Anda di halaman 1dari 35

PROSES BERPIKIR KRITIS SISWA SMP DALAM PENGAJUAN MASALAH MATEMATIKA

BERDASARKAN GAYA KOGNITIF VISUALIZER DAN VERBALIZER

PROPOSAL PENELITIAN

Disusun Oleh:

DWI AYU SEPTYANI

14030174007

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN MATEMATIKA

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN MATEMATIKA

2017
DAFTAR ISI
DAFTAR BAGAN
DAFTAR TABEL
HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi oleh : Dwi Ayu Septyani


NIM : 14030174007
Judul : Proses Berpikir Kritis Siswa SMP Dalam Pengajuan masalah
Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer

Ini telah disetujui dan dinyatakan memenuhi syarat untuk diajukan dalam ujian
proposal.

Surabaya,
Pembimbing,

Dr. Tatag Yuli Eko S., M.Pd.


NIP 197107082000031001
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi oleh : Dwi Ayu Septyani


NIM : 14030174007
Judul : Proses Berpikir Kritis Siswa SMP Dalam Pengajuan masalah
Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer, ini
telah dipertahankan di hadapan dewan penguji pada
tanggal……………….

Dewan Penguji Tanda Tanggal


Tangan Selesai Revisi

1. Dr. Tatag Yuli Eko S., M.Pd. …………….. ………………


NIP 197107082000031001

2.

3.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peran matematika sangat besar dalam ilmu pengetahuan dan kehidupan
sehari-hari. Matematika adalah salah satu ilmu pengetahuan yang sangat penting
dan yang paling banyak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Matematika
juga menjadi dasar bagi ilmu-ilmu lain. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan dinyatakan matematika merupakan ilmu universal yang mendasari
perkembangan teknologi modern, mempunyai peranan penting dalam berbagai
disiplin dan mengembangkan daya pikir manusia.
Dalam dunia pendidikan peran penting matematika dapat dilihat dari
kenyataan bahwa matematika diajarkan dari pendidikan pra sekolah hingga
perguruan tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa matematika sangat penting
untuk diajarkan kepada setiap peserta didik sejak pendidikan dasar untuk
menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang sangat penting di tingkat
sekolah menengah. Depdiknas (2006) menyebutkan bahwa dalam standar
kompetensi mata pelajaran matematika, semua peserta didik perlu diberikan mata
pelajaran matematika dengan tujuan untuk membekali kemampuan berpikir
logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Melalui pembelajaran matematika di
sekolah, siswa diharapkan mempunyai kemampuan berpikir logis dan kritis yang
berguna pada saat siswa mempelajari ilmu pengetahuan yang lain. Sebagaimana
tercantum dalam Peraturan Menteri Nomor 22 tahun 2006 bahwa mata pelajaran
matematika perlu diberikan kepada semua perserta didik mulai dari sekolah
dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis dan kreatif serta kemampuan bekerja sama.
Proses berpikir perlu diajarkan kepada peserta didik, karena menurut Fisher
(2008) pengajaran selama ini hanya mengajarkan tentang isi materi pelajaran dan
mengesampingkan mengajarkan keterampilan-keterampilan berpikir, sehingga
sebagian peserta didik sama sekali tidak memahami keterampilan-keterampilan
berpikir yang dibicarakan. Diantara beberapa keterampilan berpikir, yang
penting untuk diajarkan kepada peserta didik adalah keterampilan berpikir kritis.
Hal ini dikarenakan berpikir kritis secara luas dipandang sebagai sebuah
kompetensi dasar, seperti halnya membaca dan menulis yang harus diajarkan.
Meskipun telah disebutkan bahwa matematika mampu membekali siswa
dengan kemampuan berpikir kritis, tetapi pada kenyataannya kemampuan
berpikir kritis siswa SMP di Indonesia masih rendah. Hal ini berdasarkan
beberapa kali laporan studi empat tahunan International Trends in International
Mathematics and Science Study (TIMSS) yang dilakukan kepada siswa SMP dengan
karakteristik soal-soal level kognitif tinggi yang dapat mengukur kemampuan
berpikir kritis siswa menunjukkan bahwa siswa-siswa Indonesia secara konsisten
terpuruk di peringkat bawah.
Untuk mengetahui proses berpikir kritis siswa, bukan hal yang mudah bagi
pendidik atau guru. Tidak serta merta dilakukan dengan mengamati secara
sepintas hasil pekerjaan siswa, tetapi menganalisis secara mandalam proses
pemecahan masalah sesuai karakteristik berpikir kritis. Rasiman (2013)
memperkuat pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa kenyataan di
lapangan tidak mudah mengetahui proses berpikir kritis siswa melalui
pembelajaran matematika karena guru lebih berfokus pada hasil belajar siswa.
Berpikir kritis adalah berpikir rasional dalam menilai sesuatu. Sebelum
mengambil suatu keputusan atau melakukan suatu tindakan, maka dilakukan
pengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang sesuatu tersebut. Tujuan
berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang mendalam. Jacob dan
Sam (2008) mengidentifikasi model berpikir kritis yang terdiri atas empat tahap
yaitu klarifikasi (clarification), penilaian (assessment), inferensi (inference) dan
strategi (strategies). Klarifikasi yaitu kegiatan mental dimana siswa memahami
petunjuk dan situasi atau informasi yang diterima, penilaian yaitu kegiatan
mental dimana siswa memberi alasan dengan bukti yang kuat berupa sumber ide
dan kriteria membuat soal, inferensi yaitu kegiatan mental dimana siswa
membuat kesimpulan berdasarkan ide-ide yang telah dikumpulkan dan strategi
yaitu kegiatan mental dimana siswa menjelaskan, mengevaluasi, dan
memprediksi soal dan penyelesaian. Keempat tahap inilah yang menjadi
gambaran proses berpikir kritis siswa. Untuk memperoleh gambaran berpikir
kritis siswa tentunya dibutuhkan strategi yang mempunyai hubungan positif
seperti pengajuan masalah.
Pengajuan masalah (problem posing) adalah suatu kegiatan memberi
kesempatan kepada siswa untuk merumuskan soal berdasarkan informasi yang
diberikan. Silver dan Cai (dalam Siswono, 2008: 40) mengatakan pengajuan
masalah diaplikasikan pada tiga bentuk aktivitas kognitif matematika berbeda,
yaitu pengajuan pre-solusi (pre-solution posing), pengajuan di dalam solusi (within-
solution posing), dan pengajuan setelah solusi (post-solution posing). Pengajuan pre-
solusi yaitu seorang siswa membuat soal dari situasi yang diberikan, pengajuan
di dalam solusi artinya seorang siswa merumuskan ulang soal seperti yang telah
diselesaikan dan pengajuan setelah solusi yaitu seorang siswa memodifikasi
tujuan atau kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk membuat soal yang baru.
Di samping itu, Stoyanova dan Ellerton (1996) mengklasifikasi menjadi tiga
tipe dalam problem posing, yaitu free problem posing (Pengajuan masalah bebas), semi
structure problem posing (Pengajuan masalah semi terstruktur), dan structure
problem posing (Pengajuan masalah terstruktur). Pada free problem posing, siswa
diberikan suatu situasi bebas dalam membuat soal, misalnya membuat soal yang
disukai. Pada situasi semi structure problem posing, siswa diberi informasi yang
terbuka dan siswa membuat soal berdasarkan situasi tersebut. Pada structure
problem posing, siswa diberi masalah khusus (soal), kemudian berdasarkan
masalah atau soal tersebut siswa membuat masalah atau soal baru.
Dari berbagai macam tipe tersebut, penelitian ini menggunakan tipe
pengajuan post-solusition posing yang dikemukakan oleh Silver. Tipe ini juga sama
dengan tipe yang dikemukakan oleh Stoyanova dan Ellerton yaitu tipe structure
problem posing. Pengajuan masalah dengan tipe tersebut merupakan strategi yang
sangat efektif untuk melatih berpikir kritis. Siswa menyelesaikan soal kemudian
siswa memodifikasi kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk membuat soal
baru dengan tingkat kesulitan lebih tinggi. Sehingga tipe ini tepat untuk
digunakan dalam penelitian ini. Kemampuan mengajukan soal mempengaruhi
kemampuan memecahkan masalah.
Pengajuan masalah sangat berdampak positif bagi perkembangan serta
peningkatan pemahaman dan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah
matematika. Barlo dan Cates (dalam Kar dan Isik, 2014: 135) mengatakan bahwa
pengajuan masalah dapat meningkatkan penalaran, pemecahan masalah,
komunikasi serta kreatifitas siswa. Hal ini menunjukkan ada kaitan erat antara
problem posing dan problem solving. Betapa pentingnya untuk mengetahui dan
memahami strategi tersebut karena berbagai persoalan dalam pembelajaran
matematika pada tingkat sekolah menengah dapat terpecahkan dengan
menggunakan strategi pengajuan masalah (problem posing).
Pengajuan masalah juga memiliki keterkaitan yang kuat dengan berpikir
kritis. Terdapat hubungan positif antara keduanya. Zakaria dan Ngah (2011: 869)
mengungkapkan bahwa guru harus melibatkan siswa dalam tugas mengajukan
masalah karena dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah. Secara
tidak langsung kegiatan tersebut membantu siswa agar berpikir kreatif dan kritis.
Selanjutnya Akay dan Boz (2010: 71) yang menyatakan bahwa dengan kegiatan
mengajukan soal dapat mengurangi kecemasan siswa dan bahkan memotivasi
siswa yang kurang menguasai topic untuk mencoba berpikir kritis. Pengajuan
masalah dapat merangsang siswa untuk berpikir kritis.
Di samping itu, strategi setiap siswa dalam menyelesaikan masalah tentunya
tidak lepas dari cara siswa menerima dan mengolah informasi yang didapatkan.
Cara siswa dalam menerima informasi ini disebut sebagai gaya kognitif. Ide-ide
dalam matematika seringkali direpresentasikan dalam bentuk simbol visual dan
simbol verbal. Informasi yang diterima siswa berupa simbol visual dan simbol
verbal bisa berbeda satu dengan yang lainnya bergantung pada gaya kognitif
yang dimiliki.
Menurut McEwan (2007), gaya kognitif yang berkaitan dengan kebiasaan
siswa menggunakan alat inderanya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu gaya
kognitif visualizer dan verbalizer. Adanya perbedaan antara gaya kognitif visualizer
dan gaya kognitif verbalizer disebabkan oleh perbedaan pandangan seseorang
dalam menggambarkan sesuatu. Seseorang dengan gaya kognitif visualizer
cenderung lebih mudah untuk menerima, memproses, menyimpan, dan
menggunakan informasi dalam bentuk gambar maupun grafik. Sedangkan
seseorang dengan gaya kognitif verbalizer cenderung lebih mudah untuk
menerima, memproses, menyimpan, dan menggunakan informasi dalam bentuk
teks atau tulisan. Perbedaan gaya kognitif visualizer dan verbalizer pada
matematika, merupakan salah satu hal yang cukup menarik perhatian sebagian
besar orang. Hal tersebut dikarenakan gaya kognitif bersifat stabil dan mudah
diidentifikasi.
Susan & Collinson (2005:65), “General problem solving strategic such as these are
further influenced by cognitive style”. Ketika siswa memiliki gaya kognitif yang
berbeda maka cara menyelesaikan/memecahkan juga berbeda, sehingga
perbedaan itu juga akan memicu perbedaan berpikir kritis mereka. Berdasarkan
perbedaan-perbedaan yang ada antara siswa yang bergaya kognitif visualizer dan
verbalizer dapat diduga ada kaitannya dengan cara berpikir kritis mereka.
Dalam penelitian ini peneliti memilih siswa SMP untuk dijadikan sebagai
subjek penelitian. Alasan dipilihnya siswa SMP sebagai subjek penelitian
dikarenakan siswa SMP pada umumnya berusia antara 13-14 tahun berada pada
tahap perkembangan formal sesuai dengan tahap intelegensi dan pengetahuan
Piaget. Pada tahap perkembangan formal, individu mampu memberikan alasan
dengan menggunakan lebih banyak simbol atau gagasan dalam cara berpikirnya.
Selain itu dipilihnya subjek siswa SMP karena siswa SMP telah memiliki
pengetahuan yang dianggap cukup yang diperlukan dalam menyelesaikan tugas
yang berkaitan dengan pengajuan masalah.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang
berjudul “Proses Berpikir Kritis Siswa SMP Dalam Pengajuan masalah
Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer”
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka pertanyaan penelitian ini,
yaitu:
1. Bagaimana proses berpikir kritis siswa SMP bergaya kognitif visualizer dalam
pengajuan masalah matematika?
2. Bagaimana proses berpikir kritis siswa SMP bergaya kognitif verbalizer dalam
pengajuan masalah matematika?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan, maka tujuan
penelitian ini yaitu:
1. Mendeskripsikan proses berpikir kritis siswa SMP bergaya kognitif visualizer
dalam pengajuan masalah matematika.
2. Mendeskripsikan proses berpikir kritis siswa SMP bergaya kognitif verbalizer
dalam pengajuan masalah matematika.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Memberikan referensi bagi guru matematika tentang perbedaan kemampuan
berpikir kritis siswa SMP bergaya kognitif visualizer dan verbalizer dalam
mengajukan soal matematika.
2. Sebagai pertimbangan bagi guru dalam merancang pembelajaran dengan
memerhatikan gaya kognitif siswa, khususnya berpikir kognitif visualizer dan
verbalizer.
3. Sebagai referensi bagi para peneliti lain yang ingin melakukan penelitian
serupa dengan penelitian ini.
E. Batasan Penelitian
Untuk menghindari pembahasan yang meluas dalam penelitian ini, maka
peneliti memberikan batasan penelitian sebagai berikut:
1. Penelitian hanya dilakukan pada siswa SMP Kelas VIII di SMP Negeri 1
Taman, Sidoarjo.
2. Wawancara dilakukan terhadap siswa berkemampuan tinggi dengan gaya
kognitif visualizer dan gaya kognitif verbalizer yang telah menyelesaikan tes
pengajuan masalah matematika.
3. Materi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu materi sistem persamaan
linear dua variabel (SPLDV).
4. Pemilihan subjek bergantung pada hasil tes kemampuan matematika, dan tes
penggolongan gaya kognitif dimana subjek yang dipilih yaitu satu subjek
bergaya kognitif visualizer dan satu subjek bergaya kognitif verbalizer.
F. Definisi Operasional
Untuk mempermudah dan menghindari terjadinya kesalahan dalam
penafsiran istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka didefinisikan
berbagai istilah berikut.
1. Berpikir adalah suatu aktivitas mental untuk mendapatkan keputusan sebagai
pemecahan masalah dari suatu permasalahan yang ada dengan
mempertimbangkan berbagai hal.
2. Berpikir kritis adalah aktivitas mental yang dilakukan secara sistematis dalam
mengolah semua informasi logis atau masalah yang diperoleh untuk
menganalisis ide, sehingga dapat membuat keputusan yang tepat untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi.
3. Proses adalah runtutan peristiwa, rangkaian tindakan atau pengelolaan untuk
menghasilkan produk.
4. Proses berpikir kritis adalah runtutan peristiwa yang terjadi ketika melakukan
aktivitas mental yang dilakukan secara sistematis dalam mengolah informasi
secara terstruktur terhadap semua informasi logis atau masalah yang
diperoleh sehingga dapat membuat keputusan yang tepat melalui tahap
klarifikasi, asesmen, inferensi, dan strategi
5. Masalah matematika adalah soal/pertanyaan atau situasi matematika yang
menantang dan membutuhkan tindakan untuk mencari jawaban atau
solusinya.
6. Pengajuan masalah matematika adalah suatu kegiatan merumuskan,
membuat, atau mengajukan soal/pertanyaan matematika berdasarkan
informasi yang diberikan dan menyelesaikannya.
7. Proses berpikir kritis dalam pengajuan masalah matematika adalah runtutan
peristiwa yang terkadi ketika melakukan aktivitas mental yang dilakukan
secara sistematis sehingga dapat membuat keputusan yang tepat melalui
tahap klarifikasi, asesmen, inferensi, dan strategi dalam merumuskan,
membuat, atau mengajukan soal/pertanyaan matematika berdasarkan
informasi yang diberikan dan menyelesaikannya.
8. Gaya kognitif adalah karakter khas seseorang dalam berfikir, mengingat,
menyimpan, menyelesaikan masalah, dan menggunakan informasi yang
bersifat tetap dari waktu ke waktu.
9. Gaya kognitif visualizer merupakan kebiasaan seseorang yang cenderung
untuk menangkap informasi dari apa yang mereka lihat, sehingga mereka
lebih mudah menerima, memproses, menyimpan, dan menggunakan
informasi dalam bentuk gambar.
10. Gaya kognitif verbalizer merupakan kebiasaan seseorang yang cenderung
untuk menangkap informasi dari apa yang mereka dengar, sehingga mereka
lebih mudah untuk menerima, memproses, menyimpan, dan menggunakan
informasi dalam bentuk teks atau tulisan.
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Berpikir
Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang apabila ia
dihadapkan pada suatu masalah atau kondisi tertentu yang harus diselesaikan.
Sobur (2003) mendefinisikan berpikir sebagai kegiatan mental yang melibatkan
kerja otak, serta berpikir juga berarti berjerih payah secara mental untuk
memahami sesuatu atau mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi.
Santrock (2010) menyatakan bahwa berpikir adalah manipulasi atau mengelola
dan mentransformasi informasi dalam memori. Sedangkan Siswono (2008)
menyatakan berpikir sebagai suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila
mereka dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan.
Kegiatan mental dalam hal ini adalah kegiatan dalam memproses informasi.
Pendapat para ahli ini menjelaskan bahwa berpikir sebagai suatu kegiatan mental
(pikiran) seseorang yang melibatkan kerja otak dalam memproses,
mentransformasi, sekaligus memahami informasi untuk memecahkan masalah
yang dihadapi.
Hal ini sejalan dengan pendapat Hudojo (1988) bahwa seseorang dikatakan
berpikir jika seseorang itu melakukan kegiatan mental dan individu belajar
matematika pasti melakukan kegiatan mental. Dalam berpikir itu, seseorang akan
menyusun hubungan-hubungan antar bagian-bagian dari informasi yang telah
direkam di dalam pikiran orang itu sebagai pengertian-pengertian, dan dari
pengertian tersebut terbentuklah pendapat untuk menarik sebuah kesimpulan
dari solusi permasalahan. Pendapat Hudojo menegaskan definisi berpikir dalam
matematika ketika seseorang dihadapkan pada masalah matematika maka
seseorang tersebut selalu melakukan kegiatan mental dengan memproses dan
memahami informasi yang sebelumnya menyusun pengertian-pengertian terlebih
dahulu sehingga diperoleh keputusan untuk menarik sebuah kesimpulan sebagai
suatu pemecahan masalah.
Solso (2007) menjelaskan berpikir merupakan proses yang membentuk
representasi mental baru melalui transformasi dan informasi oleh interaksi
kompleks dari atribut mental yang mencakup pertimbangan, pengabstrakan,
penalaran, penggambaran, pemecahan masalah logis, pembentukan konsep,
kreativitas dan kecerdasan. Pendapat Solso menjelaskan bahwa berpikir dapat
digambarkan melalui sebuah proses yang meliputi pengolahan informasi,
pembentukan pengertian, pendapat dan penarikan kesimpulan dari informasi-
informasi yang diperoleh dengan cara penilaian, abstraksi, penalaran, imajinasi
dan pemecahan masalah untuk mendapatkan solusi dari suatu permasalahan.
Krulik dan Rudnick (1999) membagi berpikir menjadi empat bagian , yaitu
mengingat (recall), berpikir dasar (basic), berpikir kritis (critical), dan berpikir
kreatif. Pengingatan merupakan keterampilan-keterampilan berpikir yang
hampir otomatis dan reflektif (tanpa disadari). Berpikir dasar adalah pemahaman
dan pengenalan terhadap konsep-konsep matematis. Berpikir kritis adalah
berpikir yang melibatkan kegiatan menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi
semua aspek dari masalah. Berpikir kreatif merupakan pemikiran yang bersifat
keaslian dan reflektif serta menghasilkan sesuatu yang kompleks dan “baru”.
Kategori tingkatan tersebut tidak diskrit dan sulit sekali untuk didefinisikan
dengan tepat. Berpikir kritis dan kreatif merupakan perwujudan dari berpikir
tingkat tinggi (Siswono, 2008). Kemampuan berpikir tersebut merupakan
kompetensi kognitif tertinggi yang perlu dikuasai siswa di kelas.
Berdasarkan uraian para ahli di atas mengenai pengertian berpikir, berpikir
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu aktivitas mental untuk
mendapatkan keputusan sebagai pemecahan masalah dari suatu permasalahan
yang ada dengan mempertimbangkan berbagai hal.
B. Bepikir Kritis
Salah satu komponen berpikir yang perlu dilatih dan dikembangkan di
sekolah yaitu berpikir kritis. Berpikir kritis merupakan keterampilan berpikir
tingkat tinggi yang penting untuk dimiliki seorang siswa agar dapat memecahkan
masalah matematika dengan baik. Hal ini didukung oleh Harish (2013) yang
mengatakan, “Mathematics is an abstract subject and solving problems in mathematics
is the framework of pattern within which critical thinking and reasoning take place”.
Matematika adalah subjek abstrak dan memecahkan masalah dalam matematika
adalah kerangka pola di mana berpikir kritis dan penalaran berlangsung.
Pemikiran kritis memiliki peran penting dalam memilih ide-ide yang terbaik,
manfaat ide-ide baru dan memodifikasinya jika perlu. Sehingga bermanfaat di
dalam melakukan pekerjaan yang memerlukan kreatifitas.
Siswono (2007) mengatakan bahwa berpikir kritis mengorganisasikan proses
yang digunakan dalam aktivitas mental seperti menyelesaikan masalah,
pengambilan keputusan, meyakinkan, menganalisis, asumsi-asumsi dan
penemuan ilmiah. Berpikir kritis adalah suatu aktivitas mental untuk bernalar
dalam suatu cara yang terorganisasi. Fisher (2008) berpendapat bahwa berpikir
kritis merupakan jenis berpikir yang tidak mengarah pada kesimpulan, atau
menerima beberapa bukti, tuntutan, atau keputusan begitu saja, tanpa sungguh-
sungguh memikirkannya dan berpikir kritis dengan jelas menuntut interpretasi
dan evaluasi terhadap observasi, komunikasi, dan sumber-sumber informasi
lainnya. Ia menuntut keterampilan dalam memikirkan asumsi-asumsi, dalam
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dalam menarik implikasi-
implikasi.
Jacob dan Sam (2008) menyatakan bahwa, “Critical thinking includes not only
discovery (the intuition and creative processes), but also justification (the evaluative and
logical-reasoning processes)”. Diartikan bahwa berpikir kritis adalah proses yang
lebih luas di mana bukan hanya meliputi penemuan (intuitif dan proses kreatif)
tetapi juga dasar kebenaran (evaluasi dan proses penalaran yang logis). Siswa
yang berpikir kritis tidak hanya mampu menemukan penyelesaian dari suatu
masalah tetapi juga memperhatikan proses dan evaluasi yang logis.
Menurut Wijaya (2010:72), “Berpikir kritis adalah kegiatan menganalisis ide
atau gagasan ke arah yang lebih spesifik, membedakannya secara tajam, memilih,
mengidentifikasi, mengkaji, dan mengembangkannya ke arah yang lebih
sempurna”. Definisi tersebut menunjukkan bahwa seseorang individu yang
berpikir kritis mampu menganalisis dan memilih informasi yang dianggap paling
relevan kemudian mengkaji dan mengembangkannya menjadi suatu gagasan
yang dapat dijadikan sebagai solusi untuk masalah yang dihadapi.
Setiap orang yang berpikir kritis kritis tentunya memiliki karakter khusus
yang dapat terlihat dari bagaimana seseorang menyelesaikan permasalahan.
Wijaya (2010) menyebutkan beberapa ciri-ciri/karakteristik seseorang yang
berpikir kritis yaitu sebagai berikut.
1. Mampu membedakan ide yang relevan dengan yang tidak relevan.
2. Mampu membedakan fakta dengan fiksi atau pendapat.
3. Mampu membedakan argumentasi logis dan tidak logis.
4. Mampu mandaftar segala akibat yang mungkin terjadi atau alternatif
pemecahan masalah.
5. Mampu menarik kesimpulan dari data yang telah ada dan terseleksi.
6. Mampu menganalisis isi, hubungan, prinsip, dan bias.
7. Mampu membuat hubungan yang berurutan antara suatu masalah dengan
masalah yang lainnya.
Elaine (2014) menyatakan bahwa terdapat delapan langkah untuk menjadi
pemikir kritis yang diuraikan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan, sebagai
berikut.
1. Apa sebenarnya isu, masalah, keputusan atau kegiatan yang sedang
dipertimbangkan?
Masalah harus digambarkan secara jelas sehingga dapat diteliti dengan baik.
Ada masalah pasti ada solusi.
2. Apa sudut pandangnya?
Pemikir kritis berusaha untuk menyadari sudut pandang yang digunakannya
sehingga dapat menempatkan posisinya dengan tepat. Sudut pandang yang
kurang tepat dapat mencemari pikiran sehingga menuju pada pengambilan
keputusan atau kesimpulan yang keliru.
3. Apa alasan yang diajukan?
Keyakinan dan tindakan kita didasarkan pada alasan yang masuk akal. Alasan
bisa bersifat factual dan bisa berupa penjelasan. Alasan yang bagus harus
sesuai informasi yang dapat dipercaya dan relevan dengan kesimpulan yang
ditarik sesudahnya.
4. Asumsi-asumsi apa saja yang dibuat?
Asumsi adalah ide-ide kita yang kita terima apa adanya. Kita berharap orang
lain mau menerima kebenaran asumsi yang kita buat.
5. Apakah bahasanya jelas?
Pemikir kritis berusaha untuk memahami. Untuk menemukan makna,
penggunaan bahasa berupa kata-kata yang dipakai harus tepat. Bahasa harus
memperjelas maksud bukan sebaliknya menyebabkan pengertian menjadi
tidak jelas.
6. Apakah alasan didasarkan pada bukti-bukti yang meyakinkan?
Tugas pemikir kritis adalah menilai bukti. Bukti yang dapat dipercaya
memiliki sifat yaitu: tidak bertentangan dengan pokok masalahnya, berasal
dari sumber-sumber terbaru, akurat, dapat diuji dan berlaku umum.
7. Kesimpulan apa yang ditawarkan?
Setelah mengumpulkan dan mengevaluasi informasi untuk memecahkan
sebuah masalah, pemikir kritis mulai merumuskan kesimpulan yang tepat.
Langkah efektif untuk menentukan apakah sebuah kesimpulan sudah benar
yaitu mengidentifikasi setiap alasan yang disampaikan untuk mendukung
kesimpulan tersebut, menanyakan apakah alasan-alasan yang diberikan
benar-benar kuat dan akhirnya menanyakan apakah kesimpulan yang diambil
sesuai dan konsisten dengan alasan yang mendasarinya.
8. Apakah implikasi dari kesimpulan-kesimpulan yang sudah diambil?
Ketika menerima suatu kesimpulan pemikir kritis berusaha untuk
memprediksi dan mengevaluasi semua efek samping yang mungkin timbul.
Berdasarkan definisi dan karakteristik berpikir kritis yang dikemukakan oleh
para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis merupakan aktivitas
mental yang dilakukan secara sistematis dalam mengolah semua informasi atau
masalah yang diperoleh untuk menganalisis ide, sehingga dapat membuat
keputusan yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Untuk mengetahui gambaran proses berpikir kritis, terdapat berbagai model
yang dikembangkan oleh beberapa peneliti. Seperti yang ditunjukkan pada tabel
berikut.

Tabel 2. 1 Model berpikir kritis menurut beberapa peneliti.


Henri Newman,
(1992) Webb &
Clulow & Cochrane Garrison, Jacob dan
Norris & Perkins dan
Step Brace- (1995) Anderson Sam
Ennis Murphy
Proposed Govan & Archer (2008)
(1989) (2006)
(2001) (2001)

Elementary Elementary Clarification


clarification Trigger Clarification
Step 1 clarification Clarification
event

In-depth In-depth
clarification clarification Assessment
Step 2 Basic support Exploration Assessment

Inference Inference
Inference
Step 3 Inference Integration Inference

Judgment Judgment
Advanced
Strategies
Step 4 clarification Resolution Strategies
Strategies and Strategies Strategy
Formation -
Step 5 tactics - -

Namun dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model yang dikembangkan


oleh Jacob dan Sam (2008) yang terdiri atas 4 tahap yaitu klarifikasi (Clarification),
penilaian (Assessment), kesimpulan (Inference), strategi (Strategies).
1. Klarifikasi (Clarification) yaitu mengidentifikasi permasalahan dengan tepat.
2. Penilaian (Assessment) yaitu memilah dan mengumpulkan informasi relevan
dalam masalah.
3. Inferensi (Inference) yaitu membuat kesimpulan berdasarkan langkah
penyelesaian.
4. Strategi (Strategies) yaitu berpikir secara terbuka, mengevaluasi langkah, dan
menentukan kesimpulan akhir sebagai solusi.
Model berpikir kritis yang dikembangkan oleh Jacob dan Sam merupakan
hasil pengembangan dari berbagai penelitian oleh para ahli sebelumnya. Model
tersebut efisien untuk digunakan dalam mengidentifikasi proses berpikir kritis
siswa. Maka dari itu peneliti menggunakan model yang dikembangkan oleh Jacob
dan Sam. Berikut tabel hasil pengembangan Jacob dan Sam (2008) terkait model
berpikir kritis beserta indikatornya.

Tabel 2. 2 Model berpikir kritis dan indikator yang dikembangkan

oleh Jacob dan Sam.

Phase of critical Indicators


thinking
Clarification Formulates the problem precisely and clearly.
 Analyses, negotiates or discusses the scope of the problem.
 Identifies one or more underlying assumptions in the parts of
the problem.
 Identifies relationships among the different parts of the
problem.
 Defines or criticizes the definition of relevant terms.

Assessment Raises vital questions and problems within the problem.


 Gathers and assesses relevant information.
 Provides or ask for reasons that proffered evidence is valid or
relevant.
 Make value judgment for the assessment criteria or argument
or situation.

Inference Reasons out based on relevant criteria and standards.


 Makes appropriate deductions from discussed results.
 Arrives at well thought out conclusions.
 Makes generalizations from relevant results.
 Frames relationships among the different parts of the
problem.

Strategies Frames relationships among the different parts of the problem.


 Propose specific steps to lead to the solution.
 Discuss possible steps.
 Evaluate possible steps.
 Predicts outcomes of proposed steps.

Pada tahap klarifikasi (clarification), mereka secara umum menyampaikan


bahwa pada tahap tersebut mencakup aspek mengidentifikasi, menganalisis, dan
mendefinisikan masalah yang dibahas. Dari tabel 2.2, terlihat bahwa pada tahap
pertama terdapat empat indikator, antara lain:
1. Menganalisis, merundingkan atau membahas makna dari masalah tersebut.
2. Mengidentifikasi satu atau lebih asumsi yang mendasari permasalahan
tersebut.
3. Mengidentifikasi hubungan antara bagian-bagian yang berbeda dari masalah
tersebut.
4. Mendefinisikan atau mengkritisi definisi istilah yang relevan.
Secara umum indikator-indikator tersebut merupakan representasi pemahaman
siswa mengenai masalah yang dibahas.
Pada tahap penilaian (assessment), mereka secara umum menyampaikan
bahwa pada tahap tersebut siswa mengevaluasi beberapa aspek yang dibahas,
membuat penilaian pada situasi, memberikan alasan berupa bukti yang valid.
Dari tabel 2.2, terlihat bahwa pada tahap kedua terdapat tiga indikator, yaitu:
1. Mengumpulkan dan menilai informasi yang relevan.
2. Memberikan atau meminta alasan yang disodorkan bukti valid atau relevan.
3. Membuat pertimbangan nilai pada kriteria penilaian atau situasi.
Pada tahap kesimpulan (inference), mereka secara umum menyampaikan
bahwa siswa membuat argumen berdasarkan kriteria dan standar yang relevan,
menghubungkan ide-ide, menarik kesimpulan yang tepat dengan deduksi atau
induksi, dan menggeneralisasi. Dari tabel 2.2, terlihat bahwa pada tahap ketiga
terdapat empat indikator yaitu sebagai berikut.
1. Membuat penarikan kesimpulan dengan tepat.
2. Menyimpulkan dengan tepat.
3. Membuat generalisasi dari hasil yang relevan.
4. Menyimpulkan hubungan antara ide-ide.
Pada tahap strategi (strategies), mereka secara umum menyampaikan bahwa
siswa mampu berpikir secara terbuka dalam mengusulkan, mendiskusikan,
mengevaluasi langkah yang mungkin. Dari tabel 2.2, terlihat bahwa pada tahap
keempat terdapat empat indicator yaitu sebagai berikut.
1. Mengusulkan langkah-langkah yang spesifik yang mengarah pada solusi.
2. Mendiskusikan langkah yang mungkin.
3. Mengevaluasi langkah yang mungkin.
4. Memprediksi hasil dari langkah-langkah yang dilakukan.
C. Masalah Matematika
Dalam kehidupan, manusia seringkali dihadapkan oleh masalah. Bahkan
masalah menjadi bagian dari kehidupan manusia yang selalu muncul. Sama
halnya dengan proses pembelajaran matematika. Namun setiap persoalan yang
dihadapi siswa dalam proses pembelajaran matematika tidak dapat sepenuhnya
dikatakan masalah. Menurut Newell dan Simon, sebagaimana dikutip oleh
Ridwan (2017: 13), masalah adalah suatu situasi dimana individu ingin
melakukan sesuatu tetapi tidak tahu cara atau tindakan yang diperlukan untuk
memperoleh apa yang dia inginkan. Oleh karena itu, siswa harus diarahkan untuk
menyelesaikan masalah-masalah tersebut guna mengembangkan serta
meningkatkan kemampuan siswa. Hudojo sebagaimana dikutip oleh Yuwono
(2010: 35), menyatakan bahwa sesuatu disebut masalah bagi siswa jika: (a)
pertanyaan yang dihadapkan kepada peserta didik harus dapat dimengerti oleh
peserta didik tersebut, namun pertanyaan itu harus merupakan tantangan
baginya untuk menjawab, dan (b) pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab
dengan prosedur rutin yang telah diketahui oleh peserta didik.
Menurut Saad & Ghani (2008: 119), masalah matematika didefinisikan sebagai
situasi yang memiliki tujuan yang jelas tetapi berhadapan dengan halangan akibat
kurangnya algoritma yang diketahui untuk menguraikannya agar memperoleh
sebuah solusi. Masalah untuk siswa dalam pembelajaran matematika dapat
berupa pertanyaan atau soal. Hudojo (2001) membedakan soal-soal menjadi dua
bentuk, yaitu: (1) latihan yang diberikan pada waktu belajar matematika dengan
maksud siswa terampil menerapkan pengertian yang baru diajarkan, (2) latihan
berupa situasi yang abru dimana siswa dituntut untuk menggunakan sintesa dan
analisis. Sementara itu, Polya (1973: 154-155) membedakan masalah matematika
dalam dua jenis, yaitu masalah mencari (problem to find) dan masalah
membuktikan (problem to prove). Masalah mencari yaitu masalah yang bertujuan
untuk mecari, menentukan, atau mendapatkan nilai objek tertentu yang tidak
diketahui dalam soal dan memberi kondisi yang sesuai. Sedangkan masalah
membuktikan yaitu masalah dengan suatu prosedur untuk menentukan suatu
pernyataan benar atau tidak benar. Dibutuhkan keahlian dalam menyelesaikan
masalah matematika, salah satunya dengan pengajuan masalah.
Berdasarkan beberapa pengertian mengenai masalah dan masalah
matematika di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah matematika merupakan
soal/pertanyaan atau situasi matematika yang menantang dan membutuhkan
tindakan untuk mencari jawaban atau solusinya.
D. Pengajuan Masalah Matematika (Problem Possing )
Model pembelajaran pengajuan masalah mulai masuk ke Indonesia pada
tahun 2000. Pendekatan pengajuan masalah dapat membantu siswa dalam
mengembangkan keyakinan dan kesukaan terhadap matematika, sebab ide-ide
matematika siswa dicobakan untuk memahami masalah yang sedang dikerjakan
dan dapat meningkatkan kemampuannya dalam pengajuan masalah.
Silver dkk. (dalam Upu, 2003:17) memberikan tiga pengertian pengajuan
masalah dalam pendidikan matematika sebagai berikut.
1. Pengajuan masalah adalah perumusan soal matematika sederhama atau
perumusan ulang soal yang telah diberikan dengan beberapa cara dalam
rangka menyelesaikan masalah yang rumit.
2. Pengajuan masalah adalah perumusan soal matematika yang berkaitan
dengan syarat-syarat pada masalah dipecahkan dalam rangka mencari
alternatif pemecahan masalah uang relevan.
3. Pengajuan masalah adalah merumuskan atau mengajukan pertanyaan
matematika dari situasi yang diberikan, baik diajukan sebelum pemecahan,
pada saat pemecahan, atau sesudah pemecahan masalah.
Siswono (2008) mengungkapkan beberapa definisi tentang pengajuan masalah,
yaitu:
1. Pengajuan masalah ialah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang
soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat
dikuasai.
2. Pengajuan masalah ialah perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat
pada soal yang telah dipecahkan dalam rangka pencarian alternative
pemecahan atau alternative soal yang relevan.
3. Pengajuan masalah ialah perumusan soal atau pembentukan soal dari suatu
situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika atau setelah pemecahan
suatu soal atau masalah.
Pengajuan soal (problem possing) dalam suatu pembelajaran bermakna
meminta siswa untuk mengajukan soal atau masalah. Latar belakang masalah
dapat berdasar topik yang luas, soal yang sudah dikerjakan, atau informasi
tertentu yang diberikan guru kepada siswa (Siswono, 2000). Problem posing, dalam
pembelajaran matematika juga dapat merupakan suatu bentuk pendekatan yang
menekankan pada perumusan soal dan menyelesaikannya, yang dapat
mengembangkan kemampuan berpikir matematis atau menggunakan pola pikir
matematis (Irwan, 2011).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka definisi pengajuan masalah
adalah suatu kegiatan merumuskan, membuat, atau mengajukan
soal/pertanyaan matematika berdasarkan informasi yang diberikan dan
menyelesaikannya.
Pembuatan soal dalam pengajuan masalah melibatkan berbagai aktivitas
kognitif. Silver dan Ellerton (1996) mengklasifikasikan tiga aktivitas kognitif
dalam pembuatan soal sebagai berikut:
1. Pre-solution posing
Pre-solution posing merupakan pembuatan soal berdasar situasi atau informasi
yang diberikan.
2. Within-solution posing
Within-solution posing merupakan pembuatan atau formulasi soal yang sedang
diselesaikan untuk penyederhanaan dari soal yang sedang diselesaikan.
3. Post-solution posing
Post-solution posing merupakan pemodifikasian atau perevisian kondisi soal
yang telah diselesaikan untuk menghasilkan soal baru dengan tingkat
kesulitan lebih tinggi. Post-solution posing dapat dilakukan dengan mengubah
informasi atau data pada soal semula, menambah informasi atau data pada
soal semula, mengubah nilai data yang diberikan dengan mempertahankan
kondisi atau situasi soal semula dan mengubah situasi atau kondisi soal
semula, tetapi tetap mempertahankan data atau informasi yang ada pada soal
semula.
Abu-Elwan (2000) menyatakan bahwa pengajuan masalah dapat
diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu free problem posing (pengajuan masalah
bebas), semi-structured problem posing (pengajuan masalah semi-terstruktur), dan
structured problem posing (pengajuan masalah terstruktur).
1. Free problem posing (pengajuan masalah bebas) memungkinkan siswa untuk
membuat soal secara bebas sesuai dengan kehidupan nyata siswa.
2. Semi-structured problem posing (pengajuan masalah semi-terstruktur)
memungkinkan siswa menggunakan pengetahuan, konsep, dan keterampilan
yang telah dimiliki untuk mengeksplorasi kemampuan dalam penyusunan
soal.
3. Structured problem posing (pengajuan masalah terstruktur) memungkinkan
siswa untuk menyusun soal berdasar soal yang diberikan dengan mengubah
informasi dari soal semula.
Berdasarkan berbagai pendapat mengenai tipe-tipe pengajuan masalah yang
dikemukakan oleh para ahli dapat dimengerti bahwa semua pendapat-pendapat
tersebut pada umumnya memiliki kesamaan. Pengajuan masalah tipe pre-solution
dan structured problem posing situation memiliki kesamaan yaitu siswa mengajukan
masalah berdasarkan informasi yang diberikan. Within-solution posing dan semi
structured problem posing situation memiliki kesamaan yaitu siswa mengajukan
masalah yang mirip dengan masalah yang diberikan. Post-solution posing dan
structured problem posing situation memiliki kesamaan yaitu siswa mengajukan
masalah baru dengan memodifikasi kondisi soal yang sudah diselesaikan.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tipe pengajuan post solution posing
yang dikemukakan oleh Silver. Adapun alasan peneliti menggunakan tipe post-
solution posing yaitu peneliti dapat mengungkap berpikir kritis subjek lebih
mendalam melalui tipe pengajuan masalah post-solution posing. Definisi pengajuan
masalah tipe post-solution posing yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan
definisi Silver dan cai (1996, h.523) pengajuan masalah tipe post-solution posing
adalah suatu aktivitas dalam merumuskan suatu masalah (soal) dengan
memodifikasi tujuan atau kondisi dari sebuah permasalahan yang telah
diselesaikan untuk menghasilkan masalah baru.
Pada pengajuan masalah tipe post-solution posing, siswa mengajukan masalah
berdasarkan masalah dan penyelesaian yang diberikan. Siswono (2016) “Student
is asked a problem then construct a new or different problem and its solution”. Siswa
ditanyakan masalah kemudian mengkonstruksi masalah baru atau masalah yang
berbeda dan penyelesaiannya. Sedangkan Silver dan Cai (1996, h.523) “Post
solution posing, in which one modifies the goals or condition of an already solved problem
to generate new problems”. Post solution posing, dimana seorang siswa
memodifikasi kondisi masalah yang sudah diselesaikan untuk membuat masalah
yang baru. Berdasarkan pendapat Siwono (2016) dan Silver dan Cai (1996)
mengenai aktivitas pengajuan masalah tipe post-solution posing, maka dapat
disimpulkan pengajuan masalah tipe post-solution posing memuat tiga tahap
aktivitas pengajuan masalah yaitu penyelesaian masalah, pembuatan masalah
baru, dan penyelesaian masalah baru. Adapun masalah baru yang dimaksud
dalam penelitian ini yaitu masalah yang dibuat/diajukan oleh siswa.
Jawaban yang diharapkan dari siswa pada problem posing terdiri atas masalah
yang dibuat oleh siswa berdasarkan situasi yang disediakan dan penyelesaiannya.
Silver dan Cai (dalam Uppu, 2003) membagi pengajuan masalah menjadi tiga
bagian, yaitu pertanyaan matematika, pertanyaan non matematika, dan
pernyataan. Pertanyaan matematika adalah pertanyaan yang mengandung
masalah matematika dan berkaitan dengan informasi yang diberikan. Pertanyaan
matematika ini dibagi menjadi dua, yaitu pertanyaan matematika yang dapat
diselesaikan dan pertanyaan matematika yang tidak dapat diselesaikan.
Suatu pertanyaan matematika dapat diselesaikan jika pertanyaan yang dibuat
siswa memuat informasi yang cukup dari informasi yang ada untuk diselesaikan.
Pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan ini dibedakan lagi menjadi dua,
yaitu pertanyaan matematika yang memuat informasi baru dan pertanyaan
matematika yang tidak memuat informasi baru. Sedangkan suatu pertanyaan
matematika tidak dapat diselesaikan jika pertanyaan yang dibuat siswa memiliki
tujuan yang tidak sesuai dengan informasi yang diberikan.
Pertanyaan non matematika merupakan pertanyaan yang tidak mengandung
masalah matematika dan tidak mempunyai kaitan dengan informasi yang
diberikam. Selain itu, masalah yang diajukan oleh siswa berbentuk pernyataan.
Bentuk masalah ini tidak mengandung kalimat kalimat pertanyaan yang
mengarah kepada pertanyaan matematika ataupun pertanyaan non matematika.
Agar lebih jelas kaitannya maka kemungkinan masalah yang diajukan siswa
dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
(BAGAN)
Menurut Stoyanova (2005), kemampuan pengajuan masalah siswa dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu reformulasi, rekonstruksi, dan imitasi.
a. Reformulasi masalah
Pembuatan masalah dilakukan oleh siswa dengan menyusun kembali
elemen dalam struktur masalah asli, strategi pengajuan masalah ini
didefinisikan reformulasi. Dengan kata lain, masalah yang diajukan siswa
adalah sama atau identik dengan masalah yang diberikan, hanya penampilan
atau susunan kalimatnya saja yang berbeda.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan masalah awal adalah berupa
situasi atau informasi yang diberikan dalam tugas pengajuan masalah (problem
posing), sehingga peneliti mendefinisikan reformulasi masalah adalah
menyusun atau membuat masalah dengan menyusun kembali atau
menggunakan langsung informasi yang ada dalam masalah tanpa mengubah
informasi yang diberikan. Dalam strategi reformulasi ini cara yang dapat
digunakan untuk mengajukan atau membuat masalah adalah dengan
menyusun kembali informasi yang diketahui, menambah informasi yang
tidak mengubah masalah, misalnya tanda kurung, mengganti operasi
matematika dengan bentuk setara pada masalah awal, atau dengan
mengkombinasi dari beberapa strategi tersebut.
b. Rekonstruksi masalah
Strategi pengajuan masalah disebut sebagai rekonstruksi ketika
permasalahan yang dihasilkan dengan memodifikasi masalah awal dan pada
saat memodifikasikannya yaitu dengan mengubah sifat dari masalah. Dengan
demikian masalah yang diajukan berhubungan dalam beberapa cara untuk
masalah yang diberikan, tetapi isinya berbeda.
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa strategi pengajuan
masalah disebut sebagai rekonstruksi apabila hasil dari pengajuan masalah
diperoleh dengan memodifikasi masalah awal dan ketika
memodifikasikannya dengan mengubah sifat dari masalah. Dengan demikian,
pengajuan masalah berhubungan dan dengan maksud yang sama, tetapi
isinya berbeda. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan masalah awal
adalah informasi dalam soal yang diberikan dalam tugas pengajuan masalah,
sehingga peneliti mengartikan rekonstruksi masalah adalah menyusun atau
membuat masalah dengan memodifikasi soal yang telah diselesaikan
sehingga isi informasi dalam soal berubah tetapi tidak mengubah maksud
masalah. Dalam strategi rekonstruksi ini cara yang dapat digunakan untuk
mengajukan masalah adalah dengan mengubah angka yang diketahui dan
mengubah substansi masalah.
c. Imitasi Masalah
Strategi pengajuan masalah disebut sebagai imitasi jika masalah yang
diajukan dengan adanya penambahan dari struktur masalah dan masalah
yang sebelumnya ditemui dalam pemecahan soal selanjutnya. Dalam
penjelasan selanjutnya, masalah yang diperluas dengan mengubah tujuan
baru atau mengkaitkannya dengan materi lain masuk strategi ini. Oleh karena
itu, tidak semua siswa dapat membuat masalah dalam kategori imitasi sebab
jenis imitasi masalah cukup sulit dilakukan oleh siswa.
Dalam penelitian ini, peneliti mengartikan imitasi masalah adalah
menyusun masalah dengan adanya penambahan dari informasi yang
diberikan sehingga mengubah tujuan masalah. Dalam katefori ini strategi
yang digunakan untuk mengajukan masalah adalah dengan menambahkan
struktur yang berkaitan dengan informasi yang diberikan, menganggap
masalah awal sebagai langkah pertama dari proses penyelesaian masalah
baru, mengkaitkannya dengan materi yang lain dan kehidupan nyata atau
dengan mengkombinasikannya dengan beberapa strategi tersebut.
Patmaningrum (2011) menjelaskan bahwa salah satu kriteria bentuk
pengajuan dan penyelesaian masalah adalah tingkat kesulitan masalah. Tingkat
kesulitan ini dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu:
a. Tingkat kesulitan masalah rendah (mudah)
Masalah dikategorikan sebagai masalah mudah, apabila untuk menyelesaikan
masalah yang diajukan langsung menggunakan data yang ada dengan sedikit
pengolahan, karena siswa telah mendapatkan materi tersebut.
b. Tingkat kesulitan masalah sedang
Masalah dikategorikan masalah sedang, apabila untuk menyelesaikan
masalah yang diajukan tidak hanya menggunakan data yang ada, tetaoi diolah
terlebih dahulu atau ditambah dengan data lain dan menggunakan satu
prosedur penyelesaian saja.
c. Tingkat kesulitan masalah tinggi (sulit)
Masalah dikategorikan sebagai masalah sulit, apabila menyelesaikan masalah
yang diajukan tidak hanya menggunakan data yang ada, tetapi diolah terlebih
dahulu atau ditambah data dan syarat lain dan menggunakan lebih dari satu
prosedur penyelesain.
Berdasarkan penjelasan di atas, kemampuan pengajuan masalah siswa
kategori reformulasi dapat juga dikategorikan sebagai masalah mudah,
kemampuan pengajuan masalah kategori rekonstruksi dapat dikategorikan
sebagai masalah sedang, dan kemampuan pengajuan masalah kategori imitasi
dapat juga dikategorikan sebagai masalah sulit. Dan ketiga kategori kemampuan
pengajuan masalah siswa adalah saling lepas karena dalam pembelajaran problem
posing, siswa akan membuat masalah dengan tingkat kesukaran sesuai dengan
kemampuannya.
E. Proses Berpikir Kritis dalam Pengajuan Masalah Matematika
Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan bahwa proses adalah
runtutan peristiwa, rangkaian tindakan atau pengelolaan untuk menghasilkan
produk. Rangkaian peristiwa tersebut tentunya saling terkait. Jadi dapat
didefinisikan bahwa proses adalah runtutan peristiwa yang saling berkaitan
untuk menghasilkan sebuah produk. Dan sebelumnya telah disebutkan

berpikir merupakan suatu aktivitas mental. Di samping itu, definisi


berpikir kritis adalah aktivitas mental yang dilakukan secara sistematis dalam
mengolah semua informasi logis atau masalah yang diperoleh untuk menganalisis
ide, sehingga dapat membuat keputusan yang tepat untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi. Berdasarkan definisi tersebut maka berpikir kritis juga
merupakan bagian dari aktivitas mental. Jadi proses berpikir kritis adalah
runtutan peristiwa yang terjadi ketika melakukan aktivitas mental yang
dilakukan secara sistematis dalam mengolah informasi secara terstruktur
terhadap semua informasi logis atau masalah yang diperoleh sehingga dapat
membuat keputusan yang tepat melalui tahap klarifikasi, asesmen, inferensi, dan
strategi. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, pengajuan masalah matematika
adalah suatu kegiatan merumuskan, membuat, atau mengajukan
soal/pertanyaan matematika berdasarkan informasi yang diberikan dan
menyelesaikannya. Jadi, proses berpikir kritis dalam pengajuan masalah
matematika adalah runtutan peristiwa yang terkadi ketika melakukan aktivitas
mental yang dilakukan secara sistematis sehingga dapat membuat keputusan
yang tepat melalui tahap klarifikasi, asesmen, inferensi, dan strategi dalam
merumuskan, membuat, atau mengajukan soal/pertanyaan matematika
berdasarkan informasi yang diberikan dan menyelesaikannya.
Pengajuan masalah matematika yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan pengajuan masalah tipe post-solution posing dengan menggunakan
tiga tahap aktivitas pengajuan masalah yang dikemukakan oleh Siswono (2016)
dan Silver dan Cai (1996) yaitu menyelesaikan masalah yang diberikan, membuat
masalah baru, dan menyelesaikan masalah baru yang kemudian disintesis dengan
empat tahap berpikir kritis yang dikemukakan oleh Jacob dan Sam yaitu
klarifikasi (clarification), asesmen (assessment), inferensi (inference), dan strategi
(strategies). Tahap-tahap tersebut dijabarkan secara spesifik dalam indikator-
indikator yang telah dimodifikasi sesuai dengan pengajuan soal, sehingga dapat
diperoleh gambaran berupa tabel terkait proses berpikir kritis siswa dalam
pengajuan soal matematika.
Berikut tabel proses berpikir kritis siswa dalam pengajuan soal matematika.
(TABEL HUBUNGAN)
F. Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer
1. Pengertian Gaya Kognitif
Setiap individu memiliki sikap yang berbeda dalam menerima dan
mengolah informasi. Setiap individu juga memiliki cara-cara tersendiri dalam
menyusun pikirannya, apa yang dilakukan, dilihat, diingat, dan apa yang
dipikirkan. Oleh karena itu, cara seseorang dalam bertingkah laku, menilai,
dan berpikir juga akan berbeda pula. Demikian pula dalam belajar, siswa
memiliki cara yang berbeda dalam menerima, mengorganisasi,
menghubungkan, serta merespon informasi atau pengetahuan yang diajarkan.
Perbedaan yang dimaksud bukan tingkat kemampuan, melainkan suatu
bentuk cara setiap siswa untuk memproses dan menyusun informasi atau
rangsangan dari lingkungan. Perbedaan tiap siswa itulah yang disebut sebagai
gaya kognitif. Hal tersebut sejalan dengan Jones dan Wright (2012: 32) yang
mendefinisikan gaya kognitif adalah gaya yang disukai seseorang dalam
menerima dan memproses informasi yang akan mempengaruhi cara mereka
dalam mengkonseptualisasi, menyimpan, dan memperoleh kembali
informasi.
Gaya kognitif merupakan karakteristik siswa untuk menerima dan
memproses suatu informasi. Menurut Jonassen dan Grabowski (dalam
Mendelson, 2004) “Cognitive style refers to an individual’s typical and consistent
approach to organizing and processing”. Mengungkapkan bahwa gaya kognitif
adalah karakter individu dan pendekatan yang konsisten dalam
mengorganisasikan dan memproses informasi. Sedangkan menurut Messick
(dalam McEwan, 2007) “The term cognitive style refers to a psychological dimension
that describes the distinctive and observable ways in which individuals process
information”. Gaya kognitif adalah dimensi psikologis yang menggambarkan
cara-cara khusus dan diamati pada pemrosesan informasi seseorang. Definisi
ini menjelaskan bahwa individu belajar dengan cara berbeda dan perbedaan
tersebut dapat diidentifikasi dan diukur.
Menurut Ausbrun (dalam Arnup,dkk: 2013) mengatakan gaya kognitif
diakui sebagai dimensi psikologis yang mengacu pada perbedaan cara
individu memperoleh dan memproses informasi. Smith (2010)
mengemukakan bahwa gaya kognitif mengacu pada cara yang disukai
individu dalam memperoleh informasi.
Berdasarkan beberapa definisi mengenai gaya kognitif yang
dikemukakan oleh para ahli, pada dasarnya memiliki kesamaan yaitu sama-
sama mendefinisikan gaya kognitif sebagai karakter khas dan cara
pemrosesan informasi. Jadi, gaya kognitif yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah karakter khas seseorang dalam berfikir, mengingat, menyimpan,
menyelesaikan masalah, dan menggunakan informasi yang bersifat tetap dari
waktu ke waktu.
2. Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer
Mc Ewan (2007) menyatakan bahwa gaya kognitif yang berkaitan
dengan kebiasaan seseorang menggunakan alat inderanya dibagi menjadi dua
kelompok yaitu visualizer dan verbalizer. Perbedaan dua gaya kognitif ini
disebabkan oleh perbedaan seseorang dalam menggambarkan sesuatu.

Anda mungkin juga menyukai