Anda di halaman 1dari 18

66

BAB IV
PEMBAHASAN

Setalah melakukan asuhan keperawatan pada kasus An. K dengan Dengue


Hemorragic Fever diruang Cemara II Rumah Sakit Bhayangkara TK.1 Raden Said
Sukanto Jakarta yang dilaksanakan pada tanggal 25 Juni 2012 sampai 27 Juni 2012.
Maka pada bab ini penulis akan menguraikan kesenjangan antara teori dan kasus
yang dimulai dari pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, perencanaan
keperawatan, pelaksanaan keperawatan dan evaluasi keperawatan.

A. Pengkajian Keperawatan
Secara teori etiologi yang menimbulkan penyakit DHF yaitu virus dengue DEN-
1, DEN-2, DEN-3, DEN-4 yang merupakan anggota famili flaviviridae yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Pada kasus An. K ditemukan
penyebab timbulnya penyakit karena kondisi daya tahan tubuh yang kurang baik
dan di tambah kondisi lingkungan klien di sekolah dan dirumah kurang bersih
sehingga dapat menimbulkan berbagai penyakit terutama penyakit DHF. Adapun
kesenjangan yang terdapat antara teori dan kasus yaitu tidak diketahui bahwa
klien terinfeksi salah satu virus DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4 karena tidak ada
data yang menunjang, seperti pemeriksaan uji laboratorium metode deteksi virus
atau melalui isolasi virus, seharusnya kondisi ini menjadi salah satu
pertimbangan bagi tenaga medis dalam memilih jenis pemeriksaan uji
laboratorium, sehingga diharapkan mampu mempercepat diagnosis virus
penyebab penyakit DHF, dan secara langsung akan mampu mempercepat pula
pemberian terapi yang tepat.

Secara teori manifestasi klinis yang timbul pada DHF Grade I yaitu demam
tinggi yang berlangsung dalam waktu singkat, yakni antara 2-7 hari, yang dapat
mencapai 40˚C. Demam sering disertai gejala tidak spesifik, seperti tidak nafsu
makan (anoreksia), mual dan muntah, lemah badan (malaise), nyeri sendi dan
tulang, nyeri ulu hati/ perut serta rasa sakit di daerah belakang bola mata (retro

65
66

orbital) dan kepala, wajah yang kemerahan (flushing), uji bendung tourniquet
positif. Pada kasus klien An. K ditemukan klien mengatakan demam mulai turun,
klien mengatakan badan terasa lemas, klien mengatakan kurang nafsu makan,
klien mengatakan nyeri tekan pada perut kanan atas dengan skala nyeri “2” klien
mengatakan badan badan terasa pegal-pegal. Adapun kesenjangan yang terdapat
antara teori dan kasus yaitu uji tourniquet negatif, seharusnya tanda ini muncul
pada hari-hari pertama demam tetapi dapat pula dijumpai pada hari ke 3,4,5
demam, sedangkan klien demam hari ke-8 yang disertai trombositopenia dengan
nilai trombosit yang masih di bawah normal (44.000 /ul). Pada kasus saat
pengkajian ditemukannya demam yang sudah mulai dirasakan turun oleh klien
dan suhu tubuh saat dikaji 36,5˚C, bila diamati demam pada DHF menunjukan
sifat yang sepesifik, yaitu demam pelana kuda (fase akut, fase kritis, fase
penyembuhan), yaitu demam akan mereda sendiri kemudian muncul kembali dan
mereda lagi, dengan atau tanpa obat. Saat ini klien masih merupakan tahap proses
fase penyembuhan yang sudah melewati fase-fase kritis. Pada kasus saat
pengkajian ditemukanya urine yang berwarna seperti teh disamping itu nilai
laboratorium SGPT/SGOT yang abnormal, bakteri dalam urin (+), ini merupakan
salah satu tanda bahwa sudah terjadi disfungsi pada hati akibat infeksi virus,
karena penyakit DHF masih ada kaitannya dengan organ hati (hepatomegali) dan
hubungannya dengan adanya perdarahan. Tidak adanya mual, muntah, pusing,
karena pada saat pengkajian tidak ada keluhan, namun keluhan itu muncul pada
saat awal demam yang sangat tinggi. Tidak terdapat rasa sakit pada daerah mata,
ruam pada kulit ataupun wajah karena pada saat dikaji klien tidak mengeluh sakit
pada daerah mata dan tidak munculnya tanda ruam pada kulit karena tidak ada
data yang menunjang kearah hal tersebut. Serta tidak ditemukannya tanda-tanda
perdarahan seperti mimisan (epitaksis), perdarahan gusi, melena, ekimosis,
hepatomegali, kegagalan sirkulsasi darah, tanda-tanda ini tidak muncul
dikarenakan klien masih dalam tahap klasifikasi DHF derajat I.

Secara teori ada beberapa pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis penyakit


DHF secara laboratoris yaitu pemeriksaan hemoglobin, leukosit, trombosit,
hematokrit, protein/ albumin, SGOT/SGPT, ureum kreatinin, pemeriksaan
Radiologis, metode deteksi virus melalui kultur, metode deteksi virus dengan
67

teknik PCR dan metode deteksi serologis. Adapun pemeriksaan penunjang yang
sudah dilakukan pada kasus untuk menegakkan diagnosis bahwa klien terinfeksi
virus Dengue Hemorragic Fever yaitu dengan dilakukannya pemeriksaan
hemoglobin, leukosit, trombosit, hematokrit, SGOT/SGPT dan tes serologi, hal
tersebut sudah dianggap cukup sebagai kriteria klinis diagnosis penyakit DHF.
Adapun kesenjangan antara teori dan kasus dalam pemeriksaan penunjang yaitu
tidak dilakukannya pemeriksaan protein/albumin, pemeriksaan ini untuk melihat
apakah terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma. Tidak dilakukannya
pemeriksaan radiologi yang gunanya untuk mengetahui terdapat adanya efusi
pleura hal ini tidak dilakukan dikarenakan klien masih dalam derajat I dan tidak
ada tanda-tanda sesak nafas/gangguan pernafasan. Metode deteksi virus melalui
kultur, hal ini tidak dilakukan karena rumit dan mahalnya metode ini,
meyebabkan metode ini jarang digunakan, kecuali untuk kepentingan penelitian.
Metode deteksi virus dengan teknik PCR, pemeriksaan ini tidak dilakukan karena
tidak tidak tersedianya fasilitas pemeriksaan untuk PCR di rumah sakit tempat
klien dirawat, padahal pemeriksaan PCR merupakan suatu tes untuk melacak
susunan RNA virus dengue yang diproleh dari ekstraksi serum, plasma darah atau
sel dari jaringan tubuh yang terinfeksi virus dengue dan dapat mengidentifikasi
virus dengue pada pasien demam berdarah hanya dalam waktu empat jam,
sehingga diharapkan mampu mempercepat diagnosis virus penyebab penyakit
DHF, dan secara langsung akan mampu mempercepat pula pemberian terapi yang
tepat.

Secara teori penatalaksanaan medis dan keperawatan pada DHF adalah


pengobatan yang bersifat suportif untuk mengatasi kehilangan cairan plasma
sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan.
Adapun pada kasus An. K penatalaksanaan medis yang sudah dilakukan seperti
tirah baring, anjurkan minum banyak 2-2,5 liter/hari, observasi tanda-tanda vital,
pemberian cairan intravena seperti Ringer Laktat, pemberian obat anti piretik,
antibiotik, anti emetic, pemeriksaan laboratorium. Pada klien dengan DHF derajat
I antara teori dan kasus tidak ditemukan kesenjangan karena penatalaksanaan di
kasus sudah sesuai dengan protokol penanganan tersangka DHF dewasa tanpa
syok. Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan
pertama pada penderita DHF, bila Hb, Ht dan trombosit normal (100.000 –
68

150.000) pasien dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan dalam
waktu 24 jam, sebaliknya bila kondisi memburuk segera kembali ke IGD. Hb, Ht
normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat .

Faktor pendukung dalam melakukan pengkajian yaitu terjalinnya hubungan yang


baik antara klien/keluarga dengan perawat disamping keluarga klien sangat
kooperatif sehingga memudahkan perawat dalam memperoleh data dari hasil
wawancara, pengamatan langsung dan pemeriksaan fisik.

Hambatan yang dialami penulis yaitu klien yang masih berumur 14 tahun masih
kanak-anak bila diajak berkomunikasi masih tampak pasif dan seolah ada
masalah yang mempengaruhi klien sehingga tidak mau mengutarakan
keluhannya, maka dari itu penulis sedikit kesulitan dalam memproleh data
subyektif. Pemecahan masalah dari hal tersebut penulis selalu melakukan bina
hubungan yang terapeutik dan saling percaya. Selain itu hambatan yang dialami
penulis yaitu perawat ruangan yang tidak mendokumentasikan catatan
keperawatan secara lengkap, terutama dalam pendokumentasikan pemberian
cairan infus terhadap klien, sehingga penulis kesulitan dalam menghitung intake
output klien, pemecahan masalah dari hal tersebut yaitu menanyakan secara
langsung kepada klien dan keluarga berapa banyak cairan infus diganti dalam 24
jam.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan klien Dengue Hemorragic fever terdapat pada teori ada
ada tujuh diagnosa keperawatan, sedangkan pada kasus An. K dengan Dengue
Hemorragic Fever terdapat enam diagnosa keperawatan, dimana empat diagnosa
keperawatan yang muncul sesuai dengan teori yaitu sebagai berikut :
1. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan
permeabilitas dinding kapiler
Diagnosa ini dimunculkan karena dengan meningkatnya permeabilitas
dinding kapiler akibat adanya reaksi fase akut infeksi virus dengue dimana
terjadi peningkatan suhu tubuh menyebabkan terjadinya vasodilatasi
pembuluh darah disertai permeabilitas kapiler (kerusakan dinding endotel)
dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular
mengakibatkan volume cairan tubuh berkurang jika tidak ditanggulangi
69

secara adekuat akan menyebabkan syok, anoksia, asidosis dan berakhir fatal.
Adanya peningkatan permeabilitas kapiler munculah keluhan seperti badan
terasa lemas, mukosa bibir kering, trombosit menurun 44.000/ul.

2. Resiko terjadinya perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan


trombositopenia
Diagnosa ini dimunculkan karena sebagai tanggapan terhadap infeksi virus
dengue yang mengakibatkan agregasi trombosit atau kerusakan trombosit
(trombositopenia), kerusakan pembuluh darah (sel endotel) dan koagulasi
intravaskular yang menyeluruh sehingga terjadi penurunan faktor
pembekuan, disamping itu juga peningkatan permeabilitas dinding kapiler
menyebabkan kecendrungan perdarahan dan terjadinya syok. Karena belum
ditemukannya tanda-tanda perdarahan seperti (ptekiae, ekimosis, purpura,
hematemesis), asupan cairan klien masih seimbang (balance + 356cc)
disamping itu nilai dengan trombosit 44.000/ul mengakibatkan resiko terjadi
perdarahan lebih lanjut akibat faktor-faktor penurunan pembekuan darah.

3. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik


Diagnosa ini dimunculkan karena akibat peningkatan permeabilitas dinding
kapiler dan terjadinya kebocoran plasma ke ekstravaskuler menyebabkan
kekurangan volume cairan tubuh (dehidrasi) serta adanya tidak nafsu makan
(nutrisi yang kurang) mengakibatkan kekurangan metabolisme energi dalam
tubuh sehingga terjadi kelemahan fisik dan muncul keluhan badan terasa
lemas, tampak klien lemah dan dibantu dalam beraktivitas.

4. Kurangnya pengetahuan tentang pengertian, tanda dan gejala, komplikasi,


pencegahan, pengobatan dan perawatan DHF.
Meningkatnya jumlah kasus DHF setiap tahun, telah menimbulkan dampak
kerugian yang luas, terutama pada aspek ekonomi dan kesehatan. Oleh karena
itu, penyuluhan/ pendidikan kesehatan tentang penyakit dan bahaya DHF
sangat penting diberikan kepada klien dan keluarga selama menjalani
perawatan (agar ikut menyebarkan info ini ke keluarga sekitarnya), sehingga
dengan begitu dapat membantu membrantas sarang nyamuk tersebut.
Diagnosa ini dimunculkan karena ketika ditanya klien tidak dapat
70

menjelaskan tentang pengertian, tanda dan gejala, komplikasi, pencegahan,


pengobatan dan perawatan.

Adapun diagnosa keperawatan yang ada pada teori tetapi tidak muncul pada
kasus adalah
1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia).
Diagnosa ini tidak dimunculkan karena digabungkan dalam diagnosa
kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas
dinding kapiler selain itu juga tidak ada tanda-tanda peningkatan suhu tubuh
akibat replikasi virus (infeksi) karena saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda
vital suhu tubuh klien dalam batas normal (36,5-37,50C) disamping itu klien
yang dalam fase penyembuhan dan sudah mendapatkan terapi pengobatan,
peningkatan suhu tubuh tidak akan terjadi.

2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan peningkatan sekresi


gaster.
Diagnosa ini tidak dimunculkan karena nyeri yang dirasakan pada perut
kanan atas klien tidak begitu mengganggu dalam aktifitas klien, dengan skala
nyeri ‘2’ dan nyeri dirasakan bila ditekan dengan intensitas ringan.

Sedangkan diagnosa yang terdapat pada kasus dan tidak terdapat pada teori
adalah :
1. Resiko terhadap penyebaran infeksi berhubungan dengan sifat menular dari
agen virus.
Diagnosa ini dimunculkan karena di temukannya urine berwarna seperti teh,
Leukosit : 16.600 /ul, Billirubin total : 0,68 mg/dl, Billirubin Direk : 0,18
mg/dl, Billirubin Indirek : 0,50 mg/dl, SGOT/AST : 181,0 u/l, SGPT/ALT :
150,5 u/l, Urobilinogen : 4,0 Iµ bakteri urine (+). Dengan ditemukannya data
ini diketahui bahwa sudah terjadi reaksi infeksi dalam tubuh akibat tanggapan
reaksi terhadap infeksi virus. Akibat dari serangan virus yang bereaksi di
dalam organ hati dimana kondisi daya tahan tubuh kurang baik meyebabakan
fungsi hati terganggu, bila tidak di ditangani akan terjadi penyebaran infeksi
dan komplikasi.
71

3. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


intake nutrisi yang tidak adekuat.
Diagnosa ini dimunculkan karena akibat adanya infeksi dari virus dan
terganggunya fungsi metabolisme hepar, dapat menimbulkan manifestasi
yang tidak khas pada proses infeksi seperti perasaan lemas, kehilangan nafsu
makan, mual dan muntah.

C. Perencanaan Keperawatan
Pada perencanaan secara teori terjadi kesenjangan antara teori dan kasus. Pada
teori, perencanaan tidak menggunakan kriteria waktu untuk setiap diagnosa.
Tetapi pada kasus, perencanaan tujuan menggunakan waktu dan rasional
penerapan waktu dan kriteria hasil yang penulis tetapkan pada kasus disesuaikan
teori SMRT, dengan tujuan diharapkan hasil yang diinginkan dicapai pada kasus
sesuai masalah, sehingga tindakan tidak menyimpang secara efektif dan efisien.
Disini penulis memproritaskan diagnosa sesuai dengan kebutuhan kondisi pasien.
Pada perencanaan keperawatan diagnosa yang muncul pada kasus An. K dengan
Dengue Hemorragic Fever I adalah :
1. Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan
permeabilitas dinding kapiler. Diagnosa ini menjadi prioritas karena mengacu
pada konsep kebutuhan dasar manusia menurut Maslow yaitu cairan, hal ini
dikarenakan dalam sirkulasi peredaran darah, tubuh memerlukan cairan yang
berfungsi sebagai media untuk memudahkan peredaran darah keseluruh
tubuh. Karena dalam kasus Dengue Hemorragic Fever terjadi peningkatan
permeabilitas dinding kapiler dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskular ke ruang ekstravaskular yang menyebabkan berkurangnya
volume cairan tubuh, sehingga jika cairan tidak diatasi dengan segera dapat
menimbulkan kejadian yang fatal seperti syok hipovolemik. Adapun rencana
tindakan yang dilakukan adalah kaji keadaan umum klien, observasi tanda-
tanda vital tiap 4 jam, anjurkan klien untuk banyak minum kurang lebih 2-
2.5liter/hari, monitor intake output. Kolaborasi dalam pemberian cairan
intravena, kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium. Pada perencanaan
keperawatan terdapat kesenjangan antara teori dan kasus yaitu pada teori
obaservasi tanda-tanda syok hipovolemik, periksa berat jenis urin tiap 8 jam.
Pada kasus pada An. K tidak dilakukan observasi tanda-tanda syok karena
72

terlihat dari keadaan umum klien yang tidak berat, tingkat kesadaran
composmentis dan balance cairan yang masih seimbang yaitu + 356cc
disamping itu klien yang sudah melawati fase kritis dan menjalani fase
penyembuhan dimana klien demam hari ke-8, selain itu juga tanda-tanda syok
terdapat pada tingkat keparahannya yaitu derajat III dan IV. Tidak
dilakukannya pemeriksaan berat jenis urine tiap 8 jam, karena klien yang
mengalami kekurangan volume cairan/ dehidrasi bisa dilihat mukosa bibir
yang kering dan menghitung intake output jadi lebih efektif. Penulis tidak
merencanakan observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam karena menurut
oprasional rumah sakit observasi tanda-tanda vital dalam tiap 8 jam sudah
cukup dalam mengetahui keadaan umum pasien terkecuali pada pasien yang
khusus perhatian. Penulis merencanakan bina hubungan saling percaya
dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik karena dengan tubuhnya
rasa percaya klien kepada perawat sehingga mengurangi dampak hospitalisasi
dan memudahkan penulis memproleh data. Selain itu pada teori tidak terdapat
pemberian inj. Ceftriaxone 2x1 g, pada kasus terdapat rencana pemberian inj.
Ceftriaxone 2x1 g, karena diketahui klien telah terinfeksi virus dengue bila
tidak di berikan terapi ini akan mengakibatkan virus berreplikasi di dalam
dalam tubuh nantinya memperburuk keadaan. Indikasi dari obat ini adalah
untuk melemahkan/ menekan virus/ bakteri dalam tubuh yang menyebabkan
terjadinya infeksi.

2. Resiko terjadi perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia.


Diagnosa ini menjadi prioritas kedua, hal ini dikarenakan sudah adanya
kerusakan trombosit yaitu penurunan nilai trombosit dalam darah. Trombosit
merupakan sel pembeku yang akan memperbaiki/ menutup dinding pembuluh
darah yang bocor akibat peningkatan permeabilitas kapiler yang tidak
tertangani dengan baik, penurunan yang tidak terkontrol mengakibatkan
kerusakan pada trombosit (trombositopenia) yang nantinya akan
menyebabkan syok dan komplikasi. Saat melakukan pengkajian jumlah
trombosit klien 44.000/ul dan uji tourniquet ngatif serta belum ditemukannya
tanda-tanda perdarahan (ptekie, epitaksis, gusi berdarah, melena, dll). Adapun
rencana tindakan yang dapat dilakukan pada kasus untuk mencegah
terjadinya perdarahan lebih lanjut adalah Kaji keadaan umum klien, observasi
73

tanda-tanda vital, anjurkan klien untuk banyak istirahat, monitor tanda-tanda


pendarahan, kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium (Hb, Ht, L, Tr),
memberikan penjelasan pada pasien/ keluarga untuk segera melaporkan jika
ada tanda-tanda perdarahan lebih lanjut seperti : hematemesis, melena,
epitaksis. Pada perencanaan keperawatan terdapat kesenjangan antara teori
dan kasus yaitu penulis tidak merencanakan observasi tanda-tanda vital tiap 4
jam karena menurut oprasional rumah sakit observasi tanda-tanda vital dalam
tiap 8 jam sudah cukup dalam mengetahui keadaan umum pasien terkecuali
pada pasien yang khusus perhatian. pemberian inj. Ceftriaxone 2x1 g, pada
kasus terdapat rencana pemberian inj. Adona 3x100 mg, karena diketahui
telah terjadi kerusakan pada trombosit dan koagulasi dalam darah bila tidak di
berikan terapi ini akan mengakibatkan trombositopenia. Indikasi dari obat ini
adalah untuk memperbaiki sel pembeku trombosit yang rusak dan membantu
proses pembekuan pada dinding pembuluh darah yang mengalami kebocoran.

3. Resiko terhadap penyebaran infeksi berhubungan dengan sifat menular dari


agen virus. Diagnosa ini perlu ditempatkan pada priotitas ketiga, karena
adanya disfungsi hati akibat dari infeksi virus sehingga perencanaan
keperawatan sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya penyebaran
infeksi dan terjadinya komplikasi pada klien, meskipun saat nilai
laboratorium SGPT/SGOT didapatkan hasil peningkatan yang tidak begitu
signifikan dari nilai normal. Karena dengan pertimbangan bahwa masalah
resiko terjadinya penyebaran ini perlu segera ditangani karena akan menjadi
masalah besar bila sudah menjadi masalah aktual. Adapun rencana tindakan
yang dapat dilakukan pada kasus adalah Observasi tanda-tanda vital tiap 8
jam, kaji tanda-tanda infeksi, monitor hasil laboratorium tiap 24 jam,
kolaborasi dalam pemberian terapi injeksi Ceftriaxone 2x1 g/IV dan obat oral
Hp Pro 3x2 tablet sesudah makan. Pada perencanaan keperawatan terdapat
kesenjangan antara teori dan kasus yaitu penulis tidak merencanakan
observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam karena menurut oprasional rumah sakit
observasi tanda-tanda vital dalam tiap 8 jam sudah cukup dalam mengetahui
keadaan umum pasien terkecuali pada pasien yang perhatian, rencana
pemberian inj. Ceftriaxone 2x1 g, karena diketahui klien telah terinfeksi virus
dengue bila tidak di berikan terapi ini akan mengakibatkan virus berreplikasi
74

di dalam dalam tubuh nantinya memperburuk keadaan. Indikasi dari obat ini
adalah untuk melemahkan/ menekan virus/ bakteri dalam tubuh yang
menyebabkan terjadinya infeksi. Pemberian obat oral Hp Pro 3x2 tablet
karena klien diketahui terganggunya fungsi hati akibat adanya infeksi virus.
Indikasi obat ini adalah memperbaiki fungsi hati yang abnormal.

4. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


intake yang tidak adekuat. Diagnosa ini perlu ditempatkan pada prioritas
keempat karena nutrisi sangat dibutuhkan oleh tubuh terutama saat sakit,
nutrisi dibutuhkan untuk proses penyembuhan dan merupakan tenaga bagi
klien, dalam hal ini ditunjang data bahwa klien tidak nafsu makan, badan
terasa lemas, porsi makan yang dihabiskan berkurang ½ porsi disertai
penurunan berat badan. Klien mendapat terapi Rantin, Cendantron dan
Impepsa untuk mengurangi produksi asam lambung dan mengurangi nyeri
akibat iritasi lambung. Adapun rencana tindakan yang akan dilakukan yaitu
kaji keluhan mual, berikan makan dalam porsi kecil tapi sering, hidangkan
makanan dalam kondisi hangat, catat jumlah porsi makanan yang dihabiskan
oleh klien setiap hari, kolaborasi dalam pemberian terapi Impepsa 4x2 sendok
makan, injeksi Rantin 2x50 mg, Cendantron 3x8 mg. Pada perencanaan
keperawatan terdapat kesenjangan antara teori dan kasus yaitu rencana
pemberian inj. Rantin 2x50 mg, Cendantron 3x8 mg, Impepsa 4x2 sendok
makan, karena diketahui terganggunya fungsi hati akibat virus yang nantinya
akan menyebabkan gejala yang khas karena virus, seperti mual dan muntah,
malaise, nyeri ulu hati, hal ini ditunjang dengan data klien saat ini. Selain itu
pada teori tidak ada pemberian diit hati III karena adanya disfungsi pada hati
pemberian makan harus perlu diperhatikan supaya metabolisme dari hati tidak
begitu berat.

5. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik. Diagnosa ini


menjadi prioritas ketiga, karena apabila tidak dimunculkan kebutuhan sehari-
hari klien tidak akan terpenuhi karena pasien dengan dengue hemorragic
fever dianjurkan untuk tirah baring selama perawatan untuk meminimalkan
pendarahan. Klien mengatakan badan terasa lemah dan aktifitas klien dibantu
oleh perawat dan keluarga dengan bantuan minimal, seperti membantu dalam
mandi, mengganti pakain, memberikan makanan dan BAK di tempat tidur.
75

Adapun rencana tindakan yang dapat dilakukan pada kasus adalah observasi
tanda-tanda vital tiap 8 jam, motivasi klien untuk beraktivitas secara mandiri,
kaji pola kebutuhan aktivitas klien sehari-hari, dekatkan barang-barang yang
dibutuhkan klien, jelaskan pentingnya istirahat dalam proses pengobatan,
libatkan keluarga klien dalam memenuhi kebutuhan klien. Pada perencanaan
keperawatan terdapat kesenjangan antara teori dan kasus yaitu penulis tidak
merencanakan observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam karena menurut
oprasional rumah sakit observasi tanda-tanda vital dalam tiap 8 jam sudah
cukup dalam mengetahui keadaan umum pasien terkecuali pada pasien yang
khusus perhatian, pada teori tidak ada perencanaan libatkan keluarga dalam
memenuhi kebutuhan aktifitas tetapi dalam kasus penulis merencanakan
untuk melibatkan keluarga dalam memenuhi aktifitas karena keterbatasan staf
perawat diruangan untuk melayani kebutuhan klien dan banyaknya rencana
tindakan yang harus diberikan pasien lain menyebabkan perawat ruangan
tidak bisa sepenuhnya dapat memenuhi aktifitas klien.

6. Kurangnya pengetahuan tentang pengertian, penyebab, tanda dan gejala,


komplikasi, pencegahan, pengobatan dan perawatan pada klien dengan
Dengue Hemorragic Fever berhubungan dengan kurangnya informasi.
Diagnosa ini menjadi prioritas yang terakhir karena pemberian pendidikan
kesehatan atau informasi kesehatan sangat berguna bagi klien dan
keluarganya supaya klien dan keluarga mengetahui tentang kondisi,
prognosis, dan kebutuhan pengobatan dan perawatan, pendidikan kesehatan
ini dapat diberikan pada klien jika kondisi klien memungkinkan untuk
menerima pendidikan atau informasi kesehatan. Adapun tindakan yang akan
dilakukan kaji tingkat pendidikan dan pengetahuan klien, kaji latar belakang
pendidikan pasien/ keluarga, berikan informasi mengenai penyakitnya
melalui pendidikan kesehatan, berikan kesempatan pada pasien/ keluarga
untuk menyakan hal-hal yang ingin diketahui sehubungan dengan penyakit
yang dialami klien, gunakan leaflet atau gambar-gambar dalam memberikan
penjelasan. Tidak adanya kesenjangan perencanaan keperawatan keperawatan
pada teori dan kasus.
76

Faktor pendukung yang penulis dapatkan pada penyusunan perencanaan


adalah adanya bantuan dari perawat senior dan rekan-rekan mahasiswa, juga
ditunjang oleh buku-buku yang ada diperpustakaan sangat membantu sekali
dalam penyusunan perencanaan keperawatan. Faktor penghambat yang
sempat ditemui penulis adalah tidak adanya terbitan buku terbaru dalam
askep keperawatan pada DHF sehingga menjadi penyulit untuk membuat
perencanaan keperawatan dengan minimal 5 buku dan tahun terbitan dari
tahun 2000 keatas.

D. Pelaksanaan Keperawatan
Pada tahap ini penulis mencoba melaksanakan rencana tindakan yang dibuat
dengan baik dan benar, namun karena keterbatasan waktu maka tindakan
keperawatan yang tidak dilakukan oleh penulis didelegasikan kepada perawat
ruangan dan semua tindakan yang telah dilaksanakan di dokumentasikan dalam
catatan keperawatan.
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada An. K disesuaikan dengan perencanaan
yang ditetapkan. Pada diagnosa pertama kekurangan volume cairan berhubungan
dengan peningkatan permeabilitas dinding kapiler. Semua tindakan keperawatan
yang dilakukan baik secara independen maupun interdependen, pelaksanaan
independen yang dilakukan pada diagnosa pertama adalah mengkaji keadaan
umum, mengobservasi tanda-tanda vital, mengkaji tanda-tanda dehidrasi,
menganjurkan untuk banyak minum, memonitoring intake-output. Sedangkan
pada pelaksanaan interdependen yang dapat dilakukan memberikan cairan
intravena RL 28 tete/ menit, injeksi Ceftriaxone 2x1 g, memonitoring hasil
laboratorium Hb, L, Ht, Tr. Pada tahap pelaksanaan dari rencana tindakan ada
beberapa tindakan yang tidak dapat dilakukan yaitu kaji tanda-tanda syok
hipovolemik dikarenakan observasi tanda-tanda klien tidak menunjukan hipotensi
dan takikardi dan kaji berat jenis urine tiap 8 jam karena klien menunjukan
bahwa klien mengalami dehidrasi. Rencana tindakan keperawatan selanjutnya
didelegasikan kepada perawat ruangan Cemara II.

Pada diagnosa kedua yaitu resiko terjadi perdarahan lebih lanjut berhubungan
dengan Trombositopenia. Pelaksanaan independen yang dilakukan adalah
mengkaji adanya tanda-tanda perdarahan (petekiae, epitaksis, hematemesis,
77

melena, purpura, perdarahan gusi), mengobservasi tanda-tanda vital,


menganjurkan klien untuk banyak minum, menganjurkan klien untuk
istirahat/tirah baring. Sedangkan pelaksanaan interdependen yang dilakukan
memonitoring hasil laboratorium, injeksi Adona 3x100 mg. Rencana tindakan
dapat dilakukan semua oleh penulis sesuai dengan rencana yang direncanakan
pada rencana tindakan pada tinjauan kasus. dikarenakan keterbatasan waktu yang
dimiliki penulis rencana tindakan keperawatan kemudian didelegasikan kepada
perawat ruangan.

Pada diagnosa ke tiga yaitu Resiko terhadap penyebaran infeksi berhubungan


dengan sifat menular dari agen virus. Pelaksanaan independen yang dilakukan
adalah mengobservasi tanda-tanda vital, mengkaji tanda-tanda infeksi.
Sedangkan pelaksanaan interdependen yang dilakukan monitoring hasil
laboratorium, memberikan terapi obat oral Hp Pro 3x2 tablet, memberikan terapi
injeksi ceftriaxone I g.

Pada diagnosa keempat Resiko perubahan kebutuhan nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrusi yang tidak adekuat.
Pelaksanaan independen yang dilakukan adalah menimbang BB, mengkaji
adanya mual dan muntah, menghidangkan makanan dalam keadaan hangat,
menganjurkan makanan dalam porsi kecil tapi sering, mencatat jumlah makanan
yang dihabiskan klien setiap harinya. Sedangkan pelaksanaan interdependen yang
dilakukan adalah memberi makan sesuai diit makan (hati III), memberikan terapi
obat oral Impepsa, 4x2 sendok makan sebelum makan, injeksi Rantin 2x50 mg,
Cendantron 3x8 mg. Rencana tindakan dapat dilakukan semua oleh penulis dan
rencana tindakan selanjutnya didelegasikan kepada perawat ruangan dikarenakan
keterbatasan waktu yang dimiliki penulis dan semua tindakan keperawatan yang
telah dilakukan dicatat dan didokumentasikan pada catatan keperawatan.

Pada diagnosa lima yaitu intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan


fisik. Pelaksanaan independen yang dilakukan adalah mengobservasi tanda-tanda
vital, memotivasi klien untuk beraktivitas secara mandiri, menjelaskan
pentingnya istirahat dalam proses pengobatan. Pada diagnosa yang tidak
dilaksanakan adalah dekatkan barang-barang yang dibutuhkan klien karena
78

keterlibatkan keluarga dalam memenuhi kebutuhan aktivitas klien yang selalu


menjaga, merawat dan memenuhi kebutuhan aktivitas yang diinginkan klien.

Pada diagnosa keenam yaitu kurangnya pengetahuan tentang pengertian,


penyebab, tanda dan gejala, komplikasi, pencegahan, pengobatan dan perawatan
pada klien dengan Dengue Hemorragic Fever berhubungan dengan kurangnya
informasi. Pelaksanaan independen yang dilakukan adalah mengkaji tingkat
pengetahuan klien, memberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit DHF
(pengertian, penyebab, tanda dan gejala, komplikasi, pencegahan,
penatalaksanaan/ perawatan).

Faktor pendukung dari diagnosa kelima ini adalah klien dan keluarga cukup
kooperatif , mempunyai semangat dan motivasi belajar dalam tindakan perawatan
yang dilaksanakan dan tidak ada faktor penghambat memberikan asuhan
keperawatan pada diagnosa ini karena klien mau belajar tentang penyakitnya dan
bersedia meluangkan waktu untuk diadakannya pendidikan kesehatan. Maka dari
itu pemahaman klien tentang penyakit dan mampu melakukan penanggulangan,
pencegahan dan cara perawatan di rumah sangat diperlukan untuk mengindari
komplikasi lanjut dari penyakit DHF. Selain itu dukungan dan motivasi dari
keluarga juga sangat berpengaruh dalam mencapai kehidupan yang optimal bagi
penderita DHF.

Tindakan keperawatan tersebut didokumentasikan dalam lembaran catatan


perawatan sehingga dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan tindakan
keperawatan secara berlanjut dan berhubungan dengan tanggung jawab maupun
tanggung gugat perawat dalam melaksanakan tindakan perawatan pada klien.
Pada rencana tindakan yang dapat dilaksanakan semuanya, dan keluarga sangat
kooperatif dan mau bekerja sama saat dilakukan tindakan keperawatan. Faktor
penghambat yang penulis temukan adalah adanya keterbatasan waktu dalam
melaksanakan tindakan keperawatan, dimana penulis tidak ada diruangan selama
24 jam. Alternatif pemecahan masalah yang penulis lakukan adalah dengan
memanfaatkan waktu seefisien mungkin dalam memberikan asuhan keperawatan.
79

E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari proses keperawatan, pada
tahap ini penulis menilai sejauh mana tujuan keperawatan dapat tercapai. Dari
enam diagnosa keperawatan yang muncul, tiga diagnosa belum teratasi dan tiga
diagnosa sudah teratasi. Adapun diagnosa yang sudah teratasi (mengacu pada
tujuan) adalah
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas
dinding kapiler. Diagnosa ini sudah teratasi karena pada klien sudah tidak
Demam (36˚C), tidak ada tanda-tanda kekurangan cairan balance +1306,
klien sudah minum sesuai kebutuhan 2000-2500cc/24jam. Tanda-tanda vital
dalam batas normal, hasil laboratorium dalam batas normal mukosa bibir
lembab, hasil pemeriksaan laboratorium : Hematokrit 37 % dan Trombosit
157.000 /ul yang meningkat setiap hari. Hal ini karena klien sudah perawatan
hari ke-9 dan sudah mendapatkan terapi cairan yang cukup sehingga tidak
terjadi terjadi kekurangan volume cairan dalam intravaskular yang
menyebabkan syok.

2. Resiko terjadinya perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan


trombositopenia. Diagnosa ini sudah teratasi karena tidak ditemukan tanda-
tanda terjadinya perdarahan lebih lanjut, karena trombosit klien setiap hari
menunjukan peningkatan, yaitu dari 99.000/ul pada tangga 25 Juni 2012
menjadi 157.000/ul pada tanggal 26 Juni 2012, saat dilakukan uji tourniquet
menunjukkan hasil negatif.

3. Kurangnya pengetahuan tentang pengertian, penyebab, tanda dan gejala,


komplikasi, pencegahan, pengobatan dan perawatan pada klien dengan
Dengue Hemorragic Fever berhubungan dengan kurangnya informasi.
Diagnosa ini sudah teratasi karena klien sudah mengerti tentang penyakitnya
dan klien dapat menyebutkan kembali pengertian, tanda gejala dan cara
pencegahan penyakit DHF, serta cara perawatan di rumah, maka tindakan
keperawatan dihentikan.

Sedangkan diagnosa yang belum teratasi adalah


1. Resiko terhadap penyebaran infeksi berhubungan dengan sifat menular dari
agen virus. Diagnosa ini belum teratasi tetapi sudah tercapai sebagian karena
80

Tampak warna urine klien sudah mulai kuning jernih, tidak terjadi ikterus atau
infeksi lain dan nilai laboratorium klien sudah menurun hasil laboratorium:
Leukosit 12.600 /ul,. Billirubin total : 0,45 mg/dl, Billirubin Direk : 0,21
mg/dl, Billirubin Indirek : 0,24 mg/dl, SGOT/AST : 41,9 u/l, SGPT/ALT :
680,8 u/l, tanda-tanda vital : Tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 85 x/ menit,
suhu 36˚C, pernafasan 21 x/ menit dan klien masih melanjutka terapi oral Hp
Pro 3x2 tablet, inj. Ceftriaxone 2x1 g.

2. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


intake yang tidak adekuat. Diagnosa ini belum teratasi tetapi sudah tercapai
sebagian karena nafsu makan sudah meningkat, makan habis 1 porsi tetpai
klien mengatakan badan masih terasa lemas dan klien masih mendapat diit
hati III dan terapi inj Cendantro 3x8mg, Rantin 2x50 mg .

3. Intoleransi aktifitas Gangguan berhubungan dengan kelemahan fisik.


Diagnosa ini belum teratasi tetapi tercapai sebagian karena meskipun klien
sudah mampu melakukan mobilisasi minimal di tempat tidur, namun klien
masih mendapat bantuan minimal dari perawat dan keluarga.

Faktor pendukung yang penulis temukan saat melakukan evaluasi keperawatan


adalah bantuan dari perawat ruangan dan rekan mahasiswa dalam memberikan
asuhan keperawatan pada klien, serta dengan adanya informasi dari tenaga medis
lainnya, juga adanya kriteria hasil yang sudah penulis buat sebelumnya sehingga
dapat dijadikan pedoman dalam menentukan apakah tujuan tercapai atau belum.

Faktor penghambat yang penulis temukan adalah adanya keterbatas waktu yang
diberikan kepada penulis untuk memberikan asuhan keperawatan pada An. K
alternatif pemecahan masalah yang penulis lakukan adalah dengan
mengkonfirmasikan/ mendelegasikan perencanaan keperawatan yang belum
dapat dilakukan oleh penulis kepada perawat di ruangan untuk melanjutkannya
sehingga evaluasi dapat dilakukan secara komprehensif.

Anda mungkin juga menyukai