Definisi
Dekubitus sering disebut ulkus dermal / ulkus dekubitus atau luka tekan terjadi
akibat tekanan yang sama pada suatu bagian tubuh yang mengganggu sirkulasi
(Harnawatiaj, 2008).
Dekubitus adalah Kerusakan lokal dari kulit dan jaringan dibawah kulit yang
disebabkan penekanan yang terlalu lama pada area tersebut (Ratna Kalijana, 2008)
Ulkus dekubitus adalah kerusakan kulit yang terjadi akibat kekurangan
alirandarah dan iritasi pada kulit yang menutupi tulang yang menonjol, dimana kulit
tersebut mendapatkan tekanan dari tempat tidur, kursi roda, gips, pembidaian atau
benda keras lainnya dalam jangka panjang (Susan L, dkk. 2005)
C. Etiologi
Luka Dekubitus disebabkan oleh kombinasi dari faktor ekstrinsik dan intrinsik
pada pasien.
1. Faktor Ekstrinsik
a. Tekanan
kulit dan jaringan dibawahnya tertekan antara tulang dengan permukaan keras
lainnya, seperti tempat tidur dan meja operasi. Tekanan ringan dalam waktu
yang lama sama bahayanya dengan tekanan besar dalam waktu singkat.
Terjadi gangguan mikrosirkulasi lokal kemudian menyebabkan hipoksi dan
nekrosis. tekanan antar muka ( interface pressure). Tekanan antar muka adalah
kekuatan per unit area antara tubuh dengan permukaan matras. Apabila
tekanan antar muka lebih besar daripada tekanan kapiler rata rata, maka
pembuluh darah kapiler akan mudah kolap, daerah tersebut menjadi lebih
mudah untuk terjadinya iskemia dan nekrotik. Tekanan kapiler rata rata adalah
sekitar 32 mmHg.
b. Gesekan dan pergeseran
gesekan berulang akan menyebabkan abrasi sehingga integritas jaringan rusak.
Kulit mengalami regangan, lapisan kulit bergeser terjadi gangguan
mikrosirkulasi lokal.
c. Kelembaban
akan menyebabkan maserasi, biasanya akibat inkontinensia, drain dan
keringat. Jaringan yang mengalami maserasi akan mudah mengalami
erosi. Selain itu kelembapan juga mengakibatkan kulit mudah terkena
pergesekan (friction) dan perobekan jaringan (shear). Inkontinensia alvi lebih
signifikan dalam perkembangan luka tekan daripada inkontinensia urin karena
adanya bakteri dan enzim pada feses dapat merusak permukaan kulit.
d. Kebersihan tempat tidur, alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau peralatan
medik yang menyebabkan klien terfiksasi pada suatu sikap tertentu juga
memudahkan terjadinya dekubitus.
2. Fase Intrinsik
a. Usia
pada usia lanjut akan terjadi penurunan elastisitas dan vaskularisasi. Pasien
yang sudah tua memiliki resiko yang tinggi untuk terkena luka tekan karena
kulit dan jaringan akan berubah seiring dengan penuaan. Penuaan
mengakibatkan kehilangan otot, penurunan kadar serum albumin, penurunan
respon inflamatori, penurunan elastisitas kulit, serta penurunan kohesi antara
epidermis dan dermis. Perubahan ini berkombinasi dengan faktor penuaan lain
akan membuat kulit menjadi berkurang toleransinya terhadap tekanan,
pergesekan, dan tenaga yang merobek. Selain itu, akibat dari penuaan adalah
berkurangnya jaringan lemak subkutan, berkurangnya jaringan kolagen dan
elastin. menurunnya efesiensi kolateral kapiler pada kulit sehingga kulit
menjadi lebih tipis dan rapuh.
b. Penurunan sensori persepsi
Pasien dengan penurunan sensori persepsi akan mengalami penurunan untuk
merasakan sensari nyeri akibat tekanan diatas tulang yang menonjol. Bila ini
terjadi dalam durasi yang lama, pasien akan mudah terkena luka tekan. karena
nyeri merupakan suatu tanda yang secara normal mendorong seseorang untuk
bergerak. Kerusakan saraf (misalnya akibat cedera, stroke, diabetes)
dan koma bisa menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk merasakan
nyeri.
c. Penurunan kesadaran
gangguan neurologis, trauma, analgetik narkotik.
d. Malnutrisi
Orang-orang yang mengalami kekurangan gizi (malnutrisi) tidak memiliki
lapisan lemak sebagai pelindung dan kulitnya tidak mengalami pemulihan
sempurna karena kekurangan zat-zat gizi yang penting.
Karena itu klien malnutrisi juga memiliki resiko tinggi menderita ulkus
dekubitus. Selain itu, malnutrisi dapat gangguan penyembuhan luka. Biasanya
berhubungan dengan hipoalbumin. Hipoalbuminemia, kehilangan berat badan,
dan malnutrisi umumnya diidentifikasi sebagai faktor predisposisi untuk
terjadinya luka tekan. Menurut penelitian Guenter (2000) stadium tiga dan
empat dari luka tekan pada orang tua berhubungan dengan penurunan berat
badan, rendahnya kadar albumin, dan intake makanan yang tidak mencukupi.
e. Mobilitas dan aktivitas
Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi tubuh,
sedangkan aktivitas adalah kemampuan untuk berpindah. Pasien yang
berbaring terus menerus ditempat tidur tanpa mampu untuk merubah posisi
beresiko tinggi untuk terkena luka tekan. Orang-orang yang tidak dapat
bergerak (misalnya lumpuh, sangat lemah, dipasung). Imobilitas adalah faktor
yang paling signifikan dalam kejadian luka tekan.
f. Merokok
Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran darah dan
memiliki efek toksik terhadap endotelium pembuluh darah. Menurut hasil
penelitian Suriadi (2002) ada hubungaan yang signifikan antara merokok
dengan perkembangan terhadap luka tekan.
g. Temperatur kulit
Menurut hasil penelitian Sugama (1992) peningkatan temperatur merupakan
faktor yang signifikan dengan resiko terjadinya luka tekan.
h. Kemampuan sistem kardiovaskuler menurun, sehingga perfusi kulit menurun.
i. Anemia
D. Manifestasi Klinis
Terjadi pada pasien-pasien paraplegia, quadriplegia, spina bifida, multiple
sklerosis dan imobilisasi lama di rumah sakit. Selain itu, faktor lain perlu diketahui
dari riwayat penderita meliputi onset, durasi, riwayat pengobatan sebelumnya,
perawatan luka, riwayat operasi sebelumnya, status gizi dan perubahan berat badan,
riwayat alergi, konsumsi alkohol, merokok serta keadaan sosial ekonomi penderita.
Anamnesa sistem termasuk di dalamnya antara lain demam, keringat malam, spasme
(kaku), kelumpuhan, bau, nyeri (Arwaniku, 2007).
Menurut NPUAP ( National Pressure Ulcer Advisory Panel ), luka tekan dibagi
menjadi empat tadium, yaitu :
1. Stadium Satu
Adanya perubahan dari kulit yang dapat diobservasi. Apabila dibandingkan
dengan kulit yang ormal, maka akan tampak salah satu tanda sebagai berikut :
perubahan temperatur kulit ( lebih dingin atau lebih hangat ), perubahan
konsistensi jaringan ( lebih keras atau lunak ), perubahan sensasi (gatal atau
nyeri). Pada orang yang berkulit putih, luka mungkin kelihatan sebagai kemerahan
yang menetap. Sedangkan pada yang berkulit gelap, luka akan kelihatan sebagai
warna merah yang menetap, biru atau ungu.
2. Stadium Dua
Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau keduanya.
Cirinya adalah lukanya superficial, abrasi, melempuh, atau membentuk lubang
yang dangkal.
3. Stadium Tiga
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis dari
jaringn subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fascia. Luka terlihat
seperti lubang yang dalam
4. Stadium Empat
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap dengan kerusakan yang luas, nekrosis
jaringan, kerusakan pada otot, tulang atau tendon. Adanya lubang yang dalam
serta saluran sinus juga termasuk dalam stadium IV dari luka tekan.
Menurut stadium luka tekan diatas, luka tekan berkembang dari permukaan
luar kulit ke lapisan dalam ( top-down).Namun menurut hasil penelitian saat ini, luka
tekan juga dapat berkembang dari jaringan bagian dalam seperti fascia dan otot
walapun tanpa adanya adanya kerusakan pada permukaan kulit. Ini dikenal dengan
istilah injuri jaringan bagian dalam (Deep Tissue Injury). Hal ini disebabkan karena
jaringan otot dan jaringan subkutan lebih sensitif terhadap iskemia daripada
permukaan kulit. Kejadian DTI sering disebabkan karena immobilisasi dalam jangka
waktu yang lama, misalnya karena periode operasi yang panjang. Penyebab lainnya
adalah seringnya pasien mengalami tenaga yang merobek (shear).
Jenis luka tekan ini lebih berbahaya karena berkembang dengan cepat daripada
luka tekan yang dimulai dari permukaan kulit. Kebanyakan DTI juga lebih sulit
disembuhkan walaupun sudah diberikan perawatan yang adekuat. NPUAP dan
WOCN (2005) menyimpulkan bahwa DTI masuk ke dalam kategori luka tekan,
namun stadium dari DTI masih diperdebatkan karena stadium yang selama ini ada
merepresentasikan luka tekan yang dimulai dari permukaan menuju kedalam jaringan
(top-down), sedangkan DTI dimulai dari dalam jaringan menuju ke kulit superficial
( bottom-up).
Selama ini perawat sulit untuk mengidentifikasi adanya DTI karena kerusakan
pada bagian dalam jaringan sulit untuk dilihat dari luar[15]. Yang selama ini sering
digunakan sebagai tanda terjadinya DTI pada pasien yaitu adanya tanda trauma yang
dalam atau tanda memar pada jaringan. Pada orang yang berkulit putih, DTI sering
nampak sebagai warna keunguan atau kebiruan pada kulit. Saat ini terdapat metode
yang reliabel untuk mengenali adanya DTI, yaitu dengan menggunakan
ultrasonografi. Bila hasil ultrasonografi menunjukan adanya daerah hypoechoic, maka
ini berarti terdapat kerusakan yang parah pada jaringan bagian dalam, meskipun tidak
ada kerusakan dipermukaan kulit atau hanya minimal. Gambar 4 menunjukan adanya
daerah hypoechoic (lingkaran merah) pada pemeriksaan dengan menggunakan
ultrasonografi.
E. Patofisiologi
F. Komplikasi
Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV, walaupun dapat
terjadi pada luka yang superfisial. Menurut subandar (2008) komplikasi yang dapat
terjadi antara lain:
1. Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik aerobik maupun anaerobik.
2. Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteotitis, osteomielitis,
dan arthritis septik.
3. Septikimia
4. Animea
5. Hipoalbuminea
6. Kematian.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Kultur dan analisis urin
Kultur ini dibutuhakan pada keadaan inkontinensia untuk melihat apakah ada
masalah pada ginjal atau infeksi saluran kencing, terutama pada trauma medula
spinalis.
2. Kultur Tinja
Pemeriksaan ini perlu pada keadaan inkontinesia alvi untuk melihat leukosit dan
toksin Clostridium difficile ketika terjadi pseudomembranous colitis.
3. Biopsi
Biopsi penting pada keadaan luka yang tidak mengalami perbaikan dengan
pengobatan yang intensif atau pada ulkus dekubitus kronik untuk melihat apakah
terjadi proses yang mengarah pada keganasan. Selain itu, biopsi bertujuan untuk
melihat jenis bakteri yang menginfeksi ulkus dekubitus. Biopsi tulang perlu
dilakukan bila terjadi osteomyelitis.
4. Pemeriksaan Darah
Untuk melihat reaksi inflamasi yang terjadi perlu diperiksa sel darah putih dan
laju endap darah. Kultur darah dibutuhkan jika terjadi bakteremia dan sepsis.
5. Keadaan Nutrisi
Pemeriksaan keadaan nutrisi pada penderita penting untuk proses penyembuhan
ulkus dekubitus. Hal yang perlu diperiksa adalah albumin level, prealbumin level,
transferrin level, dan serum protein level.
6. Radiologis: Pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya kerusakan tulang
akibat osteomyelitis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan sinar-X,scan tulang
atau MRI.
H. Pengkajian
Data dasar pengkajian yang terus-menerus memberi informasi penting integritas kulit
pasien dan peningkatan resiko terjadinya dekubitus. Pengkajian dekubitus tidak
terlepas pada kulit karena dekubitus mempunyai banyak faktor etiologi. Oleh karena
itu, pengkajian awal pasien luka dekubitus memiliki beberapa dimensi (AHPCR, 1994
dalam Potter & Perry, 2005).
1. Ukuran Perkiraan
Pada saat seseorang masuk ke rumah sakit perawatan akut dan rehabilitasi,
rumah perawatan, program perawatan rumah, fasilitas perawatan lain maka pasien
harus dikaji resiko terjadi dekubitus (AHPCR, 1992). Pengkajian resiko luka
dekubitus harus dilakukan secara sistematis (NPUAP, 1989) seperti
Pengkajian Resiko Luka Dekubitus Identifikasi resiko terjadi pada pasien:
a Identifikasi resiko terjadi pada pasien:
1) Paralisis atau imobilisasi yang disebabkan oleh alat-alat yang membatasi
gerakan pasien.
2) Kehilangan sensorik
3) Gangguan sirkulasi
4) Penurunan tingkat kesadaran, sedasi, atau anastesi
5) Gaya gesek, friksi
6) Kelembaban: inkontensia, keringat, drainase luka dan muntah
7) Malnutrisi
8) Anemia
9) Infeksi
10) Obesitas
11) Kakesia
12) Hidrasi: edema atau dehidrasi
13) Lanjut usia
14) Adanya dekubitus
b Kaji kondisikulit disekitar daerah yang mengalami penekanan pada area
sebagai berikut:
1) Hireremia reaktif normal
2) Warna pucat
3) Indurasi
4) Pucat dan belang-belang
5) Hilangnya lapisan kulit permukaan
6) Borok, lecet atau bintik-bintik
c Kaji daerah tubuh pasien yang berpotensi mengalami tekanan:
1) Lubang hidung
2) Lidah, bibir
3) Tempat pemasangan intravena
4) Selang drainase
5) Kateter foley
d Observasi posisi yang lebih disukai pasien saat berada di atas tempat tidur
atau kursi
e Observasi mobilisasi dan kemampuan pasien untuk melakukan dan
membantu dalam mengubah posisi.
f Tentukan nilai resiko:
1) Skala Norton
2. Kulit
Perawat harus mengkaji kulit terus-menerus dari tanda-tanda munculnya luka
pada kulit klien gangguan neurologi, berpenyakit kronik dalam waktu lama,
penurunan status mental, dan dirawat di ruang ICU, berpenyakit onkologi, terminal,
dan orthopedi berpotensi tinggi terjadi luka dekubitus.
Pengkajian untuk indikator tekanan jaringan meliputi inspeksi visual dan
taktil pada kulit (Pires & Muller, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Pengkajian
dasar dilakukan untuk menetukan karakteristik kulit normal klien dan setiap area
yang potensial atau aktual mengalami kerusakan. Perawat memberi perhatian khusus
pada daerah dibawah gips, traksi, balutan, tongkat penopang, penyangga leher, atau
peralatan orthopedi lain. Jumlah pemeriksaan tekanan tergantung jadwal pemakaian
alat respon kulit terhadap tekanan eksternal.
Ketika hiperemia ada maka perawat mencatat lokasi, dan warna lalu mengkaji
ulang area tersebut setelah satu jam. Apabila terlihat kelainan hiperemia reaktif maka
perawat dapat menandai area tersebut agar pengkajian ulang menjadi lebih mudah.
Tanda peringatan dini lain yang menunjukkan kerusakan jaringan akibat tekanan
adalah lecet atau bintil-bintil pada area yang menanggung beban berat tubuh dan
mungkin disertai hiperemia. Pires & Muller (1991) melaporkan bahwa tanda dini
akibat tekanan yang sering diabaikan pada klien yang tidak mengalami trauma
adalah borok di area yang menanggung berat beban badan. Semua tanda-tanda ini
merupakan indikator dini gangguan integritas kulit, tapi kerusakan kulit yang berada
di bawahnya mungkin menjadi lebih progresif. Pengkajian taktil memungkinkan
perawat menggunakan teknik palpasi untuk memperoleh data lebih lanjut mengenai
indurasi dan kerusakan kulit maupun jaringan yang di bawahnya.
Perawat melakukan palpasi pada jaringan di sekitarnya untuk mengobservasi
area hiperemi, mengkaji adanya pucat dan kembali ke warna kulit normal klien yang
berkulit terang. Selain itu, perawat mempalpasi indurasi, mencatat indurasi disekitar
area yang cedera dalam ukuran milimeter atau sentimeter. Perawat juga mencatat
perubahan suhu di sekitar kulit dan jaringan (Pires & Muller, 1991 dalam Potter &
Perry, 2005).
Perawat sering menginspeksi secara visual dan taktil pada area tubuh yang
paling sering beresiko luka dekubitus. Jika pasien berbaring di tempat tidur atau
duduk di atas maka berat badan terletak pada tonjolan tulang tertentu. Permukaan
tubuh yang paling terbebani berat badan ataupun tekanan merupakan area beresiko
tinggi terjadi dekubitus (Helt, 1991 dalam Potter & Perry, 2005).
3. Mobilisasi
Pengkajian meliputi pendokumentasian tingkat mobilisasi pada integritas kulit.
Pengkajian mobilisasi juga harus memperoleh data tentang kualitas tonus dan
kekuatan otot. Klien yang mempunyai rentang gerak yang adekuat untuk bergerak
secara mandiri ke bentuk posisi yang lebih terlindungi.
Mobilisasi harus dikaji sebagai bagian dari data dasar. Jika pasien memiliki
tingkat kemandirian mobilisasi maka perawat harus mendorong pasien agar sering
mengubah posisinya dan melakukan tindakan untuk menghilangkan tekanan yang
dialaminya. Frekuensi perubahan posisi berdasarkan pengkajian kulit yang terus
menerus dan dianggap sebagai perubahan data (Potter & Perry,2005).
4. Status Nutrisi
Pengkajian nutrisi klien harus menjadi bagian integral dalam pengkajian data awal
pada pasien beresiko gangguan integritas kulit (Breslow & Bergstrom, 1994; Water et
el, 1994; Finucance, 1995;). Pasien malnutrisi atau kakesia dan berat badan kurang
dari 90% berat badan ideal atau pasien yang berat badan lebih dari 110% berat badan
ideal lebih beresiko terjadi luka dekubitus (Hanan & Scheele, 1991 dalam Potter &
Perry, 2005). Walaupun presentase berat badan bukan indikator yang baik, tapi jika
ukuran ini digunakan bersama-sama dengan jumlah serum albumin atau protein total
yang rendah, maka presentase berat badan ideal pasien dapat mempengaruhi
timbulnya luka dekubitus (Potter & Perry, 2005).
5. Nyeri
Sampai saat ini, hanya sedikit tulisan atau penelitian yang dilakukan tentang
nyeri dan luka dekubitus, AHPCR (1994) telah merekomendasi pengkajian dan
manajemen nyeri termasuk dalam perawatan pasien luka dekubitus. Selain itu
AHPCR (1994) menegaskan perlunya penelitian tentang nyeri pada pasien luka
dekubitus. Salah satu studi yang pertama kali menghitung pengalaman nyeri pasien
yang dirawat di rumah sakit karena luka dekubitus telah dilakukan oleh Dallam et el
(1995). Pada studi ini 59,1% pasien melaporkan adanya nyeri dangan menggunakan
skala analog visual, 68,2% melaporkan adanya nyeri akibat luka dekubitus dengan
menggunakan skala urutan nyeri faces.
Berlawanan dengan banyaknya nyeri yang dilaporkan, obat-obatan nyeri yang
telah digunakan klien sebesar 2,3%. Beberapa implikasi praktik yang disarankan para
peneliti (Dallam dkk, 1995 dalam Potter & Perry, 2005) adalah menambah evaluasi
tingkat nyeri pasien kedalam pengkajian dekubitus, yaitu pengontrolan nyeri
memerlukan pengkajian ulang yang teratur untuk mengevaluasi efektifitas, dan
program pendidikan diperlukan untuk meningkatkan sensitifitas pemberi pelayanan
kesehatan terhadap nyeri akibat luka dekubitus.
J. Intervensi Keperawatan
1. Kerusakan integritas jaringan kulit berhubungan dengan destruksi mekanis
jaringan sekunder terhadap tekanan, gesekan dan fraksi.
Diagnosa Rencana keperawatan
Keperawatan/ Tujuan dan Kriteria Intervensi
Masalah Hasil
Kolaborasi
Kerusakan NOC: NIC :
integritas jaringan 1. Tissue integrity : Pressure ulcer prevention
berhubungan skin and mucous Wound care
dengan: membranes 1. Anjurkan pasien untuk
2. Wound healing :
Gangguan menggunakan pakaian yang
primary and
sirkulasi, iritasi longgar
secondary
kimia (ekskresi 2. Jaga kulit agar tetap bersih dan
intention
dan sekresi tubuh, kering
Setelah dilakukan
medikasi), defisit 3. Mobilisasi pasien (ubah posisi
tindakan
cairan, kerusakan pasien) setiap dua jam sekali
keperawatan selama
mobilitas fisik, 4. Monitor kulit akan adanya
…. kerusakan
keterbatasan kemerahan
integritas jaringan
pengetahuan, 5. Oleskan lotion atau
pasien teratasi
faktor mekanik minyak/baby oil pada daerah
dengan kriteria hasil:
(tekanan, yang tertekan
1. Perfusi jaringan
gesekan),kurangny 6. Monitor aktivitas dan
normal
a nutrisi, radiasi, mobilisasi pasien
2. Tidak ada tanda-
faktor suhu (suhu 7. Monitor status nutrisi pasien
tanda infeksi
yang ekstrim) 8. Memandikan pasien dengan
3. Ketebalan dan
DO : sabun dan air hangat
tekstur jaringan
1. Kerusakan 9. Kaji lingkungan dan peralatan
normal
jaringan yang menyebabkan tekanan
4. Menunjukkan
(membran 10. Observasi luka : lokasi,
pemahaman
mukosa, dimensi, kedalaman luka,
dalam proses
integumen, karakteristik,warna cairan,
perbaikan kulit
subkutan) granulasi, jaringan nekrotik,
dan mencegah
tanda-tanda infeksi lokal, formasi
terjadinya cidera
traktus
berulang
11. Ajarkan pada keluarga tentang
5. Menunjukkan
luka dan perawatan luka
terjadinya proses
12. Kolaborasi ahli gizi pemberian
penyembuhan
diet TKTP, vitamin
luka
13. Cegah kontaminasi feses dan
urin
14. Lakukan tehnik perawatan luka
dengan steril
15. Berikan posisi yang
mengurangi tekanan pada luka
16. Hindari kerutan pada tempat
tidur
DAFTAR PUSTAKA
Guenter P., Malyszck R.,Bliss D.Z.,et al. Survey of nutritional status in newly
hospitalized patiens with stage III or stage IV pressure ulcers. Advances in Wound
Care.2000;13:164-168
Pendland, Susan L., dkk.Skin and Soft Tissue Infections. Dalam Joseph T.
DiPiro, kk, editor. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach.Edisi 6. Chicago:
McGrawHill Company; 2005. p1998-90
Potter & Perry, 2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses,
dan Praktik, Jakarta: EGC
Sugama., J., Sanada, H., Kanagawa, K., et al . Risk factors of pressure sore
development, intensive care unit, Pressure – relieving care, the Japanese version of
the Braden Scale. Kanazawa Junior Collage, 1992, 16, 55-59
Suriadi, Sanada H, Kitagawa A, et.al. Study of reliability and validity of the
braden scale translated into indonesia. 2002. Master thesis. Kanazawa University,
Japan
Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis
NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Ed 9. Jakarta: EGC.
Faktor Intrinsik
Usia - Merokok
Faktor Ekstrinsik
Penurunan persepsi sensori - Malnutrisi
Tekanan Penurunan kesadaran - Tirah baring
Geseskan dan pergoresan Temperature kulit - Anemia
Kelembaban Hipoalbuminemia - Kebiasaan makan
Kebersihan tembat tidur System kardiovaskuler menurun
Tekanan tidak di
hilangkan