LP PSTW
LP PSTW
b. Klasifikasi COPD
Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia (PDPI)/Gold tahun 2005 sebagai berikut :
a. PPOK Ringan
Gejala klinis :
- Dengan atau tanpa batuk
- Dengan atau tanpa produksi sputum
- Sesak nafas, derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1
Spirometri :
- VEP > 80% prediksi (normal spirometri) atau
- VEP/KVP < 70%
b. PPOK Sedang
Gejala klinis :
- Dengan atau tanpa batuk
- Dengan atau tanpa produksi sputum
- Sesak nafas, derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas)
Spirometri :
- VEP/KVP < 70%
- VEP 50% - 80% prediksi
c. PPOK Berat
Gejala klinis :
- Sesak nafas, derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal nafas kronik
- Eksaserbasi lebih sering terjadi
- Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan
Spirometri :
- VEP1/KVP < 70%
- VEP1 < 30% prediksi atau VEP1 > 30% dengan gagal nafas kronik
c. Etiologi
a) Bronkitis Kronis
Yaitu keadaan pengeluaran mukus secara berlebihan ke batang bronchial secara
kronik atau berulang dengan disertai batuk, yang terjadi hampir setiap hari selama
sekurangnya tiga bulan dalam 1 tahun selama 2 tahun berturut turut
b) Emphysema
Yaitu kelainan paru-paru yang ditandai dengan pembesaran jalan nafas yang sifatnya
permanen mulai dari terminal bronchial sampai bagian distal (alveoli : saluran, kantong
udara dan dinding alveoli).
c) Asthma Bronkiale
Hiperaktivitas bronkus yang faktor prediasposisinya adalah alergen (debu, bulu
binatang, kulit dll), infeksi saluran nafas, stress, olahraga (kegiatan jasmani berat ),
obat-obatan, polusi udara, lingkungan kerja, dan lain-lain, (iklim, bumbu masak, bahan
pengawet dll)
d. Faktor Resiko
a) Genetik.
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi lingkungan
genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan telah di teliti lama
adalah defisiensi α1 antitripsin, yang merupakan protease serin inhibitor. Biasanya jenis
PPOK yang merupakan contoh defisiensi α1 antitripsin adalah emfisema paru yang
dapat muncul baik pada perokok maupun bukan perokok, tetapi memang akan
diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa
patogenesis PPOK itu dengan gen yang terdapat pada kromosom 2q.
b) Pertumbuhan dan perkembangan paru.
Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong kepada
terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi bayi
pada saat dalam kandungan, saat lahir, dan dalam masa pertumbuhannya. Dimana
pada suatu studi yang besar didapatkan hubungan yang positif antara berat lahir dan
VEP1 pada masa dewasanya.
c) Stres Oksidatif.
Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus dialami oleh
paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi yang cukup baik
secara enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan keseimbangan antara oksidan dan
anti oksidan yang ada akan menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan
mengaktivasi respon inflamasi pada paru-paru. Ketidak seimbangan inilah yang
kemudian memainkan peranan yang penting terhadap patogenesis PPOK.
d) Infeksi.
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar
terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan
dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan peranan
yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap infeksi virus juga
dihubungkan dengan PPOK, dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran
nafas berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan pada
terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan dengan
di temukannya obstruksi saluran nafas pada dewasa tua pada saat umur diatas 40
tahun.
e) Komorbiditas.
Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana didapatkan dari
suatu penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive Disease, bahwa
orang dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi risiko menderita PPOK.
f) Asap Rokok
Penyebab utama dari PPOK adalah asap rokok, baik karena dihisap sendiri
secara langsung (perokok aktif) maupun karena menghisap asap rokok orang lain
(perokok pasif). Asap rokok dapat menekan sistem pertahan saluran napas, paralisis
pada silia dan penurunan aktivitas makrofag alveolus, dan produksi mukus yang
berlebihan sehingga terjadi obstruksi saluran napas.
Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh
lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu
diperhatikan :
a. Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-
rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
g) Polusi Udara
Berbagai macam deb, zat kimia, dan serta dalam lingkungan kerja mempunyai
pengaruh merugikan pada sistem pernapasan. Selain itu hasil sampingan bahan bakar
seperti minyak tanah, batu bara, kayu bakar, dan diesel dapat menjadi faktor resiko
PPOK.
e. Manifestasi COPD
Manifestasi klinis penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah batuk, sputum putih
atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen dan sesak, sampai
menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas.
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi akut
dimana kondisi pasien mengalami perburukan dari kondisi sebelumnya dan bersifat akut.
Eksaserbasi akut ini dapat ditandai dengan gejala yang khas, seperti sesak nafas yang
semakin memburuk, batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi sputum atau
dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise, kelelahan dan gangguan
tidur. Gejala klinis PPOK eksaserbasi akut ini dapat dibagikan menjadi dua yaitu gejala
respirasi dan gejala sistemik. Gejala respirasi berupa sesak nafas yang semakin bertambah
berat, peningkatan volume dan purulensi sputum, batuk yang semakin sering, dan nafas
yang dangkal dan cepat. Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh,
peningkatan denyut nadi serta gangguan status mental pasien (Riyanto, Hisyam, 2006).
Diagnosis PPOK dipertimbangkan apabila pasien mengalami gejala batuk, sputum yang
produktif, sesak nafas, dan mempunyai riwayat terpajan faktor risiko. Diagnosis memerlukan
pemeriksaan spirometri untuk mendapatkan nilai volume forced expiratory maneuver (FEV 1)
dan force vital capacity (FVC). Jika hasil bagi antara FEV 1 dan FVC kurang dari 0,7, maka
terdapat pembatasan aliran udara yang tidak reversibel sepenuhnya (Fahri, Sutoyo, Yunus,
2009). Pada orang normal volume forced expiratory maneuver (FEV 1) adalah 28ml per
tahun, sedangkan pada pasien PPOK adalah 50 - 80 ml. Menurut National Population Health
Study (NPHS), 51% penderita PPOK mengeluhkan bahwa sesak nafas yang mereka alami
menyebabkan keterbatasan aktivitas di rumah, kantor dan lingkungan social (Abidin, Yunus,
Wiyono, 2009).
5. Patofisiologi COPD
Terlampir.
Patofisiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Iritasi Saluran nafas
Faktor Resiko PPOM Genetik, paparan partikel, pertumbuhan dan perkembangan paru,
stres oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status
Inflamasi
sosioekonomi, nutrisi dan komorbiditas.
Ketidakefektifan Makrofag,
sel-sel silia Bronkospasme Hipertrofi, Hiperplasi Ketidakefektifan pola neutrofil, limfosit T
bersihan jalan nafas
mengalami atropi Kelenjar Mukus nafas
Menyumbat melepaskan sitokinin dan
Paralisis Silia Obstruksi Sal. nafas Hipersekresi mukus mediator (LB4, IL 8,
saluran nafas
Statis Mukus yang reversibel (banyak dan kental) TNF)
Obstruksi lumen ketidakseimbangan aktifitas
Erosi Epitel, pembentukan jaringan parut, Dispnea protease atau inaktifitas
metaplasi skuamosa serta penebalan lapisan antiprotease, terjadi stres
Infeksi kuman Jari-jari sal. Nafas
mukosa Kerja nafas oksidatif
(sekunder) berkurang Inflamasi semakin parah
2. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
3. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah
4. Auskultasi
Suara napas vesikuler normal, atau melemah
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh
Keterangan :
* Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan
pursed - lips breathing
*Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai
dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
*Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2
yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi
pada gagal napas kronik.
C. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP % ).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudiandilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE <
20% nilai awal dan< 200 ml
Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin (Hb, Ht, leukosit)
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
b. Pemeriksaan Khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti
Paru Total (KPT), VR/KRF,VR/KPT meningkat
DLCO menurun pada emfisema
Raw meningkat pada bronkitis kronik
Sgaw meningkat
Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2. Uji latih kardiopulmoner
ii. Sepeda statis (ergocycle)
iii. Jentera (treadmill)
iv. Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktivitibronkus derajat ringan
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
oral (prednison ataumetilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari
selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1pascabronkodilator > 20 %
dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat
kenaikanfaal paru setelah pemberian kortikosteroid
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema
atau bula yang tidakterdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi. Untuk engetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi. Untuk menilai funfsi jantung kanan
9. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untukmengetahui pola kuman dan untuk memilih
antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulngmerupakan
penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema
pada usia muda), defisiensiantitripsin alfa-1 jarang ditemukan di
Indonesia.
7. Penatalaksanaan Klinis
Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualitas hidup penderita
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.
Karena PPOK adalah penyakit kronik yang irreversibel dan progresif, inti dari
edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah
kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat
reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari
edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktivitas optimal
4. Meningkatkan kualitas hidup
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
- Pengetahuan dasar tentang PPOK
- Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
- Cara pencegahan perburukan penyakit
- Menghindari pencetus (berhenti merokok)
- Penyesuaian aktivitas
2. Obat – obatan
a) Bronkodilator
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali per hari).
- Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang
diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
b) Anti-inflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan
VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c) Antibiotik
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin
makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat
sefalosporin
kuinolon
makrolid baru
d) Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan N-
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering,
tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e) Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
3. Terapi oksigen
Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan
oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ
lainnya.
Indikasi
- PaO2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- PaO2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P
pulmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru
lain
4. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut,
gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat
dengan napas kronik.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
Ventilasi mekanik dengan intubasi
Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas
kronik. Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Nonivasive Intermitten
Positif Pressure (NIPPV) atau Negative Pressure Ventilation (NPV).
Indikasi penggunaan NIPPV :
- Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi dan
abdominal paradoksal
- Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35
- Frekuensi napas > 25 kali per menit
NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas, di
samping harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana.
Ventilasi mekanik tanpa intubasi
Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif :
- Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan
pergerakan abdominal paradoksal
- Frekuensi napas > 35 permenit
- Hipoksemia yang mengancam jiwa (Pao2 < 40 mmHg)
- Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2 < 60 mmHg)
- Henti napas
- Samnolen, gangguan kesadaran
- Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)
- Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru,
barotrauma, efusi pleura masif)
- Telah gagal dalam penggunaan NIPPV
5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia
kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan
menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru
dan perubahan analisis gas darah.
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan
mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan
CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara
kalori yang masuk dengan kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan
secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster.
6. Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program
rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualitas hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun di luar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin
yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan
pernapasan. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003
8. Komplikasi
a. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,
dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami
perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul
cyanosis.
b. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul
antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
c. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,
peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya
aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
d. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali
berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga
dapat mengalami masalah ini.
e. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratory.
f. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial.
Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak
berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu
pernafasan dan distensi vena leher seringkali terlihat.
g. Gagal / insufisiensi pernafasan
Pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksia, hiperkapni
(Peningkatan konsentrasi karbondioksida arteri), dan asidosis. Keadaan ini sering
terjadi apabila bernafas menjadi begitu sulit sehingga terjadi kelelahan dan individu
tidak lagi memiliki energi untuk bernafas.
h. Atelektasis
Keadaan dimana paru dan alveolus mengalami kolaps yang disebabkan alveolus
tidak mengandung udara sehingga tidak dapat ikut serta dalam pertukaran gas.
i. Pneumonia
j. Pneumotoraks
Kolapsnya sebagian atau seluruh paru yang terjadi sewaktu udara atau gas lain
masuk ke ruang pleura yang mengelilingi paru.
k. Hipertensi paru yang menyebabkan kor pulmonalise
Hipertensi paru adalah peningkatan tekanan darah pada sistem vaskular paru.
9. Pencegahan
Secara umum PPOM tidak bisa disembuhkan karena amat mustahil memperbaiki
kerusakan pada paru-paru. Tetapi ia dapat dicegah dengan berhenti merokok atau
tidak merokok sama sekali. Hampir 90% kasus PPOM bersumber dari kebiasaan
merokok. Perawatan PPOM yang ada hari ini hanyalah untuk mengontrol dan
mencegah kerusakan paru-paru yang lebih parah. Mengindari faktor-faktor pencetus
PPOM seperti rokok dan zat-zat pencemar lebih penting dan harus dilakukan sejak
awal. Hal – hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya PPOM antara lain :
1. Menghindari faktor – faktor pencetus timbulnya PPOM.
2. Hindari asap rokok atau tidak merokok sama sekali.
3. Hindari polusi udara dan zat – zat pencemar lainnya.
4. Hindari infeksi saluran napas berulang.
Sedangkan hal – hal yang perlu dilakukan untuk mencegah perburukan PPOM
adalah :
1. Berhenti merokok
2. Gunakan obat-obatan adekuat
3. Mencegah eksaserbasi berulang