Anda di halaman 1dari 8

Difteri: Manifestasi Klinis, Diagnosis dan Peran Imunisasi dalam

Pencegahan
Murtaza Mustafa, IM. Yusof, MS. Jeffree, EM. Illzam, SS. Husain, AM. Sharifa

Abstrak
Wabah difteri, meskipun sangat jarang, masih terjadi di seluruh dunia, di negara yang
maju dan negara berkembang. Difteri memiliki angka kematian yang tinggi pada penduduk
yang tidak menerima vaksinasi. Corynebacterium diphtheria menghasilkan racun yang
sangat kuat ketika terinfeksi dengan bakteriofag yang memigrasikan unsur-unsur genetik
pengkodean racun ke dalam endositosis yang termediasi. Toksin yang diuraikan secara
lokal menginduksi koagulum nekrotik padat yang tersusun dari fibrin, leukosytosis, sel-sel
mati epitel pernapasan, yang mengarah kepada kemunculan pseudomembran cokelat
berwarna putih keabu-abuan. Penyebab kematian yang umum adalah mati lemas setelah
aspirasi membran. Komplikasi penyakit ini termasuk miokarditis, radang saraf, masalah
ginjal dan perdarahan karena rendahnya trombosit darah. Diagnosa dengan isolasi
C.diphtheria dari pewarnaan gram (gram stain) atau kultur tenggorokan atau diagnosis
histopatologi. Pengobatan dengan metronidazole, eritromisin, prokain penisilin secara oral
atau suntikan atau rifampisin atau klindamisin terhadap pasien dengan alergi penisilin
atau eritomisin. Pencegahan dapat dilakukan dengan imunisasi, vaksin difteri berada
dalam daftar obat-obatan esential dari WHO, yang paling dibutuhkan dalam sistem
kesehatan dasar. Rekomendasi dari Advisory Committee on Immunzation Practices, 2006-
2008 yang diterbitkan oleh CDC sangatlah berguna. Kelompok anti-vaksinasi
mengakibatkan lebih banyak kerugian daripada kebaikan bagi masyarakat.

I. PENDAHULUAN

Difteri yang berasal dari kata dalam Bahasa Yunani yakni diphtheria yang berarti bulu
unggas (feather), adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corybacterium diphtheria.
Penyakit ini pertama kali disebut pada abad ke-5 sebelum masehi oleh Hippocrates. Bakteri
penyakit ini kemudian ditemukan pada tahun 1882 oleh Edwin Kleb. Pada 2013, sebanyak
3,700 kasus secara resmi dilaporkan dari total 100,000 kasus pada 1980. Dipercaya, ada
satu juta kasus yang terjadi setiap tahunnya sebelum tahun 1980-an. Kasus ini lebih sering
terjadi di Sub-Sharahan Afrika, India dan Indonesia. Pada bulan Juni 2016, 3 kasus difteri
dilaporkan terjadi di Malaysia dengan satu pasien meninggal. Pada 2013, sebanyak 3,300
kematian terjadi, angka ini turun dari 8,000 kematian pada 1990. Di area-area yang masih
umum, anak-anak merupakan yang paling rentan terinfeksi. Penyakit ini langka terjadi di
negara maju karena vaksinasi yang sudah menyeluruh. Di Amerika Serikat, sebanyak 57
kasus dilaporkan terjadi antara tahun 1990 hingga 2004. Kematian terjadi antara 5% dan
10% dari angka korban yang terinfeksi. Wabah difteri, meskipun masih sangat jarang,
masih terjadi di seluruh dunia termasuk di negara-negara maju seperti di Jerman
khususnya pada anak-anak yang belum divaksinasi. Manifestasi klinis bisa beragam mulai
dari yang ringan hingga berat. Tindakan ini dimulai 2-5 hari setelah infeksi. Gejala-gejala
klinis biasanya muncul secara bertahap dimulai dengan sakit tenggorokan dan demam.
Pada kasus-kasus yang berat, bercak abu-abu ataupun putih bermunculan di tenggorokan.
Komplikasi termasuk miokarditis, radang saraf, masalah ginjal dan perdarahan karena
rendahnya trombosit darah. Pengobatan bisa dilakukan dengan pemberian antibiotik
eritomisin, penisilin G, trakeostomi mungkin dibutuhkan pada kasus-kasus berat.
Pencegahan dapat dilakukan dengan difteri toksoid, empat dosis diberikan dengan toksoid
tetanus dan vaksin aselular pertussi, yang sangat direkomendasikan pada masa kanak-
kanak. Orang dewasa menerima hanya satu booster dan para wisatawan bisa melalukan
booster pada interval 5 tahun. Jurnal ini mengulas naskah-naskah terbaru, manifestasi
klinis dan pernanan vaksinasi pada pencegahan difteri.

II. SEJARAH DAN PENEMUAN DIFTERI

Difteri merupakan penyakit kuno yang disebutkan pada abad ke-5 sebelum masehi
oleh Hippocrates. Penduduk Spanyol telah mengalami wabah difteri, pada ahun yang
dikenal sebnagai “EL Ano de losGarrotilos” atau “Tahun Pencekikan” di sejarah Spayol.
Antara tahun 1735 hingga 1740, Inggris Baru dan Atlantik Tengah dirusak oleh sebuah
“penyakit tenggorokan” yang dari deskripsinya, tidak salah lagi merupakan difteri and bisa
saja menyebabkan kematian pada lebih dari 20% dari total populasi yang berusia di bawah
15 tahun. Pada 1735, epidemi difteri menyapu Inggris Baru. Pada 1856, Victor Fourgeaud
menggambarkan sebuah epidemi difteri di California. Pada 1883 Edwin Klebs
mengidentifikasi bakteri penyebabnya dan pada 1884, Loeffler mengisolasi bakteri
tersebut. Bakteri yang kemudian dinamakan bakteri Klebs-Loeffler. Belakangan ini, bakteri
tersebut diketahuin bernama Corybacterium diphtheria.
Joseph O’Dwyer memperkenalkan O’Dwyer tube untuk inkubasi laring bagi pasien
dengan laring yang terhambat akibat infeksi pada 1885. Metode tersebut dengan cepat
menggantikan trakeostomi sebagai metode inkubasi difteri dalam keadaan darurat. Pada
1888, Emile Roux dan Alexandre Yersin menunjukkan sebuah substansi yang dihasilkan
oleh C.diphtheriae menyebabkan gejala-gejala difteri pada binatang. Pada 1890, Shibasburo
Kitasatto dan Emil von Behring mengimunisasi seekor marmot dengan toksin difteri yang
dipanaskan. Obat pertama bagi penderita difteri. Behring dianugerahi Nobel pengobatan
atas pekerjaannya pada tahun 1901. Pada 1895, HK Mulford Company of Philadelphia
memulai produksi dan pengetesan difteri di Amerika Serikat.
Pada 1905, Franklin Royer menerbitkan sebuah makalah yang mendesak penanganan
tepat waktu bagi pasien difteri dan dosis antitoksis yang tepat. Bela Schick
mengembangkan tes Schick untuk mendeteksi kekebalan yang telah ada pada diri
seseorang yang telah terinfeksi. Vaksin difteri ditermukan dan angka kematian mulai
menurun pada 1924. Pada 1919, di Dallas, Texas, Amerika Serikat, 10 anak-anak terbunuh
dan 60 lainnya menderita penyakit serius akibat antitoksi beracun yang telah melalui tes
dari NY States Health Department. Mulford Company (produsen) membayar ganti rugi bagi
keluarga pada setiap kasus. Pada 1920-an, terdapat sekitar 100,000 hingga 200,000 kasus
difteri terjadi setiap tahun di Amerika Serikat, yang menyebabkan sekitar 13,000 hingga
15,000 kematian per tahun. Pada 1927, Alexander Thomas Glenny meningkatkan
keefektifan toksoid difteri dengan mengolahnya bersama garam aluminium.
Pada 1974, WHO memasukkan vaksin DPT (difteri, pertusis dan tetaus) pada program
mereka tentang imunisasi bagi negara berkembang. Pada 1975, sebuah wabah difteri kulit
di Seattle, Washington dilaporkan. Pada 1994, Federasi Rusia menyaksikan 39,703 kasus.
Sebagai perbandingan pada 1990 hanya terdapat 1,211 kasus. Pada 2010, sebuah kasus
difteri didiagnosa di Port-au-Prince, Haiti setelah gempa bumi Haiti yang dahsyat. Pasien
lelaki berusia 15 tahun meninggal saat pada pekerja berusaha mencari antitoksinnya. Pada
2013, 3 anak-anak meninggal oleh difteri di Hyderabad, India. Pada 2015, kasus difteri
terjadi di Barcelona, Spanyol. Seorang anak berusia 6 tahun yang meninggal karena
penyakit tersebut belum sempat divaksin karena ketidaksetujuan orangtuanya terhadap
vaksinasi tersebut. Pada 2016, seorang gadis berusia 3 tahun meninggal karena difteri di
University Hospital of Antwerp, Belgium. Pada Juni-Juli 2016, terdapat 22 kasus difteri dan
5 di antaranya meninggal di Malaysia.

III. TOKSIN DIFTERI

Toksin difteri ditemukan pada 1890 oleh E.A von Behring. Pada 1951, Freeman
menemukan bahwa toksin tersebut tidak dikodekan pada kromosom bakteri, namun
melalui lisogenik phage yang menginfeksi seluruh tekanan toksigenik. Toksin difteri
merupakan sebuah eksotoksin yang diekskresikan oleh C.diphtheria, bakteri patogenik
yang menyebabkan difteri. Toksin tersebut menyebabkan penyakit difteri pada manusia
dengan memasuki sel sitoplasma dan menghambat pencernaan protein.

STRUKTUR TOKSIN
Toksin difteri adalah sebuah rantai polipeptida tunggal tersusun oleh 535 asam amino
yang terdiri atas dua sub unit yang disambungkan oleh jembatan disulfida, diketahui
bernama A-B toksin. Mengikat ke permukaan sel subunit B (yang kurang stabil)
memungkinkan subunit A (sub unit yang lebih stabil) untuk memasuki sel tuan rumah
(host). Struktur kristal dari toksin difteri telah ditentukan untuk 2.5 resolusi angstrom.
Struktur ini menunjukkan sebuah molekul berbentuk Y yang mengandung 3 domain.
Fragmen A mengandung katalitik dari domain C dan fragmen B mengandung domain T dan
R. Domain katalitik terminal amino, yang dikenal sebagai domain C, memiliki
beta+alphafold yang tidak biasa. Domain C menghambat sintesis protein dengan mengirim
ADP-ribrose dari NAD ke residu diphthamide dari faktor elongasi eukariotik 3. Sebuah
domain translokasi sentral yang dikenal sebagai domain T atau domain TM memiliki
lipatan globin multi-heliks dengan dua heliks tambahan di terminal amino tanpa pasangan
dengan heliks globin pertama. Domain ini diperkirakan akan terbuka di dalam membran.
Perubahan konformasi yang diinduksi oleh Ph pada domain T memicu penyisipan ke dalam
membran endosomal dan memfasilitasi transfer domain C ke dalam sitoplasma. Domain
pengikat reseptor (penerima) karboksil-terminal, yang dikenal sebagai domain R memiliki
lipatan beta-sandwich yang terdiri dari sembilan helai dalam dua lembar dengan topologi
kunci-Yunani, merupakan bagian dari lipatan seperti imunoglobulin. Domain R mengikat ke
permukaan sel reseptor, memungkinkan toksin untuk memasuki sel dengan endositosis
yang dimediasi oleh reseptor. (MAMPUS APAAN NEH UWE GAK NGERTI BODO LAH
ILMUMU BUKAN ILMUKU HAHAHAHAHAHAH (?))

MODEL AKSI

Toksin difteri dihasilkan oleh C.diphtheria hanya ketika terinfeksi oleh bakteriofag
yang memigrasikan unsur genetik pengodean racun ke dalam bakteri. Toksin difteri adalah
protein berat molekul tunggal 60 kDa yang terdiri dari dua rantai peptida, fragmen A dan
fragmen B, yang diikat menjadi satu oleh sebuah ikatan disulfida. Fragmen B adalah
subunit pengenal yang memasukkan toksin ke dalam sel indukan dengan mengikatkan diri
kepada domain serupa-EGF (EGF-like) dari heparin—mengikat faktor pertumbuhan
serupa-EGF (HB-EGF) pada permukaan sel. Hal ini memberikan sinyal kepada sel untuk
meninternalisasi toksin dalam endosome melalui endositosis yang dimediasi reseptor. di
dalam endosome, toksin dipecah oleh protease mirip tripsin ke dalam masing-masing
fragmen A dan B. Tingkat keasaman dalam fragmen B untuk menciptakan pori-pori pada
memberan endosom mengkatalisasi pelepasan fragmen A ke dalam sitoplasma sel.
Fragmen A menghalangi sintesis protein baru di sel yang telah terinfeksi. Fragmen ini
melakukannya dengan cara mengatalisasi ADP-ribosilasi faktor perpanjangan dari EF-2-
protein yang penting untuk tahap penerjemahan ke sintesis protein. ADP-ribolisasi ini
melibatkan transfer ADP-ribosom dari NAD+ ke residit diphthamide (histidin yang
dimodifikasi) dalam protein EF-2. Karena EF-2 ini dibutuhkan untuk perpindahan tRNA
dari site A ke site P—site ribosome dalam pewujudan protein, ADP-ribosilasi dari protein
EF-2 menghalangi sintesis protein. ADP-ribosilasi dari EF-2 dibalik dengan memberikan
nicotinamide (sebuah bentuk dari vitamin B3) dengan dosis tinggi, karena ini adalah salah
satu produk akhir reaksi dan jumlah yang tinggi akan mendorong reaksi ke arah yang
berlawanan. (LALALALALALALA AKU SAYANG SEKALI DORAEMOOONNN)

IV. PATOGENESIS

C.diphtheria merupakan sebuah organisme yang tidak bersifat infasif (menyerbu dalam
skala besar), alih-alih bertahan di lapisan yang dangkal dari mukosa pernapasan dan lesi
kulit, di mana ia dapat menginduksi reaksi peradangan ringan di jaringan lokal. Virulensi
utama C.diphtheriae dihasilkan dari aksi eksotoxin manjur yang menghambat sintesis
protein pada sel mamalia tetapi tidak pada bakteri. Racun polipeptida 62.000-dalton terdiri
dari dua segmen: B, yang membutakan reseptor spesifik pada sel yang rentan dan A,
segmen aktif. Setelah pembelahan proteolitik dari molekul terikat, segmen A memasuki sel
di mana ia dapat mengkatalisasi inaktivasi transfer RNA (tRNA) translocase "elongasi
faktor 2", muncul dalam sel-sel eukariotik tetapi tidak pada bakteri. Hilangnya enzim ini
mencegah interaksi sel pembawa RNA dan tRNA menghentikan penambahan lebih lanjut
asam amino untuk mengembangkan rantai polipeptida. Efek racun semua sel dalam tubuh,
tetapi efek yang paling menonjol adalah pada jantung (miokarditis), saraf (demielinasi) dan
ginjal (nekrosis tubular). Toksin difteri sangat kuat: satu molekul dapat menghentikan
sintesis protein dalam sel dalam beberapa jam dan 0,1 μg/kg akan membunuh hewan yang
rentan.
Selama beberapa hari pertama dari infeksi saluran pernafasan, toksin diuraikan secara
lokal menginduksi koagulum nekrotik padat tersusun dari fibrin, leukosit, eritrosit, sel mati
epitel pernapasan dan organisme. Membran dapat bersifat lokal (tonsil, faring, hidung)
atau meluas secara luas, membentuk gips dari faring dan pohon trakeobronkial. Edema
jaringan lunak yang mendasari dan adenitis serviks dapat menjadi intens dan terutama
pada saluran udara yang proporsional lebih kecil dari anak-anak, dapat menyebabkan
pernafasan pernafasan dan penampilan Bull-neck. Pada orang dewasa dan anak-anak,
penyebab kematian yang umum adalah mati lemas setelah aspirasi membran.

V. MANFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis dari difteri biasanya dimulai pada dua hingga tujuh hari setelah
terinfeksi. Gejala klinis dari difteri termasuk demam 38 derajat Celsius (100.4 derajat
Farenheit) atau lebih, kelelahan, kulit yang kebiru-biruan, kolorasi (cyanosis), sakit
tenggorokan, suara yang serak, batuk, sakit kepala, kesulitan untuk menelan, rasa sakit saat
menelan, kesulitan untuk bernapas, napas yang cepat dan kacau, noda darah yang bebau
busuk, mimisan yang berbau busuk dan limfadenopati. Gejala-gejalanya dapat juga
termasuk aritmia jantung, miokarditis dan palsi saraf kranial dan perifer. Difteri laring
dapat menyebabkan pembengkakan leher dan tenggorokan atau “Bull-neck”.
Pembengkakan leher seringkali dibarengi dengan kondisi pernafasan yang serius, ditandai
oleh batuk yang membandel, stridor, suara yang serak dan kesulitan untuk bernafas dan
secara historis disebut sebagai croup difteri dan “true croup” atau acapkali disebut hanya
sebagai croup. Croup difteri sangatlah langka di negara-negara dimana vaksinasi difteri
dilakukan secara rutin dan lazim. Sebagai hasilnya, kata ‘croup’ belakangan ini lebih sering
digunakan untuk merujuk sebuah penyakit dari virus yang menghasilkan gejala-gejala
penyakit pernapasan yang hampir mirip dengan difteri namun dengan skala lebih ringan.

MYOCARDITIS
Bukti halus miokarditis dapat dideteksi pada sebanyak dua pertiga pasien, tetapi 10%
hingga 25% memunculkan disfungsi jantung klinis dengan risiko pada pasien yang
berhubungan langsung dengan tingkat dan keparahan penyakit lokal. Toksisitas jantung
bisa akut dengan kegagalan kongestif dan kolaps sirkulasi atau dilatasi jantung dan
galloprythm. Perubahan pola elektrokardiograf (EKG) khususnya perubahan gelombang
ST-T dan blok jantung tingkat pertama dapat berkembang menjadi bentuk yang lebih parah
dari blok disosiasi atrioventrikular (AV) dan aritmia lainnya yang membawa prognosis
yang tidak menyenangkan. Pasien dengan bundle-branch block (MAAF AKU TIDAK TAHU
TERJEMAHANNYA) dan disosiasi kompleks memiliki insidensi kematian dan selamat yang
jauh lebih tinggi dapat dibiarkan dengan cacat permanen.
TOKSISITAS NEUROLOGI

Toksisistas neurologi diatur sesuai dengan tingkat keparahan pada masa awal infeksi:
penyakit ringan hanya akan menghasilkan neurotoksisitas namun tiga per empat pasien
dengan penyakit berat dapat menderita penyakit saraf (neuropathy). Dalam beberapa hari
pertama dari infeksi penyakit, kelumpuhan lokal palatal (langit-langit lunak) dan dinding
faring psoterior secara umum dapat terjadi, dimanifestasikan oleh regurgitasi cairan yang
ditelan melalui hidung. Sehingga kemudian, neuropati kranial yang menyebabkan paralisis
okulomotor dan silia juga sering terjadi, dan disfungsi saraf-saraf wajah, faring dan laring,
meskipun sangat jarang, dapat berperan dalam risiko kegagalan sistem pernapasan.
Neuropati perifer (neuritis perifer) muncul setelah sepuluh hari hingga tiga bulan setelah
timbulnya penyakit di tenggorokan.

BERBAGAI PENYAKIT DAN KOMPLIKASINYA

Infeksi kulit sebagai akibat dari C.diphtheriae umumnya terjadi di daerah tropis. Infeksi
ini ditandai ulkus yang sulit disembuhkan, dengan membran kotor berwarna keabu-abuan
dan sering diasosiasikan dengan staphylococcusaureus dan kelompok Astreptococci. Baru-
baru ini, penyakit ini diidentifikasi di AS dengan munculnya beberapa kasus wabah di
antara peminum yang nomaden dan kelompok-kelompok improvisasi seperti Natif
Amerika (penduduk asli Amerika). Presentasi penyakit ini berkembang dengan lamban dan
tidak progresif dan jarang diasosiasikan dengan gejala keracunan. Meski pun demikian,
infeksi ini dapat mengiduksi tingkat antotoksin yang tinggi dan sehingga dapat bertindak
sebagai cara imunisasi alami.
Gagal ginjal akibat pemberian toksin secara langsung maupun hipotensi dan
penumonia merupakan hal yang umumnya terjadi pada kasus-kasus berat. Kejadian
ensefalitis dan infark serebral jarang terjadi. Beberapa deskripsi klinis yang baik tentang
endemik dan epidemik difteri di Amerika Serikat mengindikasikan bahwa baik frekuensi
gejala-gejala yang beragam maupun tingkat keparahan penyakit yang diderita pasien
berkaitan dengan sejarah imunisasi pasien. Secara kasar, setengah dari jumlah kasus yang
dilaporkan ini dikategorikan sebagai penyakit ringan, seringkali tanpa membran. Angka
kematian dimulai dari 3,5% hingga 12% dan tidak berubah selama 50 tahun terakhir.
Angka ini sangat tinggi pada pasien-pasien yang berusia sangat muda dan sangat tua.
Endocarditis, mycotic aneurysm, osteomyelitis dan artritis septik diketahui muncul
sebagai efek pada penderita yang merupakan pecandu, peminum, suku asli Australia
(Aborigin) dan usia pertengahan, semuanya disebabkan oleh penyebaran epidemik yang
unik dan terkarakterisasi oleh penyebab yang agresif, bakteri dengan proposi tinggi,
endocarditis, embolisasi arteri, situs metastatik infeksi (sendi, limpa, sistem saraf pusat)
dan angka kematian yang tinggi. Inilah alasan mengapa tekanan-tekanan nontoksigenik ini
dapat menyebabkan kematian dan masih menjadi misteri.

VI. DIAGNOSIS DAN PERAWATAN

Isolasi C.diphtheria dengan teknik pewarnaan gram (gram stain) dan kultur
tenggorokan dari spesimen klinis maupuk histopatologi diagnosis difteri dari Albert Stain.
Kriteria klinis tersebut termasuk:
a) Penyakit saluran pernapasan atas yang ditandai dengan sakit tenggorokan.
b) Demam kelas bawah (demam di atas angka 39 derajat Celcius jarang ditemukan)
c) Pseudo-membran yang padat dan kelabu menutupi aspek posterior faring. Pada
kasus-kasus berat, hal ini bisa melebar hingga menutupi seluruh tracheobronchial
tree.
Klasifikasi kasus difteri:
 Probable: kasus kompatibel secara klinis yang tidak dikonfirmasi oleh tes
laboratorium dan tidak terkait secara epidemiologis dengan kasus yang
dikonfirmasi tes laboratorium.
 Confirmed: kasus kompatibel secara klinis yang baik dikonfirmasi tes laboratorium
maupun secara epidemiologis terkait dengan kasus yang dikonfirmasi tes
laboratiorium.

Perawatan (Tindakan):
CDC merkomendasikan:
- Metronidazole
- Erythromycin (oral maupun injeksi) selama 14 hari (300,000 U/d bagi pasien
dengan berat badan > 10kg dan 600,000 U/d untuk pasien yang > 10kg) (SUMPAH
INI DI JURNALNYA KEK GITU AKUPUN GAK FAHAM MUNGKIN YANG KEDUA
MAKSUDNYA LEBIH DARI) Pasien yang alergi terhadap penisilin G ataupun
erythromycin dapat menggunakan rifampin atau clindamycin.

VII. PENCEGAHAN

Imunisasi Difteri.
Difteri dapat dicegah dengan imunisasi. Vaksin difteri dikembangkan pada tahun 1923.
Vaksinasi difteri ini tercatat di daftar obat esensial milik WHO, HAL paling penting yang
dibutuhkan di sistem kesehatan dasar. Penggunaannya telah menghasilkan lebih dari 90%
berkurangnya angka kasus secara global antara 1980 hingga 2000. Tiga dosis awal yang
disarankan setelahnya kurang-lebih 95% efektif dalam pencegahan. Vaksinasi ini efektif
untuk kurang-lebih 10 tahun pada saat dosis booster diperlukan. Imunisasi dapat
dilakukan pada usia 6 minggu dengan pemberian dosis lanjutan setiap empat minggu.
Vaksin difteri sangatlah aman, efek samping yang signifikan sangat jarang ditemukan.
Vaksin ini tetap aman untuk ibu hamil maupun pasien yang memiliki fungsi imun yang
lemah. Vaksin difteri ini diberikan dalam beberapa kombinasi. Satu yang dikombinasikan
dengan toksoid tetanus (dikenal sebagai vaksin dT atau DT) dan yang lainnya
dikombinasikan dengan vaksin anti tetanus dan pertusis (vaksin DPT). WHO telah
merkomendasikan penggunaan ini semenjak tahun 1974 dan hingga sekarang, sekitar 84%
dari populasi dunia telah berhasil divaksinasi.
Rekomendasi dari Advisory Committee of Immunization Practices diperbaharui pada
tahun 2006 dan 2008, yang diterbitkan oleh CDC termasuk:
 Bagi pasien berusia 11 tahun atau lebih diberikan satu botol 0,5 ml,Tdap diikuti
dengan pemberian 0,5 ml,Td lagi pada empat hingga delapan minggu kemudian lalu
dosis Td kedua pada 6 hingga 12 bulan setelah pemberian yang pertama.
 Imunisasi booster: pasien yang berusia 11 hingga 18 tahun harus menerima satu
dosis Tdap dan kemudian diberikan Td booster standar setiap interval 10 tahun.
 Pasien yang berusia 19 hingga 64 tahun wajib menerima booster Tdap selanjutnya
untuk meminimalisir risiko pembawaan penyakit, penyakit klinis dan perpindahan
pertusis.

VIII. KESIMPULAN

Gejala-gejala difteri dimulai dengan infeksi saluran pernafasan yang diikuti dengan
munculnya pseudomembran yang berwaran putih keabu-abuan. Pada kasus-kasus berat,
pasien dapat mengidap kesulitan bernafas dan kemunculan bull-neck. Komplikasinya dapat
termasuk myocarditis, toksisitas neurologi, endocarditis dan gagal ginjal. Diagnosa dan
tindakan yang cepat dan awal memungkinkan hasil yang lebih baik.

***

PS. SEMANGAT YA IBU DOKTER MUDA AKUUUU GUDLAK PRESENTASINYA, BREAK A


LEG! MWAAH! XXX

Anda mungkin juga menyukai