Anda di halaman 1dari 11

METODOLOGI PENELITIAN

“PENGARUH PENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS LITERASI SAINS TERHADAP


HASIL BELAJAR PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT
SISWA KELAS X DI SMAN 1 JONGGAT”

DISUSUN OLEH :

DEA PAZIRA RAHAYU (E1M015018)

PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MATARAM

2018
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Tentang Belajar


2.1.1. Pengertian Belajar
Berkaitan dengan pengertian belajar, beberapa pakar pendidikan mendefinisikan
belajar sebagai berikut:
a. James O Whittake
Dalam Anurrahman (2009), James O Whittake mengemukakan, belajar adalah
proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.
b. Clifford T. Morgan
Menurut Clifford T. Morgan (2001) dalam Anurrahman (2009), “learning can be
defined as any relatively permanent change in an organism behavioral repertoire that
occurs as a result of experience.” (Belajar adalah perubahan perilaku yang bersifat
permanen sebagai hasil dari pengalaman).
c. Oemar Hamalik
Menurut Hamalik (2001), belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku
individu melalui interaksi dengan lingkungan. Aspek tingkah laku tersebut adalah
pengetahuan, pengertian, kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan sosial,
jasmani, etis atau budi pekerti dan sikap.
Dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku
yang dialami seseorang/individu melalui interaksi dengan lingkungan sehingga ia
memperoleh keahlian dan kepandaian, baik yang menyangkut pengetahuan, minat,
keterampilan maupun sikap, dan penyesuaian diri dengan lingkungannya.
2.1.2. Hasil Belajar
Menurut Mulyasa (2004), hasil belajar yaitu suatu kemampuan melakukan tugas-
tugas standar performansi tertentu yang dicapai seseorang setelah mengikuti proses
belajar mengajar, dimana hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan
terhadap seperangkat kemampuan yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Hasil belajar yang diperoleh siswa biasanya dinyatakan dalam angka-
angka. Hasil belajar ini diukur melalui tes atau penilaian hasil belajar.
Arikunto (2012) berpendapat bahwa prestasi merupakan hasil yang diperoleh
setelah melalui kegiatan belajar. Prestasi dapat digambarkan dengan suatu simbol yang
menyatakan nilai, baik dalam bentuk huruf maupun angka, dimana unsur-unsur subjektif
pendidik tidak boleh diikutkan dalam penilaian tersebut. Nilai prestasi harus
mencerminkan tindakan-tindakan peserta didik, sejauh mana ia telah mencapai tujuan
yang diterapkan di setiap bidang studi. Dalam institusi pendidikan, baik langsung
maupun tidak langsung, prestasi atau hasil belajar terkait dengan evaluasi.
Menurut Benyamin Bloom, hasil belajar dibagi menjadi tiga ranah, yaitu ranah
kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotorik. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil
belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, kedua aspek pertama disebut kognitif
tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi. Keenam
jenjang atau aspek yang dimaksud adalah (Sudjana, 2010): (1) Pengetahuan (2)
Pemahaman (3) Aplikasi (4) Analisis (5) Sintesis (6) Evaluasi.
2.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Menurut Syah (2008), secara garis besar, faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
belajar peserta didik di sekolah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Faktor internal (faktor dari dalam diri peserta didik), yakni keadaan/kondisi jasmani atau
rohani peserta didik. Yang termasuk faktor-faktor internal antara lain :
1) Faktor fisiologis atau faktor jasmaniah
Faktor jasmaniah meliputi kesehatan dan cacat tubuh.
2) Faktor psikologis
Yang termasuk dalam faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi prestasi belajar
adalah intelegensi, perhatian, minat, motivasi, dan bakat.
b. Faktor eksternal (faktor dari luar peserta didik), yakni kondisi lingkungan sekitar peserta
didik. Adapun yang termasuk faktor-faktor ini antara lain :
1) Faktor sosial
Faktor sosial yang terdiri atas lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan
lingkungan masyarakat. Faktor sekolah yang mempengaruhi belajar meliputi metode
mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi antar siswa, disiplin sekolah,
pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, metode belajar dan
tugas rumah.
2) Faktor nonsosial
Faktor nonsosial meliputi keadaan dan letak gedung sekolah, alat-alat dan sumber
belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan siswa.
2.2 Literasi Sains
2.2.1 Pengertian Literasi Sains
Literasi sains (Science Literacy) berasal dari gabungan dua kata Latin, yaitu literatus
yang berarti huruf, melek huruf, atau berpendidikan dan scientia yang artinya memiliki
pengetahuan. Paul de Hart Hurt (dalam Adisendjaja, 2007:2) adalah orang pertama yang
menggunakan istilah literasi sains, menurut Hurt scienci literacy berarti tindakan
memahami sains dan mengaplikasikannya bagi kebutuhan masyarkat (Toharudin dkk,
2011:1). Sementara itu, National Science Teacher Assosiation (Putri, 2013:5)
mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki literasi sains adalah yang menggunakan
konsep sains, mempunyai keterampilan proses sains untuk dapat menilai dan membuat
keputusan sehari-hari kalau ia berhubungan dengan orang lain, lingkungan, serta
memahami interaksi antara sains, teknologi dan masyarakat, termasuk perkembangan
sosial dan ekonomi. Literasi sains didefinisikan pula sebagai kapasitas untuk
menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan dan menarik kesimpulan
berdasarkan fakta dan data untuk memahami alam semesta dan membuat keputusan dari
perubahan yang terjadi karena aktivitas manusia. Berdasarkan beberapa pendapat
tersebut, dapat disimpulkan bahwa literasi sains adalah kemampuan atau tindakan
seseorang dalam memahami konsep, menulis, melisankan, serta mengaplikasikan
pengetahuan sains agar dapat memecahkan masalah-masalah sains yang terjadi didalam
kehidupannya sehingga dapat menemukan keputusan yang tepat berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan sains.
Kemampuan literasi sains terlihat dari kemampuan berkomunikasi, kemampuan
berpikir, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan menguasai teknologi, memiliki
kemampuan adaptif terhadap perubahan dan perkembangan kehidupan. Sumartati (2010)
berpendapat bahwa proses pendidikan sains dapat membentuk manusia melek sains dan
teknologi seutuhnya. Pernyataan tersebut didukung oleh Liliasari (2011) bahwa adanya
proses pembelajaran sains menghasilkan peserta didik yang berkualitas dengan
ditunjukkan sikap sadar sains (literasi sains), memiliki nilai dan kemampuan berpikir
tingkat tinggi yang nantinya memunculkan sumber daya manusia yang dapat berpikir
kritis, berpikir kreatif, membuat keputusan dan memecahkan masalah.
Menurut Firman (2007) dalam Herdiani (2013) menyatakan bahwa dalam konteks
PISA (Programme International Student Assessment), literasi sains didefinisikan sebagai
kemampuan untuk menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi pertanyaan, dan
menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti dalam rangka memahami dan membuat
keputusan berkenaan dengan alam serta perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui
aktivitas manusia. PISA (2003) dalam Toharuddin (2011) menekankan 3 aspek penting
dalam pembelajaran sains serta menjadi studi yang dilakukan, yakni aspek konten,
konteks dan proses.
Berdasarkan uraian tentang literasi sains (science literacy) diatas maka dapat
disimpulkan bahwa literasi sains adalah kemampuan menggunakan pemahaman sains
untuk menjelaskan fenomena dalam kehidupan sehari-hari dengan mengidentifikasi
pertanyaan dan menarik kesimpulan serta membuat keputusan yang berkenaan dengan
perubahan alam melalui aktivitas manusia.
Kemampuan literasi sains siswa Indonesia dari hasil studi internasional PISA
tahun 2006, diperoleh hasil bahwa:
1) Kemampuan literasi sains siswa Indonesia berada pada peringkat ke-50
dari 57 negara. Skor rata-rata sains yang diperoleh siswa Indonesia adalah 393. Skor rata-
rata tertinggi dicapai oleh Finlandia (563) dan terendah dicapai oleh Kyrgyzstan (322).
Kemampuan literasi sains rata-rata siswa Indonesia tidak berbeda secara signifikan
dengan kemampuan literasi sains siswa dari Argentina, Brazil, Colombia, Tunisia, dan
Azerbaijan. Kemampuan literasi sains rata-rata siswa Indonesia lebih tinggi secara
signifikan dibandingkan dengan kemampuan literasi sains siswa dari Qatar dan
Kyrgyzstan. Dua negara yang berada dua peringkat di atas Indonesia adalah Mexico dan
Montenegro.
2) Secara internasional skala kemampuan literasi sains dibagi menjadi 6 level
kemampuan. Berdasarkan level kemampuan ini, sebanyak 20,3% siswa Indonesia berada
di bawah level 1 (skor di bawah 334,94), 41,3% berada pada level 1 (skor 334,94 –
409,54), 27,5% berada pada level 2 (skor 409,54 – 484,14), 9,5% berada pada level 3
(skor 484,14 – 558,73), dan 1,4% berada pada level 4. Tidak ada siswa Indonesia yang
berada pada level 5 dan level 6. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar (41,3%)
siswa Indonesia memiliki pengetahuan ilmiah terbatas yang hanya dapat diterapkan pada
beberapa situasi yang familiar. Mereka dapat mempresentasikan penjelasan ilmiah dari
fakta yang diberikan secara jelas dan eksplisit. Sebanyak 27,5% siswa Indonesia
memiliki pengetahuan ilmiah yang cukup untuk memberikan penjelasan yang mungkin
dalam konteks yang familiar atau membuat kesimpulan berdasarkan pengamatan
sederhana. Siswa-siswa dapat memberikan alasan secara langsung dan membuat
interpretasi seperti yang tertulis dari hasil pengamatan ilmiah yang lebih mendalam atau
pemecahan masalah teknologi.
3) Dibandingkan dengan kemampuan literasi sains gabungan, kompetensi
siswa Indonesia dalam mengidentifikasi masalah ilmiah lebih rendah (-0,4), menjelaskan
fenomena secara ilmiah lebih tinggi (1,1 poin), dan menggunakan fakta ilmiah lebih
rendah (-7,8). Sementara itu, pengetahuan siswa Indonesia tentang sains lebih rend ah (-
6,4), bumi dan antariksa lebih tinggi (8,3), sistem kehidupan lebih rendah (-2,5), dan
sistem fisik lebih rendah (-7,4). Hal ini menunjukkan bahwa siswa Indonesia memiliki
kompetensi paling tinggi dalam menjelaskan fenomena secara ilmiah dan memiliki
pengetahuan sains tertinggi dalam bumi dan antariksa.
4) Berdasarkan jenis kelamin, kemampuan literasi sains rata-rata siswa
Indonesia laki-laki (skor 399) lebih tinggi daripada kemampuan literasi sains rata -rata
siswa Indonesia perempuan (skor 387). Perbedaan skor rata-rata siswa laki-laki dan
perempuan adalah 12.
5) Dibandingkan dengan hasil studi PISA tahun 2000/2001 dan 2003,
kemampuan literasi sains siswa Indonesia pada tahun 2006 relatif stabil atau tidak
mengalami peningkatan. Skor literasi sains rata-rata siswa Indonesia pada tahun
2000/2001 adalah 393 dan tahun 2003 adalah 395. Hasil Studi PISA tahun 2009
menunjukkan tingkat literasi sains siswa Indonesia yang tidak jauh berbeda dengan hasil
studi tahun 2006. Tingkat literasi sains siswa Indonesia berada pada peringkat ke 57 dari
65 negara peserta dengan skor yang diperoleh 383 dan skor ini berada di bawah rata-rata
standar dari PISA.
Pada tabel 2.3 disajikan peringkat literasi sains Indonesia sejak tahun 2000-2015
di bawah ini:
Tabel 2.2 Data Peringkat Literasi Sains Indonesia
Jumlah
Skor rata-
Tahun Skor Peringkat Negara
rata
Studi Maksimum Indonesia Peserta
Indonesia
Studi
2000 393 500 38 41
2003 395 500 38 40
2006 393 500 50 57
2009 383 500 60 65
2012 375 500 64 65
2015 403 500 42 50
(Sumber: OECD (2015) & Asyhari (2015)
Hasil penelitian Suciati (2011) terkait kemampuan literasi sains siswa Indonesia
juga menunjukkan hal yang sama, nilai rata-rata persentase literasi sains siswa pada 3
aspek sains yakni konten, konteks dan proses adalah ¿ 50%. Oleh karenanya,
dibutuhkan situasi pembelajaran atau model pembelajaran yang tepat dan mampu
meningkatkan kemampuan literasi sains siswa, seperti hasil penelitian yang dilakukan
oleh Haristy (2013) yang menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis literasi sains yang
diterapkan di kelas eksperimen memberikan peningkatan hasil belajar yang lebih baik
dibandingkan dengan kelas kontrol (metode konvensional). Hal ini disebabkan adanya
perbedaan situasi belajar. Peningkatan hasil belajar tersebut dapat dilihat dari peningkatan
nilai rata-rata kelas eksperimen dari 51,43 menjadi 75,2 sedangkan nilai rata-rata pada
kelas kontrol adalah 34,82 menjadi 37,67.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan rendahnya kemampuan literasi sains
peserta didik di Indonesia, diantaranya:
1) sistem pendidikan yang diterapkan
2) model, pendekatan, metode, strategi pembelajaran yang diterapkan
3) sumber belajar yang digunakan
4) gaya belajar peserta didik
5) sarana prasarana pembelajaran.
Salah satu faktor yang disebutkan di atas, yang dapat menyebabkan rendahnya
kemampuan literasi sains peserta didik adalah model pembelajaran yang diterapkan di
kelas. Oleh karena itu, untuk menunjang proses pembelajaran dan hasil belajar yang
berkualitas dan maksimal dibutuhkan model pembelajaran yang baik. Model
pembelajaran learning cycle 5E merupakan pembelajaran yang dapat meningkatkan
aktivitas belajar dan pengetahuan literasi sains siswa karena pembelajaran berpusat pada
siswa (student centered learning) serta siswa dihadapkan pada permasalahan yang ada
dalam kehidupan sehari-hari sehingga siswa lebih mudah untuk memahami dan membuat
keputusan yang berkenaan dengan fenomena atau perubahan alam melalui aktivitas
manusia.

2.3 Tinjauan Materi Larutan Elektrolit dan Larutan Nonelektrolit

Materi larutan elektrolit dan larutan nonelektrolit yang dibahas meliputi


pengertian larutan elektrolit dan nonelektrolit, perbedaan larutan elektrolit dan
nonelekrolit, pengelompokkan larutan ke dalam larutan larutan elektrolit atau
nonelektrolit, sifat larutan elektrolit dan nonelektrolit, dan isu-isu atau fenomena ilmiah
mengenai larutan elektrolit dan nonelektrolit dalam kehidupan sehari-hari.

1. Larutan elektrolit dan nonelektrolit

a. Larutan elektrolit adalah larutan yang dapat menghantarkan arus listrik dengan
memberikan gejala berupa menyalanya lampu pada alat uji atau timbulnya
gelmbung gas dalam larutan. Larutan yang menunjukan gejala-gejala tersebut
pada pengujian tergolong ke dalam larutan elektrolit.

b. Larutan nonelektrolit adalah larutan yang tidak dapat menghantarkan arus listrik
dengan memberikan gejala berupa tidak ada gelembung dalam larutan atau lampu
tidak menyala pada alat uji. Larutan yang menunjukan gejala-gejala tersebut pada
pengujian tergolong ke dalam larutan nonelektrolit.

2. Jenis-jenis larutan berdasarkan daya hantar listrik

a. Larutan elektrolit kuat


Larutan elektrolit kuat adalah larutan yang banyak menghasilkan ion – ion karena
terurai sempurna, maka harga derajat ionisasi (ά ) = 1. Banyak sedikit elektrolit
menjadi ion dinyatakan dengan derajat ionisasi ( ά ) yaitu perbandingan jumlah
zat yang menjadi ion dengan jumlah zat yang di hantarkan. Yang tergolong
elektrolit kuat adalah :

1) Asam – asam kuat

2) Basa – basa kuat

3) Garam – garam yang mudah larut

Ciri – ciri daya hantar listrik larutan elektrolit kuat yaitu lampu pijar akan
menyala terang dan timbul gelembung – gelembung di sekitar elektrode. Larutan
elektrolit kuat terbentuk dari terlarutnya senyawa elektrolit kuat dalam pelarut air.
Senyawa elektrolit kuat dalam air dapat terurai sempurna membentuk ion positif
( kation ) dan ion negatif (anion). Arus listrik merupakan arus electron. Pada saat
di lewatkan ke dalam larutan elektrolit kuat, electron tersebut dapat di hantarkan
melalui ion – ion dalam larutan, seperti ddihantarkan oleh kabel. Akibatnya lampu
pada alat uji elektrolit akan menyala. Elektrolit kuat terurai sempurna dalam
larutan. Contoh : HCl, HBr, HI, HNO3, H2SO4, NaOH, KOH, dan NaCL.

b. Larutan elektrolit lemah

Larutan elektrolit lemah adalah larutan yang daya hantar listriknya lemah dengan
harga derajat ionisasi sebesar 0 < ά > 1. Larutan elektrolit lemah mengandung zat
yang hanya sebagian kecil menjadi ion – ion ketika larut dalam air. Yang
tergolong elektrolit lemah adalah :

1) Asam – asam lemah

2) Garam – garam yang sukar larut

3) Basa – basa lemah


Adapun larutan elektrolit yang tidak memberikan gejala lampu menyala, tetapi
menimbulkan gas termasuk ke dalam larutan elektrolit lemah. Contohnya adalah
larutan ammonia, larutan cuka dan larutan H2S.

c. Larutan nonelektrolit

Larutan non elektrolit adalah larutan yang tidak dapat menghantarkan arus listrik
karena zat terlarutnya di dalam pelarut tidak dapat menghasilkan ion – ion ( tidak
mengion ). Yang tergolong jenis larutan ini adalah larutan urea, larutan sukrosa,
larutan glukosa, alcohol dan lain – lain.

2.4 Kerangka berpikir

Berikut kerangka berpikir dalam penelitian ini :


Masalah:
- Kemampuan literasi sains siswa di Indonesia masih dibawah standar Internasional

Kelas X MIPA Kelas X MIPA

(kelas control) (kelas experiment)

Tidak diberi perlakuan Diberikan perlakuan

Soal posttes Soal posttes

Bandingkan

Hasil perbandingan penerapan


pembelajaran berbasis literasi sains
terhadap hasil belajar siswa pada materi
larutan elektrolit dan larutan
nonelektrolit

Anda mungkin juga menyukai