Anda di halaman 1dari 22

i

REFERAT
JUVENILE NASOPHARYNGEAL ANGIOFIBROMA

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Program Studi Profesi Kedokteran
Bagian Ilmu Penyakit THT-KL
Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong

Disusun oleh:
Maharani Tasya Sunaryo
1461050092

Pembimbing:
dr. Dadang Chandra Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


PERIODE 7 MEI – 9 JUNI 2018
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIBINONG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
2018

i
ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat berjudul
“Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma” ini dapat diselesaikan. Adapun maksud
penyusunan referat ini adalah dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan bagian
Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher di Rumah Sakit
Umum Daerah Cibinong pada periode 7 Mei – 9 Juni 2018, dengan berbekalkan
pengetahuan, bimbingan, serta pengarahan yang diperoleh baik selama
kepaniteraan berlangsung maupun pada saat kuliah pra-klinis.
Banyak pihak yang turut membantu dan berperan dalam penyusunan referat
ini, dan untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Dadang Chandra Sp.THT-KL sebagai pimpinan SMF THT-KL RSUD
Cibinong atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat
melaksanakan kepaniteraan di rumah sakit ini serta sebagai pembimbing
yang telah dengan sabar membimbing, berbagi pengalaman dan
pengetahuan kepada penulis.
2. dr. H.R. Krisnabudhi Sp.THT-KL sebagai pembimbing yang telah dengan
sabar membimbing, berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada penulis.
3. dr. Jodi Setiawan Sp.THT-KL sebagai pembimbing yang telah dengan sabar
membimbing, berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada penulis.
4. dr. Jenny Sp.THT-KL sebagai pembimbing yang telah dengan sabar
membimbing, berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada penulis.
5. dr. Martinus atas perhatian dan bimbingannya kepada kami serta
pengalaman yang telah diceritakan dan dibagikan kepada kami.
6. Bd. Siti atas bantuan dan kerjasamanya selama melaksanakan kepaniteraan.
7. Rekan-rekan ko-asisten UKI selama kepaniteraan ilmu penyakit THT-KL
di RSUD Cibinong atas kerjasama.
Penulis telah berusaha menyelesaikan referat ini dengan sebaik-baiknya dan
menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karenanya segala saran

ii
iii

dan kritik yang membangun akan diterima dengan senang hati, untuk perbaikan di
masa mendatang, sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, 31 Mei 2018

Penulis

iii
iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL v
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II ANATOMI NASOFARING 2
2.1. Anatomi Nasofaring 2
2.2. Anatomi Pembuluh darah dan Persarafan Nasofaring 3
2.3. Fossa Pterigoid 4
BAB III JUVENILE NASOPHARYNGEAL ANGIOFIBROMA 5
3.1. Definisi 5
3.2. Epidemiologi 7
3.3. Etiologi 7
3.4. Patogenesis 8
3.5. Gejala Klinis 8
3.6. Diagnosis 9
3.7. Penatalaksanaan 12
BAB IV RESUME 14

DAFTAR PUSTAKA

iv
v

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Klasifikasi Berdasarkan Fisch ............................................................... 11


Tabel 3.2 Klasifikasi Berdasarkan Radowski ....................................................... 12

v
vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring ........................................................................................ 2


Gambar 2.2 Vaskularisasi Nasofaring ................................................................................ 3
Gambar 2.3 Anatomi Fossa Pterigopalatina ....................................................................... 4
Gambar 3.1 Gambaran Mikroskopis Angiofibroma Nasofaring......................................... 6
Gambar 3.2 Gambaran Histopatologi Angiofibroma Nasofaring ....................................... 7
Gambar 3.3 Gambaran CT-Scan Angiofibroma Nasofaring ..……………………………………….. 10

Gambar 3.4 Gambaran MRI Angiofibroma Nasofaring ................................................... 10

vi
1

BAB I

PENDAHULUAN

Angiofibroma nasofaring merupakan suatu tumor jinak nasofaring yang


secara histologis terdiri dari komponen pembuluh darah dan jaringan ikat.
Meskipun secara histologis jinak, namun secara klinis tumor ini bersifat seperti
tumor ganas karena mempunyai daya ekspansif yang amat merusak dan mendorong
jaringan disekitarnya.1

Angiofibroma nasofaring memiliki pertumbuhan yang lambat, awalnya


berkembang didalam rongga hidung dan nasofaring kemudian meluas ke area
pterygomaksilar. Dalam jangka waktu yang lama, angiofibroma nasofaring dapat
mengikis tulang dan menginvasi fossa infratemporal, orbit dan fossa kranial bagian
tengah. Suplai darah biasanya berasal dari arteri maksilaris interna, arteri karotis
interna, dan arteri faringeal asenden.2

Insidens angiofibroma nasofaring belia (ANB) termasuk rendah sebanyak 1


kasus per 150.000 penduduk. Jumlah insidennya sebesar 0,05-0,5% dari seluruh
tumor kepala-leher. Umumnya ditemukan pada laki-laki usia 7- 21 tahun, jarang
ditemukan pada usia di atas 25 tahun.1,2

Etiologi angiofibroma nasofaring belum diketahui, secara garis besarnya


etiologi angiofibroma nasofaring dibagi menjadi teori jaringan asal, yaitu lesi
berasal dari perlekatan bagian posterior konka media dan dekat perbatasan superior
foramen sfenopalatina dan faktor ketidakseimbangan hormonal oleh karena tumor
banyak ditemukan pada laki-laki remaja yang diduga adanya reseptor hormon seks.3

Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan dengan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologis. Trias gejala dan tanda klinis
angiofibroma nasofaring adalah epistaksis masif berulang, obstruksi hidung dan
massa di nasofaring sangat mendukung adanya kecurigaan angiofibroma.1,2

1
2

BAB II

ANATOMI NASOFARING

2.1. Anatomi Nasofaring


Nasofaring merupakan suatu ruangan yang dilapisi mukosa dan disebelah
lateral dibatasi oleh lamina medialis processus pterygoidei, di superior oleh os
sphenoideum, di anterior oleh choanae dan vomer tengah, di posterior oleh clivus
dan di inferior oleh palatum molle. Tuba eustachii bermuara ke arah posterolateral
dan dikelilingi oleh suatu struktur kartilago. Dibelakang tuba eustachii adalah
lekuk-lekuk mukosa yang disebut sebagai fossae rosenmuller.3

Nasofaring berhubungan dengan rongga hidung di anterior melalui koana


dan orofaring dibagian inferior melalui bagian terbawah dari palatum molle.
Sedangkan dibagian superior dan posterior, nasofaring berhubungan dengan korpus
vertebra. Tuba eustachius memasuki nasofaring dibagian lateral dan bagian
superior posterior muara tuba ini ditutupi oleh kartilago yang disebut torus tubarius.
Fossa Rosenmuller (lateral dari resesus nasofaring) terletak dibagian superior dan
posterior torus tubarius dan merupakan predileksi dari karsinoma nasofaring.
Nasofaring diliputi oleh mukosa yang terdiri atas epitel skuamosa kompleks atau
epitel kolumner pseudokompleks.3

Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring

2
3

2.2. Anatomi Pembuluh darah dan Persarafan Nasofaring


Pendarahan nasofaring berasal dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,
yaitu arteri faringeal ascenden, arteri palatina ascenden dan descenden, dan cabang
faringeal arteri sfenopalatina. Pleksus vena terletak dibawah selaput lendir
nasofaring dan berhubungan dengan pleksus pterigoid diatas dan vena jugularis
interna dibawah. Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat
di atas otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut
sensoris saraf glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut
saraf ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring
berasal dari saraf glossofaringeus, hanya daerah superior nasofaring dan anterior
orifisuim tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion
sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (VI).3

Gambar 2.2 Vaskularisasi Nasofaring

3
4

2.3. Fossa Pterigoid


Fossa pterigopalatina adalah lekukan medial fissura pterigomaksilaris yang
terletak tepat di bawah puncak orbita antara prosesus pterigoideus dan posterior
maksila. Batas medialnya adalah plat tegak lurus dari tulang palatina. Hal ini
penting karena menghubungkan beberapa ruangan dan dapat memfasilitasi
penyebaran patologi angiofibroma nasofaring.8

Fossa pterigopalatina berhubungan ke superior dengan orbita melalui


bagian posterior dari fissura orbitalis inferior. Foramen rotundum terbuka ke
dalamnya, disisi superior, menghubungkannya dengan fossa kranialis media. Di sisi
lateral, fossa pterigopalatina berhubungan dengan fossa infratemporalis. Di sisi
medial fossa pterigopalatina berhubungan dengan rongga hidung melalui foramen
sphenopalatina pada plat tegak lurus dari tulang palatina dan dengan rongga mulut
melalui kanalis palatina mayor, yang berjalan disisi inferior antara tulang palatina
dan maksila.8

Fossa pterigopalatina berisi cabang maksilaris dari saraf kranialis kelima,


yang berjalan melalui foramen rotundum dan ke dalam orbita melalui fisura
orbilatis inferior. Fossa pterigopalatina juga berisi segmen pterigopalatina dari
arteri maksilaris, yang membuat loop dan memiliki cabang ke fossa kranialis media
dan infratemporalis, ke rongga hidung, palatum dan faring.8

Gambar 2.3 Anatomi Fossa Pterigopalatina

4
5

BAB III

JUVENILE NASOPHARYNGEAL ANGIOFIBROMA

3.1. Definisi
Angiofibroma nasofaring yang sering juga disebut dengan
angiofibroma nasofaring belia (juvenile nasopharyngeal angiofibroma)
merupakan salah satu tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara
histologis jinak namun secara klinis bersifat ganas karena dapat mendestruksi
tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya. Adapun jaringan disekitarnya yang
dapat didesktruksi seperti sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak. Tumor
ini sangat mudah berdarah dan pendarahannya sulit untuk dihentikan.4,9

Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak nasofaring yang sering


menimbulkan perdarahan dan tumor ini relatif jarang ditemukan.
Angiofibroma nasofaring ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak
yaitu 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher.7

3.2. Histopatologi

Secara makroskopis, angiofibroma nasofaring tampak sebagai massa


yang tidak teratur, warna kemerah – merahan, permukaan licin. Ia berbentuk
nodular, kokoh, tidak memiliki kapsul dengan dasar yang biasanya
bertangkai.1

5
6

Gambar 3.1 Gambaran Mikroskopis Angiofibroma Nasofaring

Secara mikroskopis angiofibroma nasofaring terdiri dari komponen


pembuluh darah yang berbentuk staghorn di dalam stroma yang fibrous. Pada
pertumbuhan tumor yang aktif, komponen pembuluh darah menjadi
predominan. Dinding pembuluh darah secara umum terdiri dari endothelial
tunggal yang melapisi stromafibrous. Ini membantu untuk menyebabkan
pendarahan yang masif. Pembuluh darah dalam bisa memiliki suatu lapisan
muskular. Stroma terbuat dari fibril kolagen yang halus dan kasar yang
memiliki ciri - ciri jaringan ikat berbentuk bintang pada daerah tertentu.1,5

Secara histopatologis tumor mengandung dua unsur, yaitu unsur


jaringan ikat fibrosa dan unsur pembuluh darah. Dinding pembuluh darah tidak
mengandung jaringan ikat elastis dan lapisan otot, sehingga mudah terjadi
perdarahan hebat saat disentuh.

6
7

Gambar 3.2 Gambaran Histopatologi Angiofibroma Nasofaring


3.2. Epidemiologi
Insidens angiofibroma nasofaring belia (ANB) termasuk rendah
sebanyak 1 kasus per 150.000 penduduk. Jumlah insidennya sebesar 0,05-0,5%
dari seluruh tumor kepala-leher. Umumnya ditemukan pada laki-laki usia 7-
21 tahun, jarang ditemukan pada usia di atas 25 tahun.1,2,4

3.3. Etiologi
Etiologi tumor ini masih belum jelas. Terdapat 2 teori mengenai
etiologi angiofibroma nasofaring belia yaitu berdasarkan jaringan tempat asal
tumbuh tumor dan adanya gangguan hormonal. Pada teori berdasarkan
jaringan asal yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma
adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Diduga bahwa tumor
terjadi karena pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional
didaerah os sfenoidalis.1,4

Sedangkan teori hormonal menyatakan bahwa terjadinya


angiofibroma diduga karena ketidakseimbangan hormonal, yaitu adanya
kekurangan hormon androgen dan kelebihan estrogen. Anggapan ini

7
8

didasarkan atas adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan
usia penderita.1,4

3.4. Patogenesis
Pertumbuhan dari jaringan tumor berkaitan dengan over produksi dari
estrogen dan kurangnya produksi dari hormon androgen. Akumulasi β-catenin
yang merupakan koaktifator dari androgen reseptor pada nukleus, menjelaskan
mengapa tumor ini banyak pada pasien dewasa muda, dan juga kadar hormon
pada serum yang normal. Disamping itu adanya dietilstilbestrol yang
menurunkan potensial pertumbuhan dari sel endotelial dan meningkatkan
stimulasi dari jaringan fibrosa.8

Tumor awalnya tumbuh di bawah mukosa ditepi sebelah posterior dan


lateral koana diatap nasofaring. Tumor yang kaya akan aliran darah ini
memperoleh aliran darah dari arteri faringeal asenden atau arteri maksilaris
interna. Tumor akan tumbuh besar dan meluas kearah anterior akan mengisi
rongga hidung, mendorong septum yang ke sisi kontra lateral dan dapat
memipihkan konka. Perluasan kearah lateral, tumor melebar kearah foramen
sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak dinding
posterior sinus maksila.4

Bila tumor meluas terus, tumor akan masuk ke fossa intra temporal dan
masuk ke intra kranial melalui fossa infra temporalis dan pterigomaksila.
Apabila tumor telah mendorong salah satu atau kedua bola mata maka tampak
gejala yang khas pada wajah yaitu “muka kodok”. Selanjutnya tumor
kemudian akan meluas dan masuk ke fossa serebri media. Dari sinus etmoid
masuk ke fossa serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan
fossa hipofisis.4

3.5. Gejala Klinis


Sumbatan hidung merupakan keluhan yang paling sering (80-90%),
sumbatan ini bersifat progresif disertai epistaksis yang berulang (45-60%),
sehingga penderita sering datang dengan keadaan umum yang lemah dan

8
9

anemia. Gejala lain adalah sakit kepala, obstruksi hidung yang memudahkan
terjadinya penimbunan sekret yang menimbulkan rinorea kronis diikuti
gangguan penciuman seperti anosmia, hiposmia, rinolalia. Tuba eustachius
akan menimbulkan ketulian atau otalgia serta terdapat pembengkakan pallatum
dan deformitas pipi.4,5

3.6. Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa
tumor yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai
merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh
selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar
nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah
muda, pada usia yang lebih tua warnanya kebiruan karena lebih banyak
komponen fibromanya. Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak
jarang ditemukan adanya ulserasi.4

Pemeriksaan penunjang biasanya digunakan pemeriksaan radiologi


konvensional CT Scan serta pemeriksaan arteriografi. Pada pemeriksaan
radiologi konvensional (foto kepala potongan antero-posterior, lateral dan
posisi Waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut sebagai tanda
“Holman Miller” yaitu dorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga
fisura pterigo-palatina melebar. Akan terlihat juga adanya massa jaringan
lunak didaerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arkus zigoma
dan tulang di sekitar nasofaring. Pada pemeriksaan CT Scan dengan kontras
akan tampak secara tepat perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke
jaringan sekitarnya. Pemeriksaan MRI dilakukan untuk menentukan batas
tumor terutama yang telah meluas ke intra kranial. 4,6

9
10

Gambar 3.3 Gambaran CT-Scan Angiofibroma Nasofaring

Gambar 3.4 Gambaran MRI Angiofibroma Nasofaring


Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis eksterna akan
memperlihatkan vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang arteri
maksila interna homolateral. Arteri maksilaris interna terdorong ke depan
sebagai akibat dari pertumbuhan tumor dari posterior ke anterior dan dari
nasofaring ke arah fosa pterigomaksila. Selain itu, massa tumor akan terisi oleh

10
11

kontras pada fase kapiler dan akan mencapai maksimum 3-6 detik zat kontras
disuntikkan.4

Pemeriksaan kadar hormonal dan pemeriksaan immunohistokimia


terhadap reseptor estrogen, progesteron dan androgen sebaiknya dilakukan
untuk melihat adanya gangguan hormonal.4

Pemeriksaan patologi anatomi tidak dapat dilakukan karena biopsi


merupakan kontraindikasi, sebab akan mengakibatkan perdarahan yang masif.
Untuk menentukan derajat atau stadium tumor umumnya saat ini
menggunakan klasifikasi Radowski dan Fisch.4,6

Table 3.1 Klasifikasi Berdasarkan Fisch

Stadium

I Tumor terbatas pada rongga nasofaring tanpa disertai dengan


destruksi dari tulang atau terbatas pada foramen sfenopalatina

II Tumor menginvasi fossa pterigomaksila atau sinus maksila,


sfenoid dan etmoid dengan disertai destruksi tulang

III a Tumor menginvasi fossa infatemporal atau regio orbita dengan


keterlibatan intrakranial

III b Stadium IIIa dengan keterlibatan ekstradural (paraselar)

IVa Tumor intrakranial intradura tanpa infiltrasi pada sinus


kavernosus, regio kiasma optikum dan atau fossa pituitari

IV b Tumor intrakranial intradura dengan infiltrasi pada sinus


kavernosus, regio kiasma optikum dan atau fossa pituitari

11
12

Table 3.2 Klasifikasi Berdasarkan Radowski

Stadium

Ia Tumor terbatas di hidung dan/atau nasofaring

Ib Tumor di hidung dan atau nasofaring dengan ekstensi ke satu


atau lebih sinus paranasal

II a Ekstensi minimal melalui foramen sfenopalatina, masuk dan


memenuhi sebagian sisi medial dari fosa pterigomaksila

II b Tumor memenuhi fosa pterigomaksila mendorong dinding


posterior antrum maksila ke depan; kesalahan letak dari
cabang-cabang arteri maksila anterior dan/atau lateral; ekstensi
superior dapat terjadi dengan erosi ke tulang orbita

II c Ekstensi melalui fosa pterigomaksila ke dalam pipi, fosa


temporal atau posterior lempeng pterigoid

III a Erosi ke dasar tengkorak dengan ekstensi intrakranial minimal

III b Erosi ke dasar tengkorak dengan ekstensi intrakranial ekstensif


dengan atau tanpa invasi ke sinus kavernosus

3.7. Penatalaksanaan
Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal,
radioterapi. Operasi harus dilakukan dengan hati – hati mengingat komplikasi
perdarahan yang hebat akan terjadi. Pembedahan adalah pilihan utama untuk
angiofibroma nasofaring. Beberapa teknik operasi yaitu pendekatan
transpalatal, transzigoma, transantral, rinotomi lateral, midfacial degloving,
nasoendoskopi dan kraniotomi. Pendekatan rinotomi lateral, transpalatal,
transmaksila atau sfenoetmoidal digunakan untuk tumor-tumor yang kecil
(stadium I atau II). Pendekatan fosa infratemporal digunakan jika tumor telah

12
13

meluas ke lateral. Pilihan operasi secara transpalatal dan rinotomi lateral untuk
tumor yang sudah meluas ke etmoid dan retroorbita. Pendekatan translokasi
wajah dikombinasikan dengan insisi Weber-Ferguson dan perluasan ke koronal
untuk kraniotomi frontotemporal dengan midface osteotomies akan
mendapatkan lapangan operasi yang lebih luas. Embolisasi sebelum operasi
meminimalkan kehilangan darah saat operasi.1,4,7

Penatalaksanaan dengan terapi hormonal flutamide, suatu nonsteroidal


androgen blocker atau testosterone receptor blocker, efektif untuk mengurangi
ukuran tumor pada stadium I dan II hingga 44%. Terapi hormon dengan
diethylstilbestrol selama 6 minggu sebelum eksisi dapat mengurangi
vaskularisasi pada tumor angiofibroma.4,6

Terapi radiasi biasanya digunakan sebagai terapi paliatif untuk mengurangi


perdarahan pada saat operasi, sebagai terapi tambahan pada tumor yang
rekuren, dan pada tumor dengan pertumbuhan intrakranial. Radiasi pada usia
remaja dapat mengganggu pertumbuhan tulang wajah, radionekrosis dan
perubahan tumor menjadi ganas. Terapi ini dilakukan juga pada pasien yang
menolak operasi dan pada tumor yang tidak mungkin untuk dioperasi lagi.9

13
14

BAB 4

RESUME

Angiofibroma nasofaring yang sering juga disebut dengan angiofibroma


nasofaring belia (juvenile nasopharyngeal angiofibroma) merupakan suatu tumor
jinak nasofaring yang secara histologis terdiri dari komponen pembuluh darah dan
jaringan ikat. Meskipun secara histologis jinak, namun secara klinis tumor ini
bersifat seperti tumor ganas karena mempunyai daya ekspansif yang amat merusak
dan mendorong jaringan disekitarnya. Adapun jaringan disekitarnya yang dapat
didesktruksi seperti sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak.

Angiofibroma nasofaring memiliki pertumbuhan yang lambat, awalnya


berkembang didalam rongga hidung dan nasofaring kemudian meluas ke area
pterygomaksilar. Dalam jangka waktu yang lama, angiofibroma nasofaring dapat
mengikis tulang dan menginvasi fossa infratemporal, orbit dan fossa kranial bagian
tengah. Suplai darah biasanya berasal dari arteri maksilaris interna, arteri karotis
interna, dan arteri faringeal asenden.

Insidens angiofibroma nasofaring belia (ANB) termasuk rendah sebanyak 1


kasus per 150.000 penduduk. Jumlah insidennya sebesar 0,05-0,5% dari seluruh
tumor kepala-leher. Umumnya ditemukan pada laki-laki usia 7- 21 tahun, jarang
ditemukan pada usia di atas 25 tahun.

Etiologi angiofibroma nasofaring belum diketahui, secara garis besarnya


etiologi angiofibroma nasofaring dibagi menjadi teori jaringan asal, yaitu lesi
berasal dari perlekatan bagian posterior konka media dan dekat perbatasan superior
foramen sfenopalatina dan faktor ketidakseimbangan hormonal oleh karena tumor
banyak ditemukan pada laki-laki remaja yang diduga adanya reseptor hormon seks.3

Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan dengan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologis. Trias gejala dan tanda klinis
angiofibroma nasofaring adalah epistaksis masif berulang, obstruksi hidung dan
massa di nasofaring sangat mendukung adanya kecurigaan angiofibroma.

14
15

Pemeriksaan penunjang biasanya menggunakan pemeriksaan radiologi


konvensional CT Scan serta pemeriksaan arteriografi. Pada pemeriksaan radiologi
konvensional (foto kepala potongan antero-posterior, lateral dan posisi Waters)
akan terlihat gambaran klasik yang disebut sebagai tanda “Holman Miller” yaitu
dorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga fisura pterigo-palatina
melebar. Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak didaerah nasofaring yang
dapat mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring. Pada
pemeriksaan CT Scan dengan kontras akan tampak secara tepat perluasan massa
tumor serta destruksi tulang ke jaringan sekitarnya.

Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal,


radioterapi. Operasi harus dilakukan dengan hati – hati mengingat komplikasi
perdarahan yang hebat akan terjadi. Pembedahan adalah pilihan utama untuk
angiofibroma nasofaring. Beberapa teknik operasi yaitu pendekatan transpalatal,
transzigoma, transantral, rinotomi lateral, midfacial degloving, nasoendoskopi dan
kraniotomi.

15
16

DAFTAR PUSTAKA

1. Haryuna T, Hafni. Angiofibroma Nasofaring Belia. Majalah Kedokteran


Nusantara. 2005: 38(3); 251-3.
2. Vairo B, Fonseca M, etal. Nasopharyngeal Angiofibroma Juvenile with
Subsequent Cerebrovascular Disorder to Therapeutic Embolization: Case
Report. Head and Neck Cancer Research. 2016: 1(2); 1-4.
3. Drake R, Vogl A, Mitchell A. Gray’s Anatomy For Student. Ketiga. Elsevier:
2015; 1040-1.
4. Roezin A, Dharmabakti US. Angiofibroma Nasofaring Belia. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Hidung Telinga Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Ke-5
Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012: 164-6.
5. Garca M, Yuca S, Yuca K. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. European
Journal of General Medicine. 2010: 7(4); 420-4.
6. Wardani R, Mayangsari I, etal. Bedah sinonasal endoskopik angiofibroma
nasofaring belia. ORLI. 2012: 42(1); 134-142.
7. Yudianto S, Nuaba A. Angiofibroma Nasofaring Pada Pasien Usia Lanjut.
Medicina. 2013: 44(2); 105-8.
8. Zahara N. Penilaian Rekurensi Angiofibroma Nasofaring Belia Berdasarkan
Karakteristik Tumor. Universitas Indonesia. 2016; 2-13.
9. Rahman S, Budiman B, Azani S. Angiofibroma Nasofaring Pada Dewasa.
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 2014; 2-6.

16

Anda mungkin juga menyukai