Malpraktek Medis
Oleh
Pembimbing
DEPARTEMEN FORENSIK
2018
HALAMAN PENGESAHAN
Malpraktek Medis
Oleh:
Nur Haniyyah, S.Ked 04084821719186
Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Forensik RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 26 Maret 2018 s.d 30 April 2018
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas rahmat dan
berkat-Nya Telaah Ilmiah yang berjudul “Malpraktek Medis” ini dapat diselesaikan tepat
waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan
klinik senior di Bagian Forensik RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada
dr. Baringin Sitanggang atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan telaah ilmiah ini.
Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk
penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
Malpraktek bukanlah menjadi sebuah kata yang asing lagi bagi kita saat ini.
Malpraktek seolah-olah menjadi identik dengan pelayanan buruk dokter. Meskipun dalam
UU yang berkaitan dengan kesehatan baik UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek
Kedokteran, UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU No. 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit maupun UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen tidak ada
ditemukan satu katapun tentang malpraktek yang mengatur pengertian tentang
malpraktek.
Pengertian masyarakat tentang malpraktek juga dinilai masih kurang dan tidak
paham. Jika membaca dan melihat pemberitaan tentang malpraktek medis sungguh jarang
kita mendengar adanya laporan malpraktek medis karena tidak memiliki SIP (Surat Izin
Praktek) atau STR (Surat Tanda Registrasi). Ketika si pasien telah meninggal dunia atau
mengalami cacat barulah dianggap sebagai sebuah malpraktek medis. Pandangan
terhadap malpraktek kedokteran juga dapat dilihat dari sudut kewajiban dokter yang
dilanggar, artinya dihubungkan dengan kewajiban dokter. Kesalahan dokter karena tidak
memiliki Surat Izin Praktik dan/atau Surat Tanda Registrasi juga dapat disebut sebagai
malpraktek kedokteran sebagaimana terdapat dalam Pasal 29 ayat 1 dan pasal 36 yang
ancaman pidananya diatur dalam pasal 76 UU No. 29 Tahun 2004 tentang praktek
kedokteran.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
kematian atau cacat dan/atau kerugian materi pada pasien baik yang dilakukan
secara sengaja atau tidak sengaja.
6
berupa kesengajaan atau kelalaian. Unsur-unsur yang mengakibatkan terjadinya
malpraktek antara lain :
Adanya perbuatan (aktif maupun pasif) tertentu dalam praktek
kedokteran
Yang dilakukan oleh dokter atau yang ada dibawah perintahnya
Dilakukan terhadap pasiennya
Dengan sengaja maupun kelalaian
Yang bertentangan dengan standar profesi, standar prosedur, prinsip-
prinsip professional kedokteran atau melanggar hukum, atau
dilakukan tanpa wewenang baik disebabkan tanpa informed consent,
tanpa STR, tanpa SIP dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan medis
pasien dan sebagainya.
Yang menimbulkan akibat kerugian bagi kesehatan fisik maupun
mental, atau nyawa pasien
7
adalah kewajiban hukum yang sangat mendasar dalam perjanjian dokter
dengan pasie (kontrak teraupetik) yang dalam Pasal 39 UU No. 29 Tahun
2004 Tentang Praktek Kedokteran disebut sebagai kesepakatan antara
dokter atau dokter gigi dengan pasien.
Ukuran berbuat sesuatu secara maksimal dengan sebaik-baiknya
harus berdasarkan pada standar profesi medis dan standar prosedur atau
bagi dokter atau yang dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Prakter
Kedokteran disebutkan dengan istilah”standar profesi dan standar
operasional prosedur” (pasal 50 jo 51). Sementara dalam pasal 44 (1)
disebut sebagai standar pelayana kedokteran atau dokter gigi yang isinya
dibedakan menurut jenis dan starata pelayana kesehatan (ayat 2) . Standar
pelayanan kedokteran dan dokter gigi lebih lanjut diatur dalam Peraturan
Menteri (Ayat3).
Beban pertanggung jawaban dokter terhadap akibat malpraktek
kedokteran karena wanprestasi lebih luas dari beban pertanggung jawaban
karena perbuatan melawan hukum dari pasal 1236 jo 1239 BW, selain
penggantian kerugian pasien juga dapat menuntut biaya dan bunga.
Wujud kerugian dalam wanprestasi pelayana dokter harus benar-benar
akibat (causal verband) dari perlakuan medis yang menyalahi standar
profesi kedokteran dan SOP.
Apabila dalam perlakuan medis terdapat kesalahan dengan
menimbulkan akibat kerugian maka pasien berhak menuntut adanya
penggantian kerugian berdasarkan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365
BW). Dalam hal ini perlakukan medis dokter yang menyalahi standa
profesi kedokteran dan SOP dapat masuk dalam kategori melawan hukum.
8
Sikap batin adalah sesuatu yang ada dalam batin sebelum
seseorang berbuat. Apabila kemampuan mengarahkan dan
mewujudkan alam batin kedalam perbuatan-perbuatan tertentu yang
dilarang, hal itu disebut kesengajaan. Namun apabila kemampuan
berpikir , berperasaan, berkehendak itu tidak digunakan sebagaimana
mestinya dalam hal melakukan suatu perbuatan yang pada
kenyataannya dilarang, maka sikap batin tersebut dinamakan kelalaian
(culpa). Jadi perbedaan antara kesengajaan dan kelalaian sebenarnya
hanyalah dari sudut tingkatannya (graduasi belaka)
9
Ada perbedaan akibat kerugian oleh maplraktek perdata dengan
malpraktek pidana. Kerugian karena malpraktek perdata lebih luas dari
malpraktek pidana. Akibat-akibat malpraktek perdata khususnya termasuk
perbuatan melawan hukum terdiri atas kerugian materiil dan idiil. Bentuk-
bentuk kerugian tidak dimuat secara khusus dalam UU. Akibat malpraktek
kedokteran yang menjadi tindak pidana harus berupa akibat yang sesuai
yang ditentukan dalam UU.
Malpraktek pidana yang sering terjadi akibat tindakan medis antara lain :
a. Penganiayaan (mishandeling)
Malpraktek medis dapat menjadi penganiayaan jika ada
kesengajaan , baik terhadap perbuatan maupun akibat
perbuatan. Pembedahan tanpa informed consent termasuk
penganiayaan. Sifat melawan hukumnya terletak pada tanpa informed
consent sehingga jika ada informed consent maka pembedahan secara
penganiayaan kehilangan sifat melawan hukum. Informed consent
merupakan dasar peniadaan pidana, sebagai alasan pembenar, bukan
alasan pemaaf.
Selain itu, alasan pembenar pembedahan sebagai
penganiayaan juga terletak pada maksud dan tujuannya, yakni untuk
mencapai tujuan yang patut. Arrest HR (10-2-1902) dalam
pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa “jika menimbulkan luka
atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan melainkan sarana belaka
untuk mencapai suatu tujuan yang patut maka tidak ada
penganiayaan. Dengan demikian sebaliknya, walaupun mendapatkan
informed consent jika untuk mencapai tujuan yang tidak patut maka
pembedahan merupakan penganiayaan.
KUHP membedakan lima macam penganiayaan, yakni
bentuk standar, atau sering disebut sebagai bentuk pokok (pasal 351)
atau biasa ; penganiayaan ringan (pasal 352); penganiayaan
berencana (pasal 353); penganiayaan berat (pasal 354) dan
10
penganiayaan berat berencana pasal (355). Unsur-unsur yang harus
dibuktikan meliputi :
i. Adanya kesengajaan
ii. Adanya wujud perbuatan
iii. Adanya akibat perbuatan
iv. Adanya causa verband antara wujud perbuatan dan timbulnya
akibat yang terlarang.
11
iv. Adanya hubungan causal antara luka berat dengan wujud
perbuatan
Unsur-unsur dalam pasal 360 ayat 1 yakni :
i. Adanya kelalaian
ii. Adanya wujud perbuatan
iii. Adanya akibat : 1) yang menimbulkan penyakit, 2) luka yang
menjadikan halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencarian selama waktu tertentu.
iv. Adanya hubungan causal antara luka berat dengan wujud
perbuatan
Sama halnya dengan pasal 359, tindak pidana ini juga
merupakan tindak pidana materiil berupa tindak pidana dimana
timbulnya akibat oleh perbuatan sebagai syarat selesainya tindak
pidana.
12
praktek medis, potensial menjadi malpraktek pidana sekaligus malpraktek
perdata. Setiap malpraktek pidana sekaligus mengandung unsur
malpraktek perdata. Tetapi malpraktek perdata tidak selalu menjadi
malpraktek pidana.
13
BAB III
KESIMPULAN
14
DAFTAR PUSTAKA
15