A. Definisi
Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat
gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001).
Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh benturan
pada dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura paru-paru, diafragma
ataupun isi mediastinal baik oleh benda tajam maupun tumpul yang dapat
menyebabkan gangguan sistem pernapasan (Suzanne & Smetzler, 2001)
Trauma thoraks adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang
dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax
yang disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat menyebabkan
keadaan gawat thorax akut. Trauma thoraks diklasifikasikan dengan tumpul dan
tembus. Trauma tumpul merupakan luka atau cedera yang mengenai rongga thorax
yang disebabkan oleh benda tumpul yang sulit diidentifikasi keluasan kerusakannya
karena gejala-gejala umum dan rancu (Brunner & Suddarth, 2002).
Kesimpulan : Dari ketiga pengertian diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa Trauma Dada / Thorax adalah suatu kondisi dimana terjadinya benturan baik
tumpul maupun tajam pada dada atau dinding thorax, yang menyebabkan
abnormalitas (bentuk) pada rangka thorax. Perubahan bentuk pada thorax akibat
trauma dapat menyebabkan gangguan fungsi atau cedera pada organ bagian dalam
rongga thorax seperti jantung dan paru-paru, sehingga dapat terjadi beberapa
kondisi patologis traumatik seperti Haematothorax, Pneumothorax, Tamponade
Jantung, dan sebagainya.
b. Etiologi
Trauma dada dapat disebabkan oleh :
a. Tension pneumothorak-trauma dada pada selang dada, penggunaan therapy ventilasi
mekanik yang berlebihan, penggunaan balutan tekan pada luka dada tanpa
pelonggaran balutan.
b. Pneumothorak tertutup-tusukan pada paru oleh patahan tulang iga, ruptur oleh vesikel
flaksid yang seterjadi sebagai sequele dari PPOM.
c. Tusukan paru dengan prosedur invasif.
d. Kontusio paru-cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda
berat.
e. Pneumothorak terbuka akibat kekerasan (tikaman atau luka tembak)
f. Fraktur tulang iga
g. Tindakan medis (operasi)
h. Pukulan daerah torak.
C. Klasifikasi
Trauma dada dikalsifikasikan menjadi dua jenis, yaitu :
1. Trauma tajam
a. Pneumothoraks terbuka
b. Hemothoraks
c. Trauma tracheobronkial
d. Contusio Paru
e. Ruptur diafragma
f. Trauma Mediastinal
2. Trauma tumpul
a. Tension pneumothoraks
b. Trauma tracheobronkhial
c. Flail Chest
d. Ruptur diafragma
e. Trauma mediastinal
f. Fraktur kosta
D. Prognosis penyakit
1. Open Pneumothorak
Timbul karena trauma tajam, ada hubungan dengan rongga pleura sehingga paru
menjadi kuncup. Seringkali terlihat sebagai luka pada dinding dada yang menghisap pada
setiap inspirasi ( sucking chest wound ). Apabila luban ini lebih besar dari pada 2/3
diameter trachea, maka pada inspirasi udara lebih mudah melewati lubang dada
dibandingkan melewati mulut sehingga terjadi sesak nafas yang hebat
2. Tension Pneumothorak
Adanya udara didalam cavum pleura mengakibatkan tension pneumothorak. Apabila
ada mekanisme ventil karena lubang pada paru maka udara akan semakin banyak pada sisi
rongga pleura, sehingga mengakibatkan :
a. Paru sebelahnya akan terekan dengan akibat sesak yang berat
b. Mediastinum akan terdorong dengan akibat timbul syok
c. Pada perkusi terdengar hipersonor pada daerah yang cedera, sedangkan
d. Pada auskultasi bunyi vesikuler menurun.
3. Hematothorak
Pada keadaan ini terjadi perdarahan hebat dalam rongga dada. Ada perkusi terdengar
redup, sedang vesikuler menurun pada auskultasi.
4. Flail Chest
Tulang iga patah pada 2 tempat pada lebih dari 2 iga sehingga ada satu segmen
dinding dada yang tidak ikut pada pernafasan. Pada ekspirasi segmen akan menonjol
keluar, pada inspirasi justru masuk kedalam yang dikenal dengan pernafasan paradoksal.
5. Tamponade jantung
Luka tembus / tusuk jantung adalah penyebab kematian utama pada daerah
perkotaan.Tamponade jarang terjadi akibat trauma tumpul.
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang sering muncul pada penderita trauma dada:
1. Tamponade jantung :
a. Trauma tajam didaerah perikardium atau yang diperkirakan menembus jantung.
b. Gelisah.
c. Pucat, keringat dingin.
d. Peninggian TVJ (tekanan vena jugularis).
e. Pekak jantung melebar.
f. Bunyi jantung melemah.
g. Terdapat tanda-tanda paradoxical pulse pressure.
h. ECG terdapat low voltage seluruh lead.
i. Perikardiosentesis keluar darah (FKUI, 1995).
2. Hematotoraks :
a. Pada WSD darah yang keluar cukup banyak dari WSD
b. Gangguan pernapasan (FKUI, 1995).
3. Pneumothoraks :
a. Nyeri dada mendadak dan sesak napas.
b. Gagal pernapasan dengan sianosis.
c. Kolaps sirkulasi.
d. Dada atau sisi yang terkena lebih resonan pada perkusi dan suara napas yang terdengar
jauh atau tidak terdengar sama sekali.
e. Pada auskultasi terdengar bunyi klik (Ovedoff, 2002).
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesa yang terpenting adalah mengetahui mekanisme dan pola dari trauma,
seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kerusakan dari kendaraan yang
ditumpangi, kerusakan stir mobil /air bag dan lain lain.
2. Radiologi : Foto Thorax (AP)
Pemeriksaan ini masih tetap mempunyai nilai diagnostik pada pasien dengan trauma
toraks. Pemeriksaan klinis harus selalu dihubungkan dengan hasil pemeriksaan foto toraks.
Lebih dari 90% kelainan serius trauma toraks dapat terdeteksi hanya dari pemeriksaan foto
toraks.
3. Gas Darah Arteri (GDA) dan Ph
gas darah dan pH digunakan sebagai pegangan dalam penanganan pasien-pasien
penyakit berat yang akut dan menahun. Pemeriksaan gas darah dipakai untuk menilai
keseimbangan asam basa dalam tubuh, kadar oksigen dalam darah, serta kadar
karbondioksida dalam darah. Pemeriksaan analisa gas darah dikenal juga dengan
nama pemeriksaan ASTRUP, yaitu suatu pemeriksaan gas darah yang dilakukan melalui
darah arteri. Lokasi pengambilan darah yaitu: Arteri radialis, A. brachialis, A. Femoralis.
4. CT-Scan
Sangat membantu dalam membuat diagnosa pada trauma tumpul toraks, seperti
fraktur kosta, sternum dan sterno clavikular dislokasi. Adanya retro sternal hematoma serta
cedera pada vertebra torakalis dapat diketahui dari pemeriksaan ini. Adanya pelebaran
mediastinum pada pemeriksaan toraks foto dapat dipertegas dengan pemeriksaan ini
sebelum dilakukan Aortografi.
5. Ekhokardiografi
Transtorasik dan transesofagus sangat membantu dalam menegakkan diagnosa adanya
kelainan pada jantung dan esophagus. Hemoperikardium, cedera pada esophagus dan
aspirasi, adanya cedera pada dinding jantung ataupun sekat serta katub jantung dapat
diketahui segera. Pemeriksaan ini bila dilakukan oleh seseorang yang ahli, kepekaannya
meliputi 90% dan spesifitasnya hampir 96%.
6. EKG (Elektrokardiografi)
Sangat membantu dalam menentukan adanya komplikasi yang terjadi akibat trauma
tumpul toraks, seperti kontusio jantung pada trauma. Adanya abnormalitas gelombang EKG
yang persisten, gangguan konduksi, tachiaritmia semuanya dapat menunjukkan
kemungkinan adanya kontusi jantung. Hati hati, keadaan tertentu seperti hipoksia, gangguan
elektrolit, hipotensi gangguan EKG menyerupai keadaan seperti kontusi jantung.
7. Angiografi
Gold Standard’ untuk pemeriksaan aorta torakalis dengan dugaan adanya cedera aorta
pada trauma tumpul toraks.
8. Hb (Hemoglobin)
Mengukur status dan resiko pemenuhan kebutuhan oksigen jaringan tubuh.
G. penatalaksanaan
1. Gawat Darurat / Pertolongan Pertama
Klien yang diberikan pertolongan pertama dilokasi kejadian maupun di unit gawat
darurat (UGD) pelayanan rumah sakit dan sejenisnya harus mendapatkan tindakan yang
tanggap darurat dengan memperhatikan prinsip kegawatdaruratan.
Penanganan yang diberikan harus sistematis sesuai dengan keadaan masing-masing
klien secara spesifik.Bantuan oksigenisasi penting dilakukan untuk mempertahankan
saturasi oksigen klien. Jika ditemui dengan kondisi kesadaran yang mengalami penurunan /
tidak sadar maka tindakan tanggap darurat yang dapat dilakukan yaitu dengan
memperhatikan :
a. Pemeriksaan dan Pembebasan Jalan Napas (Air-Way)
Klien dengan trauma dada seringkali mengalami permasalahan pada jalan
napas.Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan berupa cairan
dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah yang dilapisi dengan sepotong
kain, sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari
telunjuk yang dibengkokkan.Mulut dapat dibuka dengan tehnik Cross Finger, dimana
ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk Pada mulut korban.
Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, biasa pada
korban tidak sadar tonus otot-otot menghilang, maka lidah dan epiglotis akan
menutup farink dan larink, inilah salah satu penyebab sumbatan jalan napas.
Pembebasan jalan napas oleh lidah dapat dilakukan dengan cara Tengadah kepala
topang dagu (Head tild – chin lift) dan Manuver Pendorongan Mandibula (Jaw Thrust
Manuver)
c. Tindakan Kolaboratif
Pemberian tindakan kolaboratif biasanya dilakukan dengan jenis dan waktu
yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing klien yang mengalami trauma dada.
Adapun tindakan yang biasa diberikan yaitu ; pemberian terapi obat emergensi,
resusitasi cairan dan elektrolit, pemeriksaan penunjang seperti laboratorium darah
Vena dan AGD, hingga tindakan operatif yang bersifat darurat.
2. Konservatif
a. Pemberian Analgetik
Pada tahap ini terapi analgetik yang diberikan merupakan kelanjutan dari pemberian
sebelumnya.Rasa nyeri yang menetap akibat cedera jaringan paska trauma harus tetap
diberikan penanganan manajemen nyeri dengan tujuan menghindari terjadinya Syok
seperti Syok Kardiogenik yang sangat berbahaya pada penderita dengan trauma yang
mengenai bagian organ jantung.
b. Pemasangan Plak / Plester
Pada kondisi jaringan yang mengalami perlukaan memerlukan perawatan luka dan
tindakan penutupan untuk menghindari masuknya mikroorganisme pathogen.
c. Jika Perlu Antibiotika
Antibiotika yang digunakan disesuaikan dengan tes kepekaan dan kultur. Apabila
belum jelas kuman penyebabnya, sedangkan keadaan penyakit gawat, maka penderita
dapat diberi “broad spectrum antibiotic”, misalnya Ampisillin dengan dosis 250 mg 4 x
sehari.
d. Fisiotherapy
pemberian fisiotherapy sebaiknya diberikan secara kolaboratif jika penderita memiliki
indikasi akan kebutuhan tindakan fisiotherapy yang sesuai dengan kebutuhan dan
program pengobatan konservatif.
3. Invasif / Operatif
A. WSD (Water Seal Drainage)
WSD merupakan tindakan invasif yang dilakukan untuk mengeluarkan udara,
cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga thorax; dan mediastinum dengan
menggunakan pipa penghubung.
B. Ventilator
ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh
proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi. Ventilasi mekanik adalah alat
pernafasan bertekanan negatif atau positif yang dapat mempertahankan ventilasi dan
pemberian oksigen dalam waktu yang lama.( Brunner dan Suddarth, 1996).
H. Komplikasi
1. Surgical Emfisema Subcutis
Kerusakan pada paru dan pleura oleh ujung patahan iga yang tajam memungkinkan
keluarnya udara ke dalam cavitas pleura dari jaringan dinding dada, paru.
Tanda-tanda khas: penmbengkakan kaki, krepitasi.
2. Cedera Vaskuler
Di antaranya adalah cedera pada perikardium dapat membuat kantong tertutup
sehingga menyulitkan jantung untuk mengembang dan menampung darah vena yang
kembali. Pembulu vena leher akan mengembung dan denyut nadi cepat serta lemah yang
akhirnya membawa kematian akibat penekanan pada jantung.
3. Pneumothorak
Adanya udara dalam kavum pleura. Begitu udara masuk ke dalam tapi keluar lagi
sehingga volume pneumothorak meningkat dan mendorong mediastinim menekan paru sisi
lain.
4. Pleura Effusion
Adanya udara, cairan, darah dalam kavum pleura, sama dengan efusi pleura yaitu
sesak nafas pada waktu bergerak atau istirahat tetapi nyeri dada lebih mencolok. Bila
kejadian mendadak maka pasien akan syok. Akibat adanya cairan udara dan darah yang
berlebihan dalam rongga pleura maka terjadi tanda – tanda :
a) Dypsnea sewaktu bergerak/ kalau efusinya luas pada waktu istirahatpun bisa terjadi
dypsnea.
b) Sedikit nyeri pada dada ketika bernafas.
c) Gerakan pada sisi yang sakit sedikit berkurang.
d) Dapat terjadi pyrexia (peningkatan suhu badan di atas normal).
5. Plail Chest
Pada trauma yang hebat dapat terjadi multiple fraktur iga dan bagian tersebut. Pada
saat insprirasi bagian tersebut masuk sedangkan saat ekspirasi keluar, ini menunjukan
adanya paroxicqalmution (gerakan pernafasan yang berlawanan)
6. Hemopneumothorak
Yaitu penimbunan udara dan darah pada kavum pleura.
I. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Hipoksia, tidak adekuatnya pengangkutan
oksigen ke jaringan
2. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal
karena trauma, hipoventilasi
3. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan
penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan
4. Perubahan kenyamanan : Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme
otot sekunder.
5. Resiko terjadinya syok Hipovolemia berhubungan dengan perdarahan yang berlebihan,
pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow drainage
7. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan
untuk ambulasi dengan alat eksternal.
D. INTERVENSI
1. Diagnosa : Gangguan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Hipoksia, tidak adekuatnya
pengangkutan oksigen ke jaringan.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan dapat mempertahankan
perfusi jaringan dengan,
Kriteria hasil :
a.Tanda-tanda vital dalam batas normal
b.Kesadaran meningkat
c.menunjukkan perfusi adekuat
Intervensi :
1. Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab penurunan
perfusi jaringan.
Rasional: Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status
neurologi/tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan
kegawatan atau tindakan pembedahan
2. Monitor GCS dan mencatatnya
Rasional: Menganalisa tingkat kesadaran
3. Monitor keadaan umum pasien.
Rasional: Memberikan informasi tentang derajat/keadekuatan perfusi jaringan dan
membantu menentukan keb. intervensi.
4. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi
Rasional: Memaksimalkan transport oksigen ke jaringan
5) Kolaborasi pengawasan hasil pemeriksaan laboraturium. Berikan sel darah merah
lengkap/packed produk darah sesuai indikasi.
Rasional : Mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan pengobatan /respons terhadap
terapi
4. Diagnosa : Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama diharapkan nyeri berkurang, dengan
Kriteria hasil :
a.Nyeri berkurang/ dapat diatasi
b.Dapat mengindentifikasia aktivitas yang meningkatkan/ menurunkan nyeri
c.Pasien tidak gelisah.
Intervensi Dx 4 : Perubahan kenyamanan : Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek
spasme otot sekunder.
1) Jelaskan dan bantu klien dnegan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasive
Rasional: Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah
menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri
2) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ;
misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil
Rasional: Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan
kenyamanan.
3) Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan berapa lama
nyeri akan berlangsung
Rasional: Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan dapat
membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik -Analgetik
memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang
4) Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik
Rasional: Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang
5) Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat
analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan
selama 1 - 2 hari.
Rasional: Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif untuk
mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat