Anda di halaman 1dari 4

Rhinosinusitis: Rhinosinusitis merupakan penyakit yang sering di temukan

dalam praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu


penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia.

Sinusitis di defenisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.


Umumnya disertati atau di picu oleh rhinitis sehingga sering disebut
rhinosinusitis. Penyebeb utamanya ialah selesma(common cold) yang
merupakan infeksi virus,yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.

Etiologi dan patofisiologi: beberapa faktor etiologi dan predisposisi


antara lain ISPA akibat virus, bermacam Rhinitis terutama rhinitis alergi,
Rhinitis Hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi
seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-
meatal(KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan immunology, diskinesia
silia seperti pada sindroma kartagener, dan di luar negeri adalah penyakit
fibrosis kistik.

Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab


sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan
sumbatan dan menyembuhkan rhinosinusitis nya. Hipertrofi adenoid dapat
di diagnosis dengan foto polos leher posisi lateral.

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan


lancarnya klirens mukosiliar di dalam KOM. Mukus juga mengandung
substansi anti mikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap kuman masuk bersama udara pernpasan.

Organ-organ yang membentik KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi


edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak
dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di
dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula
sereus. Kondisi ini dianggap sebagai rhinosinusitis non-bakterial dan
biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.

Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpuldalam sinus merupakan


media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi
purulen. Keadaan inidisebut sebagai rhinosinusitisakut bakteria dan
memerlukan terapi antibiotic.
Jika terapi tidak berhasil(misalnya karena ada faktor pfedisposisi),
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang.
Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus
berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu
hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini
mungkin diperlukan tindakan operasi.

Gejala klinis:

 Hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka


 Rhinorrhea purulen yang seringkali turun ke tenggorokan(post nasal
drip).
 Dapat disertai dengan gejala sistemik seperti demam dan lesu
Penanganan:

 Pemberian antibiotik dan dekongestan.


 Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman
negatif gram dan anaerob.
 Tindakan operasi yaitu bedah sinus endoskopi fungsional
Komplikasi:

 Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan


dengan mata (orbita)
 Kelainan intra cranial dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau
subdural.
 Osteomielitis dan abses superiostal
 Kelainan paru
Pencegahan:

 Menghindari lingkungan yang berpolusi buruk.


 Menhindari asap rokok atau kebiasaan merokok.

Prognosis:

 Viral sinusitis : biasanya sembuh tanpa pengobatan khusus


 Bakteri sinusitis : sampai dengan 10% dari pasien tidak menanggapi
terapi antimikroba awal.

7. Penatalaksaannya:

a. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan


allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
b. Medikamentosa. Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-
1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target,
dan merupakan preparat farmakologi yang paling sering dipakai sebagai
lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Atihistamin dibagi menjadi dua golongan yaitu antihistamin generasi-
1 (klasik) dan generasi-2 (non sedative).antihistamin generasi -1 bersifat
lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek
pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang
termasuk kelompok ini adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin,
siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah
azelastin.

Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus


sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan
tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP
minimal (non-sedativ). Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat
dan mmudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respon fase
ceoat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi
gejala obstruksi hidung pada fase lambat.

Preparat kostikosteroid bila gejala terutama sumbatan hidung akibat


respon fase lambat tidak behasil diatasi dengan obat lain. Sering dipakai
adalah kortikosteroid topical (beklometason, budesonid, flunisolid,
flutikason, mometason, furoad, dan triamsinolon). Kortikosteroid topical
bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosid pada mukosa hidung,
mencegah pengeluaran protein, sitotoksik dari eosinofil, mengurangi
aktifitas limfosit, mencegak bocornya plasma. Hal ini menyebabkan
epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja
pada respon fase cepat dan lambat).
Preparat sodium kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit (
mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator
dihambat. Pada respon fase lambat, obat ini juga menghambat proses
inflamasi dengan menghambat aktifasi sel neutrofil, eosinofil dan
monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.

c. Operatif. Tindakan konkotomi parsial (pemotngan sebagian konka


inferior), konkoplasti atau multiple autfractured inferior tuginoplasty perlu
dipikirkan bila konka inferior hipertofi berat dan tidak berhasil dikecilkan
dengan cara kauteresasi memakai AgNO3 25% atau treklor asetat.

d. Imunoterapi, cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan


gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan
pengobatan cara lain tadak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan
dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan
penurunan IgE. Ada dua metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu
intradermal dan sublingual.

Referensi : Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT KL Ed VI FKUI hal: 131-132

Anda mungkin juga menyukai