Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

ABORTUS HABITUALIS
Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Obstetri dan Gynekologi
di RSUD K.R.M.T. WONGSONEGORO

Disusun oleh :
Jesslyn Rusfardy
406171051

Pembimbing :
dr. Jati Suwantoro, Sp.OG (K)

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GYNEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA JAKARTA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
ABORTUS HABITUALIS
Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Obstetri dan Gynekologi
di RSUD K.R.M.T. WONGSONEGORO

Telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal : Febuari 2018

Disusun oleh :
Jesslyn Rusfardy
406171051

Semarang, Febuari 2018


Dosen Pembimbing

dr. Jati Suwantoro, Sp. OG (K)


BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama penderita : Ny. N
Umur : 40 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Alamat : Jl. Ngemplak RT 01/ RW 12, Tandang
Tanggal Masuk : 21 Febuari 2018
Ruang : Parikesit
Kelas : BPJS Non PBI

B. ANAMNESA
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 21 Febuari 2018 pukul
09.30 WIB di IGD RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang.

1. Keluhan Utama :
Keluar darah prongkolan dari jalan lahir
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD KRMT Wongsonegoro dengan keluhan
keluar darah prongkolan dari jalan lahir sejak 3 jam SMRS. Darah berwarna
merah kehitaman dan disertai prongkolan-prongkolan. Selain itu pasien juga
mengeluh nyeri perut bagian bawah. Kemudian pasien dipindahkan ke
ruangan parikesit dan direncakan untuk dilakukan kuretase.

 Riwayat Menstruasi :
HPHT : 14 Desember 2017
Menarche : 13 tahun
Lama haid : 7 hari
Siklus haid : 28 hari, teratur
Dismenorrhea : disangkal
Spotting : disangkal
Menorrhagia : disangkal
Metrorrhagia : disangkal

 Riwayat Perkawinan :
Pasien menikah 1 kali, usia saat menikah 25 tahun.
 Riwayat Obstetri :
G4P1A3 Anak Hidup : 1

Jenis
Thn Partus / Tempat Umur Jenis Penolong Keadaan
No Penyulit kelamin /
Abortus partus Hamil persalinan persalinan anak
BBL
1 2003 Bidan 38 normal Bidan - Laki-laki / sehat
mgg 3500 gr
2 2015 / 12 -
Abortus mgg
3 2016/ 12 -
Abortus mgg
4 2018/ 13 -
Abortus ini mgg
 Riwayat ANC
Pasien mengaku belum pernah memeriksakan kandungannya.
 Riwayat Keluarga Berencana
KB suntik : 7 tahun (2004-2011)

3. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat Abortus : diakui
- Riwayat Hipertensi Saat Kehamilan : disangkal
- Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
- Riwayat Penyakit Paru : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat HT : disangkal
- Riwayat Operasi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat Abortus : disangkal
- Riwayat Hipertensi : disangkal
- Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
- Riwayat Penyakit Paru : disangkal
- Riwayat DM : disangkal

5. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, dan suami pasien bekerja
sebagai supir. Kesan ekonomi cukup, biaya pengobatan ditanggung BPJS Non
PBI

C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Present

Keadaan Umum : Baik


Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign :
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 88 kali/menit
RR : 20 kali/menit
Suhu : 36,4 0C
b. Status Internus

- Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)


- Mulut : Bibir sianosis (-), bibir kering (-), perdarahan gusi (-)
- Tenggorokan : Faring hiperemesis (-), pembesaran tonsil (-)
- Leher : Simetris, pembesaran kelenjar limfe (-), pembesaran
tiroid (-)
- Kulit : Turgor baik, ptekie (-)
- Mamae : Simetris, benjolan abnormal (-), hiperpigmentasi areola
(+)
- Paru :
 Inspeksi : Hemithorax dextra dan sinistra simetris
 Palpasi : Stem fremitus dextra dan sinistra sama, nyeri
tekan (-)
 Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
 Auskultasi : Suara dasar vesikuler, suara tambahan (-)
- Jantung :
 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, tidak melebar
 Perkusi : Redup, batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi : Suara jantung I dan II murni, reguler, murmur
(-)
- Extremitas :
Superior Inferior
Oedem -/- -/-
Varises -/- -/-
Reflek fisiologis +/+ +/+
Reflek patologis -/- -/-

c. Status Obstetri
- Abdomen
 Inspeksi : Striae gravidarum (+), linea nigra (+), bekas operasi (-
)
 Palpasi : nyeri tekan (-)
 Leopold 1 : TFU 3 jari diatas simfisis, ballotement
(+)
 Leopold 2 : -
 Leopold 3 : -
 Leopold 4 : -

- PF Anogenitalia
 Inspeksi : lendir (-) fluksus (+)
 air ketuban (-) luka parut (-)
 varises vagina (-) oedem vagina (-)
 Anus: hemoroid (-)
 Interna/ Vagina toucher :
 Vulva : tenang
 Penipisan :+
 Pembukaan : 1 cm
 Kulit ketuban : (+)
 Sarung tangan : lendir (-), fluksus (+)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium Darah (21/01/208)
Hb : 11,7 gr/dl (L) Ureum : 13,5 mg/dL (L)
Hematokrit : 33,50 % (L) Creatinin : 0,8 mg/dL
Leukosit : 6.700 /uL (H)
Trombosit : 405.000 /uL Na : 139 mmol/L
HbsAg : Negatif K : 3,5 mmol/L
GDS : 103 mg/dL (H) Cl : 1,18 mmol/L

b. Tes kehamilan : (+)

E. DIAGNOSA AWAL
Pasien G4P1A3 40 tahun Hamil 13 minggu dengan abortus habitualis

F. TATALAKSANA
- IVFD RL + oksitosin drip 10 unit 20tpm
- Pro Kuretase

G. PROGNOSA
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ABORTUS
A. Definisi
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat
hidup di luar kandungan, sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu
atau berat janin kurang dari 500 gram. Abortus yang berlangsung tanpa tindakan
disebut abortus spontan, sedangkan abortus yang terjadi dengan sengaja dilakukan
tindakan tersebut disebut abortus provokatus. 1,2

B. Klasifikasi
Secara klinis abortus dibedakan menjadi :
 Abortus Iminens
Abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjdadinya abortus,
ditandai dengan perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil
konsepsi masih baik dalam kandungan.

Dasar diagnosis:
1. Anamnesis: perdarahan pervaginam pada umur kehamilan kurang dari 20
minggu, bisa dengan atau tanpa keluhan mules
2. Pemeriksaan dalam: ostium uteri masih tertutup, besarnya uterus masih
sesuai dengan umur kehamilan dan tes kehamilan urin masih positif
3. USG: kondisi janin masih baik, gerakan janin (+), gerakan jantung janin (+)

Pengelolaan:
1. Tirah baring sampai perdarahan berhenti
2. Spasmolitik untuk mencegah kontraksi uterus, progesteron untuk mencegah
terjadinya abortus
3. Tidak melakukan aktifitas fisik berlebihan atau berhubungan seksual sampai
kurang lebih 2 minggu
 Abortus Insipiens (Inevitable abortion, abortus sedang berlangsung)
Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks telah mendatar
dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam
kavum uteri dan dalam proses pengeluaran.

Dasar diagnosis:
1. Anamnesis: perdarahan bertambah sesuai dengan pembukaan serviks uterus
dan umur kehamilan, disertai dengan keluhan mules karena kontraksi yang
sering dan kuat
2. Pemeriksaan dalam: ostium uteri membuka teraba kulit ketuban, besar
uterus sesuai dengan umur kehamilan, tes urin kehamilan masih positif
3. USG: janin/ mudigah (+), gerakan janin (+), gerakan jantung janin (+)

Pengelolaan:
1. Perhatikan keadaan umum pasien
2. Evakuasi/ pengeluaran hasil konsepsi dengan oksitosin drip atau
misoprostol 400mcg per oral disusul dengan kuretase bila perdarahan banyak.
Pada umur kehamilan diatas 12 minggu, uterus biasanya sudah melebihi telur
angsa, tindakan evakuasi dan kuretase harus hati-hati.
3. Uterotonik pasca evakuasi

 Abortus Inkompletus
Abortus yang ditandai dengan keluarnya sebagian hasil konsepsi dari kavum
uteri dan masih ada yang tertinggal, yg terjadi pada umur kehamilan kurang
dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.

Dasar diagnosis:
1. Anamnesis: perdarahan pervaginam bisa banyak atau sedikit tergantung
pada jaringan yang tersisa, yang menyebabkan sebagian placental site masih
terbuka sehingga perdarahan berjalan terus. Jika perdarahan banyak bisa
terjadi anemia atau syok hemoragik
2. Pemeriksaan dalam: ostium uteri membuka dan teraba jaringan, besar uterus
lebih kecil dari usia kehamilan
3. USG: kantong gestasi/ janin (-), ditemukan gambaran massa hiperekoik
yang bentuknya tidak beraturan

Pengelolaan:
1. Perbaiki keadaan umum terlebih dahulu
2. Periksa kadar Hb, untuk persiapan transfusi darah bila diperlukan
3. Bila terjadi perdarahan yang banyak segera dilakukan tindakan kuretase
untuk mengeluarkan sisa hasil konsepsi sekaligus menghentikan perdarahan
4. Injeksi methyl ergometrin 0,2 mg IM/IV

 Abortus Kompletus
Abortus kompletus ditandai dengan keluarnya seluruh hasil konsepsi dari
kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang
dari 500 gram.

Dasar diagnosis:
1. Anamnesis: perdarahan segera berkurang setelah isi rahim dikeluarkan dan
selambat-lambatnya dalam 10 hari perdarahan berhenti sama sekali karena
dalam masa ini luka rahim telah sembuh dan epitelisasi telah selesai
2. Pemeriksaan dalam: ostium uteri menutup, uterus mengecil tidak sesuai
dengan umur kehamilan

Pengelolaan:
1. Hematenik bila diperlukan
2. Tidak perlu tindakan kuretase maupun uterotonika

 Missed Abortion
Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal dalam
kandungan sebelum kehamilan 20 minggu, dan hasil konsepsi seluruhnya
masih tertahan dalam kandungan.
Dasar diagnosis:
1. Anamnesis: tidak merasakan keluhan apapun selain pertumbuhan
kehamilannya tidak seperti yang diharapkan.
Bila kehamilan di atas 14 minggu – 20 minggu, pasien merasakan rahimnya
semakin mengecil
2. Pemeriksaan dalam: ostium uteri menutup, besar uterus lebih kecil dari usia
kehamilan
3. USG: kantong gestasi/ janin (+), gerakan janin (-), gerakan jantung janin (-)

Pengelolaan:
1. Umur kehamilan < 12 minggu  evakuasi dengan melakukan dilatasi dan
kuretase bila serviks uterus memungkinkan
2. Umur kehamilan > 12 minggu - < 20 minggu dengan keadaan serviks uterus
yang masih kaku  induksi terlebih dahulu untuk mengeluarkan janin atau
mematangkan kanalis servikalis  kuretase

 Kehamilan Anembrionik (Blighted Ovum)


Kehamilan patologi dimana mudigah tidak terbentuk sejak awal walaupun
kantong gestasi tetap terbentuk.

Dasar diagnosis:
1. USG: kantong gestasi tidak berkembang, janin/ mudigah (-), gerakan janin
(-), gerakan jantung janin(-)

Pengelolaan:
1. terminasi kehamilan  dilatasi dan kuretase secara elektif
2.2 ABORTUS HABITUALIS
A. Definisi
Abortus habitualis (Recurrent Miscarriage= recurrent spontaneous abortion=
recurrent pregnancy loss) didefinisikan sebagai hilangnya hasil konsepsi 3 kali
atau lebih berturut-turut pada usia kehamilan ≤20 minggu atau berat badan bayi
<500 gram. 4

B. Epidemiologi
Kebanyakan penelitian menunjukkan angka keguguran spontan 10-15%.
Namun, angka keguguran pada awal kehamilan sebenernya hampir mencapai 50%
karena tingginya jumlah kehamilan yang tidak diketahui dalam 2-4 minggu setelah
pembuahan. Dalam sebuah studi klasik oleh Wilcox, dkk pada tahun 1988, 221
perempuan diamati selama 707 siklus menstruasi total. Sebanyak 198 kehamilan
dapat dicapai. Dari jumlah tersebut, 43 (22%) yang mengalami keguguran sebelum
onset menstruasi, dan lain 20 (10%) secara klinis diketahui mengalami abortus. Data
dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa setelah 1 abortus spontan, risiko abortus
selanjutnya adalah sekitar 15%. Namun, jika 2 abortus spontan terjadi, risiko
berikutnya meningkat menjadi sekitar 30%. Angka ini lebih tinggi bagi perempuan
yang belum memiliki setidaknya 1 bayi lahir hidup. Beberapa kelompok telah
memperkirakan bahwa risiko abortus setelah 3 abortus berturut-turut adalah 30-45%,
yang sebanding dengan risiko pada wanita yang mengalami abortus 2 kali. Hal ini
membuat banyak kontroversi tentang waktu evaluasi diagnostik abortus habitualis.
Banyak spesialis memilih untuk menetapkan definisi abortus habitualis setelah 2
abortus berturut-turut dibandingkan 3 kali berturut-turut.5
Pada umumnya penderita tidak sukar untuk hamil, tetapi kehamilannya
berakhir sebelum 28 minggu. Bishop melaporkan frekuensi 0,41% abortus habitualis
pada semua kehamilan.4
Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadinya abortus lagi pada
seorang wanita yang mengalami abortus habitualis ialah 73% dan 83,6%. Sebaliknya
Warton dan Fraser memberikan prognosis yang lebih baik yaitu 25,9% dan 39%.4
C. Etiologi dan Faktor Resiko
1. Faktor Epidemiologi
a) Usia Ibu 

Risiko abortus meningkat dengan bertambahnya usia ibu, tanpa
memperhatikan riwayat reproduksi, sebagai akibat dari kelainan kromosom
pada hasil konsepsi yang berhubungan dengan peningkatan usia atau
penurunan fungsi uterus dan ovarium. Berikut ini merupakan hasil suatu studi
tentang hubungan antara usia dengan risiko abortus dalam kehamilan:6
- 13,3% pada usia 12-19 tahun 

- 11,1% pada usia 20-24 tahun 

- 11,9% pada usia 25-29 tahun 

- 15% pada usia 30-34 tahun 

- 24,6% pada usia 35-39% 

- 51% usia 40-44 tahun 

- 93,4% pada usia 45 tahun ke atas 

Baru-baru ini peningkatan usia ayah dianggap sebagai suatu faktor risiko
terjadinya abortus. Suatu penelitian yang dilakukan di Eropa melaporkan
bahwa risiko abortus tertinggi ditemukan pada pasangan dimana usia wanita
≥35 tahun dan pria ≥40 tahun.6

b) Riwayat reproduksi

Riwayat reproduksi merupakan faktor yang dapat memprediksi

suatu kehamilan di masa depan. Risiko abortus habitualis meningkat setelah
suatu abortus yang berulang terjadi (kira-kira 40%). Salah satu yang penting
dari riwayat reproduksi ini adalah riwayat abortus sebelumnya. Sebagai
contoh, primigravida dan wanita yang melahirkan anak hidup memiliki 5%
kemungkinan abortus pada kehamilan berikutnya yang secara signifikan lebih
rendah dibandingkan dengan wanita memiliki riwayat abortus pada kehamilan
sebelumnya (19%).6,7

2. Faktor Genetik
Kelainan kromosom pada embrio menyebabkan abortus sporadik pada
trimester pertama sekitar 50% dan 29% - 57% kejadian abortus pada pasangan dengan
abortus habitualis. Walaupun demikian, banyak studi menggunakan analisis
sitogenetik konvensional yang hanya mengidentifikasi aberasi/penyimpangan
kromosom. Baru-baru ini analisis jaringan dengan hibridisasi genomik, suatu teknik
yang mendeteksi kelainan kromosom tanpa memerlukan kulturisasi menunjukkan
bahwa analisis sitogenetika konvensional tidak menganggap penting insiden anomali
kromosom dan bahwa kontribusi kromosom abnormal terhadap kejadian abortus pada
trimester pertama hampir 70%.6


a) Kelainan penyusunan kromosom parental


Abortus adalah kasus yang sangat sering terjadi dan dianggap sebagai suatu
seleksi alam untuk memilih keturunan yang normal. Kenyataannya, ada studi yang
mengatakan bahwa sedikitnya 50% abortus disebabkan oleh karena kelainan
kromosom.7 Sekitar 3% - 5% pasangan dengan abortus habitualis, salah satu
pasangannya membawa kelainan kelainan struktural kromosom yang seimbang.
Wanita lebih mungkin menjadi carrier dibandingkan dengan laki-laki. Tipe kelainan
kromosom parental yang paling banyak adalah translokasi seimbang, baik timbal
balik (resiprokal) atau Robertsonian. Pada translokasi timbal balik, segmen distal
terbagi menjadi kromosom yang saling bertukar. Pada translokasi Robertsonian, dua
kromosom akrosentrik bersatu pada wilayah sentromer dengan hilangnya lengan
pendek. Walaupun carrier translokasi seimbang ini memiliki fenotip yang normal,
kehamilannya berisiko tinggi berakhir sebagai abortus dan dapat mengakibatkan
lahirnya anak dengan cacat bawaan atau cacat mental karena pengaturan kromosom
yang tidak seimbang. Risiko abortus dipengaruhi oleh ukuran dan isi genetik dari
segmen kromosom yang diatur kembali.6
Translokasi yang seimbang menyebabkan abortus rekuren. Translokasi yang
tidak seimbang dapat menyebabkan abortus, anomali fetus, atau bayi lahir mati.
Walaupun demikian, prognosisnya masih baik dan 85% pasangan dapat memiliki bayi
yang sehat. Dengan demikian, riwayat abortus atau anomali fetus pada trimester
kedua seharusnya dicurigai adanya kelainan pola kromosom pada salah satu
pasangan.4
6
Gambar 1. Translokasi resiprokal dan Robertsonian

b) Aneuploidi dan poliploidi embrionik



Aneuploidi disebabkan oleh nondisjungsi selama meiosis yang
menghasikan kromosom tambahan (trisomi) atau hilangnya kromosom (monosomi).
Triploidi dan tetraploidi terkait dengan fertilisasi yang tidak normal. Triploidi
biasanya terjadi karena fertilisasi oosit oleh dua spermatozoa atau akibat kegagalan
salah satu bagian pematangan baik pada oosit maupun pada spermatozoa. Tetraploidi
(empat kali jumlah haploid) biasanya disebabkan kegagalan untuk menyelesaikan
pemisahan zigotik pertama. Pada pasangan dengan abortus habitualis, analisis
sitogenetik konvensional melaporkan insiden trisomi, poliploidi dan monosomi X
pada jaringan adalah 30%, 9% dan 4%.5,6
Kebanyakan kelainan kromosom utama adalah trisomi autosomal, polipoid
dan monosomi X. Kebanyakan kelainan trisomi menunjukkan kesalahan tahap
meiosis sebagai efek peningkatan usia ibu, dengan kromosom 16 dan 22 paling sering
terlibat. Sekitar 30% abortus spontan karena kelainan kromosom adalah tipe triploid
dan tetraploid. Fetus yang triploid biasanya memiliki kromosom 69, XXY atau 69,
XXX dan berasal dari fertilisasi dispermik seperti yang telah disebutkan di atas.
Beberapa hasil konsepsi triploid muncul sebagai mola parsial yang ditandai dengan
kantong kehamilan yang besar dan degenerasi kistik plasenta. Tetraploid jarang
berkembang di bawah usia kehamilan 4 atau 5 minggu. Monosomi X merupakan
kelainan kromosom tunggal yang paling sering terjadi di antara aborsi spontan, kira-
kira 15%-20% dari seluruh kasus abortus.5,6
Risiko monosomi kromosom seks dan konsepsi polipoid tidak meningkat
sejalan dengan usia ibu. Beberapa pasangan dengan riwayat abortus habitualis
berisiko untuk mengalami aneuploidi rekuren. Kariotipe embrionik pada kehamilan
sebelumnya dapat membantu memprediksi tingkat abortus. Wanita dengan kariotipe
embrio normal lebih sering mengalami keguguran dibandingkan dengan kariotipe
embrionik abnormal yang menunjukkan bahwa mekanisme lain selain kromosom fetal
yang abnormal dapat menjelaskan terjadinya beberapa kasus abortus habitualis.5,6
c) Mekanisme molekuler.

Kemajuan terbaru teknologi genetika molekuler menyoroti pentingnya
mekanisme tertentu seperti mutasi gen tunggal dan inaktivasi kromosom X pada
etiologi abortus. Peran mutasi gen tunggal yang menyebabkan kelainan pada embrio,
perkembangan plasenta atau jantung penting untuk diteliti. Wanita dengan inaktivasi
kromosom X yang tidak simetris mungkin membawa gen resesif terkait X pada janin
yang sifatnya mematikan sehingga rentan terjadi abortus berulang.

3. Kelainan anatomi

Sejumlah kelainan anatomi traktus genitalia mempengaruhi abortus habitualis.
15% wanita dengan tiga atau lebih abortus secara berturut-turut memiliki kelainan
uterus baik yang bersifat kongenital ataupun yang didapat. Kelainan uterus yang
didapat misalnya sinekia intrauterine (sindrom Asherman), leiomioma dan
inkompeten serviks. Kelainan saat perkembangan misalnya uterus bersepta,
bikornuata dan unikornuata. 7
a) Malformasi uterus kongenital

Malformasi uterus kongenital merupakan akibat dari gangguan perkembangan,
fusi, kanalisasi, dan reabsorpsi septal duktus Mullerian. Peranan kelainan kongenital
uterus terhadap abortus habitualis masih belum jelas karena prevalensi yang
sesungguhnya dan implikasi reproduksi pada kelainan uterus pada populasi umum
tidak diketahui. Pada pasien dengan abortus berulang, frekuensi pasien dengan
anomali uterus bervariasi dari 1,8% - 37,6%. Variasi ini terjadi akibat perbedaan
dalam kriteria dan teknik yang digunakan untuk mendiagnosisnya dan fakta bahwa
studi yang dilakukan melibatkan wanita dengan dua, tiga atau lebih riwayat abortus
pada tahap awal dan akhir kehamilan. Prevalensi kelainan uterus paling tinggi
ditemukan pada wanita dengan

Gambar 2. Jenis-jenis anomali mullerian6


riwayat abortus terakhir yang mencerminkan prevalensi serviks inkompeten pada
wanita dengan malformasi uterus.6
Dengan menggunakan USG tiga dimensi sebagai alat diagnostik, sebuah studi
prospektif baru-baru ini melaporkan bahwa frekuensi anomali uterus adalah sekitar
23,8% pada wanita dengan abortus habitualis pada trimester pertama dibandingkan
dengan frekuensi 5,3% pada wanita dengan risiko rendah. Selanjutnya, distorsi
anatomi uterus lebih parah ditemukan pada wanita dengan abortus berulang.
Penemuan ini menunjukkan bahwa anomali kongenital uterus dapat menyebabkan
terjadinya abortus pada sebagian kecil wanita dengan abortus habitualis. Pada suatu
studi retrospektif, pasien dengan anomali uterus yang tidak ditangani cenderung
memiliki risiko tinggi abortus dan partus prematurus dan tingkat partus aterm hanya
50% saja.6
Retroversio uteri, mioma uteri atau kelainan bawaan uterus dapat
menyebabkan abortus. Tetapi, harus diingat bahwa hanya retroversio uteri gravid
inkarserata atau mioma submukosa yang memegang peranan penting. 4
b) Serviks inkompeten

Serviks inkompeten merupakan penyebab abortus habitualis pada pertengahan
trimester kehamilan (trimester kedua). Serviks inkompeten adalah ketidakmampuan
serviks untuk mempertahankan suatu kehamilan oleh karena defek fungsi maupun
struktur pada serviks. Serviks inkompeten yang parah menyebabkan abortus pada
midtrimester dan derajatnya lebih rendah pada kasus dengan partus prematurus.
Insiden serviks inkompeten masih belum diketahui secara pasti karena diagnosisnya
ditegakkan secara klinis dan belum ada kriteria objektif yang disetujui secara umum
untuk mendiagnosis keadaan tersebut. Secara kasar, suatu studi epidemiologi
menunjukkan insiden terjadinya serviks inkompeten adalah sekitar 0,5% pada
populasi pasien obstetri secara umum dan 8% pada wanita dengan abortus
midtrimester sebelumnya. Meskipun beberapa kasus serviks inkompeten melibatkan
inkompeten mekanik seperti hipoplasia serviks kongenital, riwayat operasi serviks,
dan trauma serviks yang luas, kebanyakan wanita dengn diagnosis klinis serviks
inkompeten memiliki anatomi serviks yang normal. Pematangan serviks yang dini
mungkin merupakan jalur akhir dari berbagai proses patofisiologi seperti infeksi,
kolonisasi, inflamasi dan predisposisi genetik atau hormonal.4,5,6
Serviks merupakan barier mekanik yang memisahkan kehamilan dari flora
bakteri vagina. Banyak pasien dengan dilatasi serviks pada midtrimester yang
asimptomatis memiliki bukti adanya infeksi intrauterine subklinis. Tidak jelas apakah
ini merupakan invasi mikroba akibat dilatasi serviks yang prematur. Ketika terjadi
pematangan serviks yang prematur, barier mekanik terganggu dan selanjutnya dapat
menyebabkan proses patologis (misalnya kolonisasi pada saluran kemih bagian atas)
yang berakhir pada kelahiran prematur spontan. Pada serviks inkompeten yang
berhubungan dengan kelainan mekanik, penanganan suportif misalnya cerclage suture
dapat mencegah infeksi dan dapat memperpanjang masa kehamilan. Sebaliknya, jika
perubahan pada serviks adalah akibat proses non mekanik, maka cerclage menjadi
kurang efektif dan bahkan berbahaya dalam beberapa kasus karena kemungkinan
adanya komplikasi inflamasi dan infeksi.6

c) Fibroid

Jaringan fibroid pada uterus telah lama dihubungkan dengan masalah
reproduksi termasuk abortus. Hal tersebut dipengaruhi oleh ukuran dan lokasi fibroid.
Meskipun mekanisme yang terjadi belum diketahui secara pasti, teori patofisiologi
yang selama ini dipahami adalah distorsi mekanik kavum uteri, vaskularisasi
abnormal, perkembangan endometrium yang abnormal, inflamasi endometrium,
lingkungan endometrium yang abnormal, dan kelainan struktural dan kontraktil
miometrium. Bukti adanya hubungan antara fibroid uterus dan abortus habitualis
bersifat retrospektif dan tidak cukup untuk menentukan perbedaan dalam hasil
kehamilan atau menilai efek ukuran dan lokasi fibroid. Data terbaru dari pasien
dengan infertilitas menunjukkan bahwa hanya fibroid pada submukosa atau
intrakavitas berhubungan dengan tingkat implantasi yang menurun dan peningkatan
kasus abortus. Fibroid subserosa tidak memiliki efek merusak dan peranan fibroid
intramural yang tidak mendistorsi kavum uteri masih kontroversial.6

d) Adhesi intrauterin

Defek pada uterus dapat menyebabkan kesulitan reproduksi pada
seorang wanita, termasuk kejadian abortus pada trimester pertama dan kedua
kehamilan, persalinan preterm dan presentasi fetal yang abnormal. Kelainan anatomi
ini dapat bersifat kongenital, termasuk yang berhubungan kelainan dietilstilbestrol,
atau yang bersifat didapat seperti adhesi intrauterin atau leiomyomata.7
Perlengketan atau adhesi intrauterin (sindrom Asherman) terjadi akibat trauma
intrauterin misalnya setelah kuretase endometrium yang berlebihan karena retensi
hasil konsepsi. Adhesi intrauterin berhubungan erat dengan abortus rekuren.
Mekanisme yang diduga terjadi adalah adanya penurunan volume kavum uteri dan
fibrosis serta inflamasi pada endometrium sehingga terjadi kelainan plasentasi dan
menyebabkan abortus.6

4. Faktor endokrin
a) Defek Fase Luteal dan Defisiensi Progesteron

Defek fase luteal disebut juga defisiensi progesteron merupakan
suatu keadaan dimana korpus luteum mengalami kerusakan sehingga produksi
progesteron tidak cukup dan mengakibatkan kurang berkembangnya dinding
endometrium. Oleh karena progesteron dibutuhkan untuk keberhasilan suatu
implantasi dan mempertahankan suatu kehamilan muda maka defisiensi progesteron
selama fase luteal berhubungan dengan kejadian abortus habitualis. Namun, kriteria
standar untuk diagnosis secara tepat dan efek dari defek fase luteal sebagai penyebab
abortus berulang masih kurang. Variasi hormon yang sering berubah dan sekresi
pulsatil menyebabkan pengukuran serum progesteron tidak dapat digunakan dan
interpretasi hasil biopsi endometrium rentan terhadap variasi sampel. Tetapi ada
penelitian yang menunjukkan bahwa penanganan pada defek fase luteal telah
meningkatkan keberhasilan suatu kehamilan pada wanita dengan abortus habitualis.6,7

b) Sindrom ovarium polikistik, Hipersekresi LH dan Hiperandrogenemia


Sindrom ovarium polikistik terkait dengan infertilitas dan abortus. Dua
mekanisme yang mungkin menyebabkan hal tersebut terjadi adalah peningkatan
hormon LH dan efek langsung hiperinsulinemia terhadap fungsi ovarium. Ovarium
polikistik, peningkatan kadar LH dan hiperandrogenemia merupakan ciri klasik suatu
sindrom ovarium polikistik dan telah dilaporkan sebagai faktor risiko terjadinya
abortus habitualis. Jika terjadi peningkatan konsentrasi hormon LH akan
menyebabkan abortus dan inhibisi hormon tersebut selama siklus induksi ovulasi
gonadotropin dapat menurunkan angka abortus. Walaupun ovarium polikistik secara
signifikan sering ditemukan pada pasien dengan abortus berulang, ovarium polikistik
tersebut tidak dapat memprediksi terjadinya kehamilan pada wanita yang ovulatorik
dengan riwayat abortus berulang.6,7

Tingginya kadar LH atau testoteron tidak berhubungan dengan
kehamilan pada seorang wanita ovulatorik dengan riwayat abortus habitualis. Supresi
kadar LH yang tinggi tidak selalu meningkatkan angka kelahiran hidup dan kehamilan
pada wanita dengan pengggunaan placebo sama dengan wanita yang memiliki kadar
LH yang normal.6
Baru-baru ini, ditemukan hubungan antara sindrom ovarium polikistik dan
resistensi insulin yang menyebabkan kompensasi hiperinsulinemia sebagai faktor
risiko abortus habitualis. Resistensi insulin dihubungkan dengan tingginya jumlah
abortus di antara wanita dengan sindrom ovarium polikistik yang sedang menjalani
induksi ovulasi dibandingkan dengan yang tidak menderita resistensi insulin. Laporan
terdahulu menyarankan penggunaan metformin (yang meningkatkan sensitivitas
terhadap insulin) pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik selama induksi
ovulasi dan kehamilan muda sehingga dapat meningkatkan penerimaan hasil konsepsi
oleh dinding endometrium dan mengurangi risiko abortus di masa mendatang.6

c) Faktor Endokrin Sistemik



Diabetes melitus dan penyakit tiroid dihubungkan dengan abortus,
tetapi masih belum ada bukti langsung bahwa keduanya berperan pada kejadian
abortus habitualis. Wanita dengan diabetes di mana kadar HbA1c yang tinggi pada
trimester pertama berisiko mengalami abortus dan malformasi fetal. Sebaliknya,
diabetes melitus yang terkontrol bukan merupakan faktor risiko abortus rekuren
begitu juga dengan disfungsi tiroid yang telah diterapi. Prevalensi DM dan disfungsi
tiroid pada wanita abortus habitualis sama dengan yang diharapkan pada populasi
umum.6,7
Autoantibodi tiroid tidak berhubungan dengan abortus habitualis. Wanita
dengan abortus habitualis tidak lebih cenderung dibandingkan dengan wanita subur
yang juga memiliki antibodi tiroid dalam sirkulasi darahnya. Adanya antibodi tiroid
pada wanita eutiroid dengan riwayat abortus habitualis tidak mempengaruhi
kehamilannya mendatang. Oleh karena belum jelas apakah penyakit tiroid
menyebabkan terjadinya abortus habitualis atau tidak, American College of
Obstetricians and Gynecologists (2001) menyimpulkan bahwa tidak ada indikasi
screening terhadap wanita yang asimptomatik. Sebaliknya, hipotiroidisme mungkin
sulit untuk dideteksi secara klinis, tes yang dilakukan tidak mahal dan pengobatannya
memiliki efektivitas yang tinggi. Oleh karena itu, screening TSH direkomendasikan
pada wanita dengan abortus habitualis.6,7

5. Faktor Koagulasi dan Imunologi


a) Trombofilia
Sistem hemostatis berperan penting dalam pembentukan dan pemeliharaan suatu
kehamilan. Defek trombofilia adalah kelainan sistem koagulasi yang mengarah ke
trombosis. Selama beberapa tahun terakhir, peranan sindrom antifosfolipid (APS)
suatu defek trombofilik telah ditetapkan dan ditangani sebagai penyebab abortus
habitualis dan berperan potensial terhadap defek trombofilik lainnya (didapat maupun
diturunkan secara genetik). Hipotesis yang diduga adalah bahwa pada beberapa kasus
abortus habitualis dan komplikasi akhir dari suatu kehamilan disebabkan oleh respon
hemostatik yang berlebihan selama kehamilan, menyebabkan terjadinya trombosis
pada pembuluh darah uteroplasenta dan selanjutnya dapat mengakibatkan kematian
janin.6

b) Antibodi Antifosfolipid

Antibodi antifosfolipid merupakan kelompok dari autoantibodi heterogen yang
bereaksi dengan epitop pada protein yang bergabung dengan fosfolipid bermuatan
negatif. Pada etiologi abortus habitualis, terdapat 2 penyakit dengan antibodi
antifosfolipid yaitu lupus antikoagulan dan antibodi antikardiolipin. Sindrom
antifosfolipid (APS) merupakan hubungan antara antibodi antifosfolipid dan
morbiditas pada kehamilan atau trombosis vaskular. Morbiditas suatu kehamilan
mencakup abortus rekuren pada trimester pertama, satu atau lebih kematian janin
yang secara morfologi normal setelah 10 minggu gestasi dan satu atau lebih kelahiran
prematur sebelum 34 minggu gestasi akibat preeklampsia berat, eklampsia atau
insufisiensi plasenta. APS pada pasien dengan penyakit inflamasi kronik, seperti SLE
disebut sebagai APS sekunder. Sebaliknya, APS primer mempengaruhi pasien dengan
tidak adanya penyakit jaringan ikat sistemik yang mendasarinya.6
Karakterisitik utama APS adalah abortus rekuren. Pada 15% wanita dengan
abortus berulang, aPLs (antikoagulan lupus dan antikardiolipin IgG atau IgM)
ditemukan. Patogenesis aPL terkait dengan trombosis plasenta. Namun, trombosis
sendiri tidak spesifik ataupun bersifat universal dan penelitian terbaru memberikan
wawasan baru tentang mekanisme aPL dalam hubungannya dengan kehamilan yang
gagal. Cacat desidualisasi pada endometrium dan kelainan fungsi dan diferensiasi
tropoblas dini mungkin merupakan mekanisme patologis utama.
c) Defek Trombofilik yang diturunkan

Penyakit ini merupakan kelainan faktor pembekuan yang diturunkan secara
genetik yang dapat menyebabkan trombosis patologis akibat ketidakseimbangan
antara jalur pembekuan darah dan antikoagulasi. Teori yang paling banyak
menjelaskan tentang hal ini adalah resistensi terhadap protein C yang disebabkan oleh
mutasi faktor V Leiden atau yang lainnya, penurunan atau tidak adanya aktivitas
antitrombin III, mutasi gen protrombin dan mutasi gen untuk methylene
tetrahydrofolate reductase yang menyebabkan peningkatan kadar homosistein serum
(hiperhomosisteinemia).6,7
d) Imunologi

Yetman dan Kutteh melaporkan bahwa sekitar 15% dari 1000
wanita dengan abortus habitualis memiliki faktor autoimun. Terdapat 2 patofisiologi
primer yang menjelaskan kejadian tersebut yaitu teori autoimun (imunitas yang
menyerang diri sendiri) dan teori alloimun (imunitas yang menyerang pihak lain).7
1) Faktor autoimun.
Abortus lebih sering terjadi pada wanita dengan SLE. Kebanyakan dari
wanita tersebut memiliki antibodi antifosfolipid yang merupakan kelompok
autoantibody yang mengikat fosfolipid muatan negatif, phospholipids-binding
proteins, atau kombinasi keduanya. Antibodi tersebut dapat juga ditemukan
pada wanita tanpa lupus. Memang >5% wanita dengan kehamilan normal,
antikoagulan lupus (LAC) dan antibodi antikardiolipin (ACA) berhubungan
dengan abortus berulang. Dibandingkan dengan kejadian abortus, LAC dan
ACA lebih banyak ditemukan pada kematian fetus setelah pertengahan
trimester kehamilan. Oleh sebab itu, kematian fetus merupakan salah satu
kriteria diagnosis sindrom antifosfolipid. Wanita yang memiliki riwayat
abortus dan kadar antibodi yang tinggi mungkin berpotensi mengalami abortus
habitualis sekitar 70%. 7

2) Faktor alloimun.
Kehamilan yang normal memerlukan pembentukan faktor yang
mencegah rejeksi maternal terhadap antigen asing fetus yang diperoleh secara
paternal. Seorang wanita tidak akan menghasilkan faktor penghambat serum
ini jika dia memiliki HLA yang mirip dengan suaminya. Gangguan alloimun
lainnya juga menyebabkan abortus habitualis temasuk perubahan aktivitas sel
natural killer dan peningkatan antibodi limfositotoksik. Berbagai terapi untuk
memperbaiki gangguan ini telah disarankan untuk dilakukan termasuk
imunisasi dengan menggunakan sel paternal, third party donor leukocytes,
infus membran trofoblast dan immunoglobulin intravena. Kebanyakan dari
terapi imunologi ini membahayakan pasien sehingga tidak dianjurkan untuk
dilakukan. Salah satu terapi yang mungkin dapat dilakukan adalah terapi
immunoglobulin intravena untuk abortus habitualis sekunder (wanita dengan
abortus habitualis setelah memiliki anak sebelumnya).7

6. Faktor Lain
a) Infeksi
Peranan infeksi terhadap suatu kejadian abortus berulang masih rendah.
Beberapa infeksi berat yang menyebabkan bakteremia atau viremia dapat
menyebabkan keguguran sporadik. Untuk dapat menyebabkan terjadinya abortus
berulang agen infektif tersebut harus menetap dalam traktus genitalis dan dapat
menghindari deteksi atau tidak menyebabkan gejala yang cukup untuk mengganggu
host. Toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes dan infeksi Lister tidak
memenuhi kriteria tersebut. Walaupun vaginosis bakterial pada trimester pertama
dilaporkan sebagai faktor risiko keguguran pada trimester kedua dan kelahiran
prematur, bukti adanya hubungannya dengan abortus pada trimester pertama masih
belum konsisten. Pada wanita dengan riwayat abortus pada midtrimester atau partus
prematurus, deteksi dan terapi untuk vaginosis bakterial pada awal masa kehamilan
dapat menurunkan risiko prematuritas, KPD dan BBLR.6

b) Faktor Lingkungan

Abortus habitualis dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan seperti paparan
terhadap logam berat, pelarut organik, alkohol dan radiasi ionisasi yang dikenal
sebagai teratogen lingkungan. Kafein, merokok dan hipertermia dicurigai sebagai
teratogen. Wanita hamil yang sering terpapar akan berisiko untuk mengalami
abortus.6

D. Patologi
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis kemudian diikuti
oleh nekrosis jaringan sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi terlepas
sebagian atau seluruhnya sehingga merupakan benda asing dalam uterus. Keadaan ini
menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya.4

E. Diagnosis
Diagnosis abortus habitualis tidak sukar ditentukan dengan anamnesis.
Khususnya diagnosis abortus habitualis karena inkompetensia yang menunjukkan
gambaran klinik yang khas yaitu dalam kehamilan trimester kedua terjadi pembukaan
serviks tanpa rasa mulas, ketuban menonjol dan pada suatu saat pecah. Kemudian
timbul mulas yang selanjutnya diikuti dengan pengeluaran janin yang biasanya masih
hidup dan normal. Apabila penderita datang dalam trimester pertama, maka gambaran
klinik tersebut dapat diikuti dengan pemeriksaan vaginal tiap minggu. Penderita tidak
jarang mengeluh bahwa ia mengeluarkan banyak lendir dari vagina. Di luar
kehamilan penentuan serviks inkompeten dilakukan dengan histerosalpingografi yaitu
ostium uteri internum melebar >8 mm.4,8
F. Penanganan
Penyebab abortus habitualis sebagian besar tidak diketahui sehingga
penanganannya terdiri atas memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan yang
sempurna, anjuran istirahat cukup banyak, larangan koitus dan olah raga. Terapi
dengan hormon progesteron, vitamin, hormon tiroid dan lainnya mungkin hanya
mempunyai pengaruh psikologis. Calvin melaporkan penelitiannya tentang 141
wanita hamil yang sebelumnya mengalami 1 sampai 4 abortus berturut-turut hanya
22,7% yang mengalami abortus dan pada 76,6% kehamilan berlangsung terus tanpa
pengobatan apa pun. Apabila pada pemeriksaan histerosalpingografi yang dilakukan
menunjukkan kelainan seperti mioma submukosa atau uterus bikornis maka kelainan
tersebut dapat diperbaiki dengan operasi atau penyatuan kornu uterus dengan operasi
menurut Strassman. Pada serviks inkompeten apabila penderita hamil, maka operasi
dilakukan untuk mengecilkan ostium uteri sebaiknya dilakukan pada kehamilan 12
minggu atau lebih sedikit. Dasar operasinya adalah memperkuat jaringan serviks yang
lemah dengan melingkari daerah ostium uteri internum dengan benang sutera atau
dakron yang tebal. Jika berhasil maka kehamilan dapat dilanjutkan sampai hampir
cukup bulan dan benang dipotong pada usia kehamilan 38 minggu. Operasi tersebut
dapat dilakukan menurut cara Shirodkar atau cara Mac Donald.4,9
DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknjosastro, H., Saifuddin, A.B., Rachimhadhi, T., 2009. Ilmu Kebidanan.


Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
2. Sastrawinata, S., Martaadisoebrata, D., Wirakusumah, F.F., 2005. Ilmu
Kesehatan Reproduksi: Obstetri Patologi. Ed. 2. Jakarta : EGC
3. Bantuk Hadijanto. Perdarahan pada kehamilan muda, Keempat ed. Jakarta : PT
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014
4. Prawirohardjo,S. Abortus. Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2006. Hal.302-304; 309-310

5. Petrozza, J.C dan Cowan, B.D. Recurrent Early Pregnancy Loss. Avalaible
from: www.emedicine.com [cited on 10/09/2011] 


6. Backos, M and Regan, L. Recurrent Miscarriage. High Risk Pregnancy


rd
Management Options. 3 Edition. Ed: James,et.al. Philadelphia: Elsevier
Saunders. 2006; 160-182 


rd
7. Cunningham, et.al. Recurrent Miscarriage. Abortion. Williams Obstetrics. 23
Edition. New York: McGraw-Hil Companies, Inc. 2010; 


8. Hanretty, K.P. Recurrent Miscarriage. Multiple Pregnancy and Other Antenatal


Complication. Obstetrics Illustrated. Sixth Edition. Edinburgh: Churchill
Livingstone. 2004; 220-221 


9. Pernoll, M.L. Habitual Abortion. Benson and Pernoll’s Handbook of Obstetrics


and Gynecology. New York: McGraw-Hill Companies. 2001; 305- 307 


Anda mungkin juga menyukai