Anda di halaman 1dari 66

FILSAFAT

FILSAFAT KONTEMPORER
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat
Dosen Pengampu : Dr. Jaka Isgiyarta, Ak, CA.

Disusun oleh :
Muliani 12030117420063
RR. Wulan Indri W 12030117420068
Tri Joko S 12030117420094

MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2018KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah
yang berjudul “Filsafat Kontemporer” dengan baik dan tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini. Tanpa bantuan dari semua pihak makalah ini tidak
akan selesai tepat waktu.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah ini. Oleh
karena itu kami mengharapkan pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang
membangun untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Semarang, 11 Mei 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul ......................................................................................... i


Kata Pengantar .......................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................... iii
Pendahuluan 01
Pembahasan
1. William 03
James ...............................................................................
2. John Dewey 07
...................................................................................
3. Michel 11
Foucault .............................................................................
4. Martin 14
Heidegger ...........................................................................
5. Karl R. 16
Popper ...............................................................................
6. Bertrand 16
Russell ..............................................................................
7. Jean Paul Sartre 17
…..........................................................................
8. Albert 17
Camus ................................................................................
9. Jurgen 20
Habermas ..........................................................................
10. Richard 23
Rorty ................................................................................
11. Paul 32
Feyerabend ............................................................................
12. Jacques 36
Derrida .............................................................................
13. Mazhab 39
Frankfurt ..........................................................................

3
14. Filsafat Islam Imam 42
Ghozali .........................................................
15. Keberadaan Allah dalam Al- 57
Quran ...............................................
Daftar Pustaka

4
5
Pendahuluan
There is No Perfectness in the World, barangkali ungkapan ini tepat dan perlu
dihadirkan dan direfleksikan disini. Sebab, bila kita menelusuri jejak pemikiran
filsafat mulai abad klasik, pertengahan dan modern, ternyata ada kelemahan dan
kekurangan di lain satu sisi serta kelebihan dan kesempurnaan di lain sisi.
Proses dialektika, meminjam istilahnya Hegel, anatar tesis-antitesis dan sintesis acap
kita jumpai dalam khazanah pemikiran filsafat. Filsafat modern yang, konon katanya,
sudah lebih sempurna ternyata masih ada sisi kekurangnya hingga akhirnya muncul
pemikiran baru dalam aras pemikiran yang disebut pemikiran filsafat kotempoter.
Blanshard, dalam “The Encyclopedia of Philosophy” (vol. 8, 322-324),
menilai banyak pemikiran dan filsuf modern gagal mencapai kebijaksanaan sebagai
inti diskursus filsafat. Kegagalan tersebut, kata Blanshard, disebabkan setidaknya
karena dua alas an. Pertama, karena merasa bahwa penilaian terhadap apa yang
digolongkan sebagai kebijakan lebih didasari perasaan (feelings) dan keinginan atau
gairah (desire) ketimbang pengetahuan (knowledge). Kedua, penilaian itu didasari
oleh intuisi yang sulit dipertahankan dengan argumentasi yang logis.
Namun, dalam kenyataannya, sejarah filsafat Barat mengalami pengalaman
buruk tatkala hanya mengikuti rasio dan menghindari intuisi. Gejala postmodernisme
yang mengiterupsi keabsolutan rasio atau munculnya perenialisme merupakan bukti
mengenai ketidakberdayaan rasio dalam menghadapo kebenaran. Karena dunia yang
luas dan mozaik ini hampir tak mungkin bisa ditangkap dengan wadah rasio atau
indra saja. Karenanya, Sanderson Beck melakukan percobaan mempertautkan relasi
antara pengertian. Wisdom secara intuitif kemudian mengkajinya secara rasional.
Seperti ia ungkapandalam eksperimentasinya:
Wisdom is the awareness used by the self to relate successfully to the
environment: to be practical in acting upon the environment it must include
both knowledge and action. We have described awareness as the conscionus of
life. By self is meant our subjective indentity as an individual and we might
describe environment as the field of experience for the self.

1|Page
Lamtas Beck mengevaluasi pengertian tersebut dan akhirnya dia member
kesimpulan dengan member batasan-batasan berikut : bahwa “Wisdom is the
knowledge of and action for thr highest good of all concerned”. (Kebijaksanaan itu
adalah pengetahuan tentang dan tindakan untuk mencapai kebaikan tertinggi dalam
segala aspeknya).
Bertolak belakang dari pemikiran di atas, maka selanjutnya pengkajian
pemikiran filsafat kontemporer bisa dimulai dengan memahami tokoh-tokohnya.
Beberapa tokoh yang bisa disebut dalam pemikiran filsafat Barat abad kotemporer
adalah Wiliam James, Michael Foucault, Martin Heidegger, dan Karl Popper,
Bertrand Russell, Jean-Paul Sartre, Albert Camus, Jurgen Habermas, Richard Rorty, J.
Derrida, dan Mazhab Frankfurt.

2|Page
Pembahasan
1. Wiliam James dan Perkembangan Pragmatis
Willian James dilahirkan di New York pada tahun 1842. Setelah belajar ilmu
Kedokteran di Universitas Hardvard, ia kemudian pada tahun 1855-1860
belajar di Inggris, Prancis, Swiss, dan Jerman. Ia kembali ke Amerika dann
memberikan kuliah di Harvard dalam bidang anatomi, fisiologi dan psikologi,
dan filsafat hingga tahun 1907. Pada tahun 1910 ia meninggal dunia.
William James selain menanamkan filsafat dengan “pragmatisme”, juga
menyebutkan dengan istilah “Radical Emperisme” adalah suatu aliran yang
mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai
yang benar dengan perantaraan yang akibat-akibatnya bermanfaat secara
praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu asal saja membawa akibat
praktis. Pengalaman-pegalaman pribadi, kebenaran mistik, semuanya bisa
diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat
praktis Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistik, semuanya bisa
diterima sebagai kebenaran, dan dasar tindakan asalkan membawa akibat
praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatism adalah
manfaat bagi hidup praktis.
Sedangkan “Empirisme Radikal” adalah suatu empirisme harus menerima
suatu unsur empirisme harus tidak menerima suatu unsur alam bentuk apa pun
yang tidak dialami secara langsung. James menganggap hubungan (relation)
seperti “lebih besar daripada” sebagai salah satu unsure-unsur yang dialami
secara langsung. James menganggap hubungan (relation) seperti “ lebih besar
daripada” sebagai salah satu dari unsure-unsur yang sialami secara langsung.
Untuk memperkokoh dan mengembangkan pragamatisme sebagai aliran
filsafat baru, James bekerja ekstra keras untuk mengarang beberapa buku yang
isinya memuat ajaran-ajaran pragmatism. Buku-buku hasil karya James
antara lain: 1) Principles of Phychology (1890), 2) the Dilemma of
Determinisme (1884), 3) The Sentiment of rationally (1897) 4) human

3|Page
immortality (1898) 7) The Variesties of Relisgius Experiences (1902),
8)Pragmaticism 9) Meaning of Truth (1909) A Pluralistic Universe(1909), dan
11) Essay in Radical Empirisme (1912).
a) Kebenaran Pragmatis
Dalam bukunya the Meaning of the Truth (1909), James mengemukakan
bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap,
yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal. Sebab
pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam
perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena didalam praktiknya
apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh
Karena itu, tiada kebenaran yang mutlak, yang ada adalah kebenaran-
kebenaran “plural”, yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman
khusus yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Dalam membuktikan suatu kebenaran, James mengajukan pertanyaan
“apakah yang dilakukan ole hide padamu dalam menghadapi kehidupan
nyata?”. Untuk memiliki nilai-nilai kemanusiaan, setiap ide mestilah berguna
untuk mewujudkan setiap tujuan hidup yang jelas. Ketika James menyelidiki
teori-teori kebenaran yang tradisional, ia menanyakan apakah arti kebenaran
dalam tindakan. Kebenaran harus merupakan nilai dari satu ide. Tak ada suatu
motif dalam mengatakan bahwa sesuatu itu benar atau tidak benar, kecuali
untuk memberi petunjuk bagi tindakan yang praktis. Dalam konteks ini ,
James mengataka, ideas become true just so far as they help us to get into
satisfactory relations other parts of our experience. “Suatu ide menjadi benar
sejauh ide itu menolong kita untuk memasuki hubungan-hubungan yang
menguntungkan dan memuaskan dengan bagian-bagian lain pengalaman kita.
James menolak mentah-mentah apa yang dikatakan oleh filsafat tradisional
yang megatakan bahwa kebenaran itu bersifat “monistik” (tunggal).
Kebenaran itu relative, subjektif, dan terus berkembang.
Nilai perkembangan dalam pragmatism tergantung kepada akibatnya,
kepada kerjanya, atau tergantung kepada keberhasilan dari perbuatan yang

4|Page
disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu benar jika bermanfaat bagi
pelakunya, jika dapat memperkaya hidup serta kemungkinan-kemungkinan
hidup.
Menurut James ada dua hal kebenaran pokok dalam filsafat, yaitu tough
minded dan Tender Minded. Tough Minded dalam mencari kebenaran hanya
lewat pendekatan empiris dan tergantung pada fakta-fakta yang dapat
ditangkap indra. Ini tentu saja menuju pada materialism, dan skeptis serta
apriori terhadap apa saja yang berbau immaterial (transedental). Sikap ini
dipegang kuat oleh penganut filsafat empirisme. Sementara Tender Mended
hanya mengakui kebenaran yang sifatnya berada dalam ide dan yang bersifat
rasional. Tender Mended sangat apriori pada realitas. Paham semacam ini
dipegang teguh oleh penganut filsafat idealism. James datang untuk
menengahi kedua paham tersebut dalam mengajukan konsep miliorismenya.
Dengan pandangan Milliorisme-nya, James bersikap lunak dalam
menerima kebenaran. Kebenaran dapat diterima dari kedua belah pihak asal
membawa kebenaran. Kebenaran dapat diterima dari kedua pihak asal
membawa hasil yang nyata bagi kehidupan manusia. Dengan demikian,
ukuran benar dan salah bagi pragmatismen James bergantung pada nilai
kontan (cash value), nilai sekarang, untuk nyata ini, dan sebenarnya tidak ada
kebenaran objektif (monisme), sebaliknya yang ada adalah kebenaran
subjektif (pluralism). Ia tergantung pada tiap-tiap individu dalam
menjalaninya.
b) Pragmatisme dan Etika
Menurut James, terdapat hubungan yang erat antara konsep pragmatisme
mengenai kebenaran dan sumber kebaikan. Selama ide itu bekerja dan
menghasilkan hasil-hasil yang memuaskan, maka ide itu bersifat benar (true).
Suatu ide dianggap benar apabila dapat memberikan keuntungan kepada
manusia dan yang dapat dipercayai tersebut membawa kearah kebaikan
(good).

5|Page
Suatu bentuk teori etik dapat dibangun demi teori pragmatisme ini.
Metode pragmatisme dalam memberikan batasan antara yang baik atau jelek,
salah atau benar, adalah sama seperti membatasi apakah sesuatu itu benar atau
salah. Jadi terhadap sebuah problem yang ada pada tingkah laku manusia,
kami bisa bertanya: “Akankah melakukan perbuatan-perbuatan yang benar
untuk memecahkan problem yang ada?” jawaban tepat atas pertanyaan itu
adalah ditentukan oleh perbuatan yang dilakukan tersebut apakah dapat
memuaskan dalam mengatasi masalah atau tidak. Contohnya mencuri, bila ia
mendatangkan manfaat bagi pelakunya berarti ia baik, tetapi bila ia
mengakibatkan menderita berarti ia jelek.
c) Kepercayaan Religius menurut James
Menurut James dalam bermacam-macam pengalaman kehidupan,
manusia mempunyai hubungan dengan suatu Zat yang lebih (a more).
Manusia merasakan sekitarnya ada sesauatu yang simpatik dan memberikan
dukungan. Ia menunjukkan sikap bersandarnya kepada Zat tersebut dalam
sembahyang dan doa. Rasa tentang adanya zat yang lebih (The more)
membawa ke arah ketenangan , kebahagiaan, dan ketentaraman selain itu, hal
ini merupakan pengalaman yang universal. Dalam arti keagamaan, Tuhan
adalah kecondongan ideal atau pendukung yang murah hati dalam
pengalaman manusia.
Dalam bukunya The Varietes of Religius Experiece (Keanekaragaman
Pengalaman Keagamaan) , James mengemukakan bahwa gejala-gejala
keagamaan itu berasal dari kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak
disadari, yang mengungkapkan diri dalam kesadaran dengan cara yang
berlain-lainan. Barangkali di dalam bahwa sadar kita, kita menjumpai realitas
kosmis yang lebih tinggi tetapi itu hanya suatu kemungkinan saja. Sebab ,
tiada sesuatu yang dapat meneguhkan hal itu secara mutlak. Bagi orang
perorangan, kepercayaan kepada suatu realitas kosmis yang lebih tinggi
merupakan nilai subjektif yang relative sepanjang kepercayaan itu
memberikan kepadanya penghiburan rohani, penguatan keberanian hidup,
6|Page
perasaan damai kemanan dan kasih kepada sesama, dan lain-lain. Nilai agama
memang tidak melebihi hal-hal subjektif. Oleh karena itu, segala macam
pengalaman keagamaan mempunyai nilai yang sama jika akibatnya sama-
sama member kepuasan kepada kebutuhan keagamaan.

2. John Dewey (1859-1952)


Ia dilahirkan di Burlington pada tahun 1859. Setelah menyelesaikan
studinya di Baltimore ia menjadi Guru Besar di bidang filsafat dan kemudian
juga bidang pendidikan pada Universitas-universitas di Mionnesota,
Michigan, Chicago (1894-1904), dan akhirnya di Universitas Colombia
(1904-1929). Sekalipun Dewey terlepas dari William James, ia menghasilkan
pemikiran yang nampaknya memiliki persamaan dengan gagasan James.
Dewey adalah seorang pragmatis, namun ia lebih suka menyebut
sistemnya dengan istilah instrumentalis. Menurutnya tujuan filsafat ialah
untuk mengatur kehidupan dan aktivitas manusia secara lebih baik, untuk di
dunia dan sekarang. Tegasnya , tugas filsafat utama ialah memberikan garis-
garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu,
filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang
tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman (experience), dan
menyelidiki serta megolah pengalaman itu secara aktif kritis. Dengan
demikian, filsafat akan dapat menyusun suatu sistem norma-norma dan nilai-
nilai.
Instrumentalisme adalah usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan
tepat dari konsep-konsep, pertimbangan- pertimbangan penyimpulan-
penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara utama
menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran berfungsi dalam penemuan-penemuan
yang berdasarkan pengalaman yang mengenai konsekuensi- konsekuensi di
masa depan. Menurut Dewey, kita hidup dalam dunia yang belum selesai
penciptaanya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan
meneliti tiga aspek dari yang kita namakan instrumentalisme. Pertama, kata

7|Page
temporalisme yang berarti ada gerak dan kemajuan nyata dalam waktu.
Kedua, kata futurism, mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak pada
hari kemarin. Ketiga, milionarisme, berarti bahwa dunia dapat dibuat lebih
baik dengan tenaga kita. Padangan ini juga dianut oleh Wilian James.
a) Konsep Dewey tentang pengalaman dan Pikiran
Pengalaman (experience) adalah salah satu kata kunci salam filsafat
instrumentalisme. Filsafat Dewey adalah “mengenai” (about) dan “untuk”
(for) pengalaman sehari-hari. Pengalaman adalah keseluruhan drama manusia
dan mencakup segala proses”saling memengaruhi” (take and give) antara
organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Dewey menolak
orang yang mencoba mengangap rendah pengalaman manusia atau menolak
untuk percaya bahwa seseorang telah berbuat demikian. Dewey mengatakan
bahwa pengalaman bukannya suatu tabir yang menutupi manusia sehingga
tidak melihat alam; pengalaman adalah satu-satunya jalan bagi manusia untuk
memasuki rahasia-rahasia alam.
Dunia yang ada sekarang ini, yakni dunia pria dan wanita dunia, dunia
sawah dan pabrik, dunia tumbuh-tumbuan dan binatang-binatang, dunia kita
yang hiruk pikuk dan bangsa-bangsa yang berjuang, adalah dunia pengalaman
kita. Kita harus berusaha memakainya dan kemudian berusaha membentuk
suatu masyarakt dimana setiap orang dapat hidup dalam kemerdekaan dan
kecerdasan.
Dalam perjalanan pengalaman seseorang, pikiran selalu muncul untuk
memberikan arti dari sejumlah situasi-situasi yang terganggu oleh pekerjaan
diluar hipotesis atau membimbing kepada perbuatan yang akan dilakukan.
Kegunaan kerja pikiran, kata Dewey, tidak lain hanya merupakan cara untuk
jalan untuk melayani kehidupan. Makanya, ia dengan kerasnya menuntut
untuk menggunakan metode ilmu alam (scientific method) bagi semua
lapangan pikiran, terutama dalam menilai persoalan akhlak (etika), estetika

8|Page
,politik dan lain-lain. Dengan demikian,cara penilaian bisa berubah dan bisa
disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan hidup.
Menurut Dewey, yang dimaksud dengan scientific method ialah cara yang
dipakai oleh seseorang sehingga bisa melampaui segi pemikiran semata-mata
pada segi amalan. Dengan demikian, suatu pikiran bisa diajukan sebagai
pemecahan suatu kesulitan (to solve problematic situation) dan kalau berhasil
maka pikiran itu benar.
b) Dewey dan Pendidikan Progresif
Dewey memandang bahwa tipe dari pragmatismenya diasumsikan sebagai
sesuatu yang mempunyai jangkauan aplikasi dalam masyarakat. Pendidikan
dipandang sebagai wahana yang strategis dan sentral dalam upaya
kelangsungan hidup di masa depan. Pendidikan Nasional Amerika, menurut
Dewey hanya mengajarkan muatan-muatan yang sudah usang (out of date)
dan hanya mengulang-ulang sesuatu yang sudah lampau yang sebenarnya
tidak layak lagi untuk diajarkan kepada anak didik. Pendidikan yang demikian
hanya mengebiri intelektual anak didik.
Dalam bukunya Democracy and Education (1916) Dewey menawarkan
suatu konsep pendidikan yang adaptif dan progresif bagi perkembangan masa
depan. Kutipan di atas dapat dipahami secara bebas bahwa pendidikan harus
mampu membekali anak didik sesuai dengan kebutuhan yang ada pada
lingkungan soasialnya. Sehingga apabila anak didik tersebut telah lulus dari
lembaga sekolah, ia bisa beradaptasi dengan masyarakatnya.
Untuk merelisasikan konsep terseut. Dewey menawarkan dua metode
pendekatan dalam pengajaran. Pertama, problem solving method. Dengan
metode ini anak dihadapkan pada berbagai situasi dan masalah-masalah yang
menantang dan anak didik diberi kebebasan sepenuhnya utuk memecahkan
maslah-masalah tersebut sesuai dengan perkembangan kemampuannya.
Dalam proses belajar mengajar model ini guru bukannya satu-satunya sumber,
bahkan kedudukan seorang guru hanya membantu siswa dalam memecahkan

9|Page
kesulitan yang dihadapinya. Dengan metode semacam ini, dengan sendirinya
pusat informasi (metode pedagogy) diambil alih kedudukannya oleh metode
andragogy yang lebih menghargai perbedaan individu anak didik.
Kedua, learning by doing. Konsep ini diperlukan untuk menjembatani
kesenjangan antara dunia pendidikan dengan kebutuhan dalam masyarakat.
Supaya anak didik bisa eksis dalam masyarakat bila telah menyelesaikan
pendidikannya, maka mereka dibekali keterampilan-keterampilan praktis
sesuai dengan kebutuhan masyarakat sosialnya.
c) Analisis Kritis atas Kekuatan dan Kelemahan Pragmatis
1) Kekuatan Pragmatisme
a. Kemunculan pragmatis sebagai alirann filsafat dalam
kehidupan kontemporer, khususnya di Amerika Serikat, telah
membawa kemajuan-kemajuan yang pesat baik dalam ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Pragmatisme berhasil
“membumikan” corak berpikir Tender Minded yang cenderung
berpikir metafisis, idealis, abstrak, intelektualis, dan cenderung
berpikir hal-hal yang memikirkan atas kenyataan, materialis, dan
didasarkan atas kebutuhan-kebutuhan dunia, bukan akhirat.
b. Pragmatisme telah berhasil mendorong berpikir yang liberal
bebas dan selalu menyangsikan segala yang ada. Berawal dari
sikap skeptis, seseorang berlomba untuk membuktikan suatu
konsep melalui penelitian, eksperimen serta pembuktian-
pembuktian sehingga memunculkan temuan-temuan baru dalam
dunia ilmu pengetahuan.
c. Sesuai dengan coraknya yang “sekuler” pragmatisme tidak
mudah percaya pada “kepercayaan yang mapan”. Suatu
kepercayaan dapat diterima apabila terbukti kebenarannya lewat
pembuktian yang praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui
adanya sesuatu yang sakral dan mitos. Dengan coraknya yang

10 | P a g e
terbuka, pragmatisme merupakan pendukung terciptanya
demokrasi, kebebasan manusia.
2) Kelemahan Pragmatisme
a. Karena pragmatisme tidak mau mengakui sesuatu yang bersifat
metafisika dan kebenaran yang absolute (kebenaran tunggal),
hanya mengakui kebenaran apabila terbukti secara alamiah dan
percaya bahwa dunai ini mampu “dibikin” manusia sendiri, secara
tidak langsung pragmatisme sudah mengingkari sesuatu yang
transendental.
b. Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat
pragmatisme adalah sesuatu yang nyata, praktis, dan langsung
dapat dinikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme
menciptakan pola pikir masyarakat yang materialis.
c. Untuk mencapai tujuan materialismenya, manusia megejarnya
dengan berbagai cara, tanpa mempedulikan lagi bahwa dirinya
merupakan anggota dari masyarakat sosialnya. Manusia hidup
semakin egois individualis.

3. Michael Foucault (1926-1984 M)


Michael Foucalt memiliki nama lengkap Paul-Michael Foucalt. Ia lahir di
Poitiers, 15 Oktober 1926 di Paris. Foucault termasuk filsuf berpengaruh
Prancis utamanya pada zaman pasca Perang Dunia II. Foucault dikenal
penelaahannya yang kritis terhadap berbagai institusi social, terutama
psikiatri, kedokteran, dan sistem penjara, serta akan karya-karyanya tentang
riwayat seksualitas.
Karya Focault itu dapat pula dipandang sebagai kontributor terhadap teori
kebudayaan dalam teori social yakni:
1) Objek studinya seperti rumah sakit jiwa, klinik, penjara, telah
menggeser fokus studi mengenai dominasi, sehingga terjauhkan dari
analisis kelas dan basis ekonomi.

11 | P a g e
2) Kebudayaan tidaklah ditematiskan sebagai sesuatu yang tercakup
dalam bidang yang sekadar representasional sebagaimana terdapat pada
pada pandangan Marxisme yang sederhana.
3) Kebudayaan tidak dipandang sebagai totalitas spiritual seperti dalam
historisisme.
4) Meskipun Foucalt sama sekali bukan seorang fungsionalis, ia
beroperasi dengan suatu konsep tentang masyarakat dan kebudayaan yang
secara implisit mengakui perbedaanya karakter masyarat dan kebudayaan
dalam modernitas.
a) Arkeologi Foucalt
Dalam “Madness and Civilization (1961)” Foucault mengawali
gagasannya tentang “arkeologi kebisuan penderitaan kegilaan” di dalam
suatu dunia di mana penderita kegilaan menggantikan penyakit kusta
sebagai kematian “yang telah tiba”. Menurut Faucalt “posisi liminal”
penderita kegilaan di abad pertengahan terlihat dari disingkirkannya
mereka secara sosial ke dalam “bahtera untuk orang-orang sinting.
Humanisme renaissance berperan membebaskan suara penderita kegilaan
sekaligus mengontrolnya dengan cara dalam memasukkan kegilaan ke
dalam “semesta diskursus”, meskipun hanya dalam dalam periode klasik
lah penderita kegilaan direduksi menjadi kebisuan dengan jalan
mengungkungnya dalam rumah sakit-rumah sakit.
b) Genealogy of Knowledge
Gagasan Geneology muncul demi melengkapi tentang aspek diskursus
yang mirip system dengan suatu analisis bagaimana aspek itu terbentuk.
Berikut karya Foucault berkaitan genealogi:
1) Dalam esainya Foucault menjabarkan Nietzsche, Genealogy, History,
suatu analisis ttg formasi efektif diskursus bukanlah semacam pencarian
asal-usul. Tugas genealogy kekuasaan sesungguhnya adalah menganalisis
silsilah pengetahuan. Menurut Foucalt, pembedaan Nietzche antara asal
usul (origin) dan silsilah (descent) adalah pembeda anatara persentasi

12 | P a g e
sejarah sebagai terbentangnya suatu gagasan secara jealas serta sebagai
terbentangnya suatu gagasan secara jelas serta sebagai fenomena yang
murni kebetulan.
2) Dicipline and Punishment (1975), berisi pemetakan munculnya
“masyarakat disipliner”.
3) History of Sexuality (1976, 1978), Foucault bukan mengonsepsi
modernitas sebagai pembatasan seks, namun sbg penyebarannya,
terseretnya seks ke dalam diskursus.Menurut Foucalt, pembedaan
Nietzche antara asal usul (origin) dan silsilah (descent) adalah pembeda
anatara persentasi sejarah sebagai terbentangnya suatu gagasan secara
jealas serta sebagai terbentangnya suatu gagasan secara jelas serta sebagai
fenomena yang murni kebetulan.
c) Kilas balik Filsafat Foucalt
Foucalt menaruh minat pada cara “manusia memproblematikasikan siapa
diri mereka, apa yang mereka lakukan beserta dua tempat mereka hidup.

13 | P a g e
4. Martin Heidegger (1889-1976)
Heidegger adalah salah satu seorang murid Hegel. Heidegger lahir di
Baden, Jerman. Ia belajar di Kontanz, mempelajari ilmu teknologi di
Universitas Freiburg. Tidak lama kemudian menekuni filsafat. Tahun 1915 ia
Mengajar di Freiburg. Tahun 1923 ia diundang dan diangkat mjd Profesor di
Universitas Marburg. Tahun 1928 ia diangkat Profesor di Freiburgh. Filsafat
Heidegger dianggap sebagai presentasi monumental dan termasuk filsafat
yang paling kuat dan berpengaruh hingga abad ini.
Pemikiran filsafatnya terdiri atas dua bagian. Bagian pertama banyak dia
curahkan dalam karyanya yang berjudul Being and Time yang terbit pada
tahun 1928. Pada karya awal tersebut ia lebih memosisikan diri sebagai
seorang fenomenolog. Tapi tak sedikit orang yang menategorikannya selain
sebagai fenomenolog juga sebagai seorang ekesistensialis.
Karya awal Heidegger tersebut dipahami sebagian kalangan dalam dua
aspek penting. Pertama, Heidegger memperlihatkan anti Cartesianisme yang
mendalam, khususnya mengenai pikiran dan tubuh, pembedaan antara subjek
dan objek, pemisahan linguistic atas kesadaran, pengalaman pengalaman dan
pikiran. Kedua, filsafat awal Heidegger sebagian besar adalkah pencarian
terhadap autentisitas yang dapat dipahami dengan penjelasan tertentu sebagai
keutuhan.
Dalam Sein and Zeit, Heidegger menguraikan tentang ada secara
mendalam. Menurut Heidegger, manusia itu terbuka bagi dunianya dan
sesamanya. Kemampuan seseorang untuk bereksistensi dengan hal-hal di luar
dirinya karena memiliki kemampuan seperti kepekaan, pengertian,
pemahaman, perkataan atau pembicaraan. Yang dimaksud dengan mengerti
dan memahami ialah bahwa manusia dengan kesadarannya akan berdaya di
antara benda-benda lainnya dan memberi manfaat pada dunia dalam
kemungkinan-kemungkinannya. Bagi Heidegger, untuk mencapai manusia
yang utuh itu harus merealisasikan segala potensinya – meski dalam

14 | P a g e
kenyataannya seseorang itu tidak mampu merealisasikan semua itu, ia tetap
berusaha sekuat tenaga dan mempertanggungjawabkan atas potensi yang
belum teraktualisasikan.
Konsep ada-dalam-dunia (being-in-the world) merupakan konsep yang
fundamental dalam rangka menerangkan gejala keberadaan manusia. Konsep
ada-dalam-dunia mengandung implikasi bahwa manusia hidup atau
mengungkapkan keberadaannya dengan meng-ada dalam dunia.
Istilah ada-dalam yang digunakan Heidegger memiliki arti yang dinamis,
mengacu pada hadirnya subjek yang dinamis. Begitupun dunia yang harus
dimengerti sebagai hal yang dinamis, bisa hadir dan menampakkan diri dan
bukan dunia yang tertutup atau semata-mata suatu dunia fisik geografis yang
terbatas dan membatasi manusia. Ada dalam dunia adalah seinkonnen yang
berarti manusia mampu berada.
Jadi ada dalam dunia itu manusia hidup atau mengungkapkan
keberadaannya di dunia sambil merancang mengolah atau membangun
dunianya itu. Manusi dan dunia adalah suatu totalitas yang menjadi relasi
dialogis. Totalitas dan dialektika manusia dunia itu mengandung implikasi
bahwa keberadaan manusia dan perkembangan manusia tidak lepas dari
keberadaan dan perkembangan dunia. Dalam kenyataannya manusia akan
berkembang jika ia mengembangkan (membangun) dunianya.
Selain itu, filsafat Heidegger yang paling fenomenal adalah berkaitan
dengan konsep susana hati (mood). Didalam suasana hati kita diatur oleh
dunia kita, bukan dalam pendirian pengetahuan observasional yang berjarak.
Suasana hati juga dijadikan sebagai titik tolak untuk memahami hakikat diri
dan siapa diri kita.

5. Karl R. Popper (1902-1994 M)


Karl Popper, selain ahli di bidang sains dan politik, juga dikenal sebagai
seorang yang ahli matematika dan astronomi teoritis. Buku yang paling

15 | P a g e
berpengaruh adalah The Open Society and Its Enemies (1950). Karya Tersebut
merupakan gagasan filsafat politiknya yang amat berpengaruh sehinggga
diterjemahkan dalam banhyak bahasa, termasuk Indonesia. Di Indonesia buku
itu diterjemahkan berjudul “Masyarakat terbuka dan Musuh-musuhnya” yang
diterbitkan di Pustaka Pelajar Jogjakarta 2002.
Pada buku tersebut Karl Popper menghadirkan wacana baru. Sebab, Karl
Popper merumuskan sebuah bentuk masyarakat yang cocok bagi minimalisasi
penderitaan manusia dan masyarakat yang ia sebut sebagai masyarakat
terbuka (Open Society).

6. Bertrand Russel (1872-1970)


Banyak karya yang ditulisnya, salah satunya adalah History of Western
Philosophy and its Connection With Political and Social. Circumtances from
The Earliest Time To The Present Day (1946). Buku tersebut telah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Sejarah Filsafat Barat
dan Kaitanya dengan konsisi Sosial Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang
oleh pernebit Pustaka Pelajar Jogjakarta 2002.
Buku ini merupakan buku Russel yang paling sukses dan dditerjemahkan
ke dalam banyak bahasa. Dalam buku ini Russel berusaha mengaitkan
persoalan-persoalan sejarah filsafat dengan sejarah sosial, politk dan
kemasyarakatan. Dengan data yang cukup valid, Russel membahas sosok
para filsuf yang mempunyai kontribusi besar dalam peradaban manusia dan
mengurai secara rinci ide-ide dasar, pemikiran-pemikiran, pengaruhnya
terhadap masyarakat dan para filsuf berikutnya. Juga dimaksukkan bahasan
khusus dalam beberapa bab mengenai sejarah sosial murni (pure social
history) , yang berguna untuk melihat relasi antara seorang filsuf, oemikiran
dan konsisi sosio-politik dan budaya yang mengitarinya.

7. Jean Paul Sartre (1905-1980M)


Jean Paul Sartre lahir di Paris Prancis, 21 Juni 1905 – 15 April 1980. Ia
adalah filsuf sekaligus pengembang aliran eksistensialisme. Menurut Sartre,

16 | P a g e
eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L’exixtence precede l’essence).
Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya tidak
lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmen di masa lalu. Karena itu
menurut Sartre satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia
(L’homme est condamne a etre libre).
Kebebasan dan tanggungjawab pribadi yang tak kenal kompromi terletak
di jantung filsafat Sartre. Sartre menegaskan bahwa setiap orang
bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan dan mau jadi apa dia.
Menurut Sartre eksistensi mendahului esensinya dengan kata lain, filsafat ini
menempatkan cara wujud-wujud manusia sebagai tema sentral
pembahasannya.
Bagi Sartre, manusia atau keadaan kebebasan untuk membentuk dirinya
dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan itu mungkin tidak memiliki arti
bahkan tidak masuk akal. Tetapi, manusiadapat hidup dengan aturan-aturan,
keluhuran budi dan keberanian serta ia dapat membentuk masyarakat. Karena
memiliki ciri seperti ini, maka manusia dapat menangani masalahnya sendiri
dengan mengandalkan pilihan dan tindakannya agar dapat hidup di dunia.

8. Albert Camus (1913-1960)


Albert Camus lahir di Aljazair , 7 November 1913 M. Ia termasuk
seorang penulis hebat sekaligus filsuf Perancis. Seringkali ia digolongkan
sebagai seorang penulis eksistensialis, tetapi kemungkinan ia lebih teppat
disebut sebagai seorang absurdis. Pada tahun 2957 ia dianugrahi Nobel Sastra,
tetapi ia menolak. Ia teman Jean Paul Satre. Seorang Sastrawan eksistensialis
dan Simone de Bauvoir. Ia meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil
di Villeblevin pada 5 Januari 1960.
Diantara karyanya adalah (1) Le mythe de Sisyphe, Caligula dan lain lain

Kilas Balik Filsafat Camus

17 | P a g e
Tepat pada saat perang dunia kedua dimulai ia menerbitkan novel yang
berjudul The Stranger (1942) dan sebuah esai yang disebut The Myth of
Sisyphe (1942). Dengan kedua buku tersebut ia mulai menjadi juru bicara bagi
moralitas modern yang baru dalam menghadapi kehidupan dihadapan sang
“absurd”. Camus melukiskan hal ini sebagai kepekaan zaman kita. Menuru
Camus sang absurd harus dibedakan dari absurditas- absurditas semata
kehidupan sehari-hari. Sang absurd merupakan suatu perspektif metafisik,
suatu kesadaran atas konfrontasi antara diri kita sendiri dengan tuntutan kita
pada rasionalitas dan keadilan di satu sisi, dan sebuah alam semesta yang acuh
tak acuh disis lain.
Camus berkata bahwa “kita menghabiskan semua energi untuk
mendorong beban kita menentang kesia-siaan dan frustasi. Orang harus
mencatat, absurditas eksistensi ini tidak mengurangi kegetiran apapun, dengan
fakta bahwa Sisyphus bersifat kekal.
Pertanyaan-pertanyaan filsafat yang diajukan Camus adalah:
Apakah kehidupan itu berharga dan harus dijalani ataukah sebaliknya apakah
kita harus bunuh diri?

Jawabannya:
“jawaban yang pertama, kita harus bersemangat dan jawaban yang kedua
tidak bersifat moralistik.

Pandangan Agama Islam


Sesungguhnya Allah maha kekal (sifat Allah: baqa, dan asmaul husna: Al-
Baqi). Kehidupan di dunia harus dijalani dengan niat beribadah kepada Allah
dan segala kebaikan dikerjakan semata-mata karena Allah SWT. Seperti yang
dijelaskan dalam Quran Surat An-Nisa’ ayat 29-30 bahwa terdapat larangan

18 | P a g e
untuk bunuh diri ataupun saling membunuh karena yang demikian itu sangat
tidak di ridhai.

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah


adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian
dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan
memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah.” (QS. An Nisa’: 29-30).

Agama Islam mengajarkan bahwa seorang harus berusaha sekuat tenaga


dalam menghadapi segala bentuk permasalahan hidup yaitu beriktiar, berdoa
dan bertawakkal kepada Allah. Tapi, seorang hamba tidak ada kekuatannya
tanpa adanya pertolongan Allah SWT, karena itu libatkan Allah dari awal,
tidak setengah setengah. Dan ingatlah, Allah tidak akan merubah nasib suatu
kaum sebelum mereka sendiri yang berusaha merubahnya

(QS. Ar-Rad (11) ).

‫إهتن ٱتلأ أل يفأغييفر أماَ بهقأمومم أحتتىى يفأغييفروُااأماَ بهأأنَففهسهه ممم‬

Artinya:
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.

Jadi, janganlah berputus asa dan prustasi, Allah selalu bersama kita. Dia
tidak akan memberikan hambanya ujian di luar batas kemampuannya.

(QS. Al-baqarah : 286)

‫ف ت‬
َ‫افللل نَأ اف سس اَ إه تللل فوُ اس أع هأ ا‬ ‫أل يف أك لي ف‬

Artinya:

19 | P a g e
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.

Mari kita belajar untuk mensamudrakan hati dalam maenghadapi segala


cobaan dan ujian hidup untuk mendapatkan ridha-Nya di dunia dan akhirat,
Amin.

9. Jurgen Habermas
Jurgen Habermas lahir pada tanggal 18 Juni 1929, di Dusseldorf, Jerman.
Haberman adalah asisten Adorno antara tahun 1956-1959. Pada tahun 1964 ia
menjabat sebagai profesor filsafat di Universitas J. Von Goetha, Frankfurt. Antara
tahun 1971 hingga 1981 ia menjabat sebagai direktur Institut Max Planck. Saat ini
ia tetap sebagai profesor filsafat pada Universitas J. Von Goetha, Frankfurt.
Habermas dikenal sebagai seorang filsuf dan sosiolog yang berada di dalam tradisi
Critical Theory dan pragmatisme Amerika. Dia paling dikenal dengan sebuah
konsep ruang publik yang didasarkan pada teori dan praktik “aksi komunikatif”.
Karya-karyanya, yang sering kali diberi label Neo-Marxisme, terfokus pada
dasar-dasar pembentukan teori sosial dan epitemologi, analisis kapitalisme di
masyarakat industrial dan demokrati; dan politik kontemporer, terutama yang
terjadi di Jerman. Dia mengembangkan sistem teori yang diabdikan untuk
menunjukkan kemungkinan penalaran, emansipasi dan komunikasi logis-kritis ang
terdapat di dalam institusi liberal modern.
John Rusell dalam artikelnya bahwa karya Habermas berangkat dari ide yang
sederhana. Di dalam konteks “modernitas yang mengalami pertentangan dengan
dirinya sendiri” (Habermas, 1987a: 396), Habermas menaruh perhatian pada
persoalan publik serta kekuatan non-kekerasan yang terkandung dalam argumen
yang lebih baik, yang ia sebut diskursus praktis rasional. Setiap orang seharusnya
bisa mengambil posisi setuju atau tidak setuju terhadap statemen-statemen
mengenai dunia dan cara dunia itu dipahami, baik statemen itu berkaitan ataupun

20 | P a g e
tidak berkaitan dengan dunia-dunia alamiah, masyarakat, ataupun dengan
statemen-statemen itu sendiri (Habermas, 1984: 70). Habermas bereksperimen
dengan formulasi-formulasi dan paradigma-paradigma yang dengannya ia
melandaskan ide dasarnya.
Gagasan Habermas mengenai politik, pada tarafnya yang paling minimal dan
atropologis, secara sederhana bisa dimaknai sebagai suatu proses intersubjektivitas
non-kekerasan yang terus berlangsung, dimana kata-kta atau lebih tepatnya
kalimat-kalimat atau tindak bertutur adalah bentuk hubungan sosial yang lebih
bernilai daripda ritual-ritual ataupun senjata. Cakrawala utopian ini tetap menjadi
perhatian utama dan ciri permanen yang menggema disepanjang karyawannya
secara menyeluruh. Dengan demikian, cakrawala utopian itu berupa kebebasan
yang ditafsirkan olehnya sebagai demokrasi.
Selanjutnya, hal itu dirumuskan sebagai formasi konsesus yang dimotivasi
secara rasional dan secara diskursif bersifat bebas. Inilah yang menjadi ciri khas
bagi Habermas beserta karyawannya sebagai sesuatu yang pada intinya merupakan
pemahaman diri-modernitas, suatu pemahaman diri yang terus ia bela, kritik dan
rekonstruksi, baik dalam karya-karya seperti The Structural Transformation of The
Public Sphere (1961), Toward a Rational Society (1968-69), knowledge and
human interest (1972), the philosophical Discourse of Modernity (1987), maupun
The Theory of Communicative Action (1984).
Dalam karya-karya tersebut terkesan bahwa dalam pandangan publik warisan
yang berupa rasio praktis- yakni bentuk rasio yang berkaitan dengan persoalan-
persoalan tentang norma-norma yang berkaitan dengan persoalan-persoalan
tentang norma-norma sosial dan praktik-praktik etis etika serta bagaiman
keduanya dibentuk dipertanggungjawabkan, dan dinilai- sudah dianggap tak layak
lagi sebagai dasar modernitas. Dalam pandangan Habermas rasio praktis tersebut
tidak perlu disingkirkan, namun harus dipertahankan dan direkonseptualisasikan
sehingga menyanggah pandangan mereka yang mengganggap rasio praktis sudah

21 | P a g e
kedaluwarsa atau bahwa rasio praktis sekedar perwujudan lain dari dominasi
rasionalitas sui generis.
Dalam persoalan inilah Habermas mengemukakan argumennya terus-menerus
mengenai rasio yang sepintas-lalu tampak ditemukan oleh para filsuf pencerahan
sebetulnya tidak sama dengan proyek rasio pengkalkulasi. Dikatakan sepintas lalu
karena, bagi Habermas, persoalan memepertahankan rasionalitas sekarang ini
bukan sekedar berkaitan maknanya, namun juga perihal bagaimana ia harus
didasarkan- dan yang ia maksudkan dalam hal ini adalah bagaimana rasionalitas
itu dikaitkan dengan peneguhan-diri spesies manusia.
Tiga aspek proyek Habermas yang akan dibahas di sini adalah, pertama aspek
sosio-kritis yakni cakrawala emansipatoris yang ada dalam kebebasan. Kedua,
interpretasi atas modernitas. Ketiga, perumusan Habermas mengenai cara
bagaimana pada mulanya manusia meneguhkan realitas; teorinya tentang tindakan
komunikatif, serta teorinya tentang evolusi sosio-kultural (teorinya tentang proses
belajar evolusioner) yang merupakan bagian internal dalam pandangannya tentang
kebudayaan atau pandangan dunia sebagai sistem-sistem interpretatif kultural.
Untuk menjabarkan gagasannya yang sederhana, Habermas brgerak ke dua
arah sekaligus; sosiologis dan filosofis. Menurut Habermas, setiap teori kritik
masyarakat seharusnya membahas isu-isu substantif dan dilema-dilema yang ada
pada masyarakat modern, sekaligus memiliki sikap refleksif ini tergantung pada
pendasar proyek kritik (substantif) tersebut secara filosofis. Inilah serangan
Habermas terpenting terhadap generasi pertama Mazhab Frankfurt, yang lazim
dianggap sebagai generasi pendahulunya kendatipun anggapan ini bisa saja
dibantah. Serangannya mengenai dimenisionalitas-tunggal yang ia lancarkan
terhadap para pendahulunya berkisar pada persoalan pencitraan-pencitraan yang
beraneka ragam mengenai dunia modern serta bermacam-raganya interpretasi atas
filsafat modern.

10. Richard Rorty (1931-2007)

22 | P a g e
Richard Rorty adalah seorang filsuf terkenal di Amerika Serikat. Nama
lengkapnya adalah Richard McKay Rorty. Ia lahir pada tanggal 4 Oktober 1931 di
New York – 8 Juni 2007. Ia lahir dan besar dilingkungan yang “reformis, kiri,
antikomunis”. Disebuah lingkungan yang anti-Stalinis tapi kekiri-kirian. “Di
lingkungan seperti itulah patriotisme, pemerataan-ekonomi, antikomunis dan
pragmatisme ala Dewey hidup berdampingan secara alami (Achieving Our
Country, 1998; 59-61).
Pada Tahun 1946, Rorty kuliah di University of Chicago, mengambil jurusan
filsafat. Rudolph Carnap, Charles Hartshorne dan Richard McKeon adalah
beberapa nama pengajar disana. Ia menyelesaikan pendidikan MA-nya pada tahun
1952 dengan tesis tentang Whitehead dan dibimbing oleh Hartshorne. Tahun 1952
sampai 1956, Rorty meneruskan pendidikannya di Yale, mengajukan disertasi
tentang “Konsep Potensialitas”, dibimbing oleh Paul Weis. Setelah menerima gela
Ph.D, ia mengabdi selama dua tahun dalam dinas ketentaraan, setelah itu mengajar
di Sekolah Tinggi Wellesleyen.
Sepanjang kariernya, Rorty menerima beberapa penghargaan akademis dan
gelar kehormatan, diantaranya Beasiswa Guggenheim (1973-74) dan Beasiswa
MacArthur (1981-1986). Disamping itu, ia menerima jabatan sebagai pengajar di
beberapa perguruan tinggi, seperti di Trinity College, Cambridge (1987) san
Harvard (1997). Richard Rorty hidup dalam tradisi Pragmatisme, Postanalytic.
Perhatian studi utama adalah: Philosophy of Language, Philosophy of Mind,
Ethics, Liberalism. Pemikiran filsafatnya banyak dipengaruhi beberapa pemikiran
besar, antara lain John Dewey, Martin Heidegger, Ludwig Wittgenstein, Friedrich
Nietzsche, Wilfrid Sellars, W.V.O Quine, Donald Davidson, William James, John
Rawls, Marcel Proust, Vladimir Nakobov. Belakangan ia juga memberi inspirasi
dan memengaruhi beberapa pemikir terkenal di negaranya, diantaranya adalah
Robert Brandom, John McDowell, Cornel West, Nancy Fraser dan lain sebagainya.
Menurut Rorty, apa yang kita sebut sebagai fisafat selama ini telah menuju ke
banyak titik kebuntuan di bidang epistemologi, metafisika, bahkan teori-teori
23 | P a g e
moral, sehingga perlu kiranya dilakukan penelitian ulang terhadap apa itu
berfilsafat dan bila kita tak menemukan apa yang kita cari dalam istilah berfilsafat,
mungkin kita perlu membuat arti berfilsafat secara baru.
Evaluasi atas gagasan-gagasan dalam bidang filsafat politik memerlukan
penyegaran paradigma. Setelah runtuhnya komunisme, ideologi-ideologi besar
memerlukan sebuah genre baru yang mampu memenuhi kebutuhan manusia akan
sebuah pemahaman politik yang komprehensif. Liberalisme sebagai sebuah
ideologi yang bertahan semenjak munculnya Revolusi Amerika disusul oleh
Prancis, menjadi sebuah ideologi yang paling dianut, dan mendapat penerjemahan
dalam doktrin-doktrin yang sangat beragam, baik jumlah maupun coraknya.
Tingkat ini akan mengangkat pandangan Rorty sebagai salah satu filsuf
kontemporer, yang mengajukan sebuah konsep tentang filsuf politik, mengenai
liberalisme. Rorty memberikan sebuah makna baru lagi liberalisme, memberikan
sebuah sudut pandang baru setelah ia meruntuhkan semua klaim-klaim kebenaran
yang bersifat modernistik. Sebagai seorang filsuf yang mengibarkan bendera
“kematian” epistemologi, sekaligus “kematian” seluruh azas-azas filsafat, ia
merasa wajib memberikan sebuah interpretasi baru terhadap ideologi-ideologi
besar, yang sebelumnya berdiri di atas fondasi modernisme.
Rorty berusaha untuk memberikan sebuah arti baru pada “berfilsafat”. Ia
berusaha untuk menemukan kembali filsafat dan menyelamatkannya dari
kebuntuan-kebuntuan yang selama ini menyelimutinya. Rorty berusaha untuk
berfilsafat tentang filsafat. Ia memulai dengan mengajukan kritik kontruktif
terhadap karya-karya Wittgenstein, Quine, Davidson, dan lainnya dengan
mengatakan bahwa semua proyek penelitian filsafat modern tidak mempunyai
pijakan yang kuat.
Dalam tulisannya Consequences of Pragmatism, terutama Solidarity, Irony
and Contigency, Rorty memberikan gambaran tentang umat manusia sebagai
“hewan yang menggunakan bahasa” yang selalu mencoba mendefinisikan alam.
Bukan hanya karena mereka mampu, tetapi karena mereka selalu mencoba supaya
24 | P a g e
alam bisa dikuasainya. Inti kritik pemikiran Rorty tampak dalam karyanya yang
provokatif, Philosophy and the Mirror of Nature (1979 selanjutnya disingkat
PMN). Dalam buku ini, dan esai-esai yang terkumpul dalam Consequences of
Pragmatisme (1982, selanjutnya disingkat CP). Target utama kritik Rorty adalah
ide tentang ilmu pengetahuan sebagai representasi, sebagai cerminan mental akan
dunia luar. Karakteristik dan ilustrasi tentang budaya intelektual post-
epistemologis, muncul dalam PMN dan CP, dan lebih berkembang lagi dalam
karya-karya berikutnya, seperti Contingency, Irony, and Solidarity (1989,
selanjutnya disingkat CIS), kemudia dalam Objectivity, Relativism, and Truth
(1991, selanjutnya disingkat ORT), Essay on Heidhher and Others (1991,
selanjutnya disingkat EHO) dan Truth and Progress (1998, selanjutnya disingkat
TP). Karya-karya Rorty ini mencakup telaah yang sangat luas, menyatu dan
menggunakan titik pandang yang sangat beragam.
Dalam memberikan penajaman di bidang filsafat, Rorty berusaha untuk
menyatukan dan mengaplikasikan Dewey, Hegel, dan Darwin dalam sintesis
pragmatis antara historisisme dan naturalisme. Rorty menentang epistemologi
sebagai sebuah disiplin dalam filsafat. Menurut Rorty, epitemologi modern bukan
hanya sebuah usaha untuk melegitimasi klaim kita terhadap ilmu pengetahuan
tentang alam benda-benda, namun juga sebuah usaha untuk melegitimasi refleksi
filosofis itu sendiri.
Secara historis, kontrak sosial adalah perkembangan dari hukum alam,
terutama pandangan Grotius dan Puffendorf. Dalam Leviathan karya Thomas
Hobbes, kontrak sosial secara jelas disebutkan pada bab 13 sampai dengan bab 15.
Hobbes berpendapat bahwa keadaan dunia atau alam pada awalnya adalah
“sengketa terus menerus”. Leadaan ini menurut manusia yang rasional dan
bermoral harus diakhiri. Dasae dari pemikiran Hobbes adalah pandangannya
bahwa manusia secara psikologis dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri aja.
a) Disksurus Postmodernisme

25 | P a g e
Kita bisa menyebut era sekarang sebagai era “posmo”. Postmodernisme ada
dimana-mana, dari seni dan arsitektur ke sastra dan filsafat. Meminjam istilah
Rorty, postmodernisme sudah menjadi sebuah “hegemoni budaya”. Ketika sebuah
istilah yang sedang “in” berisiko kehilangan makna mereka terlalu sering
digunakan. Postmodernisme sudah dipakai dan dapat terus dipergunakan untuk
mengacu pada kritik dan penolakan terhadap proyek modern pencerahan. Karena
postmo menunjukkan “keraguan terhadap metanarasi”, postmodernisme tidak
mampu mendukung sebuah proyek yang bertujuan untuk menemukan,
memopulerkan dan mengaplikasikan prinsip-prinsip rasional yang universal
sifatnya.
Tidak seperti kaum rasional-pencerahan yang percaya kekuatan rasio manusia,
postmodernisme justru tidak percaya pada kemampuan akal manusia dan
keuniversalannya. Postmodernisme tidak bicara tentang kategori-kategori aplikatif
manusia sebagai manusia, justru mereka lebih menaruh perhatian kepada
kebiasaan unik, cara hidup dan kebudayaan orang perorang. Seperti yang
dikatakan Rorty, “Bagi postmodern, tidak masuk akal kita bicara hukum alam atau
hukum manusia”.
Beberapa orang berpandangan bahwa situasi ini melegakan. Bila identitas dan
moral dan kebudayaan bersifat “buatan, bukannya ditemukan”, maka manusia
bebas memproduksi dan mereproduksi diri kita dan nilai nilai sesering kita mau.
Ketika kita merasa bosan terhadap sebuah nilai atau nilai tersebut dirasa sudah
tidak cocok lagi, kita bisa berpindah ke nilai lain yang lain. Makna dari pernyataan
ini adalah bahwa semua sudut pandang dan semua jalan hidup dipengaruhi oleh
kebudayaan dan “tidak perlu ditanggapi dengan serius”. Setiap aspeknya bersifat
konsensus. Ketika kita bicara tentang postmodernisme dengan hati-hati dan tepat,
kita akan menggolongkan diri kita sebagai “borjuis-liberal-postmodernis” (karena
kita hasil dari pendidikan kebudayaan barat). Kita tidak mempunyai akses khusus
untuk mengerti kebenaran tentang kondisi manusia karena memang tidak ada
kondisi manusia an sich.
26 | P a g e
b) Liberalisme, Borjuis, dan Romantik
Dalam karyanya contigency, Irony, dan Solidarity, Rorty mengajukan klaim
bahwa pengakuan atas keyakinan politik sesorang harus menjadi “kebaikan utama
para anggota masyarakat liberal:, selanjutnya “budaya masyarakat macam itu
harus bertujuan untuk menyembuhkan kita dari ‘kebutuhan metafis yang dalam’
yang menjadi fondasi keyakinan kita”. Menurut Rorty, kebutuhan akan fondasi,
kebutuhan manusia terhadap “non-negotiable self-evident truths” jelas-jelas
bersifat antitesis bila disosialisasikan degan masyarakat liberal. “ide pokok
masyarakat liberal, dalam arti perbandingan anatara kata dan perbuatan, persuasi
berlawanan dengan kekuatan, semuanya bisa terjadi”.
Rorty mengklaim bahwa dirinya seorang borhuis-liberal-romantik, ia percaya
pada reformasi, pertumbuhan keadilan ekonomi dan kebebasan warga negara.
Kunci dari agenda politik Rorty adalah persaudaraan seluruh umat manusia. Rorty
bersikap skeptis terhadap radikalisme; pemikiran politik yang berusaha mencari
sebab-sebab sistematis tersembunyi, yang menyebabkan ketidakadilan dan
eksploitasi, dan berangkat dari titik tolak itu mengajukan perubahan mendasar
untuk menyelesaikan ketidakberesan itu.
Dahulu kaum liberal pernah mencari legitimasi menggunakan alasan-alasan
retorik seperti halnya ilmu pengetahuan yang mecari legitimasi lewat pseudo-
religius, namun kini hal itu tidak perlu lagi, karena musuh kaum liberal yang
memberikan konteks dan sekaligus penonton itu telah lama menghilang. Kaum
liberal reformis dengan komitmennya terhadap perluasan kebebasan demokratis ke
arah persaudaraan politis, sebuah kontigensi historis, menurut Rorty tidak
mempunyai sekaligus tidak memerlukan landasan filosofi apapun.
Maksunya Rorty disini tentu saja kaum agamawan yang menggunakan
argumentasi teologis. Tujuan dari liberalisme sekarang ini tentu saja membantu
manusia untuk penemuan baru dan pengembangan kreativitasnya. Dalam bahasa
yang lebih tradisional, yang dimaksud oleh kaum liberal oleh Rorty di sini adalah
orang-orang yang mencari kebahagiaan di atas segala-galanya, tanpa terjebak
27 | P a g e
dalam kekejaman dan kekerasan. Masyarakat semacam ini akan mampu
memfasilitasi “praktik-praktik linguistik baru hasil pertemuan antar-praktik
linguistik yang telah ada”.
Anggota masyarakat yang ideal menurut utopia liberal Rorty adalah seseorang
yang menghindari segala macam bentuk fondasi dan benar-benar sadar atas segala
kemungkinan “bahasa ..kesadaran..moralitas dan.. harapan tertingginya”. Orang-
orang ini adalah seorang penganut Nietzche (sadar atau tidak sadar), dan ia secara
luas mempunyai komitmen terhadap sebuah orde politik yang menjunjung tinggi
kreativitas manusia apa pun bentuknya dan menjauhi kekerasan serta kekejaman.
Rorty dengan berhati-hati menggolongkan anggota masyarakat dari sudut pandang
kesadaran akan kemungkinan-kemungkinan menjadi “ironisme” dan liberalisme.
Dalam masyarakat ideal menurut Rorty ini, “secara akal sehat anggota-
anggotanya adalah seseorang penganut nominalis sekaligus historisis, tapi tidak
bersifat ironis terhadap situasi mereka. Maksudnya, mereka tidak merasa ragu
akan kemungkinan yang mungkin terjadi”. Versi romatik liberalisme Rorty
terwujud dalam pendapatannya yang membedakan antara pribadi dan publik.
Perbedaan di sini tidak seperto perbedaan antara wilayah publik dan wilayah
pribadi yang diajukan oleh pandangan-pandangan tradisional (misalnya yang
berpendapat bahwa interaksi dan perilaku harus bebas dari evaluasi term-term
sosial dan politik) untuk menentukan aspek-aspek mana yang harus dan tidak
harus kita pertanggungjawabkan di depan publik.

c) Pragmatisme Politik Rorty


Rorty mengklain bahwa ketaatan kita pada liberalisme disebabkan bukan lagi
oleh harapan pahala disurga. Kita berpegang teguh pada kebenaran yang
ditawarkan sebuah ideologi bukan lagi karena kebenaran tersebut memperoleh
pembenaran dari “sesuatu yang lebih tinggi”. Menurut Rorty, kebanyakan manusia
28 | P a g e
di dunia sekarang lebih menganggap bahwa kebenaran yang ditawarkan oleh
liberalisme kita pegang teguh karena kita lebih menekankan klaim kebenaran
tersebut “diambil dari dunia ini”. Klaim itu bersifat duniawi, terikat ruang dan
waktu, hanya saja ia berada di masa depan. Rorty berpendapat bahwa kita lebih
memikirkan keturunan kita di masa datang daripada keselamatan kita setelah mati.
Rorty berpandangan bahwa kita mempertahankan liberalisme sekarang demi
“kebaikan dan kebenaran” yang akan kita wariskan pada anak cucu kita.
d) Sastra dan Filsafat
Banyak ilmuwan yang mengambil model sastra sebagai gaya keilmuwannya,
bukan model sebagai penggoda iman.
Karya sastra Indonesia dewasa ini banyak yang hanya menjadi lahapan baca
sekedar pengisi waktu lenggang dan sebagai bahan bacaan hiburan belaka. Para
penikmat karya sastra Indonesia kurang melakukan kritik. Mereka lebih banyak
sebagai konsumen, belum menciptakan produksi intelektual baru dari karya sastra
yang telah di baca.
Selain itu masalahnya juga terletah pada pengarang yang memanjakan
penikmatnya dengan menyuguhkan karya sastra yang anti-intelektual dan cuma
sebagai barang bacaan pengobat penat bahkan lebih dari itu. Semestinya karya
sastra Indonesia memberikan semangat intelektual yang mumpuni bagi
peminatnya dan menyuguhkan karya yang menyadarkan akan pentingnya
memaknai realitas ke dalam ruang sastra atau sebaliknya.
Beberapa tahun lalu, kecenderungan anti-intelektualisme ditemukan dalam
puisi primitif yang menggigit Sutardji Calzoum Bachri, puisi urakan Darmanto JT,
dan puisi-puisi mistik Abdul Hadi WM. Sekarang, dengan perspektif yang
berbeda, kaya sastra yang anti-intelektualisme banyak bermunculan dengan tema
yang bukan lagi melangit dan primitif. Tetapi, melalui karya-karya sastra yang
menjadikan imaji seks liar dan itu terjual dengan laris.
Apa pesan atau hikmah yang kita dapat setelah membaca karya-karya sastra yang
berbau seks atau karya sastra yang bersemangat membuka aurat? Atau, setelah kita
29 | P a g e
membacanya kita mendapatkan pengetahuan yang menyadarkan, seperti ketika
kita membaca roman Atheis karya Archdiat K. Mihardja atau membaca cerpen
yang berbau feminimisme.
Dari sisi pemasaran sebagai produk karya sastra kita memang cukup bangga
melihat marak dan larisnya buku-buku sastra akhir-akhir ini. Seperti yang ditulis
Maria Magladena naiknya gairah publik untuk membaca karya sastra itu akan
memupus penyakit malas membaca sastra yang sekian lama diderita dan
kecenderungan minat baca mulai bangkit sekitar 60 persen pembaca memilih
buku-buku sastra.
Akan tetapi perkembangan zaman seolah menjadi alasan yang kuat bagi para
pengarang yang menajajakan seks melalui karya-karya nya. Mereka berdalih atas
nama modernisasi, globalisasi, dan memanfaatkan perkembangan budaya popo
yang hebih dewasa ini. Menurut penulis, para pengarang semestinya lebih
mementingkan persoalan bagaimana karya sastra itu memberikan pencerahan,
hikmah, kesadaran sosial dan kesadaran berbagsa, seperti mengambil inspirasi dari
khazanah daerah yang begitu kaya dan beragam, mengisahkan fenomena
kemiskinan dan ketertindasan, dan lain sebagainya.
e) Kekuasaan dan Ekspresi Puitis
Alois Agus Nugroho (2004) dalam artikelnya tentang “Aspek puitis dari
Kekuasaan dan Kepemimpinan” mengurai bahwa dalam gelombang pemikiran
pascamodernisme, kekuasaan itu dapat dilihat sebagai kontigensi ekspresi puitis
yang menjadikan dirinya normalitas. Dalam penafsiran Stanley Rosen, the will to
power adalah ekspresi puitis untuk mengatur chaos menjadi kosmos. Kemudian
deskripsi kekuasaan menurut Foucault dapat dilihat sebagai hal yang menjadikan
puisi kontigen itu menjadi bahasa biasa. Dan latar seperti itu, kita dapat mengerti
mengapa Richard Rorty memberi peranan publik yang sangat penting kepada
penyair kuat. Pemikiran Nietzsche dapat disoroti sebagai filsafat rasa hidup dan,
dengan demikian, dapat disejajarkan dengan pemikiran HenriBergon, Sigmund
Freud, Charles Darwin, atau Alfred North Whitehead. Ada daya hidup yang
30 | P a g e
menggelegak yang memenuhi semesta ini, kreativitas yang muncul dan
tenggelamnya hanya dapat diasumsikan. Substratum hidup atau energi kreatif ini
tampaknya dipengaruhi oleh hukum termodinamika dalam fisika. Namun, dalam
bingkai pemikiran yang terbatas, ia tampak sebagai sesuatu yang senantiasa
kembali dari zaman ke zaman.
Energi ini mendorong makhluk hidup mempertahankan kelangsungan hidup.
Namun, lebih dari sekedar kelangsungan hidup individu, yang menjadi tujuan ialah
kelangsungan hidup spesies, atau dari fenotipe yang mencerminkan struktur
genotipe yang relatif dekat.
Akan tetapi, bagaimana mungkin vitalitas yang merupakan chaos itu dapat
ditata menjadi kosmos oleh vitalitas itu sendiri, tanpa bantuan dari luar seperti
dalam filsafart WhiteHead? Disinilah konsep hasrat berkuasa ini, kata hasrat atau
keinginan harus dimengerti dengan baik. Hasrat itu bukanlah semata-mata
dorongan memiliki kekuasaan, seakan-akan kekuasaan ialah objek yang terpisah
dari hasrat itu, seakan-akan kekuasaan adalah objek yang tidak dipunyai oleh
hasrat itu. Kekuasaan adalah ekspresi dari hasrat kekuasaan itu sendiri, aktualisasi
diri, usaha mengatasi diri, keinginan bertumbuh. Oleh karena itu perspektif yang
digunakan oleh hasrat berkuasa atau the taming of chaos ini bersifat kreatif dan
spontan. Dengan demikian, hasrat berkuasa atau the taming of chaos itu adalah
puisi. Ia adalah kreativitas yang memberi bentuk pada dirinya sendiri dan
mengarahkan diri pada tujuan yang digariskan sendiri.

11. Paul Feyerabend (1924-1994 M)


Paul Feyerabend memepelajarai sejarah dan sosiologi sebelum memutuskan
untuk mendalami fisika. Karya terbesarnya dalah Against Method yang ditulis
tahun 1975. Feyerabend berpendapat bahwa prinsip falsifikasi Popper tidak dapat
dijalankan sebagai satu-satunya metode ilmiah untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
31 | P a g e
Menurut Popper, setiap teori harus melalui proses falsifikasi untuk
menemukan teori yang benar. Bila suatu teori dapat ditemukan titik lemahnya
maka teori tersebut gugur. Sedangkan menurut Feyerabend tidaklah demikian.
Fayerabend berpendapat bahwa untuk menemukan teori yang benar suatu teori
tidaklah harus dicari kesalahannya, melainkan teori-teori barunya harus
dikembangkan.
Fokus Feyerabend kemudian berpindah ke pluralisme teoritis, yang
menatakan bahwa untuk memperbesar kemungkinan memfalsifikasi teori yang
berlaku kita harus mengontruksi teori-teori baru sebanyak mungkin dan
mempertahankannya. Pluralisme ini penting, karena kalau tidak akan terjadi
keseragaman yang akan membatasi pemikiran kritis. Jika teori ini dapat
dipertahankan dan lebih baik daripada teori lama maka yang baru akan
menggantikan yang lama.
Dalam bukunya tidak ada satu metode rasional yang dapat diklaim sebagai
metode ilmiah yang sempurna. Metode ilmiah yang selama ini diagung-agungkan
oleh para ilmuwan hanyalah ilusi semata. Prinsip dasar mengenai tidak adanya
metodologi yag berguna dan tanpa kecuali yang mengatur kemajuan sains tersebut
olehnya sebagai epistemologi anarkis.
Dalam pengembangan prinsip Feyerabend mengakui adanya penerapan
prinsip liberalisme John Stuart Mills dalam konteks tertentu (sains) dalam metode
sains. Feyerabend menganut liberalisme karena, menurut dia, tidak ada satu
hipotesis apapun. Bahkan yang tidak masuk akal, yang tidak berguna untuk
kemajuan sains.

a) Positivisme dan Ati-Positivisme


Auguste Comte hadir dalam rangka memberikan jawaban atas keresahan dan
kekarutmarutan masyarakat Prancis. Dengan teori determinannya dia mencoba
menggambarkan masyarakat Pracis dalam tiga tahap, yaitu masyarakat teologis
atau mitos, masyarakat metafisika, dan masyarakat positivis yang disebutkan oleh
32 | P a g e
Auguste Comte sebagai masyarakat yang mapan. Positivisme memberikan sebuah
kunci yang mapan. Positivisme memberikan sebuah kunci pencapaian hidup
manusia dan ia merupakan satu-satunya formasi sosial yang benar-benar bisa
dipercaya kehandalan dan akurasinya dalam kehidupan dan keberadaan
masyarakat.
Dalam keadaan masyarakat positivis sebuah ilmu harus valid observable dan
objektif dan memenuhi standar ilmiah sebuah ilmu. Maka Comte melihat bahwa
ilmu pengetahuan harus bersidat netral dan tidak memihak pada sebuah ideologi
mana pun. Pengetahuan yang benar harus bersifat ilmiah, yaitu harus melalui
prosedur-prosedur ilmiah; tanpa melewati prosedur ilmiah maka tidak dianggap
sebagai pengetahuan yang ilmiah dan salah. Karena perkembangan pengetahuan
saat itu yang dominan adalah ilmu-ilmu eksakta maka metode yang ditawarkan
oleh Comte bisa diterima.
b) Anti-Positivisme
Dalam perkembangannya positivisme mengalami banyak sekali pertentangan
antara lain dari tokoh-tokoh pemikir eksakta yang merasa bahwa teori-teori
positivistik sangatlah menghegemoni pemikiran mereka dan membuat ilmu
pengetahuan menjadi mandek. Diantara fisikawan yang melawan dan mengkritik
positivisme ini adalah Thomas Khun dengan Revolusi Paradigma-nya, Karl
Popper dengan Teori Falsifikasinya, kemudian juga Feyerabend dengan
Antimetodenya, dan masih banyak lagi tokoh yang mengkritik habis-habisan
berkenaan dengan teori positivistik ini.
Dalam pergaulatannya, khun mencoba menawarkan bahwa teori sosial tidak
akan berhenti sampai pada tataran positivistik, melainkan akan terus berkembang
tergantung bagaimana paradigma seseorang pemikir. Dalam teori paradigmanya
Khun, ketika sudah mengalami anomali maka akan terjadi krisis paradigma dan
kemudian akan terjadi revolusi paradigma sehingga muncul paradigma baru
sebagai paradigma yang mapan. Kemudian setelah itu akan terjadi anomali
demikian seterusnya.
33 | P a g e
Penolakan terhadap pemikiran aliran positivisme ini juga banyak diungkapkan
dalam bukunya Akhyar Yusuf Lubis mengenai “Paul Feyerabend”. Dalam buku
tersebut dinyatakan bahwa kesatuan ilmu pengetahuan yang dicetuskan postivisme
tak menyisakan ruang bernafas sedikitpun bagi berbagai format pengetahuan
monsains. Kritik-kritik pun berdatangan dari kaum antipositivis yang pada
dasarnya menolak monopoli kesahihan pengetahuan oleh sains. Paul Feyerabend
adalah salah satu penggagas antipositisme tersebut.
c) Matinya Epistemologi
Neitzsche dalam bukunya Beyond Good and Evil, mempersoalkan klaim
universalitas yang baik dan yang jahat. Yang baik dan yang jahat, menurut
Nietzsche adalah bentukan sejarah orang-orang yang kalah secara moral. Ia
adalah bentuk fiksi etis-komunitarian yang diuniversalkan. Persoalan ini sepintas
seperti persoalan aksiologis (nilai), namun sesungguhnya ia adalah persoalan
epitemologis (pengetahuan). Bahwa pengetahuan kita tentang yang baik dan yang
buruk adalah buatan tangan sejarah. Konsekuensinya, itu bukan pilihan satu-
satunya.
Neitzsche, sebaliknya, justru menjalankan nalar puitis guna mencari
gramatika epistemologi moral baru. Neitzsche membebaskan moral dari ikatan
nalar konvensional. Ikatan yang membuat moral seolah-olah bersimpuh pada satu
metode. Pengetahuan moral yang sudah tersedimentasi sejak lama itulah yang
kemudian diruntuhkan Nietzsche. Ketika orang sudah tak lagi bertanya legitimasi
sebuah pengetahuan moral, Neitzsche dengan lincah memankan nalar puitis
menembus yang benar dan salah. Menjejakkan kaki kognitif di tanah tak berjejak.
Melampaui relativisme. Itulah pagelaran nalar puitis yang dipertontonkan
Neitzsche. Nalar puitis Neitzsche jauh melompati sedimentasi sejarah. Bergerak
liar mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Dan, semuanya itu hanya mungkin
karena dorongan naluri akan yang lain.
Nalar percakapan sendiri adalah nalar yang tidak berpihak. Ia adalah prosedur
bagi masing-masing nalar komunitarian dalam memutuskan sebuah konsensus. Ia
34 | P a g e
tidak berurusan dengan isi gramatika kultural itu sendiri. Melainkan prosedur
percakapan yang sehat antargramatika. Apakah ini potret nalar puitis? Dari sisi
ketidakterjebakannya pada gramatika, kelompok nalar percakapan memang
terdengar puitis. Namun, ketidakpeduliannya pada isi gramatika kultural itu
sendiri menyimpan masalah. Nalar percakapan hanya mengamini kemajemukan
gramatika tanpa memeriksa sedimentasi pengalaman yang manua dalam masing-
masing gramatika. Seolah-olah masing-masing gramatika diterima apa adanya.
Ini membuat agresivitas nalar puitis pun mandek. Nalar hanya dieksentuasikan
dalam merumuskan prinsip-prinsip yang bisa diterima sebanyak mungkin
kelompok. Namun, tidak ditatapkan pada gramatika kelompok itu sendiri. Tidak
digerakkan secara lincah mencari gramatika-gramatika pengucapan baru untuk
membuka lapisan-lapisan yang tersembunyi dalam sedimentasi pengalaman
tersebut. Tuduhan monisme pun akhirnya bisa dijatuhkan kepada para pembela
nalar percakapan. Sesuatu yang sebenarnya ingin di jauhkan mereka dari sistem-
sistem pemikiran kontemporer.
Kemandekan upaya ekplorasi puitis nalar membuat sejarah menang telak atas
pernyataan. Apa mendominasi apakah. Sebuah potret semesta digambarkan
Heidegger sebagai perlahan-lahan dilanda kegelapan. Ribuan tanda tanya pun
terselimuti jawaban. Yang asing hanya dihadirkan sebagai obat kecemasan. Saat
manusia berhadapan dengan teka-teki yang tak terpecahkan, yang transenden
didatangkan sebagai juru selamat. Tuhan bekerja secara misterius, habis perkara.
Yang transenden lalu dituduh sebagai ruang hampa kognisi. Setelah nalar
berhenti, intuisi bekerja meneruskan perjalanan spiritual menuju yang asing. Yang
transenden hanya bisa dikenali lewat absennya nalar dan menguatkan hati. Nalar
manusia terbatas.
Namun, nalar puitis tak mengenal horizon seperti itu. Naluri kerinduan pada
yang tak terbatas membuatnya senantiasa lincah bekerja mencari gramatika-
gramatika baru. Pencarian yang menyeret yang transenden ke dalam terang
pengetahuan. Melampaui yang bear dan yang salah menuntut sejarah. Menggeser
35 | P a g e
relativisme, sekaligus senantiasa penuh selidik terhadap universalisme-
absolutisme.

12. Jacques Derrida (1930-2004M)


Jacques Derrida lahir di El-Biar, dekat Aljazair tahun 15 juli 1930. Deridda
termasuk filsuf Prancis dan dianggap sebagai pendiri ilmu dekonstruktivisme,
sebuah ajaran yang menyatakan bahwa semuanya dikontruksi oleh manusi,
termasuk bahasa. Semua kata-kata dalam sebuah bahasa merujuk kepada kata-
kata lain dalam bahasa yang sama dan bukan diluar bahasa tersebut.
Belakangan, Deridda dianggap salah satu filsuf terpenting abad ke 20- dan ke 21.
Istilah-istilah filsafatnya yang terpenting adalah difference dan dekontruksi.
Teks-teks falsafinya Deridda banyak ditentang oleh para pembaca. Deridda
sendiri berkata bahwa mereka yang marah membaca teks-teksnya tidak mau
beradaptasi membaca buku-bukunya.
a. Dekonstruksi
Jacques Derrida merupakan filsuf Prancis yang dianggap sebagai tokoh
pendiri ilmu dekonstruktivisme, sebuah ajaran yang menyatakan bahwa
semuanya dikonstruksi oleh manusia, termasuk bahasa. Semua kata – kata dalam
sebuah bahasa merujuk kepada kata – kata lain dalam bahasa yang sama dan
bukan diluar bahasa tersebut. Dalam kaitannya dengan pemahaman, teori
dekontruksi berkaitan dengan teknik membaca teks. Yaitu suatu teknik yang
berupaya membuka fenomena makna yang tersembunyi pada teks.
Istilah dekontruksi sendiri pada awalnya dipakai oleh Heidegger dalam salah
satu bukunya Being anb Time yang ditulis pada tahun 1972-an, yaitu destruksi
(destruction). Destruksi di sini artinya pembongkaran (a freeing up), yang
kemudian memberi inspirasi Jacques Derrida untuk menerapkan ide
dekontruksinya. Dalam hal ini, dekonstruksi adalah membongkar sebuah konsep
yang terkonstruk dalam metafisika kehadiran (presence), yakni mengklaim
adanya ruang dialog antara penutur (thought). Jika penuturan (speech) itu

36 | P a g e
tertuliskan, maka pada saat itu juga penutur (speaker) atau ruang kehadiran
(presence) sebenarnya tidak ada (absent). Jadi penuturan yang telah beruhbah
menjadi bentuk tulisan atau teks akan selalu berdimensi absen selamanya, artinya
tanpa kehadiran penutur. Jika demikian maka yang dapat melakukan eksplorasi
atau mengontrol isi teks adalah pembaca (reader). Klaim kehadiran (presence)
yang oleh Derrida disebut logocentric ini perlu didekontruksi.
Untuk melakukan pembongkaran terhadap prinsip kehadiran ia
memperkenalkan ungkapan yang terkenal yaitu “tidak ada sesuatupun di luar
teks” (there is nothing outside of the text). Artinya teks adalah teks dan tidak
mengidikasikan kehadiran penuturnya, karena itu yang dapat menciptakan
kehadiran adalah pembaca sendiri, karenanya menganggap kehadiran penutur di
luar teks adalah ilusi. Dari sinilah asal usulnya bagaimana teks tidak harus
dipahami sebagaimana ketika ia dituturkan oleh pembicaranya, atau pemahaman
terhadap teks yang tidak perlu mempertimbangkan maksud pengarangnya.
Sebagai langkah dalam menyikapi karya sastra melalui dekonstruksi Derrida
pun kemudian menggunakan istilah trace sebagai konsep dalam menelusuri
makna. Trace (jejak) bersifat misterius dan tidak terungkap, muncul sebagai
kekuatan dan pembentuk tulisan, menembus memberi energi pada aktivitasnya
yang menyeluruh. Hal ini berarti bahwa makna akan bergerak, harus dilacak
terus menerus dan meloncat – loncat.
Menurut Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi
metafisika Barat seperti fenomenologi Husserlin, strukturalisme saussurean,
strukturalisme Perancis pada umumnya, psikoanalisi Freudian, dan psikoanalisis
Lacanian. Tugas dekonstruksi, di satu pihak mengungkap problematika wacana-
wacana yang dipusatkan, di pihak lain membongkar metafisika dengan
mengubah batas-batasnya secara konseptual.
b. Differance
Pemikiran akan différance merupakan jalan kemungkinan berpikir yang
membebaskan tulisan dari interpretasi metafisis, di mana bahasa ditujukkan
untuk mengekspresikan makna atau kebenaran kehadiran pada

37 | P a g e
dirinya. Différance itu memiliki perbedaan dengan différence atau différer.
Dalam kamus Prancis kata différer mengandung arti berbeda, bertolak belakang,
tidak mempunyai kesamaan dan menunda, menangguhkan, mengundurkan
waktu. Sedangkan kata differance diciptakan Derrida untuk menunjuk bagaimana
makna ditirunkan dari penundaan dan tidak pernah hadir sepenuhnya, melainkan
selalu tertunda (postponed). Karena itu, différance tidak pernah dapat dijadikan
objek ilmu pengetahuan sebab itu tidak tertangkap dengan kehadiran.
c. Kelebihan dan Kelemahan
Dekonstruksi membuka ruang kreatif seluas – luasnya dalam proses
pemaknaan dan penafsiran. Itulah kelebihan dekonstruksi, yang membuat setiap
orang bebas memberi makna dan menafsiri suatu objek tanpa batas. Ruangan
makna terbuka luas, penafsiran bertumbuh biak. Ibarat pepatah, mati satu tumbuh
seribu. Penghancuran terhadap suatu makna oleh makna baru melahirkan makna-
makna lain.
Demikian bebas, banyaknya makna dan tafsiran, membuat era
dekonstruktivisme dianggap era matinya makna. Makna menjadi tak berarti lagi.
Inilah kelemahan dekonstruksi. Kelemahan lainnya adalah:
1) Kebebasan tanpa batas menjadikan makna sebuah produk massal yang
dapat mengurangi nilai obyek tidak lagi memiliki kemewahan ruang
pemaknaan untuk ditelaah
2) Ketidakbernilaian makna, asumsi ‘pesimis’ matinya makna dapat
menimbulkan apatisme dan ketidakberdayaan terhadap makna.
Tidak adanya upaya untuk menghargai puing – puing hasil pengahancuran makna
karena makna-makna baru dianggap lebih bernilai. Padahal, makna-makna lama
bukan tidak mungkin justru memberi nilai tambah bagi makna-makna baru.
Istilah dekontruksi dan sebuah analisis ringkas mengenai bagaimana istilah
tersebut muncul dalam karya-karyanya barangkalai adalah cara terbaik untuk
memahami pemikirannya. “Dekontruksi” adalah terjemahan dari dua kata bahasa
Jermasn yang dipakai Martin Heidgger, persoalan filsafat paling krusial, yaitu

38 | P a g e
mengenai makna “ada” (being), telah dilupakan oleh tradisi pemikiran Barat
sehingga perlu dikupas kembali secara memadai.

13. Mazhab Frankfurt


Mazhab Frankfurt ialah sebuah nama yang diberikan kepada kelompok filsuf
yang memilik afiliasi dengan Institut Penelitaian di Fransfurt, Jerman, dan
pemikiran-pemikiran lainnya yang dipengaruhi oleh mereka. Beberapa filsuf
terkenal yang dianggap sebagai anggota Mazhab Frankfurt diantaranya lain
Theodor Adorno, Walter Benjamin, dan Jurgen Habermas.
Patut dicatat bahwa beberapa pemikiran utama Mazhab Frankfurt beragama
Yahudi, dan terutama diperiode awal secara langsung menjadi korban Fasisme
Nazi. Yang paling tragis isalah kematian Walter Benjamin yang dicurigai
melakukan bunuh diri setelah isi perpustakaannya disita oleh tentara Nazi.
Beberapa yang lainnya, seperti Theodor Adorson dan max Horkheimer, terpaksa
melarikan diri ke negara lain, terutama Amerika Serikat.
Sejarah munculnya mazhab ini amat panjang. Sigkat kisahnya, kelahirannya
banyak dipengaruhi oleh iklim sosial politik yang tidak mendukung para pemikir
dan intelektual yang bebas dari pengaruh kekuasaan. Sebab, banyak para
intelektual sebelum mazhab ini lahir banyak yang berkhianat dan menggadaikan
idealisemenya ke jalur politik praktis.
Generasi Mazhab Frankfurt ini memiliki dua fase penting yang perlu
dipahami. Pertama, fase pengaruh intelektual dan fokus teoretis dari generasi
pertama dari para teoretikus Kritis Mazhab Frankfurt. Institut ini membuat
sumbangan-sumbangan penting dalam dua bidang yang terkait dengan
kemungkinan-kemungkinan subjek manusia yang rasional yaitu individu-
individu yang dapat bertindak secara rasional untuk bertanggungjawab atas
masyarakat dan sejarahnya sendiri. Yang pertma terdiri atas fenomena sosial
yang sebelumnya dianggap dalam Marxisme sebagai bagian dari “superstruktur”

39 | P a g e
atau sebagai ideologi; struktur-struktur kepribadian, keluarga, dan otorisasi dan
ranah estetika dan budaya massa.
Istilah “teori Kritis” sudah iasa dikaitkan dengan pelbagai ragam karya yang
dihasilkan oleh Frankfurt Institute of Social Research, sebuah organisasi yang
didanai secara swasta dan didirikan di Jerman tahun 1923 oleh sekelompok
intelektual kiri. Teori kritis “Mazhab Frankfrurt” mulai menampakkan cirinya
yang khas. Kendatipun bukan berarti ragam, sesudah Max Horkeimer menjadi
direkturnya pada tahun 1931. Karena programnya yang bersifat multidiplioner,
Horkheimer harus memimpin pasukan pemikir yang bergelut dalam bidang
filsafat, sosiologi, psikologi, kritik sastra, musikologi, ekonomi, ilmu politik dan
hukum.
a. Perkembangan Mazhab Frankfurt
Untuk memahami gagasan teori kritis Aliran Frankfurt kita perlu memahami
perkembangan aliran itu. Ada beberapa fase penting perkembangan aliran
tersebut.
1) Fase Pertama, pembentukan aliran, yaitu sekitar tahun 1923-1933
ketika penelitian-penelitian pertama dilakukan di lembaga penelitian
Frankfurt. Direktur pertama lembaga itu adalah Carl Grunberg, seorang ahli
ekonomi, sejarahwan sosial. Grunberg berhasil mengarahkan kajian-kajian
teoritis Aliran Frankfurt lebih berorintasi empiris .dan menekankan
pentingnya pendekatan ekonomi maupun dlam mengkaji mfenomena-
fenomena sosial.
2) Fase kedua, fase pengungsian anggota Aliran Frankfurt ke Amerika
Utara pada tahun 1933-1950. Dimasa pengungsian ini, gagasan-gagasan
teori kritis Neo Hegelian mulai dijadikan dasar pemikiran kegiatan berbagai
lembaga Frankfurt. Horkhemeir menjadi direktur pada fase ini. Dialah yang
melakukan reorientasi teoritis dan pendekatan yang kemudian menjadikan
kajian-kajian teoritis para pendahulunya. Pada fase kepemimpinan Mark
Horkheimer, Aliran Frankfurt mengubah orientasi aliran dari yang bersifat
40 | P a g e
ekonomis historis versinya Grunberg menjadi orientasi filosofis. Hal tersebut
mengagasi atau menjadi dasar teori kritis aliran Frankfurt yang mulai
terbentuk secara jelas ketika tokohnya kembali ke Jerman pada tahun 1950-
an.
3) Fase ketiga, perkembangan aliran Frankfurt mulai pada awal 1950
sampai 1973. pada fase ini, pengaruh aliran ini mulai memudar dengan
meninggalnya Adorno tahun 1969 dan Horkheimer tahun 1973. Dengan
kematian dua tokoh terkemuka praktis aliran Frankfurt terhenti. Aliran itu
tidak lagi berperan dalam dunia pemikiran sosial. Pamornya sebagai avant
garde intelektual nyaris berahkir. Aliran ini mulai menapaki masa-masa
jayanya kembali dengan munculnya Jurgen Habermas, seorang teoritisi
terkemuka yang tetap melestarikan dan mengembangkan teori dan
metodologi para pendahulunya.
b. Asumsi Dasar Teori Kritis.
Teori kritis sendiri merupakan teori yang tidak berkaitan dengan prinsip-
prinsip umum, tidak membentuk sistem ide. Teori ini berusaha memberikan
kesadaran untuk membebaskan manusia dari irasionalisme. Dengan demikian
fungsi teori ini adalah emansipatoris. Ciri teori ini adalah :
1) Kritis terhadap masyarakat. Teori Kritis mempertanyakan sebab-sebab
yang mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat.
Struktur masyarakat yang rapuh ini harus diubah.
2) Teori kritis berpikir secara historis, artinya berpijak pada proses
masyarakat yang historis. Dengan kata lain teori kritis berakar pada suatu
situasi pemikiran dan situasi sosial tertentu, misalnya material-ekonomis.
3) Teori kritis tidak menutup diri dari kemungkinan jatuhnya teori dalam
suatu bentuk ideologis yang dimiliki oleh struktur dasar masyarakat. Inilah
yang terjadi pada pemikiran filsafat modern. Menurut Madzhab Frankfurt,
pemikiran tersebut telah berubah menjadi ideologi kam kapitalis. Teori harus

41 | P a g e
memilikikekuatan, nilai dan kebebasan untuk mengkritik dirinya sendiri dan
menghindari kemungkinan untuk menjadi ideologi.
Teori kritis tidak memisahkan teori dari praktek, pengetahuan dari tindakan,
serta rasio teoritis dari rasio praktis. Perlu digarisbawahi bahwa rasio praktis
tidak boleh dicampuradukkan dengan rasio instrumental yang hanya
memperhitungkan alat atau sarana semata. Madzhab Frankfurt menunjukkan
bahwa teori atau ilmu yang bebas nilai adalah palsu. Teori kritis harus selalu
melayani transformasi praktis masyarakat.

14. Filsafat Islam


Imam Al-Ghazali
Nama asli Imam Al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil,
Abu Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah
Persia tahun 450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal
benang dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang
hebat, sebelum meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman akrabnya yang
bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh Al-
Ghazali. Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani
untuk biaya hidup dan belajar Imam Ghazali. Ia wafat di Tusia, sebuah kota
tempat kelahirannya pada tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 53
tahun.
Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh
Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan orang tua
asuh Al-Ghazali), kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri
Jurjan. Setelah mempelajri beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke
Naishabur dan belajar pada Imam Al-Haromain. Al-Ghazali merupakan seorang
yang berjiwa besar dalam memberikan pencerahan-pencarahan dalam Islam. Ia
selalu hidup berpindah-pindah untuk mencari suasana baru, tetapi khususnya
untuk mendalami pengetahuan.

42 | P a g e
Sebagai seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam, tentunya ia sangat
tekun untuk menulis kitab. Mengenai kitab-kitab yang ditulis oleh Al-Ghazali
meliputi bidang ilmu yang populer pada zamannya, di antaranya tentang tafsir al-
Qur’an, ilmu kalam, ushul fiqh, fiqih, tasawuf, mantiq, falsafat, dan lainnya.
a. Metafisika
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli
filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan
seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata
dalam soal keTuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak
mencukupi kebutuhan. Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal
menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai keTuhanan (metafisika), maka
disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak
dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka
tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional,
yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan.
Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan
beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini
mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak
bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan
tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyah) dan sebagian dari
bidang fisika (thabi’iyah) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun
demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan
filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika. Sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika
yang menurut Al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya
para filosof dinyatakan kafir.
b. Iradat Tuhan

43 | P a g e
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia
itu berasal dari iradat (kehendak) Tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan
sendirinya. Iradat Tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu
menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-
undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih
abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang
itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat Tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi
dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada
akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali
menganggap bahwa Tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya
imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti
sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-
Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan
tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab
dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air
tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan)
alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena
kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak
terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal
itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api
ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa
terbakar oleh api.
c. Etika
Tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf
yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau
Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah
agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat
44 | P a g e
keTuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur,
sabar, ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai
pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan
rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik
Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi,
tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan
menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan
tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang
disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan. Bagi Al-Ghazali,
tasawuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini
nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan
perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti
kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat
kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan
pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.

d. Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat


Mengenai pandangan al Ghazali, para ilmuwan berpendapat bahwa ia
bukan seorang filosof, karena ia menentang dan memerangi filsafat dan
membuangnya. Tentangan yang di lontarkan Al-Ghazali ini tercermin dari
bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai berikut :

”...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan


nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan
lain-lainnya ..., mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan

45 | P a g e
kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-
prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu
alam, dan telogi ..., mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari
semua syari’at dan agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran
agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang
disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan ...”

Jikalau melihat ungkapan di atas, terlihat bahwa Al-Ghazali lebih tepat


digolongkan dalam kelompok pembangunan agama yang jalan pemikirannya
didasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila
memakai sumber lain dari Islam maka sumber-sumber ini hanya dijadikan
sebagai alat untuk maksud menghidupkan ajaran-ajaran agama dan untuk
membantu menerangi jalan menuju Allah SWT. Hal ini dikuatkan dengan
kitabnya Ihya’Ulum Ad-din. Dalam buku Tahafut al-Falasifah Al-Ghazali juga
diterangkan tentang keremehan pemikiran-pemikiran filsafat. Dalam bukunya
pula yang berjudul Munqiz min al-Dhalal, Al-Ghazali mengelompokkan
filsosof menjadi 3 (tiga) golongan:
1. Filosof Materialis (Dhariyyun).
Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan.
Sementara itu, kosmos ini ada dengan sendirinya.

2. Filosof Naturalis (Thabi’iyyun)


Mereka adala para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di
alam ini. Melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup
banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk
mengakui adanya Maha Pencipta di alam raya ini. Kendatipun
demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan Hari
berbangkit. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa sebab mereka
hanya memuaskan nafsu seperti hewan.
3. Filosof Ke-Tuhanan (Ilahiyun)

46 | P a g e
Mereka adalah filosof Yunani, sperti Socrates, Plato dan Aristoteles.
Aristoteles telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya
(Materialis dan Naturalis), namun ia sendiri tidak dapat membebaskan
diri dari sia-sia kekafiran dan keherodoksian. Oleh karena itu, ia
sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga al-Farabi dan Ibnu Sina
yang menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.
Dalam bidang Ke-Tuhanan, Al-Ghazali memandang para filosof sebagai
ahl al-bid’ah dan kafir. Kesalahan para filosof tersebut diterangkan oleh Al-
Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, dan ia membaginya menjadi 20
bagian, antara lain: 1) Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali; 2)
Membatalkan pendapat mereka bahwa akal ini kekal; 3) Menjelaskan keragu-
raguan mereka bahwa Allah Pencipta alam semesta dan sesungguhnya alam
ini diciptakan-Nya, 4) Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan
Yang Maha Pencipta; 5) Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan
dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan; 6) Membatalkan pendapat mereka
bahwa Allah tidak mempunyai sifat, 7) Membatalkan pendapat mereka bahwa
Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan al-fashl; 8) Membatalkan pendapat
mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith (simple) dan tidak
mempunyai mahiyah (hakikat); 9) Menjelaskan kelemahan pendapat mereka
bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya; 10) Menjelaskan pernyataan
mereka tentang al-dhar (kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir);
11) Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang
selain-Nya; 12) Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam
membuktikan bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya, 13) Membatalkan
pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat, 14) Menjelaskan
pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan
kemauan-Nya, 15) Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan
penggerak dari planet-planet, 16) Membatalkan pendapat mereka bahwa
planet-planet mengetahui semua yang juz’iyyat, 17) Membatalkan pendapat
47 | P a g e
mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di luar hukum
alam, 18) Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar
(substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh, 19) Menjelaskan
pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya fana (lenyap) jiwa
manusia, 20) Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh
tidak akan dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam surga
dan kepedihan dalam nereka hanya roh.
Kemudian Al-Ghazali menjelaskan lagi, dari 20 masalah tersebut ada tiga
hal yang bisa menyebabkan seorang filosof itu menjadi kafir, antara lain :
1) Alam semesta dan semua substansi qadim
Para filosof muslim di kala itu mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab
qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya
(ada sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan
dari para filosof itu adalah tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu
alam, keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan demikian berarti kita
bisa membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum
ada. Menurut Al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai
permulaan atau tidak pernah ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa
alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadimnya alam membawa pada
kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Tidak diciptakan Tuhan
dan ini berarti bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang jelas menyatakan
bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala
isinya). Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada
awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan
alam maka alam ada di samping adanya Tuhan.
Al-Ghazali juga menjawab argumen filosof-filosof mulsim itu. Katanya;
tidak ada halangan apa pun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan
iradah-Nya yang qadim pada waktu diadakan-Nya. Sementara itu, ketiadaan
wujud alam sebelumnya karena memang belum dikehendaki-Nya. Iradah
48 | P a g e
menurut Al-Ghazali adalah suatu sifat bagi Allah berfungsi membedakan
(memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya,
tentu bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan tetapi, karena sifat
qudrat antara mencipta dan tidaknya sama kedudukannya, harus ada suat sifat
khusus yang membedakannya, yaitu sifat iradah. Andaikata para filosof
Muslim menganggap sifat tersebut tidak tepat disebut sebagai iradah, dapat
diberi nama lain asal itu yang dimaksud atau dengan arti sama. Sekedar istilah
tidak perlu diperdebatkan, yang penting adalah isinya.
Apakah yang menjadi landasan berpikir Al-Ghazali sehingga mengatakan
bahwa alam itu tidak qadim dan Tuhan yang qadim. Kerangka filosofis yang
ia tawarkan adalah titik tolak yang benar dan ortodoks harus diawali dengan
mengakui Tuhan sebagai wujud tertinggi dan kehendak unik yang bertindak
secara aktual. ”Prinsip Pertama adalah Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan
Maha Berkehendak. Ia bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu
yang ia kehendaki; ia menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana ia
kehendaki dan dalam bentuk yang Dia kehendaki”
Sebenarnya perbedaan yang terjadi pada Al-Ghazali dan tentang qadimnya
alam hanya sebuah perbedaan penafsiran antara teolog Muslim dan filosof
Muslim. Memang filosof Muslim berkeyakinan bahwa penciptaan dari tiada
(nihil) adalah suatu kemustahilan. Dari nihil yang kosong, tidak bisa timbul
sesuatu. Hal yang terjadi ialah sesuatu yang diubah menjadi sesuatu yang lain.
Justru itu materi asal (al-hayula alula), yang darinya alam ini disusun, mesti
qadim. Materi asal ini diciptakan Allah secara emanasi sejak qadim dan tidak
di batasi oleh zaman. Oleh karena itu, apa yang diciptakan semenjak qidam
dan azali tentu ia qidam dan azali. Justru itu alam ini qidam pula. Interprestasi
filosof Muslim ini sudah jelas lebih liberal dari teolog Muslim dan juga
dipengaruhi oleh ilmu alam, yakni antara sebab dan musabab tidak ada
perbedaan. Allah menciptakan alam semenjak azali, berarti materinya berasal

49 | P a g e
dari energi yang qadim. Sementara susunan materi yang menjadi alam adalah
baru. Agaknya, interprestasi ini sejalan dengan ilmu fisika modern.
Menurut ilmu fisika modren, antara energi dan materi tidak bisa lagi ditarik
garis pemisah yang tegas, energi dapat berubah menjadi materi dan materi
dapat berubah menjadi energi. Dengan kata lain, energi ialah materi yang
direnggangkan, sedangkan materi adalah energi yang dipadatkan.
2) Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat (hal-hal yang terperinci/kecil)
yang terjadi di alam
Sebuah pemahaman bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal-hal
yang sifatnya terperinci/kecil), bukanlah sebuah pemahaman yang dianut oleh
para filosof Muslim. Sedangkan pemahaman yang banyak digunakan filosof
Muslim itu adalah pemahaman yang dianut oleh Aristoteles. Menurut Al-
Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah sebagai
Tuhan umat Muslim hanya mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak bisa
mengetahui yang selain-Nya.
Pendapat para filosof Muslim ini di jawab oleh Al-Ghazali. Al-Ghazali
mengatakan bahwa para filosof itu telah melakukan kesalahan fatal. Menurut
Al-Ghazali lebih lanjut adalah sebuah perubahan pada objek ilmu tidak
membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu berubah tidak membawa
perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak
berubah. Kemudian Al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi, bila seseorang
berada di sebelah kanan Anda, lalu orang itu berpindah kesebelah kiri Anda,
kemudian berpindah lagi kedepan atau kebelakang, maka yang berubah adalah
orang itu, bukanya Anda. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang
satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-
Nya itu mengalami perubahan.
Untuk memperkuat argumennya, Al-Ghazali mengeluarkan dalil-dalil al-
Qur’an yang menyatakan bahwa Allah Maha Tahu segalanya, baik yang besar
atau yang kecil.
50 | P a g e
Dalil pertama:

َ‫ضللوأن فهيللهه أوُأمللا‬‫أوُأماَ تأفكوفن هفيِ أشأامن أوُأماَ تأاتفلو همانهف همان قفارآْمن أوُل تأاعأمفلوأن همللان أعأمللمل هإل فكنتللاَ أعلأايفكللام فشللفهوسدا إهاذ تفهفي ف‬
‫ب فمبهيللمن‬ ‫ك أوُل أأاكبأللأر هإل فهلليِ هكتأللاَ م‬
‫صأغأر همان أذلهلل أ‬ ‫ض أوُل هفيِ التسأماَهء أوُل أأ ا‬ ‫ك همان هماثأقاَهل أذترمة هفيِ الار ه‬ ‫يأاعفز ف‬
‫ب أعان أربي أ‬

Artinya: ”Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat
dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami
menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan
Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang
lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat)
dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”(Q.S. Yunus: 61)

Dalil kedua :

‫ض أوُ ت‬
‫افللل بهفكللليل أشلللايِمء أعلهيلللم‬ ‫افللل يأاعلألللفم أملللاَ هفللليِ التسلللأماَأوُا ه‬
‫ت أوُأملللاَ فهللليِ الار ه‬ ‫قفلللال أأتفأعليفملللوأن ت‬
‫األلل بهلللهدينهفكام أوُ ت‬

Artinya:”Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang


agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu?"(Q.S. Al-Hujurat: 16).

Dalam ayat ini jelaslah bahwa Allah Maha Tahu atas segala sesuatu. berbeda
dengan Ibnu Rusyd yang mengatakan Tuhan hanya tahu yang universal, bukan
perkara yang kecil (partikular). Tudingan Al-Ghazali ini berbentuk sebuah
ucapan seperti di bawah ini:
Yang menjadi persoalan adalah pernyataan mereka (para filsafat) ”Tuhan yang
Mahamulia mengetahui hal-hal yang bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang
bersifat partikular” pernyataan ini jelas-jelas telah menyelewengkan dalil-dalil di
atas, ini menunjukkan ketidakberimanannya mereka. Maka yang benar adalah

51 | P a g e
”tidak ada sebutir atom pun di langit maupun di bumi yang luput dari
pengetahuan-Nya.”
3) Pembangkitan Jasmani Tidak Ada.
Banyak dari para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan nantinya
di alam akhirat adalah rohani semata, sedangkan jasmani (jasad) akan hancur.
Maka dari itu, ketika di akhirat nanti, tentang adanya kebahagiaan ataupun
kepedihan di sana yang dapat merasakan adalah rohani. Sedangkan jasmani
(jasad) merasakan kebahgiaan dan kepedihan hanya saat di dunia saja. Kesesuaian
suasana rohani maka ketika dibangkitkan nanti saat di akhirat bersifat rohani pula.
Akan tetapi, kebangkitan jasmani tidak sampai ke akhirat atau dikembalikan.
Dalam mengulas alasan-alasan, mereka mengemukakan bahwa pengembalian
jasad memiliki tiga kemungkinan. Pertama, manusia terdiri atas badan dan
kehidupan, ini sama halnya seperti dikatakan oleh sebagian ulama kalam,
sedangkan jiwa berdiri dengan sendirinya dan yang mengatur badan tidak ada
wujudnya. Pengertian mati berarti terputus hidup, yakni Tuhan tidak lagi
menciptakan hidup, oleh karena itu hidup ini tidak ada, dan badan tidak ada pula.
Jadi, arti kebangkitan adalah bahwa Tuhan mengembalikan badan yang sudah
tidak ada karena mati kepada wujudnya, dan mengembalikan hidupnya yang
sudah tidak ada. Dalam perkataan lain, badan manusia setelah menjadi tanah
dikumpulkan dan disusun kembali menurut bentuk manusia dan diberikan hidup
kepadanya. Kedua, atau dikatakan bahwa jiwa (roh) manusia tetap wujud sesudah
mati, tetapi badan yang pertama (yang terjadi di dunia ini) nantinya dikembalikan
lagi dengan anggota-anggota badannya sendiri dengan lengkap. Ketiga, atau
dikatakan, jiwa manusia dikembalikan kepada badan, baik badan dengan anggota-
anggotanya yang semula ataupun badan yang lain samasekali. Jadi, yang
dikembalikan ialah manusianya, sebab badannya (bendanya) tidak terpenting,
sedangkan manusia disebut karena jiwanya (rohnya), bukan karena bendanya
(badannya).

52 | P a g e
Atas dasar ini, para filosof muslim ini berpendapat bahwa mustahil
mengembalikan rohani kepada jasad ketika keduanya telah berpisah. Menurut
mereka, setelah berpisah antara roh dengan jasad, berarti kehidupan telah
berakhir dan tubuh menjadi hancur. Penciptaan kembali berarti penciptaan baru
yang tidak sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal ini berarti
mengimplikasikan qadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi,
jika diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh jalan yang sulit
dan membutuhkan pemikiran yang panjang, seperti adanya manusia pincang,
manusia buta, dan lainnya. Kalau ini yang terjadi maka di surga nantinya akan ada
sidat kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya.
Sesungguhnya di surga yang suci tidaklah demikian. Jika demikian terjadilah
proses yang panjang, seperti panjangnya proses kapas hingga menjadi kain.
Menurut Al-Ghazali, berdasarkan gambaran al-Qur’an dan al-Hadits Nabi
Muhammad SAW. Tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada
kehidupan rohani saja. Tetapi pada kehidupan rohani dan jasmani. Jasad
dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia
untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani. Kehidupan di
surga dan neraka yang bersifat rohani-jasmani itu, menurut Al-Ghazali, bukanlah
kehidupan di surga dan neraka bersifat rohaniah saja, menurut Al-Ghazali adalah
pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat.
Pemahaman demikian, menurutnya bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh
al-Qur’an dan al-Hadits, karena itu dikufurkannya. Al-Ghazali berpandangan
bahwa yang akan dibangkitkan itu adalah jasmani. Ini terbukti dengan
perkataannya :

”... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan seorang Muslim, keyakinan


mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia tidak akan
dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari badan
yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itu pun akan

53 | P a g e
bersifat spritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu
benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat spritual
karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak
adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh
hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.”

Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah Al-Ghazali juga mengatakan; banyak


hadits yang mengatakan bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atu
siksa kubur dan lainnya. Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa.
Sedangkan kebangkitan jasmani secara eksplisit telah ditegaskan dalam syara’,
yakni berarti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh
yang lain, atau tubuh yang baru dijadikan. Ini dikarenakan tubuh manusia dapat
berganti bentuk, seperti dari kecil menjadi besar, kurus menjadi gemuk, dan
seterusnya. Namun, hal yang terpenting ada satu tubuh berbentuk jasmani yang
dapat merasakan kepedihan dan kebahagiaan. Allah Mahakuasa menciptakan
segala sesuatu. dan dengan keMahakuasaan-Nya tidak merasa sulit bagi-Nya
menjadikan setetes sperma menjadi aneka macam organ tubuh, seperti tulang,
daging, kulit, urat saraf, otoit, lemak, dan sebagainya.
Dari hasil ini detik berganti menit, menit berganti jam, dan jam berganti hari.
Akhirnya menjadi mata, gigi, perasaan yang berbeda antara setiap manusia. Justru
itu, Allah jauh lebih mudah mengembalikan rohani pada badan (jasmani) di
akhirat ketimbang penciptaan-Nya pertama kali.
Sungguh pertentangan antara Al-Ghazali dengan filosof Muslim kalau di kaji
secara mendalam, maka pertentangan tersebut hanya sebuah perbedaan
Interprestasi karena bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asy’ari, ia
aktif mengembangkan Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085) pada
Universitas Nizhamiyah Baghdad, tentu saja pemikirannya dipengaruhi oleh
aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interprestasinya
tidak seliberal para filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof Muslim
dipengarhui oleh pemikiran rasional, tentu saja interprestasi mereka lebih liberal

54 | P a g e
dari Al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti
ada kebangkitan.
e. Pandangannya terhadap Ilmu
Ilmu merupakan sumber kebutuhan bagi setiap manusia, karena tanpa ilmu
manusia akan bodoh dan tidak mengetahui arah hidup dalam prikehidupan.
Sebagai seorang ilmuwan besar, Al-Ghazali berupaya membuat sebuah karya-
karya tulis yang bersifat memotivasi seseorang untuk selalu menggali ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu agama. Di dalam karyanya Al-Ghazali yang
berjudul Ihya Ulum Ad Din yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama. Ini
merupakan sebuah karya Al-Ghazali yang banyak dipakai oleh para ulama-ulama
kalam sebagai bahan kajian untuk amalan-amalan baik manusia. Karena di dalam
buku itu banyak menjelaskan tentang ilmu-ilmu keagamaan Islam, ke-Esaan
Allah, dan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan syari’at.
Pada karyanya yang lain, dan juga terkenal di tengah masyarakat yang berjudul Al
Munqiz min Ad Dhalal Al-Ghazali berpendapat bahwa :

”ilmu hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada
dua alam, yakni alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan)
menguasai ilmu lahir dengan analisa dan keterangan, maka harus ada ilmu
khusus untuk menjelaskan ilmu bathin. Pengetahuan-pengetahuan itu sendiri
ada dua, yaitu inderawi dan sufi (lahir dan bathin). Sarana untuk mengenal
pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca indera, sedang metoda untuk
mencapai pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka
(kaum sufi) yang mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal
praktis seluruhnya adalah jalan untuk mempersepsi berbagai realitas yang
tersembunyi dan ilham yang melampaui penglihatan dan pendengaran. Maka
ma’rifat adalah tujuan yang luhur bagi tasawuf. Al-Ghazali menentang
kesatuan antara manusia dengan Tuhan (teori Al Ijtihad) karena bertentangan
dengan ajaran agama.”

55 | P a g e
Di lain karyanya yang berjudul The Juwels of the Qur’an (mutiara al-Qur’an)
dan Mizan Al-Amal (timbangan amal), Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu
menjadi empat bagian :
1) Pembagian ilmu-ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis.
2) Pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan yang dihadirkan
(hudhuri) dan pengetahuan yang dicapai (hushuli).
3) Pembagian atas ilmu-ilmu religius (sya’iyyah) dan intelektual
(aqliyah).
4) Pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu fardhu’in (wajib atas setiap
individu) dan fardhu kifayah (wajib atas umat).
Di antara empat hal dari klasifikasi ilmu di atas yang telah diuraikannya, yang
paling luas di bahas olehnya dalam melakukan pengajaran/diskusi adalah
pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu intelektual dan religius. Namun menurutnya,
yang jelas keempat sistem klasifikasi di atas sangat absah, dan mempunyai
derajat yang sama.
Jika dilihat pemikiran dari Al-Ghazali, maka akan terlihat pendapatnya yang
banyak menentang aliran-aliran filsafat. Menurutnya banyak orang-orang yang
menyimpang dari ajaran agama saat mempelajari filsafat, karena kebanyakan
manusia di saat mempelajari filsafat tanpa sebuah pegangan yang kuat atau dasar
yang kuat. Filsafat menurutnya lebih banyak mengedepankan akal daripada dalil
untuk mencari sebuah kebenaran. Oleh sebab itu, Al-Ghazali banyak dikenal oleh
para masyarakat seorang ahli tasawuf, akan tetapi ia tidak melibatkan dirinya
kedalam aliran tasawuf yang terkenal saat itu, yakni tasawuf inkarnasi dan
tasawuf pantheisme. Sedangkan pengetahuan yang dimiliki oleh Al-Ghazali
berdasarkan atas rasa yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air yang
bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, dan tidak pula dari hasil argumen-
argumen ilmu kalam.
15.

56 | P a g e
16. Keberadaan Allah berdasarkan Al-Quran
a. Penciptaan Alam Semesta
QS:Al-Hijr | Ayat: 85

‫صافأح االأجهميأل‬ ‫ض أوُأماَ بأاينأهفأماَ إهتل هباَالأح ي‬


‫ق م أوُإهتن التساَأعةأ ألتهيأةة ٌ أفاَ ا‬
‫صفأ ه‬
‫ح ال ت‬ ‫ت أوُاالأار أ‬
‫أوُأماَ أخلأاقأناَ التسأماَأوُا ه‬

Artinya: “Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di
antara keduanya, melainkan dengan benar. Dan sesungguhnya saat (kiamat)
itu pasti akan datang, maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.”

Ayat diatas menyatakan bahwa: “Dan tidaklah kami ciptakan langit dengan
ketinggian dan luasnya serta aneka bintang dan planet yang menghiasinya,
dan tidak juga kami cipatkan bumi dengan segala makhluk yang ada di
permukaan atau perutnya, dan demikian juga apa yang ada diantara
keduanya, yakni langit dan bumi, baik yang telah diketahui manusia maupun
belum atau tidak akan dapat diketahui, tidak kami ciptakan itu semua
melainkan dengan haq, yakni selalu disertai dengan kebenaran dan bertujuan
benar, bukan permainan atau kesia-siaan. Dan sesungguhnya kiamat, dimana
masing-masing manusia akan dimintai pertanggung jawaban serta diberi
balasan dan ganjaran yang “haq”, pasti akan datang. Hal itu demikian demi
tegaknya al-haq dan keadilan yang merupakan tujuan penciptaan.
b. Keberadaan Allah
(QS.Al-Araf : 54)

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan
bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy . Dia menutupkan
malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan matahari, bulan
dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”.

57 | P a g e
(QS. Ar-Ra’d : 2)

“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang yang kamu lihat, kemudian

Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan.

Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur


urusan, menjelaskan tanda-tanda , supaya kamu meyakini pertemuan
dengan Tuhanmu”.

c. Sifat-sifat Allah

Beberapa sifat Allah yang dapat kita lihat pada Al-Quran

1) Wujud = Ada

Sifat Allah Ta’ala yang pertama adalah wujud yang berarti Ada.
Maksudnya Allah itu zat yang pasti ada. Dia berdiri sendiri, tidak
diciptakan oleh siapapun. Dan tidak ada Tuhan selain Allah Ta’ala.

Bukti adanya Allah adalah terciptanya alam semesta dan juga makhluk
hidup. Hal ini juga dijelaskan dalam ayat-ayat di Al-Quran.

(QS. As-Sajdah: 4)

“Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di
antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas
‘Arsy. Tidak ada bagi kamu selain daripada-Nya seorang penolongpun
dan tidak (pula) seorang pemberi syafa’at 1190. Maka apakah kamu
tidak memperhatikan?”

58 | P a g e
(QS. Thaha: 14)
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku,
maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku“.

2) Qidam = Terdahulu

Allah Ta’ala juga memiliki sifat Qidam yang berarti terdahulu. Dialah
Sang Pencipta yang menciptakan alam semesta berserta isinya. Sebagai
pencipta tentunya Allah telah ada lebih dahulu dari apapun yang
diciptakannya. Tidak ada pendahulu atau permulaan bagi Allah Ta’ala.

(QS.Al-Hadid: 3)

“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin, dan
Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”

3) Baqa’ = Kekal
Baqa’ berarti kekal. Maksudnya Allah itu Maha Kekal. Tidak akan punah,
binasa ataupun mati. Tiada akhir bagi Allah Ta’ala. Dia akan tetap ada
selamanya. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran:

(QS. Ar-Rahman: 26-27)

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah
Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”

59 | P a g e
(QS. Al-Qasas: 88)
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. BagiNya-lah segala
penentuan, dan hanya kepadaNya-lah kamu dikembalikan.”

4) Mukholafatul Lilhawaditsi = Berbeda dengan makhluk


ciptaanNya
Allah Ta’ala sudah pasti berbeda dari makhluk ciptaanNya. Dialah dzat
yang Maha Sempurna dan Maha Besar. Tidak ada sesuatu pun yang
menandingi atau menyerupai keagunganNya. Ini sebagaimana dijelaskan
dalam Al-Quran:
(QS. Al-Ikhlas: 4)
“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
(QS. Asy-Syura: 11)
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dialah yang Maha
Mendengar dan Melihat.”

5) Qiyamuhu Binafsihi = Berdiri sendiri

Allah itu berdiri sendiri. Allah Ta’ala tidak bergantung pada apapun dan
tidak membutuhkan bantuan siapapun. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

(QS. Al-Ankabut: 6)
“Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu
adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha
Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam semesta.”

(QS. Al-Isra: 111)


“Dan katakanlah segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan
tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina
yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan
yang sebesar-besarnya.”

60 | P a g e
Daftar Pustaka

Ali Maksum. 2011. Pengantar Filsafat: Dari masa klasik hingga


postmodernisme. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Al-Quran: (QS. An-Nisa: 29-30)
Al-Quran: (QS. Al-Baqarah: 286)
Al-Quran: (QS. Yunus: 61)
Al-Quran: (QS. Hujurat: 16)
F. Budi Hardiman. 1993.Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta : Kanisius
Malki Ahmad Nasir. 2005. Asal Usul Konsep Dekontruksi. Islamia4
http://susdamitasyaridomo.blogspot.co.id/2012/10/makalah-
dekonstruksi_7262.html
http://cuplikantetangga.blogspot.co.id/2015/10/teori-dekonstruksi.html
http://syafieh.blogspot.co.id/2013/04/filsafat-islam-Al-Ghazali-dan-
pemikiran.html?m=1 (diakses 13 Mei 2018)
https://dalamislam.com/landasan-agama/tauhid/sifat-sifat-allah-dan-artinya
(diakses 14 Mei 2018)

61 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai