Anda di halaman 1dari 37

TATALAKSANA RESISTENSI

OBAT ANTI TUBERCULOSIS (OAT)

DISUSUN OLEH:

CHRISTINA HASIAN NAULI P NABABAN


213 210 101

PEMBIMBING : dr. EDWIN ANTO PAKPAHAN Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR (KKS)


ILMU PENYAKIT PARU
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DELI SERDANG
LUBUK PAKAM
2018
1

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan refarat ini dengan
judul “Tatalaksana Tuberkulosis Paru MDR”.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Ilmu Penyakit Paru, Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir
kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 8 Maret 2018

Penulis
2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1


1.1.Latar Belakang ............................................................................... 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 4


2.1.Tuberculosis .................................................................................. 4
2.1.1 Defenisi ....................................................................................... 4
2.1.2 Etiologi ........................................................................................ 4
2.1.3 Patogenesis .................................................................................. 5
2.1.4 Patologi........................................................................................ 7
2.1.5 Klasifikasi.................................................................................... 9
2.1.6 Gejala Klinis ................................................................................ 12
2.1.7 Penatalaksanaan .......................................................................... 13
2.2. Tuberculosis Multi Drug Resistance........................................... 16
2.2.1 Defenisi ....................................................................................... 16
2.2.2 Epidemiologi ............................................................................... 17
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi OAT ................................... 18
2.2.4 Mekanisme Resistensi M.tuberculosis ........................................ 19
2.2.5 Suspek TB-MDR ......................................................................... 22
2.2.6 Diagnosis ..................................................................................... 22
2.2.7 Penatalaksanaan .......................................................................... 23
2.2.8 Prognosis ..................................................................................... 30
BAB 3 KESIMPULAN .................................................................................. 32

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 32


3

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) sampai sekarang ini masih menjadi persoalan yang
global, World Health Organization tahun 2016 menyatakan penyakit ini setiap
tahunnya menginfeksi sekitar 10.400.000 orang dan membunuh hampir 1.700.000

orang di seluruh dunia.1 Di wilayah Asia Timur dan juga Selatan merupakan
penyumbang kasus terbesar yaitu 40% atau 3.500.000 kasus setiap tahunnya,

dengan angka kematian yang cukup tinggi yaitu 26 orang per 100.000 penduduk. 2
Secara global diperkirakan terdapat 630.000 kasus multidrug resistant tuberculosis
(MDR-TB). Kasus MDR TB dari tahun ke tahun diperkirakan akan terus
meningkat. Selama tahun 2011 kasus MDR TB di Indonesia dilaporkan bahwa
sejumlah 260 kasus, diperkirakan pada tahun 2013 akan terdeteksi 1.800 kasus.
World Health Organization (WHO) pada tahun 2010, melaporkan untuk kasus

MDR- TB Indonesia berada di urutan ke-8.1 Multidrug resistant tuberculosis


(MDR-TB) adalah kasus tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis resisten minimal terhadap rifampisin dan isoniazid secara bersamaan,

dengan atau tanpa obat antituberkulosis (OAT) lini I yang lain.3


Estimasi prevalensi TB di Indonesia pada semua kasus adalah sebesar
660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah
kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahun. Selain itu, kasus
resistensi merupakan tantangan baru dalam program penanggulangan TB.
Pencegahan meningkatnya kasus TB yang resistensi obat menjadi prioritas
penting.3
Penatalaksanaan klinis MDR TB lebih rumit bila dibandingkan dengan TB
yang sensitif karena mempergunakan obat anti-TB (OAT) lini I dan lini II. Pada
tatalaksana TB yang sensitif hanya menggunakan 4 obat dan membutuhkan waktu
6 bulan, sedangkan pada tatalaksana MDR TB mempergunakan minimal 5 obat dan
berlangsung selama 18 sampai 24 bulan. Tatalaksana kasus MDR TB ini sering
4

dihubungkan dengan kejadian efek samping mulai dari yang ringan sampai yang

berat.4 Cara yang rasional untuk memilih obat anti-TB secara tepat adalah
menggunakan obat dari yang paling kuat efek bakterisidnya dengan toksisitas
paling rendah sampai yang paling lemah dengan toksisitas paling tinggi. Pemilihan
obat untuk kasus MDR TB antara lain menggunakan obat lini I jika masih efektif,
satu obat injeksi, mempergunakan obat golongan urokuinolon, menggunakan obat
untuk kelompok 4 (lini II oral) sampai diperoleh empat jenis obat yang efektif, dan
obat kelompok 5 untuk memperkuat regimen atau saat sebelum diperoleh empat

jenis obat yang efektif dari kelompok sebelumnya.5 Terapi MDR- TB


menggunakan beberapa jenis obat sehingga menyebabkan beberapa permasalahan
dalam hal toleransi terhadap obat-obatan tersebut. Respons masing-masing individu
tidak dapat diprediksi, tetapi pengobatan tidak boleh dihentikan hanya karena

ketakutan terhadap reaksi yang timbul.6


Resistensi terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terlebih lagi multi& drug
& resistant tuberculosis & (MDR TB) telah menjadi masalah kesehatan yang serius
di beberapa negara, termasuk Indonesia.4 Laporan WHO tahun 2007 menyatakan
persentase resistensi primer di seluruh dunia telah terjadi poliresistensi 17,0%,
monoresistensi terdapat 10,3%, dan Tuberculosis - Multidrug Resistant (TB-MDR)
sebesar 2,9 %. Sedangkan di Indonesia resistensi primer jenis MDR terjadi sebesar
2%.4,5
Kasus TB dengan resistensi OAT merupakan kasus yang sulit ditangani,
membutuhkan biaya yang lebih besar, efek samping obat yang lebih banyak
dengan hasil pengobatan yang kurang memuaskan. TB dengan resistensi OAT ini
terutama berhubungan dengan riwayat pengobatan sebelumnya yang tidak adekuat.
Pada pasien yang memiliki riwayat pengobatan TB sebelumnya kemungkinan
terjadi resistensi sebesar 4 kali lipat sedangkan terjadinya MDR TB sebesar 10 kali
lipat.6 Data di Indonesia menyatakan pada TB kasus baru didapatkan MDR TB 2%
dan kasus TB yang telah diobati didapatkan 19%.7
Resistensi obat pada kasus TB adalah masalah yang mendapat perhatian
besar dalam program penanggulangan TB oleh karena beberapa strain MDR‐TB
5

yang sulit diobati. Strain ini mendapat perhatian oleh karena dapat menyebar di
seluruh dunia, menekankan perlunya peningkatan program kontrol, seperti metode
diagnostik baru, obat‐obatan yang lebih efektif dan penemuan vaksin yang lebih
efektif.8 Pasien dengan MDR-TB membutuhkan pengobatan lebih lama dengan
obat yang sebenarnya kurang efektif namun lebih toksik. Oleh karena itu sangat
penting untuk membedakan diagnosis MDR-TB dengan resistensi lain dengan
melakukan kultur mikobakterium dan uji sensitifitas karena implikasi terapi yang
berbeda.9
Penyebaran TB-MDR telah meningkat oleh karena lemahnya program
pengendalian TB, kurangnya sumber dana dan isolasi yang tidak adekuat, tindakan
pemakaian ventilasi dan keterlambatan dalam menegakkan diagnosis suatu TB-
MDR.10
Angka resistensi/TB-MDR paru dipengaruhi oleh kinerja program
penanggulangan TBC paru di kabupaten setempat/kota setempat terutama
ketepatan diagnosis mikroskopik untuk menetapkan kasus dengan BTA (+), dan
penanganan kasus termasuk peran Pengawas Menelan Obat (PMO) yang dapat
berpengaruh pada tingkat kepatuhan penderita untuk minum obat. Faktor lain yang
mempengaruhi angka resistensi/ MDR adalah ketersediaan OAT yang cukup dan
berkualitas ataupun adanya OAT yang digunakan untuk terapi selain TBC.11
Resistensi ganda merupakan hambatan dan menjadi masalah yang paling
besar terhadap program pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Angka
kesembuhanpada pengobatan TB-MDR relatif lebih rendah, disamping itu lebih
sulit, mahal dan lebih banyak efek samping yang akan ditimbulkannya. Masalah
lain, penyebaran resistensi obat di berbagai negara sering tidak diketahui serta
penatalaksanaan penderita TB-MDR tidak adekuat.12
Oleh karena itu sangat diperlukan strategi penatalaksanaan yang tepat pada
kasus TB dengan resistensi OAT agar tidak berlanjut menjadi extensively drug&
resistant tuberculosis & (XDR TB).
6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberculosis
2.1.1 Defenisi
Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama
menyerang penyakit parenkim paru. Disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa.
Tb paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma
dan menimbulkan nekrosis jaringan. Tb paru dapat menular melalui udara, waktu
seseorang dengan Tb aktif pada paru batuk, bersin atau bicara4.

2.1.2 Etiologi

Penyakit Tb paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
Mycobakterium tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam
sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA) .

Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif pada waktu batuk atau
bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar
selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke
dalam saluran pernafasan.Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh
manusia melalui pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru
kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran nafas, atau
penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang
penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin
tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut.
Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita
tersebut dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi tuberkulosis ditentukan oleh
konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut14.
7

2.1.3 Patogenesis
A. Tuberkulosis Primer

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di


jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana
saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan
kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional
dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu
nasib sebagai berikut 4:

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

3. Menyebar dengan cara :

a. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya.

Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat
penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang
membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan,
dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus
yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada
lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.

b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru


sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus

c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini


sangat bersangkutan dengan daya tahantubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang
yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat
imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat
8

seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy.


Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya,
misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan
penyebaran ini mungkin berakhir dengan :

• Sembuh dengan meninggalkan sekuele

(misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat


ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau

• Meninggal

Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.

B. Tuberkulosis Post-Primer

Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian


tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer
mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa,
localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis
inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi
sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang
umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior.
Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang
pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :

1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat


2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri
menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali,
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan
keluar.

3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).


Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya
9

berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib
kaviti ini :

• Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang


pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas

• Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut


tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula
aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi

• Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed
cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga
kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

2.1.4 Patologi
Untuk lebih memahami berbagai aspek tuberkulosis, perlu diketahui proses
patologik yang terjadi. Batuk yang merupakan salah satu gejala tuberkulosis paru,
terjadi karena kelainan patologik pada saluran pernapasan akibat kuman
M.tuberculosis. Kuman tersebut bersifat sangat aerobik, sehingga mudah tumbuh
di dalam paru, terlebih di daerah apeks karena pO2 alveolus paling tinggi14.

Kelainan jaringan terjadi sebagai respons tubuh terhadap kuman. Reaksi jaringan
yang karakteristik ialah terbentuknya granuloma, kumpulan padat sel makrofag.
Respons awal pada jaringan yang belum pernah terinfeksi ialah berupa sebukan sel
10

radang, baik sel leukosit polimorfonukleus (PMN) maupun sel fagosit


mononukleus. Kuman berproliferasi dalam sel, dan akhirnya mematikan sel fagosit.
Sementara itu sel mononukleus bertambah banyak dan membentuk agregat. Kuman
berproliferasi terus, dan sementara makrofag (yang berisi kuman) mati, sel fagosit
mononukleus masuk dalam jaringan dan menelan kuman yang baru terlepas. Jadi
terdapat pertukaran sel fagosit mononukleus yang intensif dan berkesinambungan.
Sel monosit semakin membesar, intinya menjadi eksentrik, sitoplasmanya
bertambah banyak dan tampak pucat, disebut sel epiteloid. Sel-sel tersebut
berkelompok padat mirip sel epitel tanpa jaringan diantaranya, namun tidak ada
ikatan interseluler dan bentuknya pun tidak sama dengan sel epitel.

Sebagian sel epiteloid ini membentuk sel datia berinti banyak, dan sebagian sel
datia ini berbentuk sel datia Langhans (inti terletak melingkar di tepi) dan sebagian
berupa sel datia benda asing (inti tersebar dalam sitoplasma).

Lama kelamaan granuloma ini dikelilingi oleh sel limfosit, sel plasma, kapiler dan
fibroblas. Di bagian tengah mulai terjadi nekrosis yang disebut perkijuan, dan
jaringan di sekitarnya menjadi sembab dan jumlah mikroba berkurang. Granuloma
dapat mengalami beberapa perkembangan , bila jumlah mikroba terus berkurang
akan terbentuk simpai jaringan ikat mengelilingi reaksi peradangan. Lama
kelamaan terjadi penimbunan garam kalsium pada bahan perkijuan. Bila garam
kalsium berbentuk konsentrik maka disebut cincin Liesegang . Bila mikroba virulen
atau resistensi jaringan rendah, granuloma membesar sentrifugal, terbentuk pula
granuloma satelit yang dapat berpadu sehingga granuloma membesar. Sel epiteloid
dan makrofag menghasilkan protease dan hidrolase yang dapat mencairkan bahan
kaseosa. Pada saat isi granuloma mencair, kuman tumbuh cepat ekstrasel dan terjadi
perluasan penyakit.

Reaksi jaringan yang terjadi berbeda antara individu yang belum pernah terinfeksi
dan yang sudah pernah terinfeksi. Pada individu yang telah terinfeksi sebelumnya
reaksi jaringan terjadi lebih cepat dan keras dengan disertai nekrosis jaringan.
Akan tetapi pertumbuhan kuman tretahan dan penyebaran infeksi terhalang. Ini
merupakan manifestasi reaksi hipersensitiviti dan sekaligus imuniti.
11

2.1.5 Klasifikasi
A. Tuberkulosis Paru14

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak


termasuk pleura (selaput paru)

1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)


TB paru dibagi dalam :

a. Tuberkulosis Paru BTA (+)

• Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif

• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan
radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif

b. Tuberkulosis Paru BTA (-)

• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan
kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan
pemberian antibiotik spektrum luas

• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan


M.tuberculosis positif

• Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa.

2. Berdasarkan Tipe Penderita


Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe penderita yaitu :

a. Kasus baru

Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian)

b. Kasus kambuh (relaps)


12

Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan


tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan
positif.

Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai


lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan :

• Infeksi sekunder

• Infeksi jamur

• TB paru kambuh

c. Kasus pindahan (Transfer In)

Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan


kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus
membawa surat rujukan/pindah

d. Kasus lalai berobat

Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu
atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

e. Kasus Gagal

• Adalah penderita BTA positif yang masih tetap

positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan)

• Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi
BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang
hasilnya perburukan

f. Kasus kronik
13

Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik

g. Kasus bekas TB

• Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif dan
gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran
radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT
yang adekuat akan lebih mendukung

• Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun setelah
mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada perubahan gambaran
radiologik

B. Tuberkulosis Ekstra Paru

Batasan : Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. Diagnosis
sebaiknya didasarkan atas kultur spesimen positif, atau histologi, atau bukti klinis
kuat konsisten dengan TB ekstraparu aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan oleh
klinisi untuk diberikan obat anti tuberkulosis siklus penuh. TB di luar paru dibagi
berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit, yaitu :

1. TB di luar paru ringan
 Misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa

unilateral, 
 tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

2. TB diluar paru berat 
 Misalnya : meningitis, millier, perikarditis,

peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB


saluran kencing dan alat kelamin.
14

2.1.6 Gejala Klinis

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan


fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang
lainnya.Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik14.

1. Gejala respiratorik

• batuk ≥ 3 minggu

• batuk darah

• sesak napas

• nyeri dada

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala
yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat
15

medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.

Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari
kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis,
sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri
dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

b. Gejala sistemik

• Demam

• gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun

2.1.7 Penatalaksanaan

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan
fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat
utama dan tambahan14.

A. Obat Anti Tuberculosa (OAT)

Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah


kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Mikobakteri merupakan kuman tahan
asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat
dan cepat sekali timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat. Umumnya
antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat membelah dibandingkan
dengan kuman yang lambat membelah. Sifat lambat membelah yang dimiliki
mikobakteri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perkembangan
penemuan obat antimikobakteri baru jauh lebih sulit dan lambat dibandingkan
antibakteri lain13:
16

Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: INH, Rifampisin, Streptomisin,
Etambutol. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin , Amikasin, Kuinolon.

Gambar 4. Dosis OAT yang dianjurkan

Pengobatan Tb paru pada orang dewasa di bagi dalam beberapa kategori yaitu:

Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap
hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga
kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada:
a. Penderita baru TBC paru BTA positif.
b. Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.
Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3
Diberikan kepada :
a. Penderita kambuh.
b. Penderita gagal terapi.
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.
Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Diberikan kepada penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif(10).

Kategori 4: RHZES

Diberikan pada kasus Tb kronik


17

Efek Samping OAT :

Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.


Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama
pengobatan.

Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan
dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
18

2.2. Tuberculosis Multi Drug Resistance


2.2.1 Definisi
Resistensi ganda adalah M.tuberculosis yang resisten minimal terhadap
rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Rifampisin dan INH
merupakan 2 obat yang sangat penting pada pengobatan TB yang diterapkan pada
strategi DOTS. Secara umum resistensi terhadap obat anti TB dibagi menjadi:
 Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah
mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT
kurang dari 1 bulan.
 Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah
ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah.
 Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat
pengobatan OAT minimal 1 bulan.
Berdasarkan Guideline for the programmatic management of drug resistant
tuberculosis: emergency update oleh WHO 2008 resisten terhadap OAT dinyatakan
bila hasil pemerikaan laboratorium menunjukkan adanya pertumbuhan M.
tuberculosis in vitro saat terdapat satu atau lebih OAT. Terdapat lima jenis kategori
resistensi OAT, yaitu:5
a. Mono resistence, yakni resisten teradapat satu OAT lini pertama
b. Poli resistence, yakni resisten terhadap lebih dari satu OAT lini pertama
selain kombinasi isoniazid dan rifampicin
19

c. Multi Drug Resistance (MDR), yakni resisten terhadap sekurang-


kurangnya isoniazid dan rifampisin
d. Extensivel drug resistance (XDR), yakni MDR TB ditambah kekebalan
terhadap salah satu obat golongan fluoroquinolon dan sedikitnya salah
satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamiin, dan amikasin)
e. Total Drug Resistance: resisten baik dengan lini pertama maupun lini
kedua. Pada kondisi ini tidak ada lagi obat yang bisa dipakai.
2.2.2 Epidemiologi
Kejadian MDR – TB tidak merata di seluruh belahan dunia. Dari laporan
survei yang dilakukan WHO tahun 1994 -1999 diperkirakan 70 % kasus baru MDR
– TB terjadi hanya pada 10 negara, sehingga kasus MDR – TB ini lebih dianggap
menjadi masalah lokal. Sedangkan laporan yang dibuat oleh International Union
Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) yang melakukan survei pada
tahun 1994 -1997 terhadap 35 negara, dijumpai bahwa resistensi obat anti
tuberkulosis terdapat di seluruh negara yang disurvei. Hal ini mengarahkan bahwa
kasus MDR-TB ini merupakan masalah global.22 Survei yang dilakukan pada 54
negara antara tahun 1996 -1999 didapatkan bahwa angka resistensi tertinggi
dijumpai di Estonia (36,9%), diikuti oleh propinsi Henan di Cina (35%), Ivanovo
Oblast di Federasi Rusia (32,4%) dan Latvia (29,9%).15
Tahun 2000 di negara Jerman dijumpai angka resistensi sebesar 8,7%.
Beberapa negara yang menjadi ”hot spot” MDR-TB mempunyai angka prevalensi
MDR-TB yang tinggi dan dapat mengancam keberhasilan program
penanggulangan MDR-TB. Negara yang termasuk di dalamnya adalah Estonia,
Latvia di Eropa; Argentina dan Repoblik Dominika di Amerika; serta Cote
d’Ivoire di Afrika. Penelitian yang dilakukan oleh Tsao dkk. di Chang Gung
Memorial Hospital Taiwan pada tahun1992-1996 didapatkan 28%-29% resisten
terhadap paling sedikit dua jenis obat. Penelitian yang dilakukan oleh Alicia dkk.
di Pilipina tahun 1999 didapatkan angka resistensi sebesar 17,6%, termasuk
14,9% terhadap isoniazid, 4,3% terhadap rifampisin, 6,4% terhadap streptomisin
dan 1,1% terhadap etambutol dan pirazinamid, sedangkan angka MDR-TB
20

didapatkan 4,3%. Penelitian terbaru yang dilakukan di Gujarat India didapatkan


angka MDR – TB sebesar 35,2%.15

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi resisten OAT


TB resistensi OAT pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia
sebagai akibat dari pengobatan TB yang tidak adekuat dan penularan dari pasien
MDR TB. Pengobatan yang tidak adekuat ini biasanya akibat dari satu atau lebih
kondisi berikut, yaitu:6
a. Regimen, dosis dan cara pemakaian OAT tidak tepat
b. Ketidakteraturan dan ketidakpatuhan pasien untuk minum obat
c. Terputusnya ketersedian OAT
d. Kualitas obat yang rendah
e. Keterlambatan diagnosa
f. Tidak ada guideline/pedoman atau kurangnya pelatihan TB
g. Selain itu meningkatnya kasus HIV dan co infeksi dengan TB
meningkatkan jumlah kasus resisten OAT.14

Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu:16


a. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis.
b. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang
kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat
yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada
daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut.
c. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga
minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter
mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi,
demikian seterusnya
d. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu
paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena
kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan”
21

(addition) satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat
yang resisten saja
e. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara
baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat
f. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti
pengirimannya sampai berbulan-bulan.
2.2.4 Mekanisme Resistensi M. tuberculosis
Berbeda dengan resistensi pada kebanyakan bakteri terhadap antibiotika
dimana resistensi yang didapat dengan cara transformasi, transduksi atau konyugasi
gen, resistensi yang didapat basil Mycobacterium tuberculosis adalah pada mutasi
kromosom utama.Basil tuberkulosis mempunyai kemampuan secara spontan
melakukan mutasi kromosom yang mengakibatkan basil tersebut resisten terhadap
obat antimikroba. Mutasi yang terjadi adalah unlinked, oleh karenanya resistensi
obat yang terjadi biasanya tidak berkenaan dengan obat yang tidak berhubungan.
Munculnya resistensi obat menggambarkan peninggalan dari mutasi sebelumya,
bukan perubahan yang disebabkan karena terpapar dengan pengobatan. Mutasi
yang bersifat unlinked ini menjadi dasar utama dalam prinsip pengobatan
tuberkulosis modern.15
Mutan basil yang resisten terhadap suatu obat timbul secara alamiah dan
diseleksi oleh pengobatan yang tidak adekuat. Pengobatan yang tidak adekuat ini
meliputi penggunaan satu macam obat saja (direct monotherapy) atau penggunaan
terapi kombinasi tetapi strain kuman hanya sensitif terhadap satu macam obat saja,
sebagai hasilnya timbul resistensi sekunder terhadap satu obat. Mutasi yang baru
pada populasi basil yang berkembang ini akhirnya dapat menimbulkan MDR
apabila pengobatan yang tidak adekuat dilanjutkan. Penderita tuberkulosis dengan
resistensi sekunder bisa menularkan kuman yang sudah resisten tersebut kepada
orang lain yang kemudian disebut resistensi primer. Resistensi primer, sama seperti
resistensi sekunder dapat ditularkan kepada orang lain sehingga terjadi penyebaran
penyakit resisten obat pada masyarakat.15
22

Resistensi INH
Isoniazid adalah derivat nikotinamid yang juga dikenal dengan isonikotinic
acid hydrazide (INH) dengan rumus kimia 4-pyridinecarboxylic acid hidrazide.
Target kerja isoniazid sebagai antituberkulosis sama dengan mekanisme terjadinya
resistensi isoniazid. Sacchetiniand Blachard menunjukkan bahwa isoniazid bekerja
menghambat enoyl-acyl carier protein reductase, yang diperlukan dalam biosintesa
asam mikolat dinding sel kuman tuberkulosis. Isoniazid menghambat pembentukan
dinding sel kuman dalam bentuk isoniazid aktif yaitu setelah mengalami oksidasi.
Aktivasi isonizid memerlukan enzim catalase-periksidase (gen katG) dan hidrogen
peroksida yang dihasilkan kuman TB. KatG adalah satu-satunya enzim yang dapat
mengaktifkan isoniazid, dengan demikian mutasi gen katG strain kuman TB
merupakan kuman yang resisten terhadap isoniazid. Demikian juga mutasi gen inhA
yang diperlukan dalam pembentukan asam mikolat pada kuman TB akan
menjadikan kuman resisten terhadap isoniazid.15
Resistensi Rifampisin
Rifampisin menghambat proses transkripsi RNA kuman TB dengan
berikatan pada sub unit beta (RpoB) RNA polimerase dan mencegah pembentukan
RNA. Mutasi pada gen RpoB menyebabkan kuman TB resisten terhadap rifampisin.
Resisten terhadap rifampisin dapat dianggap mewakili MDR – TB sejak dijumpai
paling banyak strain kuman TB yang resisten terhadap rifampisin juga resisten
terhadap isoniazid.15
Resistensi Etambutol
Etambutol dengan rumus kimia dextro-2,2’-(ethildimino)-di-1 onol adalah
senyawa kimia sintetis yang mempunyai efek antimikroba. Sampai sekarang
mekanisme kerja ethambutol serta dasar genetik resistensi belum diketahui secara
jelas. Spesifik etambutol untuk spesies mikobakteria diindikasikan bahwa target
yang dituju menyangkut pengrusakan dinding sel. Etambutol mencegah
pembentukan dinding sel dengan menghambat arabinosyltransferase yang
menyangkut dalam biosintesa arabinogalactan dan lipoarabinomannan. Resistensi
terhadap etambutol ternyata berhubungan dengan perubahan pada gen embCAB
arabinosyltransferase, dengan kode protein embA, embB dan embC. Protein ini
23

berperan dalam produksi komponen dinding sel arabinogalactan dan


lipoarabinomannan. Alcaide dkk. menunjukkan bahwa mutasi pada embB sangat
berhubungan dengan resistensi kuman TB terhadap etambutol.15
Resistensi Pirazinamid
Pirazinamid dengan struktur kimia yang sama dengan nikotinamid, sejak
tahun 1952 telah diketahui sebagai obat antituberkulosis, tetapi menjadi komponen
yang penting OAT jangka pendek baru pada pertengahan tahun 1980-an.
Pirazinamid aktif menyerang semi dorman kuman TB yang mana efek tersebut
tidak dimiliki oleh obat lain, disamping mempunyai daya kerja sinergis yang sangat
kuat bersama isoniazid dan rifampisin sebagai kemoterapi dalam pengobatan TB,
sehingga bisa mengurangi jangka waktu pengobatan dari 9 sampai 12 bulan menjadi
6 bulan. Pirazinamid sama seperti isoniazid juga menghambat sintesa dinding sel
kuman TB, namun mekanisme kerjanya yang benar-benar pasti belum diketahui.
Pirazinamid hanya efektif membunuh kuman TB apabila kuman tersebut
menghasilkan nikotinamidase dan pirazinamidase, yaitu enzim yang diperlukan
dalam mengubah pirazinamid menjadi asam pirazinoat. Scorpio dan Zhang
mengisolasi gen pncA mikobakteria, kode untuk enzim amidase, menunjukkan
mutasi gen pncA bertanggung jawab terhadap terjadinya resistensi kuman TB
terhadap pirazinamid.15
Resistensi Streptomisin
Streptomisin merupakan obat antituberkulosis yang telah lama ditemukan
dan dikenal sangat aktif membunuh kuman TB dengan mengganggu pembacaan
kode amicoacyl-tRNA, sehingga menghambat penterjemahan mRNA. Salah satu
yang umum sebagai tambahan mekanisme resistensi kuman terhadap streptomisin
adalah asetilasi obat oleh enzim modifikasi aminoglycoside, namun ini tidak
dijumpai pada kuman TB. Resistensi kuman TB terhadap streptomisin dihubungkan
dalam dua kelas mutasi yang berbeda, yaitu mutasi pada point S12 protein ribosom
dengan kode gen rpsL dan mutasi pada 16S rRNA dengan kode gen rrs. Mutasi
pada rpsL dan rrs dapat menyebabkan resistensi kuman TB terhadap streptomisin.15
24

2.2.5 Suspek TB-MDR

Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah:


a. Kasus TB paru dengan gagal pengobatan pada kategori 2. Dibuktikan
dengan rekam medis sebelumnya dan riwayat penyakit dahulu.
b. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah
sisipan dengan kategori 2.
c. Pasien TB yang pernah diobati di fasilitas non DOTS, termasuk yang
mendapat OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin.
d. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1.
e. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah
sisipan dengan kategori 1
f. TB paru kasus kambuh
g. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori
1 dan atau kategori 1.
h. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR
konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas di bangsal TB-
MDR
i. TB-HIV
Pasien yang memenuhi “kriteria suspek” harus dirujuk ke laboratorium
dengan jaminan mutu eksternal yang ditunjuk untuk pemeriksaan biakan
dan uji kepekaan obat.

2.2.6 Diagnosis
Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur basil tahan
asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah
terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran demografik dan riwayat penyakit
dahulu dapat memberikan kecurigaan TB paru resisten obat, yaitu 1) TB aktif yang
sebelumnya mendapat terapi, terutama jika terapi yang diberikan tidak sesuai
standar terapi; 2) Kontak dengan kasus TB resistensi ganda; 3) Gagal terapi atau
25

kambuh; 4) Infeksi human immnodeficiency virus (HIV); 5) Riwayat rawat inap


dengan wabah MDR TB.16
Diagnosis TB resistensi tergantung pada pengumpulan dan proses kultur
spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien
tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak
bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua
harus dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai.16
Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB.
Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional
berdasarkan deteksi pertumbuhan M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa metode
ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, maka
belakangan ini diusulkanlah teknologi baru. Yang termasuk metode terbaru ini
adalah metode fenotipik dan genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik
khususnya telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini
dipertimbangkan sebagai petanda TB resisten khususnya pada suasana dengan
prevalensi TB resisten tinggi. Sementara metode fenotipik, di lain sisi, merupakan
metode yang lebih sederhana dan lebih mudah diimplementasikan pada
laboratorium mikrobakteriologi klinik secara rutin.8

2.2.7 Penalaksanaan MDR TB


Dasar pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen obat-obat anti
TB, WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi 5 group berdasarkan potensi
dan efikasinya, sebagai berikut (World Health Organization, 2008):17
1. Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat
ditoleransi dengan baik. Obat lini pertama yang terbukti sebaiknya digunakan
dan digunakan dalam dosis maksimal.
2. Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika
alergi digunakan kapreomisin, viomisin. Semua pasien diberikan injeksi
sampai jumlah kuman dibuktikan rendah melalui hasil kultur negative
26

3. Grup ketiga, fluorokuinolon, obat bekterisidal tinggi, misal levofloksasin.


Semua pasien yang sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon dalam
regimennya
4. Grup empat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS (paraaminocallicilic acid),
ethionamid, dan sikloserin. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak
sebaik obat-obat oral lini pertama dan kuinolon.
5. Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam klavulanat,
dan makrolid baru (klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan efikasinya,
akan tetapi data melalui uji klinis pada pasien MDR TB masih minimal.
Ada tiga cara pendekatan pembuatan regimen didasarkan atas riwayat obat
TB yang pernah dikonsumsi penderita, data drug resistance surveillance (DRS) di
suatu area, dan hasil DST dari penderita itu sendiri. Berdasarkan data di atas mana
yang dipakai, maka dikenal pengobatan dengan regimen standar, pengobatan
dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST
individu penderita tersebut, dan pengobatan secara empiris yang diikuti dengan
regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita tersebut.17
Pengobatan dengan regimen standar : pembuatan regimen didasarkan atas
hasil DRS yang bersifat representative pada populasi dimana regimen tersebut akan
diterapkan. Semua pasien MDR TB akan mendapat regimen sama. 17
Pengobatan dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai
dari hasil DST individu penderita : awalnya semua pasien akan mendapat regimen
yang sama selanjutnya regimen disesuaikan berdasarkan hasil uji sensitivitas yang
telah tersedia dari pasien yang bersangkutan. 17
Pengobatan secara empirik yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil
DST individu pasien : tiap regimen bersifat individualis, dibuat berdasarkan riwayat
pengobatan TB sebelumnya, selanjutnya disesuaikan setelah hasil uji sensitivitas
obat dari pasien yang bersangkutan tersedia. 17
Menurut WHO guidelines 2008 membuat pentahapan tersebut sebagai
berikut (World Health Organization, 2008): 17
Tahap 1 : gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih
menunjukkan efikasi
27

Tahap 2 : tambahan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi
berdasarkan hasil uji sensitivitas dan riwayat pengobatan
Tahap 3 : tambahan obat-obat di atas dengan salah satu obat golongan
fluorokuinolon
Tahap 4 : tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan satu atau lebih dari
obat golongan 4 sampai sekurang-kurangnya sudah tersedia 4 obat yang mungkin
efektif
Tahap 5 : pertimbangkan menambahkan sekurang-kurangnya 2 obat dari
golongan 5 (melalui proses konsultasi dengan pakar TB MDR) apabila dirasakan
belum ada 4 obat yang efektif dari golongan 1 sampai 4.
Selain itu, ada beberapa butir dalam pengobatan MDR TB yang dianjurkan
oleh WHO (2008) sebagai prinsip dasar, antara lain (World Health Organization,
2008) : (1) Regimen harus didasarkan atas riwayat obat yang pernah diminum
penderita. (2) Dalam pemilihan obat pertimbangkan prevalensi resistensi obat lini
pertama dan obat lini kedua yang berada di area / negara tersebut. (3) Regimen
minimal terdiri 4 obat yang jelas diketahui efektifitasnya. (4) Dosis obat diberikan
berdasarkan berat badan. (5) Obat diberikan sekurang-kurangnya 6 hari dalam
seminggu, apabila mungkin etambutol,pirazinamid, dan fluoro kuinolon diberikan
setiap hari oleh karena konsentrasi dalam serum yang tinggi memberikan efikasi.
(6) Lama pengobatan minimal 18 bulan setelah terjadi konversi. (7) Apabila
terdapat DST, maka harus digunakan sebagai pedoman terapi. DST tidak
memprediksi efektivitas atau inefektivitas obat secara penuh. (8) Pirazinamid dapat
digunakan dalam keseluruhan pengobatan apabila dipertimbangkan efektif.
Sebagian besar penderita MDR TB memiliki keradangan kronik di parunya, dimana
secara teoritis menghasilkan suasana asam dan pirazinamid bekerja aktif. (9)
Deteksi awal adalah faktor penting untuk mencapai keberhasilan. 17
Pengobatan pasien MDR TB terdiri atas dua tahap, tahap awal dan tahap
lanjutan. Pengobatan MDR TB memerlukan waktu lebih lama daripada pengobatan
TB bukan MDR, yaitu sekitar 18-24 bulan. Pada tahap awal pasien akan mendapat
Obat anti tuberkulosis lini kedua minimal 4 jenis OAT yang masih sensitif, dimana
28

salah satunya adalah obat injeksi. Pada tahap lanjutan semua OAT lini kedua yang
dipakai pada tahap awal. 17
1. Strategi Pengobatan

Strategi program pengobatan sebaiknya berdasarkan data uji kepekaan dan


frekuensi penggunaan OAT di negara tersebut. Di bawah ini beberapa strategi
pengobatan TB-MDR

 Pengobatan standar. Data drugs resistancy survey (DRS) dari populasi pasien
yang representatif digunakan sebagai dasar regimen pengobatan karena tidak
tersedianya hasil uji kepekaan individual. Seluruh pasien akan mendapatkan
regimen pengobatan yang sama. Pasien yang dicurigai TB-MDR sebaiknya
dikonfirmasi dengan uji kepekaan.
 Pengobatan empiris. Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan riwayat
pengobatan TB pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan populasi
representatif. Biasanya regimen empiris akan disesuaikan setelah ada hasil uji
kepekaan individual.
 Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat pengobatan
TB sebelumnya dan hasil uji kepekaan.

Regimen standar TB-MDR di Indonesia adalah:

6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs

Z: Pirazinamid, E: Etambutol, Kn: Kanamisin, Lfx: Levofloksasin, Eto: Etionamid,


Cs: Sikloserin

Etambutol tidak diberikan bila terbukti resisten.

Lama fase intensif

Pemberian obat suntik atau fase intensif yang direkomendasikan adalah


berdasarkan kultur konversi. Obat suntik diteruskan sekurang-kurangnya 6 bulan
atau minimal 4 bulan setelah hasil sputum atau kultur yang pertama menjadi negatif.
Pendekatan individual termasuk hasil kultur, sputum, foto toraks dan keadaan klinis
pasien juga dapat membantu memutuskan menghentikan pemakaian obat suntik.
29

Lama pengobatan

Lamanya pengobatan berdasarkan kultur konversi. Panduan yang


direkomendasikan adalah meneruskan pengobatan minimal 18 bulan setelah kultur
konversi. Sampai saat ini belum ada data yang mendukung pengurangan lama
pengobatan. Pengobatan lebih dari 24 bulan dapat dilakukan pada kasus kronik
dengan kerusakan paru luas.

Tabel 2.3 Pemantauan Selama Pengobatan TB-MDR

Pemantauan Frekuensi yang dianjurkan


Bulan pengobatan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 10 12 14 16 18 20 22
Evaluasi klinis Setiap bulan sampai pengobatan selesai atau lengkap
(termasuk BB)
Pengawasan oleh
PMO
Pemeriksaan √ Setiap bulan sampai konversi, bila sudah konversi setiap 2 bulan
dahak dan biakan
dahak
Uji kepekaan √ Diulang bilamana perlu
obat*
Foto toraks √ √ √ √
Kreatinin serum** √ √ √ √ √ √ √
Kalium serum** √ √ √ √ √ √ √
Tiroid stimulating √ √ √ √
hormone
(TSH)***
Enzim hepar √ Evaluasi secara periodik
(SGOT, SGPT)#
Tes kehamilan √ Berdasarkan indikasi
Hb dan Leukosit √ Berdasarkan indikasi
30

* Sesuai indikasi uji kepekaan bisa diulang, seperti gagal konversi atau
memburuknya keadaan klinis. Untuk pasien dengan hasil biakan tetap
positif uji kepekaan tidak perlu diulang sebelum 3 bulan.
** Bila diberikan obat suntikan. Pada pasien dengan HIV, diabetes dan risiko
tinggi lainnya pemeriksaan ini dilakukan setiap 1-3 minggu.
*** Bila diberikan etionamid/protionamid atau PAS, bila ditemukan tanda dan
gejala hipotiroid
#
Bila mendapat pirazinamid untuk waktu yang lama atau pada pasien dengan
risiko, gejala hepatitis

2. Pembedahan TB-MDR

Terapi bedah yang paling umum dilakukan pada pasien MDR TB adalah reseksi
(mengambil keluar sebagian atau keseluruhan bagian paru). Terapi bedah sebaiknya
tidak selalu dipikirkan sebagai terapi terakhir dalam manajemen TB. Intervensi
bedah ditawarkan kepada pasien sebagai alternatif terapi yang mampu
menyembuhkan penyakitnya dengan tingkat kecacatan kecil. Reseksi sebaiknya
dilakukan sedini mungkin saat risiko kecacatan dan kematian pasien masih kecil.
Contohnya saat penyakit masih terlokalisasi pada satu paru atau satu lobus saja.

Analisa mayoritas kasus menunjukkan bahwa tindakan reseksi efektif dan aman
dalam beberapa kondisi khusus. Indikasi umum reseksi bedah adalah pasien dengan
sputum positif yang persisten, resisten terhadap banyak OAT, dan lesi yang
terlokalisasi. Banyak tahap evaluasi yang perlu dilakukan sebelum mencapai tahap
operasi, antara lain pemeriksaan CT- scan toraks, tes faal paru, dan pemeriksaan
kuantitatif perfusi/ventilasi paru.4 Reseksi dapat dilakukan setelah pemberian
terapi OAT paling sedikit 2 bulan dengan tujuan menurunkan tingkat infeksi bakteri
pada jaringan paru sekitarnya. Setelah reseksi, OAT sebaiknya tetap diberikan 12-
24 bulan kemudian.4

Intervensi bedah dapat mencapai hasil maksimal apabila dilakukan oleh ahli bedah

toraks terlatih dan perawatan paskaoperasi dilakukan secara baik. Reseksi
 bedah
31

sebaiknya tidak dilakukan bilamana tidak terdapat ahli bedah terlatih dan fasilitas
yang tidak adekuat karena justru akan meningkatkan mortalitas dan kecacatan.
Fasilitas bedah yang terspesialisasi termasuk kontrol infeksi yang ketat diperlukan
dikarenakan agen infeksius dapat menyebar dalam jumlah besar saat operasi
dilakukan.4

Indikasi Terapi Bedah

Banyak terapi bedah telah dilakukan dan dilaporkan berhasil meningkatkan angka
kesembuhan. Beberapa indikasi terapi bedah dalam tata laksana tuberkulosis di
antaranya adalah: 8-12

1. Penyakit yang terlokalisasi aktif dan tidak respon terhadap pengobatan (MDR
atau XDR TB), termasuk infeksi bakteri atipikal

2. Terdapatnya fokus residual pada pasien yang menurut indikasi sosial atau medis
memiliki risiko tinggi untuk reaktivasi kembali sehingga membutuhkan tindakan
drainase atau pembersihan lesi

3. Kemungkinan terjadinya infeksi bersama dengan adanya karsinoma

4. Komplikasi yang bervariasi dari TB paru dan pleura, antara lain empiema, fistula
bronkopleura, dan perdarahan masif dari lesi kavitas

5. Komplikasi membutuhkan tata laksana diikuti oleh reseksi lesi

Beberapa tipe reseksi yang dilakukan pada intervensi bedah, di antaranya: 9

3. Pneumonektomi (prosedur operasi mengangkat satu paru)


4. Lobektomi (prosedur operasi mengangkat satu lobus paru)
5. Wedge resection atau segmentektomi (prosedur operasi mengangkat satu
segmen paru)
6. Torakoplasti dengan mioplasti Windowthoracostomy
7. Tube thoracostomy
8. Dekortikasi

Pemberian fluorokuinolon sebelum operasi dilaporkan dapat membantu angka


keberhasilan terapi. Salah satu studi di Korea juga melaporkan bahwa pemberian
32

terapi kombinasi isoniazid dan rifampisin diikuti dengan reseksi bedah dapat
menunjang keberhasilan terapi yang ada saat ini.13 Satu laporan kasus dari Korea
mencoba menentukan faktor prognostik yang dapat menilai keberhasilan terapi
bedah. Kim dkk. mendapatkan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi bila
pada penilaian preoperatif didapatkan hasil sebagai berikut :14

3. BMI yang rendah <18,5 kg/m2 


4. Terdapat resistensi primer 


5. Terdapat resistensi terhadap ofloksasin 


6. Adanya kavitas yang tidak dalam jangkauan 
 reseksi 
 Adapun

komplikasi yang umumnya didapatkan 


paskaoperasi, antara lain:

1. Terbentuknya empiema tuberkulosis 


2. Fistula bronkopleura 


3. Prolonged air leak 


4. Pneumonia 


5. Perdarahan yang membutuhkan torakotomi ulang 


2.2.8 Prognosis
Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui prognosis
pada penderita TB resistensi ganda. Dari beberapa studi yang ada menyebutkan
33

bahwa adanya keterlibatan ekstrapulmoner, usia tua, malnutrisi, infeksi HIV,


riwayat menggunakan OAT dengan jumlah yang cukup banyak sebelumnnya,
terapi yang tidak adekuat (< 2 macam obat yang aktif) dapat menjadi petanda
prognosis buruk pada penderita tersebut.18
Dengan mengetahui beberapa petanda di atas dapat membantu klinisi untuk
mengamati penderita lebih seksama dan dapat memperbaiki hal yang menjadi
penyebab seperti malnutrisi.18
34

BAB III
KESIMPULAN

Resistensi OAT muncul karena tidak adekuatnya program tata laksana tuberkulosis
yang ada. Tata laksana Resistensi OAT membutuhkan usaha besar dari semua
pihak, obat-obatan kategori lanjut dengan biaya yang cukup besar, dan waktu yang
cukup lama.

Intervensi bedah dalam tata laksana TB merupakan terapi penunjang untuk


mendukung pencapaian angka keberhasilan pengobatan. Namun, intervensi bedah
harus dilakukan pada sarana dan fasilitas bedah khusus dengan tenaga ahli yang
terampil.

Banyak studi melaporkan keberhasilan dalam tata laksana tuberculosis


menggunakan intervensi bedah. Sebelum dan sesudah reseksi, pengobatan OAT
tetap dilakukan pada pasien, khususnya dengan pemberian fluorokuinolon respirasi.
Indikasi umum terapi bedah adalah kegagalan dalam terapi farmakologis, disertai
lesi terlokalisasi yang dapat direseksi. Penilaian prognosis preoperatif sebaiknya
dilakukan dalam seleksi kasus pasien agar reseksi tidak meningkatkan morbiditas
dan mortalitas pasien.
35

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Global tuberculosis control. WHO report 2016.


Geneva: WHO; 2016.
2. World Health Organization. Tuberculosis control in the South-East Asia
Region: Anual report 2013. New Delhi: WHO Library Cataloguing-in-
Publication data; 2013.

3. Utarini A, Wuryaningtyas B, Basri C. Strategi Nasional Pengendalian TB di


Indonesia 2010-2014. Mustikawati DE, Surya A, editor. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2011.
4. Fattiyah I, Zubaedah T, Priyanti ZS, Erlina B, Reviono, Soedarsono, dkk,
penyunting. Tuberkulosis pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di
Indonesia. Edisi revisi pertama. Jakarta: PDPI; 2016.

5. Global Tuberculosis control WHO Report 2009. Tuberculosis Profile :


Indonesia. Available from: www.who.int/tb/data. [accesed on 23 October
2014
6. Chakroborty, A. Drug Resistant Tuberculosi: an Insurontable Epidemic?.
2011; (19):131-137
7. Nawas A. Penatalaksanaan TB MDR dan strategi DOTS Plus. Jurnal
Tuberculosis Indonesia. 2010; (7):1-7
8. Martin A. Portaels F. Drug Resistance and Drug Resistance detection in
Palmino JC, et al (eds), Tuberculosis 2007 from basic science to patient care,
1st ed. www.textbookcom. 2007. p : 635‐55
9. Sharma, SK. Mohan, A. Multidrug‐resistant Tuberculosis. Review Article.
Indian Journal Med Res 1 20, 354‐376. 2004
10. Lodenkemper Loddenkemper R, Sagebiel D, Brendel A. Strategies Against
Multidrug-resistant Tuberculosis. Eur Respir J 2002; 20: (36): 66–77
36

11. Hanafi AR, Prasenohadi. Mekanisme dan Diagnosis Multidrug Resistant


Tuberculosis (TB-MDR). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2010.
12. Mc Donald RJ, Reichmann LB. Tuberculosis in Baum G.L., et al (eds),
Baum’s Textbook of Pulmonary Disease, 7th ed. Lippincot William and
Wilkins Publisher, Boston, 2003
13. Chiang CY, Centis R, Migliori GB. Drug Resistant tuberculosis: Past,
Present, Future. Respirology 2010; 15:413-32
14. Sembiring, S. 2008. Multi-Drug Resistance (MDR) pada Penderita
tuberkulosis Paru dengan Diabetes Melitus. Tesis. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. Medan
15. Riyanto BS, Wilhan. Management of MDR TB Current and Future dalam
Buku Program dan Naskah Lengkap Konferensi Kerja Pertemuan Ilmiah
Berkala. PERPARI.Bandung. 2006
16. World Health Organization. Guidelines for the programmatic
managementdrug –resistant tuberculosis emergency edition ,Geneve.2008
17. Sharma SK, Mohan A. Multidrug-Resistant Tuberculosis : A Menace That
Threatens To Destabilize Tuberculosis Control. CHEST 2006; 130:261–272

Anda mungkin juga menyukai