
Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin (Hb, Ht, leukosit)
3. Radiologi
 Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain
 Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
b. Pemeriksaan Khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
 Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti
Paru Total (KPT), VR/KRF,VR/KPT meningkat
 DLCO menurun pada emfisema
 Raw meningkat pada bronkitis kronik
 Sgaw meningkat
 Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2. Uji latih kardiopulmoner
ii. Sepeda statis (ergocycle)
iii. Jentera (treadmill)
iv. Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktivitibronkus derajat ringan
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
oral (prednison ataumetilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari
selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1pascabronkodilator > 20 %
dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat
kenaikanfaal paru setelah pemberian kortikosteroid
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema
atau bula yang tidakterdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi. Untuk engetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi. Untuk menilai funfsi jantung kanan
9. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untukmengetahui pola kuman dan untuk memilih
antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulngmerupakan
penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema
pada usia muda), defisiensiantitripsin alfa-1 jarang ditemukan di
Indonesia.

7. Penatalaksanaan Klinis
 Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualitas hidup penderita
 Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.
Karena PPOK adalah penyakit kronik yang irreversibel dan progresif, inti dari
edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah
kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat
reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari
edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktivitas optimal
4. Meningkatkan kualitas hidup
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
- Pengetahuan dasar tentang PPOK
- Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
- Cara pencegahan perburukan penyakit
- Menghindari pencetus (berhenti merokok)
- Penyesuaian aktivitas
2. Obat – obatan
a) Bronkodilator
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali per hari).
- Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang
diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
b) Anti-inflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan
VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c) Antibiotik
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin
makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat
sefalosporin
kuinolon
makrolid baru
d) Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan N-
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering,
tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e) Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
3. Terapi oksigen
Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan
oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ
lainnya.
Indikasi
- PaO2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- PaO2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P
pulmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru
lain
4. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut,
gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat
dengan napas kronik.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
 Ventilasi mekanik dengan intubasi
Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas
kronik. Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Nonivasive Intermitten
Positif Pressure (NIPPV) atau Negative Pressure Ventilation (NPV).
Indikasi penggunaan NIPPV :
- Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi dan
abdominal paradoksal
- Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35
- Frekuensi napas > 25 kali per menit
NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas, di
samping harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana.
 Ventilasi mekanik tanpa intubasi
Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif :
- Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan
pergerakan abdominal paradoksal
- Frekuensi napas > 35 permenit
- Hipoksemia yang mengancam jiwa (Pao2 < 40 mmHg)
- Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2 < 60 mmHg)
- Henti napas
- Samnolen, gangguan kesadaran
- Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)
- Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru,
barotrauma, efusi pleura masif)
- Telah gagal dalam penggunaan NIPPV
5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia
kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan
menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru
dan perubahan analisis gas darah.
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan
mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan
CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara
kalori yang masuk dengan kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan
secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster.
6. Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program
rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualitas hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun di luar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin
yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan
pernapasan. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003
8. Komplikasi
a. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,
dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami
perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul
cyanosis.
b. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul
antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
c. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,
peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya
aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
d. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali
berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga
dapat mengalami masalah ini.
e. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratory.
f. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial.
Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak
berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu
pernafasan dan distensi vena leher seringkali terlihat.
g. Gagal / insufisiensi pernafasan
Pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksia, hiperkapni
(Peningkatan konsentrasi karbondioksida arteri), dan asidosis. Keadaan ini sering
terjadi apabila bernafas menjadi begitu sulit sehingga terjadi kelelahan dan individu
tidak lagi memiliki energi untuk bernafas.
h. Atelektasis
Keadaan dimana paru dan alveolus mengalami kolaps yang disebabkan alveolus
tidak mengandung udara sehingga tidak dapat ikut serta dalam pertukaran gas.
i. Pneumonia
j. Pneumotoraks
Kolapsnya sebagian atau seluruh paru yang terjadi sewaktu udara atau gas lain
masuk ke ruang pleura yang mengelilingi paru.
k. Hipertensi paru yang menyebabkan kor pulmonalise
Hipertensi paru adalah peningkatan tekanan darah pada sistem vaskular paru.

9. Pencegahan
Secara umum PPOM tidak bisa disembuhkan karena amat mustahil memperbaiki
kerusakan pada paru-paru. Tetapi ia dapat dicegah dengan berhenti merokok atau
tidak merokok sama sekali. Hampir 90% kasus PPOM bersumber dari kebiasaan
merokok. Perawatan PPOM yang ada hari ini hanyalah untuk mengontrol dan
mencegah kerusakan paru-paru yang lebih parah. Mengindari faktor-faktor pencetus
PPOM seperti rokok dan zat-zat pencemar lebih penting dan harus dilakukan sejak
awal. Hal – hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya PPOM antara lain :
1. Menghindari faktor – faktor pencetus timbulnya PPOM.
2. Hindari asap rokok atau tidak merokok sama sekali.
3. Hindari polusi udara dan zat – zat pencemar lainnya.
4. Hindari infeksi saluran napas berulang.
Sedangkan hal – hal yang perlu dilakukan untuk mencegah perburukan PPOM
adalah :
1. Berhenti merokok
2. Gunakan obat-obatan adekuat
3. Mencegah eksaserbasi berulang

Anda mungkin juga menyukai