PROPOSAL PENELITIAN
Disusun Oleh:
14030174007
JURUSAN MATEMATIKA
2017
DAFTAR ISI
DAFTAR BAGAN
DAFTAR TABEL
HALAMAN PERSETUJUAN
Ini telah disetujui dan dinyatakan memenuhi syarat untuk diajukan dalam ujian
proposal.
Surabaya,
Pembimbing,
2.
3.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peran matematika sangat besar dalam ilmu pengetahuan dan kehidupan
sehari-hari. Matematika adalah salah satu ilmu pengetahuan yang sangat penting
dan yang paling banyak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Matematika
juga menjadi dasar bagi ilmu-ilmu lain. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan dinyatakan matematika merupakan ilmu universal yang mendasari
perkembangan teknologi modern, mempunyai peranan penting dalam berbagai
disiplin dan mengembangkan daya pikir manusia.
Dalam dunia pendidikan peran penting matematika dapat dilihat dari
kenyataan bahwa matematika diajarkan dari pendidikan pra sekolah hingga
perguruan tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa matematika sangat penting
untuk diajarkan kepada setiap peserta didik sejak pendidikan dasar untuk
menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang sangat penting di tingkat
sekolah menengah. Depdiknas (2006) menyebutkan bahwa dalam standar
kompetensi mata pelajaran matematika, semua peserta didik perlu diberikan mata
pelajaran matematika dengan tujuan untuk membekali kemampuan berpikir
logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Melalui pembelajaran matematika di
sekolah, siswa diharapkan mempunyai kemampuan berpikir logis dan kritis yang
berguna pada saat siswa mempelajari ilmu pengetahuan yang lain. Sebagaimana
tercantum dalam Peraturan Menteri Nomor 22 tahun 2006 bahwa mata pelajaran
matematika perlu diberikan kepada semua perserta didik mulai dari sekolah
dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis dan kreatif serta kemampuan bekerja sama.
Proses berpikir perlu diajarkan kepada peserta didik, karena menurut Fisher
(2008) pengajaran selama ini hanya mengajarkan tentang isi materi pelajaran dan
mengesampingkan mengajarkan keterampilan-keterampilan berpikir, sehingga
sebagian peserta didik sama sekali tidak memahami keterampilan-keterampilan
berpikir yang dibicarakan. Diantara beberapa keterampilan berpikir, yang
penting untuk diajarkan kepada peserta didik adalah keterampilan berpikir kritis.
Hal ini dikarenakan berpikir kritis secara luas dipandang sebagai sebuah
kompetensi dasar, seperti halnya membaca dan menulis yang harus diajarkan.
Meskipun telah disebutkan bahwa matematika mampu membekali siswa
dengan kemampuan berpikir kritis, tetapi pada kenyataannya kemampuan
berpikir kritis siswa SMP di Indonesia masih rendah. Hal ini berdasarkan
beberapa kali laporan studi empat tahunan International Trends in International
Mathematics and Science Study (TIMSS) yang dilakukan kepada siswa SMP dengan
karakteristik soal-soal level kognitif tinggi yang dapat mengukur kemampuan
berpikir kritis siswa menunjukkan bahwa siswa-siswa Indonesia secara konsisten
terpuruk di peringkat bawah.
Untuk mengetahui proses berpikir kritis siswa, bukan hal yang mudah bagi
pendidik atau guru. Tidak serta merta dilakukan dengan mengamati secara
sepintas hasil pekerjaan siswa, tetapi menganalisis secara mandalam proses
pemecahan masalah sesuai karakteristik berpikir kritis. Rasiman (2013)
memperkuat pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa kenyataan di
lapangan tidak mudah mengetahui proses berpikir kritis siswa melalui
pembelajaran matematika karena guru lebih berfokus pada hasil belajar siswa.
Berpikir kritis adalah berpikir rasional dalam menilai sesuatu. Sebelum
mengambil suatu keputusan atau melakukan suatu tindakan, maka dilakukan
pengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang sesuatu tersebut. Tujuan
berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang mendalam. Jacob dan
Sam (2008) mengidentifikasi model berpikir kritis yang terdiri atas empat tahap
yaitu klarifikasi (clarification), penilaian (assessment), inferensi (inference) dan
strategi (strategies). Klarifikasi yaitu kegiatan mental dimana siswa memahami
petunjuk dan situasi atau informasi yang diterima, penilaian yaitu kegiatan
mental dimana siswa memberi alasan dengan bukti yang kuat berupa sumber ide
dan kriteria membuat soal, inferensi yaitu kegiatan mental dimana siswa
membuat kesimpulan berdasarkan ide-ide yang telah dikumpulkan dan strategi
yaitu kegiatan mental dimana siswa menjelaskan, mengevaluasi, dan
memprediksi soal dan penyelesaian. Keempat tahap inilah yang menjadi
gambaran proses berpikir kritis siswa. Untuk memperoleh gambaran berpikir
kritis siswa tentunya dibutuhkan strategi yang mempunyai hubungan positif
seperti pengajuan masalah.
Pengajuan masalah (problem posing) adalah suatu kegiatan memberi
kesempatan kepada siswa untuk merumuskan soal berdasarkan informasi yang
diberikan. Silver dan Cai (dalam Siswono, 2008: 40) mengatakan pengajuan
masalah diaplikasikan pada tiga bentuk aktivitas kognitif matematika berbeda,
yaitu pengajuan pre-solusi (pre-solution posing), pengajuan di dalam solusi (within-
solution posing), dan pengajuan setelah solusi (post-solution posing). Pengajuan pre-
solusi yaitu seorang siswa membuat soal dari situasi yang diberikan, pengajuan
di dalam solusi artinya seorang siswa merumuskan ulang soal seperti yang telah
diselesaikan dan pengajuan setelah solusi yaitu seorang siswa memodifikasi
tujuan atau kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk membuat soal yang baru.
Di samping itu, Stoyanova dan Ellerton (1996) mengklasifikasi menjadi tiga
tipe dalam problem posing, yaitu free problem posing (Pengajuan masalah bebas), semi
structure problem posing (Pengajuan masalah semi terstruktur), dan structure
problem posing (Pengajuan masalah terstruktur). Pada free problem posing, siswa
diberikan suatu situasi bebas dalam membuat soal, misalnya membuat soal yang
disukai. Pada situasi semi structure problem posing, siswa diberi informasi yang
terbuka dan siswa membuat soal berdasarkan situasi tersebut. Pada structure
problem posing, siswa diberi masalah khusus (soal), kemudian berdasarkan
masalah atau soal tersebut siswa membuat masalah atau soal baru.
Dari berbagai macam tipe tersebut, penelitian ini menggunakan tipe
pengajuan post-solusition posing yang dikemukakan oleh Silver. Tipe ini juga sama
dengan tipe yang dikemukakan oleh Stoyanova dan Ellerton yaitu tipe structure
problem posing. Pengajuan masalah dengan tipe tersebut merupakan strategi yang
sangat efektif untuk melatih berpikir kritis. Siswa menyelesaikan soal kemudian
siswa memodifikasi kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk membuat soal
baru dengan tingkat kesulitan lebih tinggi. Sehingga tipe ini tepat untuk
digunakan dalam penelitian ini. Kemampuan mengajukan soal mempengaruhi
kemampuan memecahkan masalah.
Pengajuan masalah sangat berdampak positif bagi perkembangan serta
peningkatan pemahaman dan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah
matematika. Barlo dan Cates (dalam Kar dan Isik, 2014: 135) mengatakan bahwa
pengajuan masalah dapat meningkatkan penalaran, pemecahan masalah,
komunikasi serta kreatifitas siswa. Hal ini menunjukkan ada kaitan erat antara
problem posing dan problem solving. Betapa pentingnya untuk mengetahui dan
memahami strategi tersebut karena berbagai persoalan dalam pembelajaran
matematika pada tingkat sekolah menengah dapat terpecahkan dengan
menggunakan strategi pengajuan masalah (problem posing).
Pengajuan masalah juga memiliki keterkaitan yang kuat dengan berpikir
kritis. Terdapat hubungan positif antara keduanya. Zakaria dan Ngah (2011: 869)
mengungkapkan bahwa guru harus melibatkan siswa dalam tugas mengajukan
masalah karena dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah. Secara
tidak langsung kegiatan tersebut membantu siswa agar berpikir kreatif dan kritis.
Selanjutnya Akay dan Boz (2010: 71) yang menyatakan bahwa dengan kegiatan
mengajukan soal dapat mengurangi kecemasan siswa dan bahkan memotivasi
siswa yang kurang menguasai topic untuk mencoba berpikir kritis. Pengajuan
masalah dapat merangsang siswa untuk berpikir kritis.
Di samping itu, strategi setiap siswa dalam menyelesaikan masalah tentunya
tidak lepas dari cara siswa menerima dan mengolah informasi yang didapatkan.
Cara siswa dalam menerima informasi ini disebut sebagai gaya kognitif. Ide-ide
dalam matematika seringkali direpresentasikan dalam bentuk simbol visual dan
simbol verbal. Informasi yang diterima siswa berupa simbol visual dan simbol
verbal bisa berbeda satu dengan yang lainnya bergantung pada gaya kognitif
yang dimiliki.
Menurut McEwan (2007), gaya kognitif yang berkaitan dengan kebiasaan
siswa menggunakan alat inderanya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu gaya
kognitif visualizer dan verbalizer. Adanya perbedaan antara gaya kognitif visualizer
dan gaya kognitif verbalizer disebabkan oleh perbedaan pandangan seseorang
dalam menggambarkan sesuatu. Seseorang dengan gaya kognitif visualizer
cenderung lebih mudah untuk menerima, memproses, menyimpan, dan
menggunakan informasi dalam bentuk gambar maupun grafik. Sedangkan
seseorang dengan gaya kognitif verbalizer cenderung lebih mudah untuk
menerima, memproses, menyimpan, dan menggunakan informasi dalam bentuk
teks atau tulisan. Perbedaan gaya kognitif visualizer dan verbalizer pada
matematika, merupakan salah satu hal yang cukup menarik perhatian sebagian
besar orang. Hal tersebut dikarenakan gaya kognitif bersifat stabil dan mudah
diidentifikasi.
Susan & Collinson (2005:65), “General problem solving strategic such as these are
further influenced by cognitive style”. Ketika siswa memiliki gaya kognitif yang
berbeda maka cara menyelesaikan/memecahkan juga berbeda, sehingga
perbedaan itu juga akan memicu perbedaan berpikir kritis mereka. Berdasarkan
perbedaan-perbedaan yang ada antara siswa yang bergaya kognitif visualizer dan
verbalizer dapat diduga ada kaitannya dengan cara berpikir kritis mereka.
Dalam penelitian ini peneliti memilih siswa SMP untuk dijadikan sebagai
subjek penelitian. Alasan dipilihnya siswa SMP sebagai subjek penelitian
dikarenakan siswa SMP pada umumnya berusia antara 13-14 tahun berada pada
tahap perkembangan formal sesuai dengan tahap intelegensi dan pengetahuan
Piaget. Pada tahap perkembangan formal, individu mampu memberikan alasan
dengan menggunakan lebih banyak simbol atau gagasan dalam cara berpikirnya.
Selain itu dipilihnya subjek siswa SMP karena siswa SMP telah memiliki
pengetahuan yang dianggap cukup yang diperlukan dalam menyelesaikan tugas
yang berkaitan dengan pengajuan masalah.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang
berjudul “Proses Berpikir Kritis Siswa SMP Dalam Pengajuan masalah
Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer”
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka pertanyaan penelitian ini,
yaitu:
1. Bagaimana proses berpikir kritis siswa SMP bergaya kognitif visualizer dalam
pengajuan masalah matematika?
2. Bagaimana proses berpikir kritis siswa SMP bergaya kognitif verbalizer dalam
pengajuan masalah matematika?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan, maka tujuan
penelitian ini yaitu:
1. Mendeskripsikan proses berpikir kritis siswa SMP bergaya kognitif visualizer
dalam pengajuan masalah matematika.
2. Mendeskripsikan proses berpikir kritis siswa SMP bergaya kognitif verbalizer
dalam pengajuan masalah matematika.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Memberikan referensi bagi guru matematika tentang perbedaan kemampuan
berpikir kritis siswa SMP bergaya kognitif visualizer dan verbalizer dalam
mengajukan soal matematika.
2. Sebagai pertimbangan bagi guru dalam merancang pembelajaran dengan
memerhatikan gaya kognitif siswa, khususnya berpikir kognitif visualizer dan
verbalizer.
3. Sebagai referensi bagi para peneliti lain yang ingin melakukan penelitian
serupa dengan penelitian ini.
E. Batasan Penelitian
Untuk menghindari pembahasan yang meluas dalam penelitian ini, maka
peneliti memberikan batasan penelitian sebagai berikut:
1. Penelitian hanya dilakukan pada siswa SMP Kelas VIII di SMP Negeri 1
Taman, Sidoarjo.
2. Wawancara dilakukan terhadap siswa berkemampuan tinggi dengan gaya
kognitif visualizer dan gaya kognitif verbalizer yang telah menyelesaikan tes
pengajuan masalah matematika.
3. Materi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu materi sistem persamaan
linear dua variabel (SPLDV).
4. Pemilihan subjek bergantung pada hasil tes kemampuan matematika, dan tes
penggolongan gaya kognitif dimana subjek yang dipilih yaitu satu subjek
bergaya kognitif visualizer dan satu subjek bergaya kognitif verbalizer.
F. Definisi Operasional
Untuk mempermudah dan menghindari terjadinya kesalahan dalam
penafsiran istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka didefinisikan
berbagai istilah berikut.
1. Berpikir adalah suatu aktivitas mental untuk mendapatkan keputusan sebagai
pemecahan masalah dari suatu permasalahan yang ada dengan
mempertimbangkan berbagai hal.
2. Berpikir kritis adalah aktivitas mental yang dilakukan secara sistematis dalam
mengolah semua informasi logis atau masalah yang diperoleh untuk
menganalisis ide, sehingga dapat membuat keputusan yang tepat untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi.
3. Proses adalah runtutan peristiwa, rangkaian tindakan atau pengelolaan untuk
menghasilkan produk.
4. Proses berpikir kritis adalah runtutan peristiwa yang terjadi ketika melakukan
aktivitas mental yang dilakukan secara sistematis dalam mengolah informasi
secara terstruktur terhadap semua informasi logis atau masalah yang
diperoleh sehingga dapat membuat keputusan yang tepat melalui tahap
klarifikasi, asesmen, inferensi, dan strategi
5. Masalah matematika adalah soal/pertanyaan atau situasi matematika yang
menantang dan membutuhkan tindakan untuk mencari jawaban atau
solusinya.
6. Pengajuan masalah matematika adalah suatu kegiatan merumuskan,
membuat, atau mengajukan soal/pertanyaan matematika berdasarkan
informasi yang diberikan dan menyelesaikannya.
7. Proses berpikir kritis dalam pengajuan masalah matematika adalah runtutan
peristiwa yang terkadi ketika melakukan aktivitas mental yang dilakukan
secara sistematis sehingga dapat membuat keputusan yang tepat melalui
tahap klarifikasi, asesmen, inferensi, dan strategi dalam merumuskan,
membuat, atau mengajukan soal/pertanyaan matematika berdasarkan
informasi yang diberikan dan menyelesaikannya.
8. Gaya kognitif adalah karakter khas seseorang dalam berfikir, mengingat,
menyimpan, menyelesaikan masalah, dan menggunakan informasi yang
bersifat tetap dari waktu ke waktu.
9. Gaya kognitif visualizer merupakan kebiasaan seseorang yang cenderung
untuk menangkap informasi dari apa yang mereka lihat, sehingga mereka
lebih mudah menerima, memproses, menyimpan, dan menggunakan
informasi dalam bentuk gambar.
10. Gaya kognitif verbalizer merupakan kebiasaan seseorang yang cenderung
untuk menangkap informasi dari apa yang mereka dengar, sehingga mereka
lebih mudah untuk menerima, memproses, menyimpan, dan menggunakan
informasi dalam bentuk teks atau tulisan.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Berpikir
Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang apabila ia
dihadapkan pada suatu masalah atau kondisi tertentu yang harus diselesaikan.
Sobur (2003) mendefinisikan berpikir sebagai kegiatan mental yang melibatkan
kerja otak, serta berpikir juga berarti berjerih payah secara mental untuk
memahami sesuatu atau mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi.
Santrock (2010) menyatakan bahwa berpikir adalah manipulasi atau mengelola
dan mentransformasi informasi dalam memori. Sedangkan Siswono (2008)
menyatakan berpikir sebagai suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila
mereka dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan.
Kegiatan mental dalam hal ini adalah kegiatan dalam memproses informasi.
Pendapat para ahli ini menjelaskan bahwa berpikir sebagai suatu kegiatan mental
(pikiran) seseorang yang melibatkan kerja otak dalam memproses,
mentransformasi, sekaligus memahami informasi untuk memecahkan masalah
yang dihadapi.
Hal ini sejalan dengan pendapat Hudojo (1988) bahwa seseorang dikatakan
berpikir jika seseorang itu melakukan kegiatan mental dan individu belajar
matematika pasti melakukan kegiatan mental. Dalam berpikir itu, seseorang akan
menyusun hubungan-hubungan antar bagian-bagian dari informasi yang telah
direkam di dalam pikiran orang itu sebagai pengertian-pengertian, dan dari
pengertian tersebut terbentuklah pendapat untuk menarik sebuah kesimpulan
dari solusi permasalahan. Pendapat Hudojo menegaskan definisi berpikir dalam
matematika ketika seseorang dihadapkan pada masalah matematika maka
seseorang tersebut selalu melakukan kegiatan mental dengan memproses dan
memahami informasi yang sebelumnya menyusun pengertian-pengertian terlebih
dahulu sehingga diperoleh keputusan untuk menarik sebuah kesimpulan sebagai
suatu pemecahan masalah.
Solso (2007) menjelaskan berpikir merupakan proses yang membentuk
representasi mental baru melalui transformasi dan informasi oleh interaksi
kompleks dari atribut mental yang mencakup pertimbangan, pengabstrakan,
penalaran, penggambaran, pemecahan masalah logis, pembentukan konsep,
kreativitas dan kecerdasan. Pendapat Solso menjelaskan bahwa berpikir dapat
digambarkan melalui sebuah proses yang meliputi pengolahan informasi,
pembentukan pengertian, pendapat dan penarikan kesimpulan dari informasi-
informasi yang diperoleh dengan cara penilaian, abstraksi, penalaran, imajinasi
dan pemecahan masalah untuk mendapatkan solusi dari suatu permasalahan.
Krulik dan Rudnick (1999) membagi berpikir menjadi empat bagian , yaitu
mengingat (recall), berpikir dasar (basic), berpikir kritis (critical), dan berpikir
kreatif. Pengingatan merupakan keterampilan-keterampilan berpikir yang
hampir otomatis dan reflektif (tanpa disadari). Berpikir dasar adalah pemahaman
dan pengenalan terhadap konsep-konsep matematis. Berpikir kritis adalah
berpikir yang melibatkan kegiatan menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi
semua aspek dari masalah. Berpikir kreatif merupakan pemikiran yang bersifat
keaslian dan reflektif serta menghasilkan sesuatu yang kompleks dan “baru”.
Kategori tingkatan tersebut tidak diskrit dan sulit sekali untuk didefinisikan
dengan tepat. Berpikir kritis dan kreatif merupakan perwujudan dari berpikir
tingkat tinggi (Siswono, 2008). Kemampuan berpikir tersebut merupakan
kompetensi kognitif tertinggi yang perlu dikuasai siswa di kelas.
Berdasarkan uraian para ahli di atas mengenai pengertian berpikir, berpikir
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu aktivitas mental untuk
mendapatkan keputusan sebagai pemecahan masalah dari suatu permasalahan
yang ada dengan mempertimbangkan berbagai hal.
B. Bepikir Kritis
Salah satu komponen berpikir yang perlu dilatih dan dikembangkan di
sekolah yaitu berpikir kritis. Berpikir kritis merupakan keterampilan berpikir
tingkat tinggi yang penting untuk dimiliki seorang siswa agar dapat memecahkan
masalah matematika dengan baik. Hal ini didukung oleh Harish (2013) yang
mengatakan, “Mathematics is an abstract subject and solving problems in mathematics
is the framework of pattern within which critical thinking and reasoning take place”.
Matematika adalah subjek abstrak dan memecahkan masalah dalam matematika
adalah kerangka pola di mana berpikir kritis dan penalaran berlangsung.
Pemikiran kritis memiliki peran penting dalam memilih ide-ide yang terbaik,
manfaat ide-ide baru dan memodifikasinya jika perlu. Sehingga bermanfaat di
dalam melakukan pekerjaan yang memerlukan kreatifitas.
Siswono (2007) mengatakan bahwa berpikir kritis mengorganisasikan proses
yang digunakan dalam aktivitas mental seperti menyelesaikan masalah,
pengambilan keputusan, meyakinkan, menganalisis, asumsi-asumsi dan
penemuan ilmiah. Berpikir kritis adalah suatu aktivitas mental untuk bernalar
dalam suatu cara yang terorganisasi. Fisher (2008) berpendapat bahwa berpikir
kritis merupakan jenis berpikir yang tidak mengarah pada kesimpulan, atau
menerima beberapa bukti, tuntutan, atau keputusan begitu saja, tanpa sungguh-
sungguh memikirkannya dan berpikir kritis dengan jelas menuntut interpretasi
dan evaluasi terhadap observasi, komunikasi, dan sumber-sumber informasi
lainnya. Ia menuntut keterampilan dalam memikirkan asumsi-asumsi, dalam
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dalam menarik implikasi-
implikasi.
Jacob dan Sam (2008) menyatakan bahwa, “Critical thinking includes not only
discovery (the intuition and creative processes), but also justification (the evaluative and
logical-reasoning processes)”. Diartikan bahwa berpikir kritis adalah proses yang
lebih luas di mana bukan hanya meliputi penemuan (intuitif dan proses kreatif)
tetapi juga dasar kebenaran (evaluasi dan proses penalaran yang logis). Siswa
yang berpikir kritis tidak hanya mampu menemukan penyelesaian dari suatu
masalah tetapi juga memperhatikan proses dan evaluasi yang logis.
Menurut Wijaya (2010:72), “Berpikir kritis adalah kegiatan menganalisis ide
atau gagasan ke arah yang lebih spesifik, membedakannya secara tajam, memilih,
mengidentifikasi, mengkaji, dan mengembangkannya ke arah yang lebih
sempurna”. Definisi tersebut menunjukkan bahwa seseorang individu yang
berpikir kritis mampu menganalisis dan memilih informasi yang dianggap paling
relevan kemudian mengkaji dan mengembangkannya menjadi suatu gagasan
yang dapat dijadikan sebagai solusi untuk masalah yang dihadapi.
Setiap orang yang berpikir kritis kritis tentunya memiliki karakter khusus
yang dapat terlihat dari bagaimana seseorang menyelesaikan permasalahan.
Wijaya (2010) menyebutkan beberapa ciri-ciri/karakteristik seseorang yang
berpikir kritis yaitu sebagai berikut.
1. Mampu membedakan ide yang relevan dengan yang tidak relevan.
2. Mampu membedakan fakta dengan fiksi atau pendapat.
3. Mampu membedakan argumentasi logis dan tidak logis.
4. Mampu mandaftar segala akibat yang mungkin terjadi atau alternatif
pemecahan masalah.
5. Mampu menarik kesimpulan dari data yang telah ada dan terseleksi.
6. Mampu menganalisis isi, hubungan, prinsip, dan bias.
7. Mampu membuat hubungan yang berurutan antara suatu masalah dengan
masalah yang lainnya.
Elaine (2014) menyatakan bahwa terdapat delapan langkah untuk menjadi
pemikir kritis yang diuraikan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan, sebagai
berikut.
1. Apa sebenarnya isu, masalah, keputusan atau kegiatan yang sedang
dipertimbangkan?
Masalah harus digambarkan secara jelas sehingga dapat diteliti dengan baik.
Ada masalah pasti ada solusi.
2. Apa sudut pandangnya?
Pemikir kritis berusaha untuk menyadari sudut pandang yang digunakannya
sehingga dapat menempatkan posisinya dengan tepat. Sudut pandang yang
kurang tepat dapat mencemari pikiran sehingga menuju pada pengambilan
keputusan atau kesimpulan yang keliru.
3. Apa alasan yang diajukan?
Keyakinan dan tindakan kita didasarkan pada alasan yang masuk akal. Alasan
bisa bersifat factual dan bisa berupa penjelasan. Alasan yang bagus harus
sesuai informasi yang dapat dipercaya dan relevan dengan kesimpulan yang
ditarik sesudahnya.
4. Asumsi-asumsi apa saja yang dibuat?
Asumsi adalah ide-ide kita yang kita terima apa adanya. Kita berharap orang
lain mau menerima kebenaran asumsi yang kita buat.
5. Apakah bahasanya jelas?
Pemikir kritis berusaha untuk memahami. Untuk menemukan makna,
penggunaan bahasa berupa kata-kata yang dipakai harus tepat. Bahasa harus
memperjelas maksud bukan sebaliknya menyebabkan pengertian menjadi
tidak jelas.
6. Apakah alasan didasarkan pada bukti-bukti yang meyakinkan?
Tugas pemikir kritis adalah menilai bukti. Bukti yang dapat dipercaya
memiliki sifat yaitu: tidak bertentangan dengan pokok masalahnya, berasal
dari sumber-sumber terbaru, akurat, dapat diuji dan berlaku umum.
7. Kesimpulan apa yang ditawarkan?
Setelah mengumpulkan dan mengevaluasi informasi untuk memecahkan
sebuah masalah, pemikir kritis mulai merumuskan kesimpulan yang tepat.
Langkah efektif untuk menentukan apakah sebuah kesimpulan sudah benar
yaitu mengidentifikasi setiap alasan yang disampaikan untuk mendukung
kesimpulan tersebut, menanyakan apakah alasan-alasan yang diberikan
benar-benar kuat dan akhirnya menanyakan apakah kesimpulan yang diambil
sesuai dan konsisten dengan alasan yang mendasarinya.
8. Apakah implikasi dari kesimpulan-kesimpulan yang sudah diambil?
Ketika menerima suatu kesimpulan pemikir kritis berusaha untuk
memprediksi dan mengevaluasi semua efek samping yang mungkin timbul.
Berdasarkan definisi dan karakteristik berpikir kritis yang dikemukakan oleh
para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis merupakan aktivitas
mental yang dilakukan secara sistematis dalam mengolah semua informasi atau
masalah yang diperoleh untuk menganalisis ide, sehingga dapat membuat
keputusan yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Untuk mengetahui gambaran proses berpikir kritis, terdapat berbagai model
yang dikembangkan oleh beberapa peneliti. Seperti yang ditunjukkan pada tabel
berikut.
In-depth In-depth
clarification clarification Assessment
Step 2 Basic support Exploration Assessment
Inference Inference
Inference
Step 3 Inference Integration Inference
Judgment Judgment
Advanced
Strategies
Step 4 clarification Resolution Strategies
Strategies and Strategies Strategy
Formation -
Step 5 tactics - -