Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

Chorioretinitis Toxoplasmosis

Disusun oleh:
1. Valentine Angel Monica (1765050086)
2. Maharani Tasya Sunaryo (17650500092)
3. Bella Tripuasanti (17650500151)
4. R. Rendianto Putro (17650500175)
5. Putu Novi Suardiyanti (17650500187)
6. Hidayah Desy Septiyani (17650500225)
7. Daniels (17650500243)
8. Safira Nadita Marsha (17650500323)

Pembimbing:
Dr.dr. Gilbert Simanjuntak, Sp.M(K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


PERIODE 25 FEBRUARI – 30 MARET 2019
RSU UKI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
2019
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 5

2.1. Definisi......................................................................................................... 5

2.2. Epidemiologi ............................................................................................... 5

2.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi ............................................................... 6

2.4. Patofisiologi................................................................................................. 7

2.5. Diagnosis ................................................................................................... 11

2.5.1. Pemeriksaan Fisik ............................................................................. 11

2.5.2. Pemeriksaan Penunjang ................................................................... 11

2.6. Tatalaksana............................................................................................... 15

2.6.1. Terapi Klasik ..................................................................................... 15

2.6.2. Antibiotik Alternatif ......................................................................... 16

2.6.3. Terapi intravitreal............................................................................. 16

BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20

2
BAB I
PENDAHULUAN

Uvea berasal dari bahasa Latin, “uva” yang berarti “anggur”. Uvea terdiri dari
iris, korpus siliare dan khoroid. Bagian ini adalah lapisan vascular tengah mata dan
dilindungi oleh korea dan sclera. Bagian ini ikut memasok darah ke retina. Iris
adalah perpanjangan korpus siliare ke anterior. Iris berupa suatu permukaan pipih
dengan apertura bulat yang terletak ditengah pupil. Khoroid adalah segmen
posterior uvea, diantara retina dan sclera.1
Gejala traktus uvealis tergantung tempat terjadinya penyakit itu. Misalnya
karena terdapat serabut-serabut nyeri di iris, pasien dengan iritis akan mengeluh
sakit dan fotofobia. Penyakit koroid sendiri tidak menimbulkan sakit atau
penglihatan kabur. Karena dekatnya koroid pada retina, penyakit koroid selalu
melibatkan retina (misalnya: korioretinitis). Jika daerah macula retina terkena,
penglihatan sentral akan terganggu. Vitreus juga dapat menjadi keruh sebagai
akibat infiltrasi sel dari bagian koroid dan retina yang meradang.2
Chorioretinitis (CR) adalah suatu proses peradangan yang melibatkan
traktus uvealis bagian posterior, yaitu koroid. Istilah chorioretinitis sering disama
artikan dengan uveitis posterior. Pada uveitis posterior, retina juga hampir selalu
terinfeksi secara sekunder. Ini dikenal dengan chorioretinitis. Di Amerika serikat,
penyebab paling umum uveitis posterior (Chorioretinitis) adalah retinitis
sitomegalovirus, toksoplasmosis, penyakit Behcet, dan penyakit Vogt-Koyanagi
Harada. Mortalitas pada chorioretinitis tergantung pada keprogesivan penyakit
ini.2,3
Pada pemeriksaan funduskopi koroid akan terlihat daerah yang meradang
berwarna kuning akibat tertimbunnya sel radang. Gambaran pembuluh darah
diatasnya atau retina semakin jelas terlihat pada dasar fundus yang lebih pucat ini.4
Pada prinsipnya pengobatan tergantung dari penyebabnya dan ditujukan
untuk mempertahankan penglihatan sentral, mempertahankan lapang pandangan,
mencegah atau mengobati perubahan-perubahan struktur mata yang terjadi seperti

3
katarak, glaucoma sekunder, sinekia posterior, kekeruhan badan kaca, ablasia retina
dan sebagainya.5

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Chorioretinitis (CR) adalah suatu proses peradangan yang melibatkan
traktus uvealis bagian posterior, yaitu koroid. Istilah chorioretinitis sering disama
artikan dengan uveitis posterior. Pada uveitis posterior, retina juga hampir selalu
terinfeksi secara sekunder. Ini dikenal dengan chorioretinitis. Korioretinitis
toksoplasmosis merupakan penyebab terbesar infeksi segmen posterior mata
diseluruh dunia.2,3
2.2. Epidemiologi
T. gondii adalah parasit umum yang menginfeksi hampir semua spesies
mamalia termasuk manusia. Sekitar 25–30% dari populasi manusia terinfeksi oleh
T. gondii. Namun, seroprevalensi sangat bervariasi, mulai dari 10-80% antara
wilayah geografis dan negara yang berbeda dan bahkan di dalam negara. Laporan
dengan seroprevalensi rendah berasal dari Asia Tenggara, Amerika Utara dan
Eropa Utara dengan 10-30%. Prevalensi antara 30 dan 50% telah dilaporkan untuk
Pusat dan Selatan Eropa, sedangkan seroprevalensi tinggi diamati di Amerika Latin
dan di negara-negara Afrika tropis.6
Sebagian besar pasien datang dengan uveitis akibat okular toksoplasmosis
pada dekade kedua hingga keempat kehidupan mereka. Keparahan penyakit
biasanya lebih tinggi pada pasien yang lebih tua. Begitu pula survei terbaru anak-
anak pasien dengan uveitis yang dirawat di salah satu dari tiga klinik rujukan tersier
di seluruh AS yang diidentifikasi toksoplasmosis okular sebagai bentuk uveitis
posterior yang paling umum pada anak-anak. 6
Sebuah survei terhadap 1.916 pasien dari Eropa menemukan
toksoplasmosis ocular menjadi diagnosis paling sering pada pasien dengan uveitis
posterior dan penyebab 4,2% kasus uveitis. Sebuah studi yang lebih besar di Eropa
menunjukkan hasil yang lebih rendah kejadian pada populasi 3.080 pasien dengan
uveitis, di mana infeksi T. gondii adalah etiologi yang mendasari di 2,8% dari kasus.

5
Berbagai studi dari berbagai daerah di Indonesia dunia telah mengidentifikasi
toksoplasmosis okular sebagai bentuk paling umum dari uveitis posterior.6
Sebagian besar toksoplasmosis okular diperoleh secara oral, baik dengan
mengonsumsi atau menangani daging mentah yang mengandung kista jaringan,
atau dengan meminum air yang terkontaminasi oleh ookista yang ditumpahkan oleh
kucing. Lebih jarang, tachyzoite melewati secara vertikal dari ibu ke janin seperti
yang terlihat pada toksoplasmosis bawaan. Daging babi, ayam, dan domba lebih
mungkin menjadi sumber infeksi T. gondii daripada daging sapi meskipun secara
teori, konsumsi daging yang terkontaminasi dari hewan berdarah panas dapat
menularkan toksoplasmosis. Air waduk yang terkontaminasi oleh tinja yang
terinfeksi kucing dapat mengirim ookista T. gondii ke populasi besar di Indonesia
interval waktu yang singkat.6
2.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi
Korioretinitis dapat disebabkan karena infeksi dan non infeksi. Penyebab
infeksi biasanya disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, fungi, dan parasit.
Sedangkan noninfeksi biasanya disebabkan karena penyakit autoimun dan
keganasan.2
Penyebab infeksi virus tersering adalah CMV (cytomegalovirus), herpes
simpleks, herpes zoster, rubella, HIV dan virus epstein barr. Infeksi bakteri
tersering adalah Mycobacterium tuberculosis dan Yersinia enterolitica. Penyebab
infeksi fungi tersering adalah Candidia, Histoplasma, Cryptococcus spesies.
Penyebab infeksi parasit tersering adalah Toxoplasma, toxocara, cysticercus, dan
onchoherca. Sedangkan penyebab noninfeksi adalah penyakit autoimun dan
keganasan misalnya melanoma maligna dan leukimia. 2
Penyebab toxoplasma tersering diantaranya adalah:2,7
1. Toxoplasmosis kongenital, transmisi Toxoplasma gondii ke janin in utero
melalui plasenta, bila ibunya mendapat infeksi primer waktu hamil.
2. Toxoplasmosis akuisita, infeksi terjadi bila makan daging mentah atau kurang
matang (sate), kalau daging tersebut mengandung kista atau trofozoid
Toxoplasma gondii.

6
3. Infeksi di laboratorium binatang percobaan yang mengandung Toxoplasma
gondii, melalui jarum suntik dan alat laboratorium lain yang terkontaminasi.
Wanita hamil tidak dianjurkan bekerja di lingkungan yang mengandung
Toxoplasma gondii hidup.
4. Tidak mencuci tangan setelah berkebun, membersihkan tempat kucing buang air
besar, atau apa saja yang bersentuhan dengan feces kucing.
5. Transplantasi organ atau transfusi (jarang terjadi).

2.4. Patofisiologi
T. gondii dapat hidup dalam 3 bentuk, yaitu ookista yang merupakan bentuk
yang terdapat dialam bebas dan resisten terhadap lingkungan, dan di temukan pada
feses kucing yang terinfeksi, trofozoid adalah bentuk yang vegetatif akan tetapi
bersifat proliferatif, kemudian terdapat bentuk yang vegetatif akan tetapi bersifat
proliferatif, kemudian terdapat bentuk kisata yang resisten dan menetap di dalam
tubuh inang, biasanya menetap di otot dan sistem saraf pusat. Bentuk aseksual yakni
trofozoid terdapat pada setiap pejamu, seperti manusia, burung, mamalia lain, akan
tetapi bentuk seksual hanya terdapat pada usus kucing. T.gondii dapat hidup pada
semua sel mamalia kecuali sel darah merah. Pada fase akut, parasit dapat
ditemukan pada banyak organ tubuh.8
Pada saat melekat pada sel pejamu dan sel secara aktif akan mengadakan
penetrasi kedalamnya, parasit akan mengadakan pembelahan, dengan waktu
pembelahanya adalah sekitar 6-8 jam. Dan ketika jumlah parasit dalam sel
mendekati masa kritis (tinggal sedikit) maka sel akan melepaskan takizoit dan akan
menginfeksi sel di sekitarnya. Sebagian besar takizoit akan di eliminasi dengan
bantuan respons imun dari pejamu. Sekitar 7-10 hari sesudah infeksi sistemik,
terbentuklah kista, dan kista ini akan menetap pada sejumlah jaringan tubuh, kista
tersebut berisi bradizoit atau trofozoit yang dorman dan tidak lagi membelah.
Prinsipnya kista banyak terdapat pada SSP dan otot pejamu.8

Kemudian apabila kista tersebut termakan misalnya manusia yang makan


daging kurang matang, membran kista akan dicerna dan akan pecah melepaskan

7
sejumlah bradizoit. Apabila kista tadi termakan oleh pejamu yang bukan kucing,
bradizoit akan memasuki epitelium usus halus dan akan bertransformasi menjadi
takizoit yang membelah dengan cepat, sehingga menyebabkan infeksi takizoit akut.
Kemudian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, takizoit tadi akan berubah
kembali menjadi bradizoit dan akan membentuk kista toksoplasma, dan terjadilah
infeksi kronis toksoplasma yang dapat berlangsung bertahun-tahun. Dan ketika
daya tahan tubuh melemah, terjadi tranfromasi kembali bradizoit menjadi takizoit
dan menghasilkan manifestasi akut kembali, karena itu manifestasi dari
toksoplasmosis dapat timbul dalam 10-20 tahun setelah terinfeksi.9

Pada kucing, siklus yang terjadi akan sedikit berbeda, karena dalam usus
kucing akan terjadi. Perkembangbiakan secara seksual karena kucing merupakan
host definitif toksoplasma. Hasil reporoduksi seksual dari toksoplasma adalah
Ookista yang kemudian akan keluar melalui feses kucing dan bertahan dalam waktu
yang lama di lingkungan, dan akan masuk ke pejamu yang lain melalui ookista yang
termakan secara tidak sengaja ataupun sengaja, atau terhirup karena di bawa oleh
angin. Atau melalui pencernaan apabila ookista di bawa oleh lalat yang hinggap di
feses kucing lalu hinggap di makanan kita, atau di makan secara langsung oleh
hewan ternak seperti sapi, babi, dan mencit, bagaimana kista ataupun ookista dapat
masuk kedalam kucing, prosesnya sama dengan pejamu yang lain, yakni termakan
atau terhirup. Dan kemudian proses akan berulang. Kista sangat resisten terhadap
pertahanan tubuh host, dan akan terjadi infeksi laten yang menjadikannya kronis.
Akan tetapi apabila daya tahan tubuh kuat, maka kista tidak akan aktif menjadi
bradizoit.8,9
Patofosiologi Terjadinya Korioretinitis Toksoplasmosis
Jika terjadi infeksi subklinis, tidak ada perubahan yang terjadi pada
pemeriksaan funduskopi. Kista akan menetap pada retina yang nampaknya normal.
Saat status imun host menurun oleh karena sebab apapun, dinding kista akan
hancur, melepaskan bradizoit tersebut ke dalam retina, dan proses inflamasi pun
dimulai kembali. Jika terjadi lesi klinis aktif, terjadi proses penyembuhan dan

8
terbentuk korioretinal scar. Kista seringkali tetap inaktif diantara atau menempel
pada scar.10
Parasit toksoplasma jarang teridentifikasi pada sampel aqueous humor dari
pasien dengan ocular toksoplasmosis aktif. Hal ini menunjukkan bahwa
proliferasi parasit terjadi hanya pada fase awal infeksi dan bahwa retinal damage
mungkin disebabkan oleh respon inflamasi lanjutan. 10
Saat sel epitel berpigmen retina terinfeksi oleh T.gondii, terdapat
peningkatan produksi sitokin – sitokin tertentu termasuk interleukin 1 beta (IL-1β),
interleukin 6 (IL-6). Granulocyte – macrophage colony – stimulating factor (GM-
CSF), dan molekul adhesi intercellular (ICAM). Pasien dengan Koroiretinal
toksoplasmosis didapat mempunyai level IL-1 yang lebih tinggi dibanding pasien
– pasien asimptomatis.10
Gejala dan Manifestasi Klinis Koroiretinitis Toksoplasmosis
Unilateral penurunan visus dengan mata tenang merupakan gejala yang
paling sering timbul, dan biasanya menyerang segmen posterior mata. Tempat mata
yang terkena penurunan visus, tergantung dari letak dimana kista toksoplasma
berasal. Gambaran klinis yang sangat khas pada funduskopi adalah di dapatkannya
koroiretinal scar atau jaringan partu pada vitreus, menandakan telah terjadi atau
pernah terjadi infeksi dari toksoplasma pada mata.9 Lesi yang terdapat pada mata
dapat soliter ataupun multipel. Lesi yang sedang aktif yang menandakan sedang
terjadinya infeksi akut, akan memberi gambaran adanya lesi berwarna abu-abu
keputihan, disertai dengan nekrosis retina di karenakan infeksi sebelumnya,
vaskulitis, perdarahan vitreus, dan vitretis juga dapat nampak terlihat. Pada
beberapa kasus, infeksi dapat disertai juga dengan uveitis dan gejala-gejalanya
seperti sinekia posterior, kerati presipitat, dan mata yang merah. Retina merupakan
tempat utama yang menjadi tempat infeksi T.gondii akan tetapi sering kali koroid,
vitreus, dan segmen anterior ikut terpengaruh. Koroid adalah bagian kedua yang
terinfeksi.11

9
Gambar 1. Lesi Khas pada Retina

Gambar 2. Sikatriks Retina sebagai tanda peradangan yang pernah terjadi


Fungsi imun pasien sangat berperan penting pada patogenitas toxoplasma.
Pada pasien-pasien immunocompromised seperti pada HIV/AIDS sering juga
necrotizing retinochoroiditis berat yang dapat mengakibatkan kebutaan. Lesi
multifokal, bilateral, dan terus menerus berkembang secara progresif menunjukkan
bahwa infeksi telah melibatkan mata. Karena immunosupresinya, pasien – pasien
ini seringkali memliki masalah dengan reaksi inflamasi yang berlebih, sehingga

10
mengakibatkan sulitnya pebentukan chorioretinal scar. Pada pasien
immunocompromise diagnosis serologis sangat sulit ditegakkan. Hanya 12%
pasien dengan HIV menderita okular toxoplasmosis. Pasien–pasien berusia tua
yang terinfeksi toxoplasma memiliki resiko terjadinya retinochoroiditis berat,
mungkin disebabkan oleh status immune yang mulai menurun sesuai dengan
bertambahnya usia.11
2.5. Diagnosis
2.5.1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang wajib di lakukan adalah pemeriksaan visus, terjadi
penurunan penglihatan yang tidak membaik dengan pinhole. Dapat unilateral
maupun bilateral. Pemeriksaan yang berikutnya dilakukan adalah melihat segmen
anterior mata dengan menggunakan senter, apabila terjadi komplikasi ke uveitis
maka dapat di temukan sinekia posterior, kerati prespitat, dan mata yang merah.
Kemudian melakukan pemeriksaan funduscopy dapat menggunakan bantuan
Midriatic agen, untuk mempermudah pemeriksaan akan di temukan gambaran
fundus yang khas yakni terdapat lesi berwarna kehitaman pada retina.12
2.5.2. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosa ocular toxoplasmosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis
yang khas. Ketika diagnosis klinis tidak dapat ditegakkan secara pasti dengan
pemeriksaan funduskopi, diperlukan pemeriksaan serologis termasuk titer serum
antitoksoplasma dari IgM dan IgG. Titer antibodi T. gondii dalam cairan mata atau
Polymerase Chain Reaction (PCR) dari sampel aqueous dan vitreous humor
merupakan hasil sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk menegakkan
diagnosis.13,14

Sebagian besar laboratorium hanya mampu mengukur kadar antibodi IgG


dan IgM menggunakan enzim-linked immunosorbent assay (ELISA) atau dengan
metode immunofluorescent antibody (IFA). ELISA lebih diunggulkan
dibandingkan metode IFA karena ELISA memungkinkan otomatisasi untuk
pengujian simultan sejumlah besar sampel dan hasilnya objektif.15

11
Pemeriksaan Sabin – Feldman dye test merupakan gold standard dalam
pemeriksaan serologi, pemeriksaan ini menggunakan T. gondii takizoit hidup untuk
mendeteksi antibodi IgG. Meskipun pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan
spesifisitasnya tinggi, tes ini tidak sering dilakukan karena adanya resiko infeksi
yang didapat di laboratorium, dan tes ini juga masih jarang tersedia di daerah
Amerika Utara.15
Serum antibodi IgM dan IgG terhadap T. gondii berkembang dalam 1 – 2
minggu setelah terjadinya infeksi. Pasien yang dicurigai terkena toksoplasmosis
akut dapat dilakukan tes pemeriksaan serologi IgG, dan jika hasilnya positif untuk
IgG, maka kadar antibodi IgM dapat diukur. IgG yang tidak reaktif menyingkirkan
diagnosis toksoplasmosis pada pasien imunokimia. Kadar antibodi IgM meningkat
dalam minggu pertama dan kemudian tidak terdeteksi lagi setelah 6 – 9 bulan.16,17
Peningkatan kadar antibodi tidak berarti adanya infeksi yang baru terjadi.
Dan kadar IgG serum yang rendah tidak berarti sebagai penyakit yang tidak aktif.
Jika pengujian laboratorium memberikan hasil yang meragukan, tes serologis harus
diulang dalam 15 – 21 hari.15
Pasien tanpa gejala dengan reaktivitas IgG menandakan adanya infeksi laten
dengan riwayat pajanan primer. Pola serologis ini penting untuk pasien dengan
imunosupresi, termasuk pasien dengan HIV, pasien yang pernah melakukan
transplantasi, dan juga pasien yang memiliki resiko reaktivasi penyakit. Pada pasien
dengan reaktivasi penyakit, respons IgM dan IgG mungkin tidak terlihat. Pada
pasien immunocompromised dengan seronegatif tetapi mempunyai gejala klinis
yang kuat, harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menyingkirkan adanya
infeksi toksoplasma. Tes antibodi IgG atau PCR T. gondii dari aqueous dan vitreous
humor termasuk dalam pemeriksaan ini.16
Pemeriksaan serologi juga digunakan untuk melihat adanya resiko
penularan transplasental. Pemeriksaan serologi IgG ini dilakukan pada ibu yang
mempertimbangkan kehamilan di negara – negara endemik toksoplasma.
Peningkatan kadar IgG sebelum kehamilan pada ibu imunokompeten menunjukkan
resiko penularan secara transplasental yang rendah. Bagi ibu dengan kadar IgG
yang tidak terdeteksi disarankan untuk menghindari konsumsi daging yang kurang

12
matang atau menghindari kotoran kucing. Kadar IgM negatif tidak termasuk infeksi
akut dalam 6 bulan terakhir; jika positif, mungkin akan bertahan hingga 2 tahun
setelah terpapar T. gondii. Tes aviditas IgG memberikan informasi tentang waktu
pemaparan jika hasil serologi IgG dan IgM reaktif. Tes aviditas IgG menghasilkan
antibodi IgG dengan aviditas tinggi pada pasien di trimester pertama, ini
menunjukkan bahwa infeksi tersebut terjadi sebelum terjadinya kehamilan, karena
aviditas IgG yang tinggi membutuhkan waktu sekitar 3 – 4 bulan untuk muncul.
Antibodi IgG dengan aviditas yang rendah tidak berarti infeksi baru terjadi, karena
persistensi antibodi ini terjadi selama beberapa bulan setelah adanya infeksi
akut.16,18,19
Mendeteksi adanya antibodi spesifik toksoplasma atau DNA parasit dalam
spesimen okular adalah dasar utama dari diagnosis ini. Produksi antibodi
intraokular ditentukan oleh koefisien Goldmann – Witmer (GWC), yang
mengindikasi antibodi spesifik toksoplasma di cairan mata dan juga di dalam
serum.20
Kontribusi dari PCR untuk membantu mendiagnosa penyakit ini sedikit
kontroversial. Pada 30 – 40% kasus dengan pasien imunokompeten yang
terdiagnosa toksoplasmosis okular, DNA dari T. gondii dapat diamplifikasi dengan
teknik PCR. Namun, pada individu yang immunocompromised, DNA T. gondii
dapat diamplifikasi pada 75% pasien yang telah terdiagnosa secara klinis.22,23
Montoya melaporkan bahwa diagnosa PCR dalam spesimen intraokular
untuk T. gondii chorioretinitis adalah 67%. Sensitivitas PCR pada pasien yang
memenuhi kriteria diagnostik klinis untuk chorioretinitis toxoplasmosis terlihat
lebih rendah dalam penelitian lain, yaitu berkisar antara 27 – 36%. Tetapi, meskipun
sensitivitasnya rendah, PCR mempunyai spesifisitas 100%.20, 23, 24, 25
PCR merupakan metode yang sensitive untuk mendeteksi asam nukleat,
tetapi, tidak ada standar untuk mendiagnosa toksoplasmosis ocular saat ini, seperti
yang dilaporkan oleh Garweg dan hal ini telah menjadi laporan public. Untuk
meningkatkan sensitivitas dari PCR, peneliti menganalisa target DNA yang berbeda
pada pasien dengan toksoplasmosis okular. Studi ini difokuskan pada gen
toksoplasma B1, yang merupakan fragmen genom yang menjanjikan, karena

13
jumlah pengulangan yang lebih tinggi dan urutan DNA yang sangat terkonservasi.
Sensitivitas dari PCR juga bergantung pada imun atau kekebalan pasien. Saat gejala
klinis pertama kali bermanifestasi pada pasien imunokompeten, respon inflamasi
intraokular akan mengurangi beban parasite dalam aqueous dan vitreous humor,
sehingga jumlah target DNA untuk amplifikasi PCR akan berkurang.22, 27, 28
Rothova membandingkan efisiensi dari PCR ke GWC di aqueous humor
pasien dengan chorioretinitis toxoplasmosis. Dan, hasilnya menunjukan bahwa
GWC secara signifikan lebih sensitif dibandingkan PCR. Tetapi, meskipun PCR
mempunyai sensitivitas yang rendah dibandingkan GWR, Fekar melaporkan bahwa
dengan mengkombinasikan GWC dengan PCR secara bersamaan, terjadi
peningkatan sensitivitas dari 81% ke 93%. Sensitivitas dan spesifisitas deteksi
antibodi intraokular telah dilaporkan 63% dan 89% oleh orang lain, dan
menambahkan PCR sebagai tambahan dari pemeriksaan laboratorium mungkin
akan berarti pada beberapa kasus. Selain itu, GWC biasanya lebih sensitive pada
pasien dengan imunokompeten, dimana terkadang produksi antibodi okular mereka
tidak dapat diprediksi. Rothova juga melaporkan bahwa nilai sensitivitas GWC
57% terjadi pada pasien immunocompromised, sedangkan pada pasien
immunocompetent sensitivitasnya adalah 93%.14,26
Untuk meningkatkan sensitivitas pada PCR, Sugita menetapkan 2-langkah
PCR sebagai teknik PCR yang baru untuk mendiagnosa okular toksoplasmosis.
Pada langkah pertama, teknik ini menggunakan pendekaran PCR multipleks
kualitataif untuk mendeteksi genom toksoplasma dalam sampel okular. Langkah
kedua, PCR kuantitatif digunakan untuk mengukur DNA genom T. gondii.14
Dengan menggunakan metode 2-langkah PCR ini, deteksi sejumlah asam
nukleat pada sedikit sampel okular dapat dilakukan dengan sensitivitas 85%.28

14
Tabel 1. Rekomendasi pemeriksaan berdasarkan imun pasien.

Pasien Pasien
Pemeriksaan
Immunocompetent Immunocompromised
Deteksi tidak Serum IgG + +
langsung / Serum IgM + -
serologi GWC + -
Deteksi langsung PCR + +

2.6. Tatalaksana
2.6.1. Terapi Klasik
Perawatan yang paling sering untuk toksoplasmosis okular ("terapi
klasik") terdiri dari pyrimethamin dan sulfadiazine plus kortikosteroid.
Dalam terapi ini, dosis awal 75-100 mg pyrimethamine diberikan setiap hari
selama 2 hari diikuti dengan dosis 25 hingga 50 mg setiap hari. Sulfadiazine,
2-4 g, diberikan setiap hari selama 2 hari, diikuti dengan dosis 500 mg hingga
1 g setiap 6 jam serta 5 mg asam folat setiap hari selama 4-6 minggu.
Prednisolon oral (1 mg / kg setiap hari) diberikan sejak hari ketiga terapi dan
tappering lebih dari 2-6 minggu. Respon yang baik dengan resolusi inflamasi
dan kemunculan hiperpigmentasi lesi yang khas dapat diamati setelah 4-6
minggu.29
Perawatan klasik mungkin memiliki risiko yang tergantung pada
kerentanan pasien terhadap toksisitas obat atau reaksi alergi. Ketika
pyrimethamin diberikan setiap minggu, pemantauan jumlah sel darah dan
trombosit sangat direkomendasikan. Asam folinat juga harus diberikan untuk
melindungi terhadap leukopenia dan trombositopenia. Demikian juga,
sulfadiazine dapat menyebabkan reaksi alergi yang parah, yang dapat
mengancam jiwa pada beberapa pasien.29

15
Tabel 1. First line rekomendasi antibiotics oral 29

2.6.2. Antibiotik Alternatif


Antibiotik alternatif Trimethoprim (80 mg) / sulfamethoxazole (400
mg) setiap 12 jam plus prednison oral (1 mg / kg dimulai setelah 3 hari)
adalah pilihan pengobatan alternatif. Rezim ini baru-baru ini terbukti
memiliki khasiat yang serupa dengan terapi klasik dalam uji klinis acak.
Regimen pengobatan alternatif lain termasuk terapi obat quadruple (rejimen
klasik ditambah clindamisin, 300 mg untuk 1 kali sehari), hanya klindamisin,
atau dikombinasikan dengan trimethoprim/sulfamethoxazole, spiramycine,
minocycline, azithromycin, atovaquone, dan clarithromycin. Selain itu,
biaya obat-obatan ini tinggi dan obat-obatan tidak tersedia di beberapa
daerah. Obat-obatan ini juga tidak aman untuk digunakan pada wanita hamil,
dan tidak ada formula cair dari obat-obatan tersebut untuk pasien anak-anak,
walaupun atovaquane tersedia di Amerika Serikat dalam cairan suspension.
Kepatuhan juga menjadi masalah, mengingat bahwa pasien perlu menerima
hingga 10 pil per hari.29
2.6.3. Terapi intravitreal
Injeksi klindamisin dan dexametason intravitreal untuk mengobati
toksoplasmosis retinochoroiditis adalah pendekatan yang menjanjikan.
Pemberian obat intravitreal memintas hambatan mata dan dengan demikian
memberikan konsentrasi obat yang tinggi langsung ke jaringan intraokular,
menghindari paparan sistemik dan risiko komplikasi. Terapi intravitreal bisa
lebih nyaman dan memiliki profil keamanan yang lebih baik. Dalam
penelitian terbaru, jumlah rata-rata injeksi adalah 1,6 (kisaran 1 –3) diberikan
setiap 2 minggu. Suntikan mingguan dari obat yang sama juga telah

16
disarankan. Memiliki penetrasi intraseluler yang baik, clindamycin
menembus sel dengan baik dan memberikan konsentrasi intraseluler tinggi
terhadap T. gondii. Clindamycin dapat mencapai intraseluler/ekstraseluler
dengan rasio 43 dibandingkan dengan antibiotik lain, seperti erythromycin
dan levofloxacin, yang memiliki rasio 14 dan 6. Clindamycin 1,5 mg,
diberikan secara intravitreal tidak beracun pada retina dan memiliki waktu
paruh 5.6 hari. Setelah injeksi clindamisin intravitreal 1 mg, konsentrasinya
tetap ≥1,6 μg / mL selama sekitar 40 jam, dan lebih tinggi dari konsentrasi
penghambatan 50% untuk T. gondii. Obat intravitreal lain adalah
dexametason, yang telah digunakan dalam pengelolaan endophthalmitis dan
sebagai pengobatan tambahan. untuk toksoplasmosis okular.29,30
2.6.3. Pengobatan Pada Pasien Immunocompromised
Pada pasien immunocompromised ditekankan bahwa setiap lesi
retina aktif pada pasien immunocompromised memerlukan pengobatan
karena risikonya tinggi penyebaran infeksi dan komplikasi terkait.
Pyrimethamine memiliki aktivitas antagonis terhadap zidovudine, agen
antiretroviral yang digunakan dalam pengobatan AIDS. Karena alasan ini,
dan karena risiko penekanan sumsum tulang yang diinduksi obat,
pyrimethamine harus dihindari atau digunakan dalam dosis yang lebih
rendah dalam pengobatan pasien dengan HIV / AIDS yang menerima terapi
antiretroviral (ART) yang sangat aktif. Terapi maintenance termasuk dosis
yang lebih rendah dari pyrimethamin dikombinasikan dengan sulfadiazine
atau clindamycin atau trimethoprim/sulfamethoxazole sangat penting untuk
mencegah kekambuhan dan penyebaran infeksi. Atovaquane adalah
pengobatan alternatif pada pasien ini. Terapi antiretroviral yang sangat aktif,
profilaksis primer dan sekunder terhadap ensefalitis toksoplasma dapat
dihentikan dengan aman setelah jumlah sel T CD4 + meningkat menjadi 200
sel / mm3 selama lebih dari 3 bulan.30

17
BAB III
KESIMPULAN

Chorioretinitis (CR) adalah suatu proses peradangan yang melibatkan


traktus uvealis bagian posterior, yaitu koroid. Istilah chorioretinitis sering disama
artikan dengan uveitis posterior. Gejala subyektif berupa penurunan tajam
penglihatan, tidak nyeri, floaters, fotopia. Gejala objektif berupa mata tenang, pada
oftalmoskop ditemukan retinitis, retinokoroiditis, papilitis, edem papil, kelainan
vitreous, uveitis anterior iridosiklitis, skleritis.
Korioretinitis dapat disebabkan karena infeksi dan non infeksi. Penyebab
infeksi biasanya disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, fungi, dan parasit.
Sedangkan noninfeksi biasanya disebabkan karena penyakit autoimun dan
keganasan. Penyebab infeksi virus tersering adalah CMV (cytomegalovirus),
herpes simpleks, herpes zoster, rubella, HIV dan virus epstein barr. Infeksi bakteri
tersering adalah Mycobacterium tuberculosis dan Yersinia enterolitica. Penyebab
infeksi fungi tersering adalah Candidia, Histoplasma, Cryptococcus spesies.
Penyebab infeksi parasit tersering adalah Toxoplasma, toxocara, cysticercus, dan
onchoherca. Sedangkan penyebab noninfeksi adalah penyakit autoimun dan
keganasan misalnya melanoma maligna dan leukimia.
Pemeriksaan fisik yang wajib di lakukan adalah pemeriksaan visus, terjadi
penurunan penglihatan yang tidak membaik dengan pinhole. Dapat unilateral
maupun bilateral. Pemeriksaan yang berikutnya dilakukan adalah melihat segmen
anterior mata dengan menggunakan senter, apabila terjadi komplikasi ke uveitis
maka dapat di temukan sinekia posterior, kerati prespitat, dan mata yang merah.
Kemudian melakukan pemeriksaan funduscopy dapat menggunakan bantuan
Midriatic agen, untuk mempermudah pemeriksaan akan di temukan gambaran
fundus yang khas yakni terdapat lesi berwarna kehitaman pada retina.
Diagnosa ocular toxoplasmosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis
yang khas. Ketika diagnosis klinis tidak dapat ditegakkan secara pasti dengan
pemeriksaan funduskopi, diperlukan pemeriksaan serologis termasuk titer serum
antitoksoplasma dari IgM dan IgG. Titer antibodi T. gondii dalam cairan mata atau

18
Polymerase Chain Reaction (PCR) dari sampel aqueous dan vitreous humor
merupakan hasil sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk menegakkan diagnosis.
Perawatan yang paling sering untuk toksoplasmosis okular ("terapi klasik")
terdiri dari pyrimethamin dan sulfadiazine plus kortikosteroid. Dalam terapi ini,
dosis awal 75-100 mg pyrimethamine diberikan setiap hari selama 2 hari diikuti
dengan dosis 25 hingga 50 mg setiap hari. Sulfadiazine, 2-4 g, diberikan setiap hari
selama 2 hari, diikuti dengan dosis 500 mg hingga 1 g setiap 6 jam serta 5 mg asam
folat setiap hari selama 4-6 minggu. Prednisolon oral (1 mg / kg setiap hari)
diberikan sejak hari ketiga terapi dan tappering lebih dari 2-6 minggu. Respon yang
baik dengan resolusi inflamasi dan kemunculan hiperpigmentasi lesi yang khas
dapat diamati setelah 4-6 minggu.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Riordan-Eva, Paul. Anatomi dan Embriologi Mata dalam Oftalmologi


Umum. Edisi 14. Widya Medika: Jakarta. 2000. Hal 7-9
2. Hodge, William G. Traktus Uvealis dan Sklera dalam Oftalmologi Umum.
Edisi 14. Widya Medika: Jakarta. 2000. Hal 160-164
3. www.eMedicine.com/ Cystosarcoma Phyllodes.mht
Author: Ayesha Mirza, MD, Assistant Professor, Pediatric Infectious
Diseases, University of Florida College of Medicine Jacksonville
Coauthor(s): Diana E Guinazu, MD, Fellow in Pediatric Infectious
Diseases, University of Florida College of Medicine
Updated: Oct 16, 2009
Diakses tanggal: 1 Maret 2019
4. Ilyas, Sidarta. Korioretinitis dalam Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 2005. Hal : 144-145
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata. Radang Uvea dalam Ilmu Penyakit
Mata. Edisi 2. Sagung Seto: Jakarta. 2002. Hal : 159-175
6. Ozgonul, C. and Besirli, C. Recent Developments in the Diagnosis and
Treatment of Ocular Toxoplasmosis. Ophthalmic Research: 57(1). 2016.
Hal : 1-12.
7. E. Lang ,Gabriele dan Gerhard K. Lang. Uveal Tract (Vascular Pigmented
Layer) dalam Opthalmologhy – A Pocket Textbook Atlas. Edisi Kedua.
Thieme: Stuttgart - New York. 2007. Hal : 205-207
8. Ernawati. Toxoplasmosis terapi dan pencegahanya. Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Diunduh pada : 2 Maret 2019.
9. Thomas J, Grogory L, Lois B.Basic and Clinical Science Course : Retina
and Vitreus.American Academy of Ophtalmology : USA ; 2004.
10. Nohabrilyanti I, Palupi IS. Tinjauan Pustaka: Okular Toxoplasmosis.
Fakultas Kedokteran Universitas Jember ; 2011. Diunduh pada : 2 Maret
2019.

20
11. Sandhya MS. Major Review : Toxoplasma Retinochoroiditis. Kerala
Journal Of Ophtalmology. Vol. XXIII, No.3, Sept. 2011. Diunduh pada : 1
Maret 2019
12. Nohabrilyanti I, Palupi IS. Tinjauan Pustaka: Okular Toxoplasmosis.
Fakultas Kedokteran Universitas Jember ; 2011. Diunduh pada : 4 Mei
2017.
13. Harper TW, Miller D, Schiffman JC, Davis JL: Polymerase chain reaction
analysis of aque- ous and vitreous specimens in the diagnosis of posterior
segment infectious uveitis. Am J Ophthalmol 2009;147:140–147. e2.
14. Rothova A, de Boer JH, Ten Dam-van Loon NH, et al: Usefulness of
aqueous humor anal- ysis for the diagnosis of posterior uveitis.
Ophthalmology 2008;115:306–311.
15. Suzuki LA, Rocha RJ, Rossi CL: Evaluation of serological markers for the
immunodiagnosis of acute acquired toxoplasmosis. J Med Mi- crobiol
2001;50:62–70.
16. Montoya JG, Liesenfeld O: Toxoplasmosis. Lancet 2004;363:1965–1976.
17. Marcolino PT, Silva DA, Leser PG, et al: Mo- lecular markers in acute
and chronic phases of human toxoplasmosis: determination of
immunoglobulin G avidity by Western blot- ting. Clin Diagn Lab
Immunol 2000;7:384– 389.
18. Montoya JG, Remington JS: Management of Toxoplasma gondii infection
during pregnan- cy. Clin Infect Dis 2008;47:554–566.
19. Montoya JG, Huffman HB, Remington JS: Evaluation of the
immunoglobulin G avidity test for diagnosis of toxoplasmic lymphade-
nopathy. J Clin Microbiol 2004; 42: 4627– 4631.
20. Goldmann H, Witmer R: Antibodies in the aqueous humor (in German).
Ophthalmolog- ica 1954;127:323–330.
21. De Groot-Mijnes JD, Rothova A, Van Loon AM, et al: Polymerase chain
reaction and Goldmann-Witmer coefficient analysis are complimentary for
the diagnosis of infectious uveitis. Am J Ophthalmol 2006;141:313–318.

21
22. Fekkar A, Bodaghi B, Touafek F, et al: Com- parison of immunoblotting,
calculation of the Goldmann-Witmer coefficient, and real-time PCR using
aqueous humor samples for diag- nosis of ocular toxoplasmosis. J Clin
Micro- biol 2008;46:1965–1967.
23. Garweg JG, de Groot-Mijnes JD, Montoya JG: Diagnostic approach to
ocular toxoplasmosis. Ocul Immunol Inflamm 2011;19:255–261.
24. Montoya JG, Parmley S, Liesenfeld O, et al: Use of the polymerase chain
reaction for di- agnosis of ocular toxoplasmosis. Ophthal- mology
1999;106:1554–1563.
25. Fardeau C, Romand S, Rao NA, et al: Diagno- sis of toxoplasmic
retinochoroiditis with atypical clinical features. Am J Ophthalmol
2002;134:196–203.
26. Villard O, Filisetti D, Roch-Deries F, et al: Comparison of enzyme-linked
immunosor- bent assay, immunoblotting, and PCR for di- agnosis of
toxoplasmic chorioretinitis. J Clin Microbiol 2003;41:3537–3541.
27. Steeples LR, Guiver M, Jones NP: Real-time PCR using the 529 bp repeat
element for the diagnosis of atypical ocular toxoplasmosis. Br J
Ophthalmol 2016;100:200–203.
28. Sugita S, Ogawa M, Inoue S, et al: Diagnosis of ocular toxoplasmosis by
two polymerase chain reaction (PCR) examinations: qualita- tive
multiplex and quantitative real-time. Jpn J Ophthalmol 2011;55:495–501.
29. De-la-Torre A, Curi A, etal. Therapy for Ocular Toxoplasmosis. Ocular
Immunology & Inflammation. Vol : 19(5). Hal 314–320. 2011.
30. Ozgonul C, Besirli C. Recent Developments in the Diagnosis and Treatment
of Ocular Toxoplasmosis. Ophthalmic Research. Vol : 57. Hal 1–12. 2017.

22

Anda mungkin juga menyukai