HIV-AIDS
I. KONSEP TEORI
A. Definisi
AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada
seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan
tejadinya defisiensi, tersebut seperti keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit
infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya.
Sejarah Aids di Indonesia pada tahun1926 beberapa ilmuwan menganggap
HIV menyebar dari monyet ke manusia sekitar tahun 1926-1946, tahun 1982 para
ilmuwan menemukan sindrom yang dikenal sebagai GayRelated Immune
Deficiency (GRID), yakni penurunan kekebalan tubuh yang dihubungkan dengan
kaum gay, tahun 1983 dokter di Institut Pasteur Prancis memisahkan virus baru
penyebab AIDS. Virus itu terkait dengan limfadenopati Lymphadenopathy-
Associated Virus (LAV).
B. Etiologi
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut Human Immunodeficiency
Virus. HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan
disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang
diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan
dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan keduanya disebut HIV. Transmisi infeksi
HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada
gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes
illness.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat
malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi
mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai
system tubuh, dan manifestasi neurologist.
SAK HIV/AIDS
1. Berat badan lahir rendah
2. Gagal tumbuh
3. limfadenopati umum
4. Hepatosplenomegali
5. Sinusitis
6. Infeksi saluran pernapasan atas berulang
7. Parotitis
8. Diare kronik atau kambuhan
9. Infeksi bakteri dan virus kambuhan
10. Infeksi virus Epstein-Barr persisten
11. Sariawan orofarings
12. Trombositopenia
13. Infeksi bakteri seperti meningitis
14. Pneumonia interstisial kronik
Lima puluh persen anak-anak dengan infeksi HIV terkena sarafnya
yang memanifestasikan dirinya sebagai ensefalopati progresif, perkembangan
yang terhambat, atau hilangnya perkembangan motoris.
SAK HIV/AIDS
D. Patofisiologi : Menyerang T Limfosit,
sel saraf, makrofag,
Virus HIV Merusak seluler monosit, limfosit B Immunocompromise
HIV- positif ?
Invasi kuman patogen Flora normal patogen
Lesi mulut Kompleks Ensepalopati akut Diare Hepatitis Disfungsi Penyakit Infek Gatal, sepsis, Gangguan
demensia biliari anorektal si nyeri penglihatan
dan
pendengaran
Cairan berkurang
Nutrisi inadekuat
Cairan berkurang
Nutrisi inadekuat
jalan napas
hipertermi
Gangguan sensori
nyeri
nyeri
SAK HIV/AIDS
Penilaian klinis toksisitas harus dibedakan dengan sindrom
pemulihan kekebalan (immuno reconstitution inflammatory syndrome /
IRIS), yaitu keadaan yang dapat muncul pada awal pengobatan ARV.
Sindrom ini ditandai oleh timbulnya infeksi oportunistik beberapa minggu
setelah ART dimulai sebagai suatu respon inflamasi terhadap infeksi
oportunistik yang semula subklinik. Keadaan tersebut terjadi terutama
pada pasien dengan gangguan kebalan tubuh yang telah lanjut.
Kembalinya fungsi imunologi dapat pula menimbulkan gejala atipik dari
infeksi oportunistik. Apabila terjadi penurunan jumlah CD4+ dalam masa
pengobatan terapi lini pertama dan didapat tanda terjadinya toksisitas
dapat dipertimbangkan untuk mengganti terapi (Maggiolo, 2009)
2. Terapi Infeksi Opportunistik
Infeksi oportunistik adalah penyebab utama morbiditas dan
mortalitas AIDS, dengan angka sekitar 90%. Terapi antibiotik atau
kemoterapeutik disesuaikan dengan infeksi-infeksi yang sebetulnya
berasal dari mikroorganisme dengan virulensi rendah yang ada di sekitar
kita, sehingga jenis infeksi sangat tergantung dari lingkungan dan cara
hidup penderita (Paterson et al., 2000).
Hampir 65% penderita HIV/AIDS mengalami komplikasi
pulmonologis dimana pneumonia karena P.carinii merupakan infeksi
oportunistik tersering, diikuti oleh infeksi M tuberculosis, pneumonia
bakterial dan jamur, sedangkan pneumonia viral lebih jarang
terjadi.Alasan terpenting mengapa sering terjadi komplikasi pulmonologis
pada infeksi HIV adalah konsekuensi anatomis paru sehingga terpapar
secara kronis terhadap bahan-bahan infeksius maupun noninfeksius dari
luar (eksogen), di sisi lain juga terjadi paparan secara hematogen terhadap
virus HIV (endogen) yang melemahkan sistem imun. Komplikasi
pulmonologis, terutama akibat infeksi oportunistik merupakan penyebab
morbiditas dan mortalitas utama serta bisa terjadi pada semua stadium
dengan berbagai manifestasi (Paterson et al., 2000).
Manajemen PCP tergantung dari derajat berat-ringannya
pneumonia yang terjadi. Pada pneumonia yang sedang-berat atau berat,
penderita harus di rawat di rumah sakit karena mungkin memerlukan
bantuan ventilator (sekitar 40% kasus). Obat pilihan adalah kotrimoksazol
SAK HIV/AIDS
intravena dosis tinggi. Terapi antibiotika ini diberikan selama 21 hari.
Penderita yang berespon baik dengan antibiotika intravena, dapat
melanjutkan terapi dengan antibiotika per oral untuk jika sudah
memungkinkan. Hipoksemia yang signifikan (PaO2 < 70 mmHg atau
gradien arterial-alveoler > 35), memerlukan kortikosteroid dan diberikan
sesegera mungkin (dalam 72 jam) belum terapi antibiotika untuk menekan
risiko komplikasi dan memperbaiki prognosis.16,18 Pada kasus-kasus
ringan-sedang dapat diberikan kotrimoksazol oral dengan dosis 2 x 960
mg selama 21 hari. Alternatif terapi lainnya untuk PCP berat adalah
pentamidin intravena (pilihan kedua) dan klindamisin plus primakuin
(pilihan ketiga), sedangkan PCP ringan-sedang dapat diberikan dapsone
plus trimetoprim, klindamisin plus primakuin, atovaquone atau
trimetrexate plus leucovorin (Harris dan Bolus, 2008).
Tuberkulosis paru (TB paru) masih merupakan problem penting
pada infeksi HIV/AIDS dan menjadi penyebab kematian pada sekitar 11%
penderita. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), pada
akhir tahun 2000 kira-kira 11,5 juta orang penderita infeksi HIV di dunia
mengalami ko-infeksi M. tuberculosis dan meningkatkan risiko kematian
sebesar 2 kali lipat dibandingkan tanpa tuberkulosis, dan seiring dengan
derajat beratnya imunosupresi yang terjadi (Gatell, 2010).
Penatalaksanaan TB paru dengan infeksi HIV pada dasarnya sama
dengan tanpa infeksi HIV. Saat pemberian obat pada koinfeksi TBC-HIV
harus memperhatikan jumlah CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang
ada. Namun pada beberapa atudi mendapatkan tingginya angka
kekambuhan pada penderita yang menerima Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) selama 6 bulan dibandingkan dengan 9-12 bulan (Harris dan Bolus,
2008).
Terdapat interaksi antara obat ARV dengan OAT, terutama
rifampicin karena rangsangannya terhadap aktivitas sistem enzim liver
sitokrom P450 yang memetabolisme PI dan NNRTI, sehingga terjadi
penurunan kadar PI dan NNRTI dalam darah sampai kadar sub-terapeutik
yang berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya resistensi obat.
Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula mempertinggi atau menghambat
sistem enzim ini dan berakibat terganggunya kadar rifampicin dalam
SAK HIV/AIDS
darah. Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat tidak efektifnya sehingga
terjadi penurunan kadar PI dan NNRTI dalam darah sampai kadar sub-
terapeutik yang berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya
resistensi obat. Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula mempertinggi
atau menghambat sistem enzim ini dan berakibat terganggunya kadar
rifampicin dalam darah. Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat tidak
efektifnya obat ARV dan terapi tuberkulosis serta meningkatnya risiko
toksisitas obat, sehingga pemakaian bersama obat-obat tersebut tidak
direkomendasikan (Gatell, 2010).
Sarkoma Kaposi jenis endemik, merupakan manifestasi keganasan
yang paling sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS. Penyakit yang
disebabkan oleh Cytomegalovirus ini ditandai dengan lesi-lesi tersebar di
daerah mukokutan, batang tubuh, tungkai atas dan bawah, muka dan
rongga mulut. Bentuk lesi berupa makula eritematosa agak menimbul,
berwarna hijau kekuningan sampai violet. Cara penularannya melalui
kontak seksual. Karsinoma sel skuamosa tipe in situ maupun invasif di
daerah anogenital; limfoma terutama neoplasma sel limfosit B; keganasan
kulit non melanoma serta nevus displastik dan melanoma, merupakan
neoplasma lainnya yang sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS.
Seperti halnya keganasan lain, tetapi sarkoma Kaposi akan lebih efektif
bila dalam keadaan baru dan besarnya terbatas. Radiasi, kemoterapi dan
imunomodulator interferon telah dicoba, yang sebenarnya lebih ditujukan
untuk memperpanjang masa hidup, sehingga lama terapi sulit ditentukan
(Sheng Wu et al., 2008).
Dalam keadaan tidak dapat mengurus dirinya sendiri atau
dikhawatirkan sangat menular, sebaiknya penderita dirawat di Rumah
Sakit tipe A atau B yang mempunyai berbagai disiplin keahlian dan
fasilitas ICU. Perawatan dilakukan di Unit sesuai dengan gejala klinis
yang menonjol pada penderita. Harapan untuk sembuh memang sulit,
sehingga perlu perawatan dan perhatian penuh, termasuk memberikan
dukungan moral sehingga rasa takut dan frustrasi penderita dapat
dikurangi. Guna mencegah penularan di rumah sakit terhadap penderita
lain yang dirawat maupun terhadap tenaga kesehatan dan keluarga
penderita, perlu diberikan penjelasan-penjelasan khusus. Perawatan
SAK HIV/AIDS
khusus diperuntukkan dalam hal perlakuan spesimen yang potensial
sebagai sumber penularan. Petugas yang merawat perlu mempergunakan
alat-alat pelindung seperti masker, sarung tangan, yang jasa pelindung,
pelindung mata, melindungi kulit terluka dari kemungkinan kontak
dengan cairan tubuh penderita dan mencegah supaya tidak terkena
bahan/sampah penderita (Martin-Carbonero and Soriano, 2010).
SAK HIV/AIDS
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian.
1. Riwayat : tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan
obat-obat.
2. Gejala subyektif : demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat
malam hari berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit
tidur.
3. Psikososial : kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola hidup,
ungkapkan perasaan takut, cemas, meringis.
4. Status mental : marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati, withdrawl,
hilang interest pada lingkungan sekitar, gangguan prooses piker, hilang
memori, gangguan atensi dan konsentrasi, halusinasi dan delusi.
5. HEENT : nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus, ulser
pada bibir atau mulut, mulut kering, suara berubah, disfagia, epsitaksis.
6. Neurologis :gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan ,
kaku kuduk, kejang, paraplegia.
7. Muskuloskletal : focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL.
8. Kardiovaskuler ; takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.
9. Pernapasan : dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot Bantu
pernapasan, batuk produktif atau non produktif.
10. GI : intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare,
inkontinensia, perut kram, hepatosplenomegali, kuning.
11. Gu : lesi atau eksudat pada genital,
12. Integument : kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.
B. Diagnosa keperawatan
1. Kelemahan berhubungan status penyakit, anemia, malnutrisi
2. Nyeri akut/kronis b/d infeksi, nyeri abdomen
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi
zat gizi.
4. Kerusakan integritas kulit b/d edema
5. Diare berhubungan dengan infeksi GI
6. Bersihan jalan nafas tidak efektif
7. Pola napas in efektif
8. hipertermi
SAK HIV/AIDS
C. Perencanaan keperawatan.
Grimes, E.D, Grimes, R.M, and Hamelik, M, 1991, Infectious Diseases, Mosby Year
Book, Toronto
Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr.
Soetomo Surabaya.
Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs
Approach,J.B. Lippincott Company, London.
Rampengan dan Laurentz, 1995, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, cetakan kedua,
EGC, Jakarta.
Phipps, Wilma. et al, 1991, Medical Surgical Nursing : Concepts and Clinical
Practice, 4th edition, Mosby Year Book, Toronto
SAK HIV/AIDS