Anda di halaman 1dari 23

UJIAN AKHIR SEMESTER

“KIMIA FISIK TERAPAN”


PENGARUH SUHU DAN PENAMBAHAN GULA TERHADAP
KANDUNGAN VITAMIN C DAN UMUR SIMPAN SARI BUAH
PEPAYA

Oleh:

NURUL FAUZIAH
NIM : I2E017022

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN IPA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MATARAM
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga
tugas ini dapat tersusun hingga selesai tepat pada waktunya. Tidak lupa Penyusun
juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari dosen pengampu mata
kuliah Kimia Fisik Terapan yang telah berkontribusi dengan memberikan materi,
saran, dan kritikan yang membangun sehingga tugas ini dapat disusun dan
diselesaikan tepat waktu.
Harapan penyusun semoga tugas makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan penyusun menyadari masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu penyusun sangat mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah berikutnya.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1

1
A. Latar Belakang........................................................................…………………….1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................2
C. Tujuan......................................................................................................................2

BAB II KAJIAN TEORITIS..............................................................................................3

A. Konsep Kimia Fisika................................................................................................3


1) Tumbukan....................................................................................................3
2) Orde Reaksi..................................................................................................6
3) Laju Reaksi dan Energi aktivasi .................................................................7
4) Waktu paruh ..............................................................................................10
5) Pengaruh Penambahan Gula Terhadap Kadar ...........................................13
Vitamin C Dan Umur Simpan Sari Buah Pepaya
6) Hubungan Diet Keto Dengan Kebutuhan Vit. C Dalam Tubuh.................14
B. Kesimpulan.......................................................................................................… 16

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pepaya merupakan salah satu buah tropika unggulan Indonesia untuk ekspor
maupun konsumsi dalam negeri. Buah ini untuk perdagangan termasuk buah yang
menduduki tempat penting (Paramastri & Anindha, 2011). Pepaya atau (Carica
papaya) memiliki banyak keunggulan selain rasanya yang enak juga memiliki
kandungan gizi tinggi seperti, kalsium, pro-vitamin A dan asam askorbat (Paramastri
& Anindha, 2011). Betakaroten merupakan salah satu pigmen karotenoid yang ada
pada pepaya. Kandungan betakaroten pada pepaya sebesar 0,56±0,09 mg/100g
(Nakasone & Paull, 2011). Buah papaya dapat dikatakan buah yang sangat bergizi .
Yaitu dengan mengandung tinggi Vitamin , magnesium , besi , tembaga dan beberapa
asam amino esensial, dan juga mengandung sejumlah besar riboflavin, niacin,
kalsium, fosfor dan seng (Wurochekke, dkk., 2013).Akhir-akhir ini, untuk
memudahkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan vitamin C nya, banyak
produsen yang yang mengolah dan memproduksi buah papaya menjadi jus dan sari
buah.
Senyawa yang terkandung di dalam vitamin C adalah asam askorbat yang
memiliki banyak fungsi, diantaranya adalah berperan dalam biosintesis kolagen,
norepiperin, hormon peptida dan tirosin (Chebrolu, K.K, dkk., 2012). Selain itu, juga
berperan dalam absorbsi Fe, aktivitas respon imun, penyembuhan luka dan
osteogenesis (Febrianti N, dkk., 2016). Asam askorbat juga dapat berperan sebagai
antioksidan yang merupakan satu mekanisme pertahanan yang paling penting untuk
melawan radikal bebas. (Febrianti N, dkk., 2016)
Akan tetapi, proses penyimpanan, pendistribusian dan penjualannya
menyebabkan sari buah tersebut terkena panas dan terpapar oleh sinar matahari,
padahal asam askorbat mudah mengalami oksidasi atau degradasi terutama ketika
terkena panas. Asam askorbat merupakan senyawa yang mudah mengalami oksidasi
atau degradasi. Faktor-faktor yang menyebabkan degradasi asam askorbat diantaranya
adalah suhu dan pH. Degradasi asam askorbat terjadi pada rentang temperatur 40-60
°C dan degradasi tersebut tidak dipengaruhi oleh konsentrasi awal dari asam askorbat.
Selain faktor suhu, oksidasi dari asam askorbat juga dipengaruhi oleh faktor derajat
keasaman atau pH. Kestabilan asam askorbat lebih tinggi pada pH yang rendah.

1
Herbig A.L & Renard C (2017) menyatakan bahwa degradasi asam askorbat lebih
cepat pada pH 7-8 dibandingkan pada pH 3-5. Hal ini yang menyebabkan produk
pangan akan mengalami penurunan mutu dengan bertambahnya umur.
Kinetika kerusakan vitamin C dapat ditentukan baik pada pengolahan
(terutama pengalengan) maupun penyimpanan bahan pangan. Pada penyimpanan
bahan pangan, degradasi vitamin C selama waktu penyimpanan diukur dan biasanya
dilakukan dengan menentukan waktu paruh degradasi vitamin C (Andarwula, at al
2012). Degradasi vitamin C inilah yang dapat dijadikan parameter terhadap
perubahan mutu berupa aroma, rasa dan warna dari suatu produk pangan Plestenjak
(dalam Andarwulan, at al 2012)
Reaksi kerusakan vitamin C selama penyimpanan umumnya mengikuti
persamaan laju reaksi orde 1 (Andarwulan, at al 2012). Dengan perhitungan secara
matematis, model Arrhenius juga banyak dipakai untuk mempelajari perubahan-
perubahan mutu pada produk pangan selama pengolahan maupun penyimpanan
(Hariyadi , 2004). Model Arrhenius dapat diterapkan dalam metode yang dikenal
dengan Accelerated Self Life Test (ASLT). Metode ASLT dilakukan dengan
mempercepat proses atau reaksi penurunan mutu dalam suatu percobaan, dengan
menaikkan suhu penyimpanan pada beberapa tingkatan dan pengaturan kondisi
percobaan disesuaikan dengan jenis produk pangannya. Dengan mengetahui
penurunan kandungan vitamin C pada beberapa suhu maka dapat ditentukan energi
aktivasi (Ea) kinetika reaksinya sehingga dapat digunakan untuk menentukan umur
simpan minuman kemasan tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh suhu terhadap kandungan vitamin C dan umur simpan pada sari
buah pepaya?
2. Bagaimana pengaruh penambahan gula terhadap kandungan vitamin C dan umur
simpan pada sari buah papaya?
C. Tujuan
1. Menganalisis dan mendeskripsikan pengaruh suhu terhadap kandungan vitamin C dan
umur simpan pada sari buah pepaya?
2. Menganalisis dan mendeskripsikan pengaruh penambahan gula terhadap kandungan
vitamin C dan umur simpan pada sari buah papaya?
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Konsep Kimia Fisika

2
Asam askorbat merupakan senyawa yang mudah mengalami oksidasi atau degradasi.
Faktor-faktor yang menyebabkan degradasi asam askorbat diantaranya adalah suhu dan pH.
Degradasi asam askorbat terjadi pada rentang temperatur 40-60 °C dan degradasi tersebut
tidak dipengaruhi oleh konsentrasi awal dari asam askorbat. Selain faktor suhu, oksidasi dari
asam askorbat juga dipengaruhi oleh faktor derajat keasaman atau pH. Kestabilan asam
askorbat lebih tinggi pada pH yang rendah. Herbig A.L & Renard C (2017) menyatakan
bahwa degradasi asam askorbat lebih cepat pada pH 7-8 dibandingkan pada pH 3-5.
Produk pangan akan mengalami penurunan mutu dengan bertambahnya umur. Faktor
yang mempengaruhi penurunan mutu itu di antaranya suhu, kelembaban, oksigen (O 2), dan
sinar. Kecepatan penurunan mutu itu tergantung jenis produk, kemasan, dan kondisi
lingkungan penyimpanan. Kinetika kerusakan vitamin C dapat ditentukan baik pada
pengolahan (terutama pengalengan) maupun penyimpanan bahan pangan. Pada penyimpanan
bahan pangan, degradasi vitamin C selama waktu penyimpanan diukur dan biasanya
dilakukan dengan menentukan waktu paruh degradasi vitamin C (Andarwulan, et al 2012).
Degradasi vitamin C inilah yang dapat dijadikan parameter terhadap perubahan mutu berupa
aroma, rasa dan warna dari suatu produk pangan Plestenjak (dalam Andarwulan, et al 2012).
Reaksi kerusakan vitamin C selama penyimpanan umumnya mengikuti persamaan laju reaksi
orde 1 (Andarwulan, et al 2012). Dengan perhitungan secara matematis, model Arrhenius
juga banyak dipakai untuk mempelajari perubahan-perubahan mutu pada produk pangan
selama pengolahan maupun penyimpanan Hariyadi (dalam Andarwulan, et al 2012).
Konsep kimia fisik yang dapat dipelajari pada topik ini diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Tumbukan
Teori tumbukan dari suatu laju reaksi adalah suatu model yang
mengasumsikan bahwa agar reaksi terjadi molekul pereaksi harus bertumbukan
dengan energi yang lebih besar daripada nilai minimum yang ada. Dalam kinetika
kimia agar reaksi kimia dapat terjadi, reaktan harus bertumbukan. Tumbukan ini
memindahkan energi kinetik (energi gerak) dari satu molekul ke molekul lainnya,
sehingga masing-masing molekul teraktifkan. Tumbukan antarmolekul memberikan
energi yang diperlukan untuk memutuskan ikatan sehingga ikatan baru dapat
terbentuk. Kadang-kadang, walaupun terjadi tumbukan, energi kinetik yang tersedia
tidak cukup untuk dipindahkan sehingga molekul tidak dapat bergerak dengan cukup

3
cepat. Kita dapat mengatasi hal ini dengan memanaskan campuran reaktan. Suhu
adalah ukuran energi kinetik rata-rata dari molekul tersebut; menaikkan suhu akan
meningkatkan energi kinetik yang ada untuk memutuskan ikatan-ikatan ketika
tumbukan.
Vitamin C (asam askorbat) merupakan senyawa yang mudah mengalami
degradasi atau oksidasi dengan udara luar. Vitamin C mengalami tumbukan dengan
O2 bebas di udara sehingga secara spontan mengalami oksidasi. Secara umum reaksi
oksidasi vitamin C ada dua macam yaitu proses oksidasi spontan dan proses oksidasi tidak
spontan. Proses oksidasi spontan adalah proses oksidasi yang terjadi tanpa menggunakan
enzim atau katalisator. Sedangkan proses oksidasi tidak spontan yaitu reaksi yang terjadi
dengan adanya penambahan enzim atau katalisator, misal enzim glutation. Enzim ini adalah
suatu tripeptida yang terdiri dari asam glutamat, sistein, dan glisin (Andarwulan & sutrisno,
2012).
Dalam hal ini reaksi yang terjadi adalah proses oksidasi spontan yaitu dengan adanya
pengaruh dari udara sekitar. Mekanisme oksidasi spontan terjadi sebagai berikut: monoanion
asam askorbat merupakan sasaran penyerangan oksidasi oleh molekul oksigen menghasilkan
radikal anion askorbat dan H2O yang diikuti pembentukan dehidro asam askorbat dan
hydrogen peroksida. Dehidro asam askorbat (asam L-dehidroaskorbat) merupakan bentuk
oksidasi dari asam L-askorbat yang masih mempunyai keaktifan sebagai vitamin C. Namun
asam L-dehidroaskorbat bersifat sangat labil dan dapat mengalami perubahan menjadi 2.3-L-
diketogulonat (DKG). DKG yang terbentuk sudah tidak mempunyai keaktifan vitamin C lagi
sehingga jika DKG tersebut sudah terbentuk maka akan mengurangi bahkan menghilangkan
vitamin C yang ada dalam produk (Adarwulan & Sutrisno, 2012). Seperti pada gambar
berikut asam askorbat teroksidasi menjadi asam dehidroaskorbat :

as. L- askorbat as. L- dehidroaskorbat as. L-


diketogulonat
Berikut merupakan mekanisme reaksi dan produk yang dihasilkan akibat pengaruh
oksigen.

4
Untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap laju oksidasi asam askorbat maka
asam askorbat dikondisikan dengan dua perlakuan suhu yang berbeda yakni pada suhu
normal dan pada suhu yang panas. Berdasarkan teori bahwa saat tumbukan antarmolekul
terjadi, sejumlah energi kinetik akan digunakan untuk memutuskan ikatan. Jika energi
kinetik molekul besar, tumbukan yang terjadi mampu memutuskan sejumlah ikatan.
Selanjutnya, akan terjadi pembentukan kembali ikatan baru. Sebaliknya, jika energi
kinetik molekul kecil, tidak akan terjadi tumbukan dan pemutusan ikatan. Dengan kata
lain, untuk memulai suatu reaksi kimia, tumbukan antarmolekul harus memiliki total
energi kinetik minimum sama dengan atau lebih dari energi aktivasi (Ea), yaitu jumlah
energi minimum yang diperlukan untuk memulai suatu reaksi kimia. Saat molekul
bertumbukan, terbentuk spesi kompleks teraktifkan (keadaan transisi), yaitu spesi yang
terbentuk sementara sebagai hasil tumbukan antarmolekul sebelum pembentukan produk.

A + B  AB*  C + D
reaktan keadaan transisi produk

5
2. Orde Reaksi
Untuk menentukan laju reaksi dari vitamin C (asam asorbat) maka sebelumnya
ditentukan terlebih dahulu orde reaski dari asam askorbat tersebut. Orde reaksi adalah
banyaknya faktor konsentrasi zat reaktan yang mempengaruhi kecepatan reaksi.
Penentuan orde reaksi tidak dapat diturunkan dari persamaan reaksi tetapi hanya
dapat ditentukan berdasarkan percobaan dan hanya dapat diramalkan jika suatu
mekanisme reaski jika diketahui ke seluruh orde reaski yang dapat ditentukan sebagai
jumlah dan eksponen untuk masing-masing reaktan, sedangkan harga eksponen untuk
masing-masing reaktan dikenal sebagai orde reaksi untuk komponen itu.
a. Reaksi orde Nol merupakan reaksi-reaksi yang laju kostantanya tidak tergantung pada
konsentrasi reaktan.
b. Reaksi orde 1 adalah reaksi-reaksi yang lajunya berbanding langsung dengan
konsentrasi reaktan.
c. Reaksi orde II merupakan laju berbanding langsung dengan kuadrat kosentrasi dari
satu reaktan atau dengan hasil kali konsentrasi yang meningkat sampai pangkat satu
atau dua dari reaktan-reaktan tersebut.
d. Reaksi Orde III, dalam suatu reasi orde III dapat dilihat tiga kasus berbeda.
1) Laju berbanding langsung dengan pangkat tiga konsentrasi dari suatu reaktan
2) Laju sebanding dengan kuadrat konsentrasi dari reaktan dan pangkat 1 dari
konsentrasi reaktan kedua
3) Laju sebanding dengan hasil kali konsentrasi dari ketiga reaktan
Dalam reaksi-reaksi kinetika, penurunan mutu bahan pangan mengikuti ordo nol
dan ordo satu. Ordo nol dapat dideteksi dengan membuat plot antara nilai vitamin C
sebagai sumbu Y dan lama penyimpanan sebagai sumbu X. Ordo satu dapat dideteksi
dengan membuat plot antara nilai ln vitamin C sebagai sumbu Y dan lama
penyimpanan sebagai sumbu X. Pemilihan ordo reaksi dapat dilihat dengan cara
memplotkan data penurunan mutu mengikuti ordo nol dan ordo satu, lalu dibuat
persamaan regresi liniernya. Ordo reaksi dengan nilai R2 yang lebih besar merupakan
ordo reaksi yang digunakan (Arif et al., 2014).

3. Metode Penentuan Orde Reaksi dan Kostanta Laju


a. Metode Diferensial
Dalam metode ini, data tidak dikumpulkan dalam bentuk konsentrasi terhadap waktu, tetapi
dinyatakan sebagai laju perubahan konsentrasi waktu terhadap konsentrasi reaktan.
Perhatikanlah persamaan laju umum yang melibatkan dua reaktan

6
R
R2 ¿m
R 1 ¿l ¿
d [¿ ¿1]
=k ¿
dt
−¿
Atau
R
d [¿¿ 1]
dt
−¿
¿
R
Log R2
¿
¿
[¿ ¿1]+ m log ¿
¿
k+ l log¿
¿
R
d [¿ ¿1]
l (atau m) dapat dievaluasi dri kemiringan plot antara Log dt dan log [R1] (atau
−¿
¿
log [R2] dengan menjaga [R2] (atau log [R1] tetap. K dapat dihitung dari intersep dan orde
reaksi.
3H202 + BrO3-  Br- + 3O2 + 3H2O

[H+] [BrO3-] [H202] Laju


awal

0,10 0,00587 0,036 9


0,10 0,01174 0,036 19
0,12 0,00978 0,0385 20
0
0,12 0,00978 0,077 40
0
0,12 0,00489 0,0363 9
0
0,24 0,00489 0,0363 18
0
0,24 0,00493 0,0363 18
0
0,36 0,00493 0,0363 28
0
Dengan melihat pada data tersebut, misalkan penyertaan laju menjadi

7
−¿
BrO 3¿
¿
n
H 2 O2 ¿
−¿ ¿m ¿¿
BrO 3
+¿ ¿ l ¿
H¿
¿
−¿

Harga l,m,n dapat di hitung dengan memakai persamaan di atatas dan memilih data sedemiian
rupa, sehingga [H+] atau [BrO3-] atau [H2O2] bervariasi dan dua lainnya konstan.

Demikian pula harga-harga k lainnya dapat dihitung, dan rata-rata dapat diperoleh atau juga
digunakan metode grafik.

b. Metode Integratif

Metode ini merupakan suatu metode trial and error (empiris),yakni Perubahan konsentrasi
dengan waktu yang diukur, dan harga k dihitung dengan menggunaan persamaan terintegrasi
yang berbeda untuk orde reaksi yang berbeda. Orde reaksi akan diperoleh dari persamaan
yang memberikan harga k yang konsisten.

c. Metode Wakktu Paruh

Metode ini memerluan penentuan waktu paruh sebagai suatu fungsi konsentrasi. Jika waktu
paruh tidak tergantung pada konsentrasi, orde reaksi adalah satu. Jika tidak kemiringan dari
plot antara log t1/2 terhadap log [C]0 memberkan harga orde reaksi.

d. Metode Relaksasi

Metode ini digunakan untuk mengaji reaksi-reaksi yang cepat. Dalam metode ini, campuran
reaktan diganggu sedikit-sedikit dari posisi keseimbangan dengan batuan lompatan
temperatur, lompatan tekanan, atau metode pulsa elektrik. Sitem yang terganggu tersebut
kembali ke keseimbangan yang baru atau ke keseimbangan yang lama, dan umumnya
mengikuti kinetika orde.

e. Metode Analisis Guggenheim

8
Dalam persamaan-persamaan tertentu, perlu untuk membaca t=8 sebelum persamaan tersebut
dapat dianalisis, sedangkan metode ini tidak melibatkan pembacaan tersebut. dasae untuk
metode ini adalah perlunya pembacaan pada selang waktu yang sama.

4. Laju Reaksi dan Energi aktivasi


Laju degradasi Vitamin C (Asam askorbat) diukur pada keadaan suhu yang
berbeda sehingga dalam menghitung tetapan laju dan energy aktivasi mengikuti
persamaan Arrhenius, dimana konstanta laju reaksi (k) bergantung pada temperatur
(T) reaksi dan besarnya energi aktivasi (Ea). Hubungan k, T, dan Ea dapat dinyatakan
dalam persamaan Arrhenius sebagai berikut :

k = A e –Ea / RT atau ln k = ln A – Ea / R.T

Keterangan:
k = konstanta laju reaksi
Ea = energi aktivasi (kJ/mol)
T = temperatur mutlak (K)
R = konstanta gas ideal (8,314 J/mol.K)
e = bilangan pokok logaritma natural (ln)
A = konstanta frekuensi tumbukan (faktor frekuensi)

Dari persamaan Arrhenius terlihat bahwa laju reaksi (dalam hal ini diwakili
konstanta laju reaksi) semakin besar saat reaksi terjadi pada temperatur tinggi yang
disertai dengan energi aktivasi rendah. Kadang-kadang, walaupun telah terjadi tumbukan
dengan energi kinetik yang cukup, reaksi tetap tidak menghasilkan produk. Hal ini
disebabkan oleh molekul yang tidak mengalami tumbukan pada titik yang tepat.
Tumbukan yang efektif untuk menghasilkan produk berkaitan erat
dengan faktor orientasi dan sisi aktif molekul bersangkutan. Dengan demikian, molekul
harus bertumbukan pada arah yang tepat atau dipukul pada titik yang tepat agar reaksi
dapat terjadi. Sebagai contoh, reaksi antara molekul A-B dengan C membentuk molekul
C-A dan B.
A-B + C  C-A + B

9
Terlihat bahwa untuk menghasilkan produk molekul C-A, zat C harus
bertumbukan dengan molekul A-B pada ujung A. Jika zat C menumbuk molekul A-B
pada ujung B, tidak aka ada produk yang dihasilkan. Ujung A dari molekul A-B dikenal
dengan istilah sisi aktif, yaitu tempat pada molekul dimana tumbukan harus terjadi agar
reaksi dapat menghasilkan produk. Saat zat C menumbuk ujung A pada molekul A-B,
akan ada kesempatan untuk memindahkan cukup energi untuk memutus ikatan A-B.
Setelah ikatan A-B putus, ikatan C-A dapat terbentuk. Persamaan untuk proses tersebut
dapat digambarkan dengan cara berikut :
C∙∙∙∙∙∙∙A∙∙∙∙∙B  C-A + B

Jadi, agar reaksi ini dapat terjadi, harus terdapat tumbukan antara zat C dengan
molekul A-B pada sisi aktifnya. Tumbukan antara zat C dengan molekul A-B harus
memindahkan cukup energi untuk memutuskan ikatan A-B (pemutusan ikatan
memerlukan energi) sehingga memungkinkan ikatan C-A terbentuk (pembentukan ikatan
melepaskan energi).
Laju reaksi berkaitan dengan frekuensi tumbukan efektif yang terjadi
antarmolekul. Apabila frekuensi tumbukan efektif semakin besar, tumbukan antarmolekul
semakin sering terjadi, mengakibatkan produk terbentuk dalam waktu yang singkat.
Dengan meningkatkan frekuensi tumbukan efektif antarmolekul, produk dalam jumlah
besar dapat dihasilkan dalam waktu yang singkat. Beberapa faktor yang dapat mengubah
jumlah frekuensi tumbukan efektif antarmolekul , antara lain :
1. Sifat reaktan dan ukuran partikel reaktan
Agar reaksi dapat terjadi, harus terdapat tumbukan antarmolekul pada sisi
aktif molekul. Semakin besar dan kompleks molekul reaktan, semakin kecil pula
kesempatan terjadinya tumbukan di sisi aktif. Kadang-kadang, pada molekul yang
sangat kompleks, sisi aktifnya seluruhnya tertutup oleh bagian lain dari molekul,
sehingga tidak terjadi reaksi. Secara umum, laju reaksi akan lebih lambat bila
reaktannya berupa molekul yang besar dan kompleks (bongkahan maupun
lempengan). Laju reaksi akan lebih cepat bila reaktan berupa serbuk dengan luas
permukaan kontak yang besar. Semakin luas permukaan untuk dapat terjadi
tumbukan, semakin cepat reaksinya.
2. Konsentrasi reaktan

10
Menaikkan jumlah tumbukan akan mempercepat laju reaksi. Semakin banyak
molekul reaktan yang bertumbukan, semakin cepat reaksi tersebut. Sepotong kayu
dapat terbakar di udara (yang mengandung gas oksigen 20%), tetapi kayu tersebut
akan terbakar dengan jauh lebih cepat di dalam oksigen murni. Dengan mempelajari
efek konsentrasi terhadap laju reaksi, kita dapat menentukan reaktan mana yang lebih
mempengaruhi laju reaksi (ingat tentang orde reaksi).
3. Tekanan pada reaktan yang berupa gas
Tekanan pada reaktan yang berupa gas pada dasarnya mempunyai pengaruh yang
sama dengan konsentrasi. Semakin tinggi tekanan reaktan, semakin cepat laju
reaksinya. Hal ini disebabkan adanya kenaikan jumlah tumbukan. Peningkatan
tekanan dapat memperkecil volume ruang sehingga molekul semakin mudah
bertumbukan satu sama lainnya.
4. Suhu
Secara umum, menaikkan suhu menyebabkan laju reaksi meningkat. Pada kimia
organik, ada aturan umum yang mengatakan bahwa menaikkan suhu 10°C akan
menyebabkan kelajuan reaksi menjadi dua kali lipat. Kenaikan suhu dapat
meningkatkan jumlah tumbukan antarmolekul. Menaikkan suhu menyebabkan
molekul bergerak dengan lebih cepat, sehingga terdapat peningkatan kesempatan bagi
molekul untuk saling bertumbukan dan bereaksi. Menaikkan suhu juga menaikkan
energi kinetik rata-rata molekul. Energi kinetik minimum yang dimiliki molekul harus
sama atau lebih besar dari energi aktivasi agar reaksi dapat berlangsung. Reaktan juga
harus bertumbukan pada sisi aktifnya. Kedua faktor inilah yang menentukan apakah
suatu reaksi berlangsung atau tidak.
5. Katalis (Katalisator)
Katalis adalah zat yang menaikkan laju reaksi tanpa dirinya sendiri berubah di akhir
reaksi. Hal ini berarti katalis terbentuk kembali setelah reaksi berakhir. Katalis dapat
menaikkan laju reaksi dengan memilih mekanisme reaksi lain yang energi
aktivasinya lebih rendah dari mekanisme semula.
A + B  C + D (tanpa katalis)

A + B C + D (dengan katalis)

11
K dengan katalis > k tanpa katalis sehingga v dengan katalis > v tanpa katalis

Laju reaksi akan lebih cepat jika puncak energi aktivasinya lebih rendah. Hal ini
berarti reaksi akan lebih mudah terjadi. Total energi reaktan dan produk tidak dipengaruhi
oleh katalis. Hal ini berarti entalpi (∆H) reaksi tidak dipengaruhi oleh
katalis. Katalis dapat menurunkan energi aktivasi reaksi dengan satu dari dua cara
berikut:
1. Memberikan permukaan dan orientasi
Terjadi pada katalis heterogen. Katalis ini hanya mengikat satu molekul pada
permukaan sambil memberikan orientasi yang sesuai untuk memudahkan jalannya
reaksi. Katalis heterogen adalah katalis yang berada pada fasa yang berbeda dengan
reaktan. Katalis ini umumnya merupakan logam padat yang terbagi dengan halus atau
oksida logam, sedangkan reaktannya adalah gas atau cairan. Katalis heterogen
cenderung menarik satu bagian dari molekul reaktan karena adanya interaksi yang
cukup kompleks yang belum sepenuhnya dipahami. Setelah reaksi terjadi, gaya yang
mengikat molekul ke permukaan katalis tidak ada lagi, sehingga produk terlepas dari
permukaan katalis. Katalis dapat siap melakukannya lagi.
2. Mekanisme alternatif
Terjadi pada katalis homogen, yaitu katalis yang mempunyai fasa sama dengan
reaktannya. Katalis ini memberikan mekanisme alternatif atau jalur reaksi yang
memiliki energi aktivasi yang lebih rendah dari reaksi aslinya. Dengan demikian,
reaksi dapat berlangsung dalam waktu yang lebih singkat.
5. Waktu paruh
Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan jika separuh konsentrasi dari
suatu reaktan digunakan. Waktu paruh hanya dapat ditentukan dengan tepat hanya
jika satu jenis reaktan terlibat, tetapi jika suatu reaksi berlangsung antara jenis reaktan
yang berbeda, waktu paruh harus ditentukan terhadap reaktan tertentu saja (Sunarya,
2013)
Dalam penentuan umur dari sari buah papaya maka waktu paruh dapat
ditentukan dengan menggunakan pendekatan model arrhenius dengan metode yang
dikenal dengan Accelerated Self Life Test (ASLT). Metode ASLT dilakukan dengan
mempercepat proses atau reaksi penurunan mutu dalam suatu percobaan, dengan

12
menaikkan suhu penyimpanan pada beberapa tingkatan dan pengaturan kondisi
percobaan disesuaikan dengan jenis produk pangannya Penentuan dengan metode ini
dapat menetukan waktu paruh dan batas mutu minimum dari suatu produk. Batas
mutu minimum adalah nilai mutu dimana produk mulai ditolak oleh konsumen
(Hough et al., 2010). Langkah-langkah pendugaan umur simpan dengan metode
ASLT sebagai berikut:
a. Data hasil analisa produk terhadap waktu diplotkan dan dihitung persamaan regresi
liniernya. Kemudian diperoleh tiga persamaan regresi untuk tiga kondisi suhu
penyimpanan produk dengan menggunakan Y = a + bx, dimana Y = nilai karakteristik
sari buah, X = lama penyimpanan (hari), a = nilai karakteristik sari buah pada awal
penyimpanan, b = laju perubahan nilai karakteristik (nilai b sama dengan nilai k).
b. Dari masing-masing persamaan tersebut diperoleh nilai slope (b) yang merupakan
konstanta laju reaksi perubahan karakteristik produk atau laju penurunan mutu (k).
c. Untuk menentukan ordo reaksi yang digunakan dibuat grafik ordo nol yaitu hubungan
antara nilai k dengan lama penyimpanan dan ordo satu yaitu hubungan antara ln k dengan
lama penyimpanan. Dari kedua persamaan tersebut dipilih ordo reaksi yang mempunyai
nilai R2 (determinasi) terbesar (Goncalves et al., 2011). Penurunan mutu ordo nol adalah
merupakan penurunan mutu yang konstan yang dinyatakan sebagai persamaan sebagai
berikut
At – Ao = -kt …………..................................(1)
dimana :
At = Jumlah A pada waktu t
Ao = Jumlah awal A
K = laju perubahan mutu
t = waktu simpan
Sedangkan penurunan mutu ordo satu dinyatakan sebagai persamaan sebagai berikut.
ln At – ln Ao = -kt .………....………………..(2)
d. Untuk pendekatan Arrhenius, nilai k diplotkan terhadap 1/T (K-1) dan ln k didapatkan
nilai intersep dan slope dari persamaan regresi linier ln k = ln k0 –(E/R) (1/T), dimana ln
k0 = intersep, E/R = slope, E = energi aktivasi dan R =konstanta gas ideal = 1, 986
kal/mol oK.
e. Dari persamaan pada tahapan sebelumnya diperoleh nilai konstanta k0 yang merupakan
faktor pare eksponensial dan nilai energi aktivasi reaksi perubahan karakteristik sari buah
(Ea = E). Dan kemudian ditentukan model persamaan laju reaksi (k) perubahan
karakteristik sari buah dengan k = k0 .e-E/RT dengan T adalah suhu penyimpanan.

13
f. Dengan persamaan Arrhenius dapat dihitung nilai konstanta Arrhenius (k) pada suhu (T)
penyimpanan yang ditentukan.
g. Penentuan parameter kunci dengan melihat parameter yang mempunyai energi aktivasite
rendah.
h. Umur simpan sari buah diduga dengan menghitung selisih skor awal produk dan skor
pada saat produk tidak disukai dibagi dengan laju penurunan mutu (k) pada suhu
penyimpanan dugaan distribusi yang dinyatakan melalui persaman sebagai berikut:
ts = [ln(No-Nt)]/KT untuk laju reaksi ordo satu ....(4)
ts = (No-Nt)/KT. untuk laju reaksi ordo nol ...........(5)
dimana :
ts = Waktu penyimpanan
No = Nilai parameter mutu pada to (awal penyimpanan)
Nt = Nilai parameter mutu setelah waktu penyimpanan t (batas kritis)
KT = Nilai K pada suhu penyimpanan T
Jika laju kerusakan terjadi secara konstan atau linier maka mengikuti ordo
reaksi nol. Namun jika laju kerusakan terjadi secara tidak konstan, secara logaritmik
atau eksponensial, maka mengikuti ordo reaksi satu. Penetapan ordo reaksi
merupakan cara untuk memprediksi penurunan mutu dalam pendugaan umur simpan.
Kinetika Mutu Produk Pangan dengan ordo satu dicirikan dengan penurunan mutu
yang sifatnya logaritmik, yaitu penurunan yang semakin rendah seiring dengan lama
penyimpanan, umumnya karakteristik tersebut dimiliki oleh pangan yang rentan
terhadap kehilangan vitamin, inaktifasi mikroba, kerusakan warna oksidatif, serta
kerusakan tekstur karena suhu. Persamaan kinetika untuk ordo satu (n = 1):

-dQ/dt = kQ atau ln (Qt/Qo)= -kt Ln(Qo/Qs)=- kt atau ts = [ln(Qo/Qs)]/k t ½ = 0,639/k

Keterangan :
Qo = mutu awal
Qs = mutu aktif (mutu produk yang tidak layak konsumsi)
ts = waktu kadaluwarsa.
Persamaan kinetika Labuza (1982) :
A = Ao – k.t
Ae = Ao – k.ts
Keterangan :
Ao = mutu pada awal mulai disimpan

14
A = mutu pada waktu ke-t (akhir penyimpanan)
Ae = mutu saat masa simpan berakhir
ts = umur simpan
6. Pengaruh Penambahan Gula Terhadap Kadar Vitamin C Dan Umur Simpan Sari
Buah Pepaya
Salah satu cara untuk mencegah degradasi asam askorbat diantaranya adalah
dengan menambahkan gula. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Rojas &
Gerschenson (2011) yang mengemukakan bahwa penambahan sukrosa dapat
meningkatkan stabilitas dari vitamin C pada rentang temperatur 24-45 °C dan
berkurang pada rentang 70-90 °C. hal tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian
Mukaromah et al., (2010) dalam kajiannya melaporkan bahwa penambahan gula
untuk memproses pembuatan sirup menggunakan buah rosella justru dapat
melindungi hilangnya asam askorbat. Hal ini disebabkan sifat vitamin C yang
merupakan senyawa reduktor, asam-asam askorbat berada dalam keseimbangan
dengan asam dehidroaskorbat. Dalam suasana asam, cincin lakton asam
dehidroaskorbat terurai dengan membentuk senyawa diketogulonat sehingga vitamin
C terlindung dengan adanya penambahan senyawa gula. Dengan demikian, proses
pengolahan bahan/buah harus senantiasa diperhatikan agar memperoleh kadar vitamin
c yang paling optimal.
Asam askorbat merupakan agen pereduksi sehingga senyawa ini sendiri
mengalami oksidasi. Untuk mencegah terjadinya oksidasi maka asam askorbat perlu
ditambahkan gula. Gula yang ditambahkan yakni sukrosa. Sukrosa atau gula tebu
sendiri merupakan gula non reduksi sehingga cenderung tidak dapat mengalami
oksidasi maupun reduksi. Hal ini disebabkan sukrosa tidak memiliki rantai terbuka
pada gugus aldehid sehingga dapat menstabilkan senyawa asam askorbat.
Dalam penambahan gula pada sari buah papaya harus memperhatikan kadar
dari gula tersebut karena apabila melebihi kadar maka justru akan merusak
kandungan asam askorbat dari buah itu sendiri. Kerusakan ini disebabkan oleh reaksi
karamelisasi (pencoklatan) yang disebabkan oleh gula berlebih yang bereaksi dengan
asam askorbat pada sari buah papaya tersebut. Mekanismenya Dekarboksilasi DKG
menghasilkan Xylosone, sedangkan reaksi beta-eliminasi pada atom C dari DKG
yang diikuti oleh dekarboksilasi menghasilkan 3-deoxypentosone (DP).

15
Selanjutnya Xylosone (X) terdegradasi lebih lanjut menghasilkan reductones dan
ethylglyoxal, sedangkan (DP) terdegradasi menghasilkan furfural (F) dan 2,5-
dihydrofuroic acid (E). Sebagian atau seluruh komponen ini selanjutnya dapat
bereaksi dengan asam amino sehingga menyebabkan pencoklatan pada produk
makanan.

7. Hubungan Diet Keto Dengan Kebutuhan Vit. C Dalam Tubuh


Diet ketogenic, atau juga disebut “diet keto“,adalah konsumsi lemak tinggi
dan menghindari berbagai jenis karbohidrat yang memicu glukosa tinggi di dalam
darah. Sehingga harapannya kalori harian didapat 70-75% dari lemak, 20% dari
protein, dan 5% dari karbohidrat. Pola makan rendah karbo dan tinggi lemak (LCHF :
Low Carb High Fat) banyak sekali alirannya. Prinsipnya adalah setiap sel dalam
tubuh kita dapat menggunakan dua sumber bahan bakar, glukosa (gula) dan keton
(lemak). Target dari diet keto adalah membatasi karbohidrat sehingga tubuh mampu
beralih menggunakan lemak sebagai bahan bakar utama. Konsumsi makanan tinggi
lemak dan menghindari karbohidrat akan menempatkan tubuh Anda dalam
metabolisme keton yang disebut ketosis (Paoli et al. 2013)
Vitamin C memang tidak secara langsung berhubungan dengan berat badan.
Akan tetapi, ia diperlukan dalam proses metabolisme yang berhubungan dengan
pembakaran lemak. Oleh sebab itu, kadar vitamin C dalam darah harus cukup ketika

16
Anda sedang mencoba untuk menurunkan berat badan. Sebuah studi tahun 2007 yang
dimuat dalam The Journal of Nutrition, American Society for Nutrition menemukan
kadar vitamin C dalam darah berbanding terbalik dengan indeks massa tubuh (IMT),
persentase lemak tubuh, dan lingkar pinggang (LP) seseorang. Artinya, orang dengan
berat badan berlebih rata-rata memiliki kadar vitamin C yang rendah (Fritz, 2014).
Vitamin C merupakan elemen penting yang diperlukan untuk membakar
lemak. Seseorang dengan kadar vitamin C yang cukup akan membakar lemak 30%
lebih banyak selama aktivitas fisik sedang dibandingkan seseorang dengan kadar
vitamin C yang rendah. Dengan kata lain, kekurangan vitamin C akan menghambat
penurunan berat badan. Berdasarkan studi terkini, konsumsi vitamin C untuk pria
dewasa sehat dianjurkan 110 mg/hari dan untuk wanita dewasa 95 mg/hari. Untuk
perokok, kebutuhan vitamin C lebih tinggi, yaitu 155 mg/hari untuk pria dan 135
mg/hari untuk wanita. Ini disebabkan perokok lebih banyak kehilangan vitamin C,
yang berfungsi sebagai antioksidan (Clemens, 2016)
Penting untuk diperhatikan bahwa konsumsi vitamin C baik dari makanan
maupun suplemen tidak boleh lebih dari 2.000 mg per hari. Jika terlalu banyak
dikonsumsi, vitamin C dapat mengganggu penyerapan zat gizi lain selain
menyebabkan diare, kram perut, dan mual. Vitamin C juga merupakan vitamin larut
air, yang tidak akan disimpan melainkan dibuang melalui urine. Konsumsinya yang
berlebihan dalam waktu lama juga berpotensi menimbulkan batu ginjal dalam bentuk
batu kalsium oksalat. Dalam menurunkan berat badan, asupan kalori harian juga perlu
diperhatikan. Meski kebutuhan vitamin C terpenuhi, berat badan tidak akan turun
selama asupan kalori berlebih sehingga buah dan sayur yang kaya serat dan vitamin C
sangat dianjurkan, dengan demikian dapat membuat kenyang tanpa menambah
jumlah kalori. Sebagai kesimpulan, kecukupan vitamin C disertai pola makan yang
seimbang dan aktivitas fisik yang rutin, membuat pembakaran lemak lebih efektif.
Penurunan berat badan pun akan lebih optimal. (Clemens, 2016).
B. Kesimpulan

1. Perbedaan suhu berpengaruh pada kandungan vitamin C (Asam askorbat), hal ini
dipengaruhi sifat vitamin C yang sangat sentistif terhadap perubahan suhu dan oksigen.
Sifatnya yang mudah mengalami degradasi/oksidasi berpengaruh terhadap mutu dan
umur dari sari buah pepaya tersebut. Semakin tinggi suhu maka laju kerusakan vitamin C

17
juga semakin cepat, sehingga kadar vitamin C juga semakin berkurang. Berkurangnya
kadar vitamin C membuat mutu dari sari buah pepaya juga berkurang sehingga
mempengaruhi umur simpan sari buah pepaya ikut berkurang.
2. Penambahan gula (sukrosa) pada sari buah pepaya akan menstabilkan vitamin C yang
terkandung dalam sari buah tersebut. Vitamin C (asam askorbat) merupakan senyawa
pereduksi sehingga mengalami oksidasi, sedangkan sukrosa merupakan gula non reduksi
yang artinya cenderung tidak mengalami oksidasi maupun reduksi sehingga sukrosa
sendiri dapat menstabilkan asam askorbat. Selain itu juga gula tidak memiliki rantai
terbuka pada gugus aldehid, dalam suasana asam, cincin lakton asam dehidroaskorbat
terurai dengan membentuk senyawa diketogulonat sehingga vitamin C terlindung dengan
adanya penambahan senyawa gula. Dengan demikian, proses pengolahan bahan/buah
harus senantiasa diperhatikan agar memperoleh kadar vitamin C yang paling optimal.
Karena apabila ditambahkan gula berlebih justru akan mengalami kerusakan pada sari
buah dikarenakan adanya reaksi pencoklatan (karamelisasi)

18
DAFTAR PUSTAKA

Andarwulan N, Kurniasih D, Apriady R. A, Rahmat H, Roto A. V dan Bolling B. W. 2012.


Polyphenols, Carotenoids, and Ascorbic Acid in Underutilized Medicinal Vegetables.
Journal of Functional Foods (4): 339347.
Arif, A.B., Setyadjit, I.B. Jamal., H. Herawati dan Suyanti. 2014. Pengaruh Penambahan Sari
Cempedak Terhadap Umur Simpan Dan Nutrisi Sari Buah Nanas. Jurnal Pascapanen
11(1): 30-38.
Chebrolu K.K, Jayaprakasha G.K, Yoo K.S, Jifon J.L dan Patil B.S. 2012. An Improved Sample
Preparation Method for Quantification of Ascorbic Acid and Dehydroascorbic Acid by
HPLC. LWT-Food Science and Technology (47): 443-449.
Clemen, Z., Toth, C. 2016. Vitamin C and Disease: Insights from the Evolutionary Perspective.
Journal of Evolution and Health. Vol. 1. Issue 1.
Febrianti N, Yunianto I dan Dhaniaputri R. 2015. Kandungan Antioksi dan Asam Askorbat pada
Jus Buahbuahan Tropis. Jurnal BIOEDUKATIKA Vol. 3 (1): 6-9.
Febrianti N, Yunianto I dan Dhaniaputri R. 2016. Kandungan Antioksidan Asam Askorbat pada
Buah-buahan Tropis. BioWallacea Jurnal Ilmiah Biologi Vol. 2 (1): 1-5.
Fritz H., Flower G., Weeks L., Cooley K., Callachan M., McGowan J., Skidmore B., Kirchner L.,
Seely D. 2014. Intravenous Vitamin C and Cancer: A Systematic Review. Journal Integr
Cancer Ther
Goncalves, E.M., M. Abreu, T.R.S. Brandao and C.L.M. Silva. 2011. Degradation Kinetics of
Colour, Vitamin C, and Drip Loss in Frozen Broccoli (Brassica Oleracea l. Ssp. Italica)
During Storage Isothermal and Nonisothermal Conditions. International Journal of
Refrigeration 34: 236-2144.
Herbig A.L dan Renard C.M.G.C. 2017. Factors that Impact The Stability of Vitamin C at
Intermediate Temperatures in a Food Matrix. Food Chemistry (220): 444-451.
Hough, G.,Garitta, L., and G. Gomez. 2006. Sensory Shelf Life Predictions By Survival Analysis
Accelerated Storage Models. Food Quality and Preference 17(6): 468-473.

19
Paoli, A., Rubini, A., Volek, J.S., Grimaldi, K.A., 2013. Beyond Weight Loss: A Review Of The
Therapeutic Uses Of Very-Low-Carbohydrate (Ketogenic) Diets. European Journal of
Clinical Nutrition 67. doi:10.1038/ejcn.2013.116
Paramastri, & Anindha. (2011). Pepaya Yang Tak Busuk Saat Distribusi.
http://repository.ipb.ac.id/ handle/123456789/52408.
Sunarya, Yayan. 2013. Kimia Dasar 2. Bandung: CV. Yrama Widya
Wurochekke, A. U., Eze1, H. T, & B. Declan. (2013). Comparative Study On The Nutritional
Content Of Carica Papaya At Different Ripening Stages. International Journal of Pure
Applied Sciences Technology, 14(2), 80-83.

20

Anda mungkin juga menyukai