Anda di halaman 1dari 24

Diagnosis Jenis –jenis Anemia dan Penatalaksanaannya

KELOMPOK F4

Pendahuluan

Seorang perempuan berusia 25 tahun , datang dengan keluhan mudah lelah kurang
lebih 2-3 minggu ini , dan wajahnya terlihat agak pucat . dilihat dari gejala yang dialami
wanita ini diduga ,wanita tersebut mengalami anemia .
Anemia merupakan suatu keadaan yang di tandai dengan adanya penurunan atau
berkurangnya kadar hemoglobin atau nilai hematokrit atau bisa juga jumlah dari sel darah
eritrosit di dalam sirkulasi darah. Anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 13 g/dL pada
pria dan di bawah 12 g/dL pada wanita menurut (WHO). Sehingga mengakibatkan
kemampuan darah untuk berfungsi mengangkut oksigen ke jaringan pun berkurang maka
dapat terjadinya hipoksia yang bisa ringan sampai berat. Anemia dapat disebabkan oleh satu
atau lebih dari tiga mekanisme independen yaitu: berkurangnya produksi sel darah merah,
meningkatnya destruksi sel darah merah dan kehilangan darah.1
Untuk menegakkan diagnosis anemia pada kasus ini perlu dilakukan anamnesis ,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang , agar kita dapat mengetahui etiologi penyebab
dari anemia yang dialami oleh wanita tersebut selain itu perlu dijelaskan mengenai
patofisologi , perjalanan penyakit , manifestasi klinis dan juga penatalkasaan dari pada kasus
anemia tersebut .

Anamnesis
Anamnesis merupakan deskripsi pasien tentang penyakit atau keluhannya, termasuk
alasan berobat. Terdapat sejumlah pertanyaan rutin yang harus diajukan kepada semua
pasien, misalnya pertanyaan tentang identitas ( nama , umur , alamat dan pekerjaan ) ,
keluhan utama, Riwayat penyakit sekarang ,riwayat penyakit terdahulu, riwayat penyakit
menahun, riwayat penyakit sekarang yang spesifik terhadap diagnosa sementara, riwayat
pengobatan , riwayat pribadi dan riwayat social. 2

Anamnesis yang terkait kasus anemia adalah : 1,2

1
 Keluhan utama
 Riwayat penyakit Sekarang : Sejak kapan ? Apakah terjadi setiap saat atau tidak ?
apakah muncul saat aktivitas ringan , sedang atau berat ? Apa yang dirasakan pasien?
Lelah, malaise, demam , sesak napas, nyeri dada, atau tanpa gejala ? Apakah keluhan
baru pertama kali atau sudah berulang kali? factor pemicu ? Apakah sejak muncul
gejala, gejala bertambah parah seiring waktu?
 Riwayat pengobatan : Sudah pernah diobati sebelumnya ? atau sedang dalam
pengobatan obat – obat antikoagulan
 Riwayat penyakit dahulu : Apakah sebelumnya pernah mengalami hal seperti ini?
Adakah mempunyai riwayat hipertensi ? Batuk lama ? Kencing manis ? Maag kronis
?ginjal kronis ? hepatitis ? penyakit terkait kelainan pembuluh darah dan jantung ?
riwayat jika luka perdarahan sulit berhenti ? Tubuh mudah lebam , atau memar
kebiruan ? epiktasis ?
 Riwayat penyakit Keluarga : Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang
menderita keluhan yang sama pada saat ini? Ataukah dikeluarga ada menderita
penyakit keganasan ? Anemia ? thalassemia ?
 Riwayat Pribadi dan social : Apakah konsumsi cukup makanan mengandung Fe? .
Adakah gejala yang konsisten dengan malabsorpsi? Adakah tanda – tanda kehilangan
darah dari saluran cerna ? jika wanita tanyakan kehilangan darah menstruasi
berlebihan? Tanyakan frekuensi dan durasi menstruasi, dan penggunaan tampon serta
pembalut. Riwayat BAB dan BAK ? adakah riwayat trauma ? Gusi mudah berdarah
apabila menyikat gigi ? minum minuman beralkohol , merokok ?

Hasil Anamnesis : keluhan utama pasien adalah mudah lelah sejak 2 -3 minggu ini , pasien
tidak merasakan demam , mual- muntah , BAK- BAB dalam batas normal .

Pemeriksaan Fisik
Perhatikan Keadaan umum pasien , apakah pasien datang dengan keaaan tampak sakit
ringan , sedang atau berat . Kesadaran pasien , apakah pasien datang dengan kesadaran
kompos mentis , somnolen , delirium , stupor atau koma . 3
Selanjutnya lakukan pemeriksaan tanda – tanda vital meliputi pemeriksaan suhu
badan dengan nilai normal 36,5⁰ C – 37,2⁰ C , nadi dengan nilai normal pada dewasa 70 – 80
x/ menit , tekanan darah dengan nilai normal pada dewasa muda 110 – 125 / 60-70 mmHg ,

2
dan Pernafasan dengan nilai normal pada dewasa 16 – 20 x/ menit.4 Setelah memastikan
keadaan umum dan tanda – tanda vital dari pasien lakukan pemeriksaan fisik berupa Inspeksi
, palpasi dan perkusi terkait keluhan pasien . 3

Inspeksi
Melihat keadaan kulit dan kedua sklera berwarna kuning atau tidak. Pucat:
sensitivitas dan spesifisitas untuk pucat pada telapak tangan, kuku, wajah atau konjungtiva
sebagai prediktor anemia bervariasi antara 19-70% dan 70-100%. Ikterus: menunjukkan
kemungkinan adanya anemia hemolitik. Ikterus sering sulit dideteksi di ruangan dengan
cahaya lampu artifi sial. Pada penelitian 62 tenaga medis, ikterus ditemukan pada 58%
penderita dengan bilirubin >2,5 mg/dL dan pada 68% penderita dengan bilirubin 3,1 mg/dL.
Adakah Penonjolan tulang frontoparietal, maksila (facies rodent/chipmunk) pada talasemia.
Lidah licin (atrofi papil) pada anemia defisiensi Fe. Limfadenopati, hepatosplenomegali,
nyeri tulang (terutama di sternum); nyeri tulang dapat disebabkan oleh adanya ekspansi
karena penyakit infiltratif (seperti pada leukemia mielositik kronik), lesi litik ( pada mieloma
multipel atau metastasis kanker). Petekhie, ekimosis, itu perdarahan lain.1,3

Palpasi
Lakukan palpasi pada setiap kuadran abdomen secara berurutan, awalnya tanpa
penekanan yang berlebihan dan dilanjutkan dengan palpasi secara dalam (jika tidak terdapat
area nyeri yang diderita atau diketahui). Kemudian, lakukan palpasi secara khusus terhadap
beberapa organ seperti hati, lien, limpa dan lain-lain.1,3

Perkusi
Perkusi berguna untuk mendapatkan orientasi keadaan abdomen secara keseluruhan,
menentukan besarnya hati, limpa, ada tidaknya asites, adanya massa padat atau massa berisi
cairan (kista), adanya udara yang meningkat dalam lambung dan usus, serta adanya udara
bebas dalam rongga abdomen. Suara perkusi abdomen yang normal adalah timpani (organ
berongga yang berisi udara), kecuali di daerah hati (redup; organ yang padat).1,3

Hasil Pemeriksaan Fisik : KU dan TTV dalam batas normal , konjungtiva anemis +/+,
sklera ikterik , Lien : S I – II

Pemeriksaan Penunjang
3
Untuk memperoleh diagnosis kerja, selain hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik,
dibutuhkan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk
menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan hapus darah tepi, dan
pemeriksaan bilirubin (terutama bilirubin indirek). 4
Pada pemeriksaan darah lengkap, yang diperiksa adalah jumlah eritrosit, jumlah
leukosit, kadar hemoglobin, hematokrit, retikulosit dan jumlah trombosit. Patokan nilai
normal dapat berbeda-beda tergantung alat yang dipakai di tiap-tiap laboratorium. Akan
tetapi, nilai rujukan yang dapat digunakan secara universal adalah : 4

 Hitung sel darah merah : Pria (4,7-6,1 juta sel/mikroliter); wanita (4,2-5,4 juta
sel/mikroliter).
 Hitung sel darah putih : 4.000-10.000 sel/mikroliter.
 Hemoglobin : pria (13,8-17,2 mg/dL); wanita (12,1-15,1 mg/dL).
 Hematokrit : pria (40,7%-50,3%); wanita (36,1%-44,3%).
 Hitung trombosit : 150.000-400.000 trombosit /mikroliter.
 Laju Edap Darah (LED) : pria (0-15mm/jam); wanita (0-20mm/jam).
 Hitung jenis leukosit : Neutrofil (55-70%); Eosinofil(1-3%); Basofil (0-1%); Limfosit
(20-40%); Monosit (2-8%).

Melalui pemeriksaan darah lengkap, dapat diketahui Mean Corpuscular Volume


(MCV), Mean corpuscular Hemoglobin (MCH), dan Mean Corpuscular Hemoglobin
Concentration (MCHC). MCV adalah nilai hematokrit dibandingkan dengan jumlah eritrosit.
MCH adalah kadar hemoglobin dibadingkan dengan jumlah eritrosit. Sedangkan MCHC
adalah kadar hemoglobin dibandingkan dengan nilai hematokrit. Ketiga hitungan tersebut
menunjukkan nilai eritrosit rata-rata. Nilai rujukan untuk ketiga hitungan tersebut adalah : 4

 MCV = 82-92 fL
 MCH = 27-37 pg
 MCHC = 32-37%

MCV dan MCH yang rendah merujuk pada morfologi eritrosit mikrositik hipokrom
yang biasa dijumpai pada anemia defisiensi besi. MCV yang konsisten dengan anemia
megaloblastik. Sedangkan MCV dan MCHC yang tinggi mengindikasikan sferositosis.
Apabila pemeriksaan darah lengkap dapat dlakukan secara otomatis, maka red cell distrbution

4
width (RDW) juga dapat ditentukan. Normalny adalah 11,5-14,5 coeffecient of variation.
Peningkatan RDW menunjukkan anisositosis yang merujuk pada anemia hemolitik. Selain
itu, peningkatan retikulosit menunjukkan terjadinya penurunan jumlah eritrosit, namun bukan
5
ciri khas dari anema hemolitik.
Selanjutnya adalah pemeriksaan hapus darah tepi. Yang perlu diperhatikan dari hapus
darah tepi adalah keadaan dari eritrosit, leukosit, dan trombosit. Pada keadaan eritrosit, yang
perlu diperhatikan adalah ukuran, warna dan bentuknya. Sedangkan pada keadaan limfosit
dan trombosit yang perlu diperhatikan adalah jumlahnya. Dari pemeriksaan darah tepi inilah
dapat ditemukan sel-sel yang merupakan ciri khas dari suatu anemia seperti sferosit, sel sabit,
sel target, dan semacamnya. Pada anemia hemolitik secara umum dapat dijumpai eritrosit
normositik, polikromasi, kelainan morfologi, dan dapat pula dijumpai eritrosit berinti. Jumlah
leukosit meningkat dengan pegeseran ke kiri.1,4,5
Pemeriksaan bilirubin. Ada dua jenis bilirubin, direk dan indirek. Bilirubin direk larut
dalam air dan dapat diperiksa melalui urin sedangkan bilirubin indirek tidak larut air dan
hanya dapat diperiksa melalui darah. Pada pemeriksaan serum, nilai normal bilirubin total
adalah 0,2-1 mg%, bilirubin direk adalah 0-0,2 mg%, dan bilirubin indirek adalah 0,2-o,8
mg%. pada kondisi anemia hemolitik, bilirubin serum biasanya <3mg/dL. Nilai yang lebih
tinggi merujuk ke gangguan fungsi hepar ataupun kolestasis.1,4,5
Retikulosit merupakan SDM yang tidak berinti dan belum matang, serta tetap berada
dalam darah perifer selama 24 – 48jam pada saat proses pematangan SDM terjadi. Retikulosit
umumnya lebih besar dari SDM yang matang. Pada hitung retikulosi, retikulosit dalam
sampel darah lengkap dihitung dan ditunjukan dalam presentasi dari hitung SDM total.
Karena metode penghitungan retikulosit manual menggunakan hanya sedikit sampel, nilainya
mungkin tidak tepat dan harus dibandingkan dengan hitung SDM atau hematokrit. 4.5
Tujuan penghitungan retikulosit adalah untuk membantu membedakan anemia
hipoproloferatif dari anemia hiperproloferatif. Juga untuk membantu menilai kehilangan
darah, respons sumsum tulang terhadap anemia, dan terapi anemia. 4,5
Nilai Rujukan Retikulosit membetuk 0,5%-2,5% hitung SDM total. Pada bayi, hitung
retikulosit yang normal berkisar dari 2%-6% pada saat lahir, yang menurun ke kadar dewasa
2
dalam 1-2 minggu. Hitung retikulosit yang rendah menunjukkan sumsum tulang yang
hipoproliferatif (anemia hipoplastik) atau reitropoiesis yang tidak efektif (anemia pernisiosa).
Hitung retikulosit yang tinggi menunjukkan adanya respons sumsum tulang terhadap anemia
yang disebabkan oleh hemolisis atau kehilangan darah. Hitung retikulosit mungkin juga
meningkat setelah terapi anemia defisiensi besi atau anemia pernisiosa. 4,5

5
Untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit dapat digunakan Direct Antiglobulin
Test (Direct Coomb’s test) dan Indirect Antiglobulin Test (Indirect Coomb’s test). Pada
Direct Coomb’s Sel eritrosit pasien dicuci dari protein – protein yang melekat dan
direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoclonal terhadap berbagai imunoglobulin dan
fraksi komplemen, terutama IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah satu atau
kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi aglutinasi.pada anemia hemolitik autoimun
pemeriksaan com direk biasanya positif. Sedangkan pada indirect Untuk mendeteksi
autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan sel – sel reagen.
Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada sel – sel reagen, dan dapat
dideteksi dengan antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi. Pada anemia hemolitik
autoimun, tes DAT (Direct Antiglobulin Test) akan memberikan hasil (+) dan pada IAT
(Indirect Antiglobulin Test) memberikan hasil (+) atau (-). Hasil Coomb’s test juga
memberikan hasil (+) pada anemia hemolitik imun diinduksi obat.4,5

Hasil Pemeriksaan Penunjang : Hb : 9,5 g /dl , Ht : 30% , L : 8900/uL, T: 230.000/uL


MCV: 82 fL , MCH : 30 pg, MCHC : 34% , hitung retikulosit : 6 %

Diagnosis
Berdasarkan dari hasil anamnesis , pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
didapati bahwa pasien wanitaa 25 tahun tersebut mengalami anemia dikarenakan Hb yang
dibawah batas normal . Anemia tersebut dapat disebabkan oleh beberapa penyakit
diantaranya adalah anemia hemolitik autoimun , anemia deffisiensi G6PD, Sickles cells
anemia , anemia hemolitik karena obat , sferositosis herediter dan anemia et causa
perdarahan.

Penyakit Anemia Hemolitik Autoimun

Penyakit Anemia Hemolitik Autoimun ( AIHA) adalah suatu penyakit anemia yang di
sebabkan oleh hemolisis sel-sel darah eritrosit berdasarkan reaksi antigen-antibodi. Yang
berlaku sebagai antigen dalam hal ini yaitu permukaan sel darah merah (SDM). 6
Anemia hemolitik autoimun memiliki banyak penyebab, tetapi sebagian besar
penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) belum jelas. Dikatakan kemungkinan terjadi karena

6
gangguan sentral toleransi dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif
residual. Selain itu Sejumlah faktor dapat meningkatkan penghancuran sel darah merah:
Pembesaran limpa (splenomegali), sumbatan dalam pembuluh darah Antibodi bisa terikat
pada sel darah merah dan menyebabkan sistem kekebalan menghancurkannya dalam suatu
reaksi autoimun, kadang sel darah merah hancur karena adanya kelainan dalam sel itu sendiri
(misalnya kelainan bentuk dan permukaan, kelainan fungsi atau kelainan kandungan
hemoglobin), penyakit tertentu (misalnya lupus eritematosus sistemik dan kanker tertentu,
terutama limfoma) dan obat-obatan (misalnya metildopa, dapson dan golongan sulfa).6

Patofisiologi
Patosiologi disebabkan oleh perusakan se-sel eritrosit yang di perantarai antibody ini
terjadi melalui aktivasi sistem komplemen,aktifasi mekanisme seluler,atau kombinasi
keduanya.6

Aktivasi sistem komplemen


Secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya
membrane sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler (RBClisis-hemoglobin-
ginjal-hemoglobinuria,hemosiderinuria) yang di tandai dengan hemoglobinemia dan
hemoglobinuria. Sistem komplemen akan di aktifkan menuju jalur klasik atau pun jalur
alternative.Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah
IgM,IgG1,IgG2,IgG3.IgM di sebut sebagai agglutinin tipe dingin, sebab antibody ini
berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah
suhu tubuh.Antibodi IgG di sebut agglutinin hangat karena bereaksi dengan anti gen
permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.6
 Aktivasi komplemen jalur klasik . Reaksi di awali dengan aktivitas C1suatu protein
yang di kenal sebagai recognition unit.C1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen
antibody dan menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur
klasik.Fragmen C1 akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b ( di
kenal sebagai C3 convertase).C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan
C3a.C3b mengalami perubahan konformational sehingga mampu berikatan secara
kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen ( sel darah merah berlabel
antibody).C3 juga akan membelah menjadi C3d,g, dan C3c.C3d dan C3g akan berikatan
pada membrane sel darah merah dan merupakan prroduk final aktivasi C3.C3b akan
membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b( convertase).c5 convertase akan
7
memecah menjadi C5a (anflatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur
membrane.Kompleks penghancur membrane terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8,dan
beberapa molekul C9.Kompleks ini akan menyisip ke dalam membrane sel sebagai suatu
aluran transmembran normal akan terganggu.Air dan ion akan masuk ke dalam sel
sehingga sel membengkak dan rupture.6
 Aktivasi komplemen jalur alternatif . Aktifator jalur alternative akan mengaktifkan
C3,dan C3b yang terjadi akan berikatan dengan membrane sel darah merah.faktor B
kemudian melekat pada C3b,dan oleh faktor D faktor B di pecah menjadi Bad an Bb.Bb
merupakan suatu protease serin,dan tetap melekat pada C3b.Ikatan C3bBb selanjutnya
akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan c3b.C5 akan berikatan dengan C3b dan
oleh Bb di pecah menjadi C5a dan C5b.Selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran
membrane.6

Aktivasi seluler yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular


Jika sel darah disensitasi dengan igG yang tidak berikatan dengan komplemen atau
berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktifasi komplemen lebih
lanjut,maka sel darah merah tersebut akan di hancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial.Proses
immine adherence ini sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang di perantarai
sel.Immunoadherence terutama yang di perantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.6

Gejala Klinis
Gejala yang dirasakan oleh penderita AIHA adalah gejala umum anemia (lemah, letih,
lesu), seringkali disertai demam dan jaundice (sakit kuning). Urin berwarna gelap sering
ditemukan. Pada pemeriksaan fisik bisa ditemukan tanda-tanda jaundice, pembesaran limpa,
pembesaran hati, dan pembesaran kelenjar getah bening.
Hemolisis yang berkelanjutan bisa menyebabkan batu empedu yang berpigmen,
dimana batu empedu berwarna gelap yang berasal dari pecahan sel darah merah. Jika
pasien memiliki kelainan lain seperti SLE atau leukemia limfositik kronik, dijumpai
juga gambaran penyaki-penyakit tersebut.6

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium seperti: DL (darah lengkap) dan hapusan darah. Dari DL
bisa dilihat adanya penurunan Hb (anemia) dan hematokrit. Penurunan Hb biasanya berat
dengan kadar kurang dari 7 g/dl. Kadar trombosit dan leukosit biasanya masih normal. Bisa
8
juga didapatkan peningkatan jumlah retikulosit. Pada hapusan darah dapat ditemukan
bentukan eritrosit yang bervariasi (poikilositosis), sferosit, polikromasi dan kadang
autoaglutinasi. Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan peningkatan bilirubin indirek dan
peningkatan kadar LDH. Sedangkan pada urinalisis bisa ditemukan hemoglobinuria. Hasil
pemeriksaan tes coombs direk positif bila terdapat sel eritrosit yang dilapisi oleh IgG, IgG
dan komplemen atau IgA. Jarang sekali disebabkan oleh eritrosit yang dilapisi oleh IgM.
Pada beberapa kasus kita dapat jumpai autoantibodi dari sistem Rhesus (anti c, anti e),
antibodi pada permukaan eritrosit dan antibodi bebas dalam plasma. Pemeriksaan terhadap
antibodi ini yang terbaik dilakukan pada suhu 370C untuk tipe hangat sedangkan tipe dingin
pada suhu 40C.6

Klasifikasi AIHA yaitu :


Anemia Hemolitk Autoimun Tipe Hangat
Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat di mana autoantibodi bereaksi secara
optimal pada suhu 37˚C. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai penyakit lain.
Eritrosit biasanya dilapisi oleh imunoglobulin (Ig), yaitu umumnya imunoglobulin G (IgG)
saja atau dengan komplemen dan karena itu, diambil oleh makrofag RE yang mempunyai
reseptor untuk frakmen FCIgG. Bagian dari membran yang terlapis hilang sehingga sel makin
sferis secara progresif untuk mempertahankan volume yang sama dan akhirnya dihancurkan
secara prematur terutama di limpa. Jika sel dilapisi IgG dan komplemen (C3d, fragmen C3
yang terdegradasi) atau komplemen saja destruksi eritrosit menjadi lebih banyak dalam
sistem RE.6
Anemia Hemolitik AutoImun tipe Dingin
Terjadinya hemolisis diperantarai antibodidingin yaitu aglutinin dingin dan antibodi
Donath-Landsteiner. Kelainan ini secara karakteristik memliki aglutinin dingin IgM
monoklonal. Spesifitas aglutinin dingin adalah antigen I/i. Sebagain besar IgM yang punya
spesifitas tergadap anti-I memiliki VH4-34. Pada umumnya aglutinin tipe dingin ini terdapat
pada titer yang sangat rendah, dan titer ini meningkat pesat pada fase penyembuhan infeksi.
Antigen I/i bertugas sebagai reseptor mikoplasma yang akan menyebabkan perubahan
presentasi antigen dan menyebabkan produksi autoantibodi, Pada limfoma sel B, aglutinin
dingin ini dihasilkan oleh sel limfoma. Aglutinin tipe dingin akan berikatan dengan SDM dan
terjadi lisis langsung dan fagositosis. 6
Paroxymal cold hemoglobinuria

9
penyakit anemia hemolitik yang jarang dijumpai, hemolisis terjadi secara masif dan
berulang setelah terpapar suhu dingin. Katanya penyakit ini dulunya sering ditemukan karena
berkaitan dengan penyakit sifilis. Pada kondisi yang ektrim autoantibodi Donath-Landsteiner
dan protei komplemen berikatan pada sel darah merah. Pada saat suhu kembali ke 370C
terjadilah lisis karena propagasi pada protein-protein komplemen yang lainnya. Akan
memberikan gambaran klinis yaitu: dengan AIHA 2-5%, hemolisis paroksimal disertai
mengigil, panas, mielgia, sakit kepala, hemoglubinuria berlangsung beberap jam. Sering
disertai urtikaria. Laboratorium seperti: hemoglobinuria, sferositosis, eritrofagositos, tes
coombs positif, antibodi Donath-Landsteiner terdisosiasi dari sel darah merah. Dengan
prognosis dan survivalnya, pengobatan penyakit yang mendasarinya akan memperbaiki
prognosisnya. Pengobatan dengan menghindari faktor pencetus. Terus dengan obat gunakan
glukokortikoid dan plenektomi dikatakan tidak begitu memberi manfaat.1,4,6

Epidemiologi
Dilaporkan insidens anemia hemolitik imun sebesar 0,8 / 100.000/ tahun dan
prevalensinya sebesar 17/100.000 . Insiden dari AIHA tipe hangat sekitar 1 dari total 75-
80.000 populasi di USA. AIHA tipe hangat dapat muncul pada usia berapapun, tidak seperti
AIHA tipe dingin yangseringkali menyerang usia pertengahan dan lanjut, atau Paroxysmal
Cold Hemoglobinuria(PCH) yang melibatkan usia kanak.6,7

Penatalaksanaan

Medika Mentosa
Kortikosteroid: 1-1,5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan
menunjukkan responklinis baik (Hmt meningkat, retikulosit meningkat, tes coombs
direk positif lemah, tes coombindirek negatif). Nilai normal dan stabil akan mencapai
pada hari ke- 30 sampai hari ke- 90. Bila ada tanda respon terhadap steroid, dosis diturunkan
tiap minggu 10-20 mg/hari. 6,7
Terapi steroid dosis <30 mg/hari diberikan secara selang 1 hari. Beberapa pasien akan
memerlukan terapirumatan dengan dosis steroid rendah, namun bila dosis perhari melebihi 15
mg/hari untuk mempertahankan kadar Hmt, maka perlu segera dipertimbangkan terapi
dengan modalitas lain. Imunosupresi, Azatioprin 50-200 mg/hari (80 mg/m2), siklofostamid
50-150 mg/hari (60mg/m2).6,7

10
Terapi lain: danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama
steroid. Bilaterjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol
diturunkan menjadi 200-400 mg/hari. Terapi imunoglobulin (400 mg/hari selama 5 hari)
menunjukkan perbaikan pada beberapa pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif
pada beberpa pasien lain. Jadi terapi ini diberikan bersama terapi lain dan responnya bersifat
sementara. Terapi plasmaferesismasih kontroversial.6,7

Non Media Mentosa


Splenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tappering
dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan
menghilangkan tempatutama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa terus
berlangsung setelahsplenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat antibodi
dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan erotrosit yang sama.
Remisi komplit pascasplenektomi mencapai 50-75%, namun tidak bersifat permanen.
Glukokortikoid dosis rendahmasih sering digunakan setelah splenektomi.
Terapi tranfusi: terapi transfusi bukan merupakan kontra indikasi mutlak. Pada
kondisi yangmengancam jiwa (misal Hb < 3 g/dl) transfusi dapat diberikan, sambil
menunggu steroid danimunoglobulin untuk berefek.6,7

Pencegahannya dapat dilihat berdasarkan klasifikasi penyakit. Kalau anemia


hemolitik autoimun itu dengan memilih pasangan hidup yang baik tidak mempunyai gen
yang homosigot atau heterosigot. Supaya memiliki keturunan yang sehat. Sedangkan yang
untuk tipe hangat dan dingin usahakan untuk tidak terlalu sering tepapar pada suhu hangat
atau dingin. Dan harus minum obat yang teratur. Itu saja pencegahan yang dapat dilakukan
karena penyakit ini bersifat autoimmun yang sudah ada pada tubuh pasien.6,7
Prognosis
Hanya sedikit pasien yang bisa sembuh total, sebagian besar memiliki perjalanan
penyakit yang kronis namun terkendali. Survival 70%. Komplikasi bisa terjadi, seperti emboli
paru, infark limpa, dan penyakit kardiovaskuler. Angka kematian 15-25%.6

Penyakit Anemia Sel Sabit (sickle cell anemia)

Anemia sel sabit adalah sejenis anemia kongenital di mana banyak sel darah merah
berbentuk menyerupai sabit.8

11
Epidemiologi
Dikatakan bahwa penyakit ini khusus didapat pada orang-orang negro atau yang
berdarah negro. Sebanyak 16 kasus Hb S yang terjadi di Jakarta (campuran talasemia-HbS
dan trait HbS) ini sangat jarang terjadi. Di Amerika di katakan kasusnya paling banyak,
dimana pembawah sifat diturunkan secara dominan. Insidennya antara orang Amerika
berkulit hitam adalah 8,5%, sedangkan yang statusnya homosigot diturunkan secara resisif
berkisar antara 0,3-1,3%. Individu yang memiliki darah keturunan dari area Afrika tersebut:
mencapai sekitar 10% keturunan Afro-Amerika membawa sifat ini, dan kira-kira satu dari
setiap 375 anak Afro-Amerika lahir dengan penyakit ini.8

Etiologi
Disebabkan karena adanya mutasi pada rantai β-globin dari hemoglobin, yang
menyebabkan pertukaran asam glutamat (suatu asam amino) dengan asam amino hidrofobik
valin pada posisi rantai ke 6. Gen yang bertanggung jawab menyebabkan Sickle call anemia
merupakan gen autosom yang dapat ditemukan di kromosom nomor 11. Penggabungan dari
dua subunit α-globin normal dengan dua subunit β-globin mutan akan membentuk
hemoglobin S (HbS). Sehingga pada kondisi kadar oksigen yang rendah, serta ketidakhadiran
asam amino polar pada posisi ke 6 dari rantai β-globin menyebabkan terbentuknya ikatan
non-kovalen di hemoglobin yang menyebabkan perubahan bentuk dari sel darah merah
menjadi bentuk sabit selain itu menurunkan elastisitasnya.8

Patofisiologi
Proses dimana dapat terbentuknya sel sabit ini karena terjadinya tekanan oksigen yang
rendah atau berkurang terutama pada Ph yang rendah. Selain itu sel sabit ini memiliki sifat
kurang melarut pada bentuk deoxygeneted sehingga viskositas darah akan meningkat dan
mengakibatkan statis serta obstruksi aliran darah dalam sistem kapiler sehingga terjadi oklusi
vaskuler dan edema perivaskuler menyebabkan rasa sakit dan pembengkakan organ yang
bersangkutan. Sel darah merah pada anemia sel sabit ini kehilangan kemampuan untuk
bergerak dengan mudah melewati pembuluh yang sempit dan akibatnya terperangkap di
dalam mikrosirkulasi. Hal ini menyebabkan penyumbatan aliran darah ke jaringan di
bawahnya, akibatnya timbul nyeri karena iskemia jaringan. Meskipun bentuk sel sabit ini
bersifat reversible atau dapat kembali ke bentuk semula jika saturasi hemoglobin kembali
normal, namun sel sabit ini sangat rapuh dan banyak yang sudah hancur di dalam pembuluh

12
yang sangat kecil, sehingga menyebabkan anemia. Sel-sel yang telah hancur disaring dan
dipindahkan dari sirkulasi ke dalam limpa. Kondisi ini mengakibatkan limpa bekerja lebih
berat. Terbentuk jaringan parut dan kadang-kadang infrak (sel yang sudah mati) dari
berbagai organ, terutama limpa dan tulang, dapat terjadi. Disfungsi multiorgan sering terjadi
setelah beberapa tahun. Kondisi-kondisi yang dapat menstimulasi sel sabit antara lain
hipoksia, ansietas, demam, dan terpajan dingin.6,8

Gejala klinis
Kebanyakan pada kasus anemia sel sabit ini disertai anemia yang agak berat. Namun
pada umumnya tidak terlalu menjadi masalah karena dikatakan suplai oksigen ke jaringan
masih baik saja. Karena shift ke arah kanan dan adanya output jantung yang meninggi. Kalau
anemia yang sudah berat akan terdapat ikterus, ada episode artralgia dengan demam,
serangan sakit perut dan muntah, sakit pinggang dan sakit pada sendi-sendi. Trombosis
serebral dapat mengakibatkan hemiplegia, gangguan urat syaraf kranial dan bisa ada kelainan
neurologis lainnya. Pertumbuhan tubuh dapat terganggu biasanya badan pendek dengan kaki
dan tangan yang panjang disertai tengkorak berbentuk menara.8

Pemeriksaan laboratorium
Hemoglobin menurun(6-9 g/dL), jumlah sel eritosit biasanya antara 2-3 juta/ul.
Pemeriksaan laboratorium yang patognomonik adalah berupa sickling pada sedian tetes darah
yang tidak di warnai. Pemeriksaan penyaring yang capat yang tidak memerlukan mikroskop
hanya berdasarkan perbedaan daya larut dari Hb S. Jumlah retikulosit biasanya meninggi (10-
40%) dan sering dijumpai sel normoblas dalam darah tepi. Nilai konsentrasi hemoglobin
eritrosit rata-rata (MCHC) dapat meningkat hingga 40g/dL, terutama bila sickling bersifat
ireversibel. Laju endap darah (LED) akan menurun, jumlah leukosit akan meningkat
mencapai 25.000/ul, trombosit juga akan meningkat. Pada sum-sum tulang akan hiperplastik.
Kadar bilirubin dalam serum neninggi (2-4 mg/dL), sehingga ekskresi urobilinogen melalui
feses dan urin meningkat. Kadar besi dalam serum bisa normal atau meningkat juga. LDH
semuanya jelas meningkat dan haptoglobin tidak ada. Hb dalam plasma sedikit meninggi dan
survival sel eritrosit sekitar 10 hari.8

Penatalaksanaan

13
Orang dewasa dengan anemia sel sabit sebaiknya di imunisasi terhadap pneumonia
karena pneumokok. Tiap infeksi harus di obati dengan antibiotik yang sesuai. Pengobatan
hanya bersifat simtomatik saja. Tranfusi darah hanya diberikan pada anemia yang berat atau
krisis aplastik. Rehidrasi obat-obat analgetik perlu diberikan juga. Kadar Hb sebaiknya di
naikan juga hingga 12-14 g/dL. Jenis obat lain yang dapat diberikan seperti: pirasetam telah
digunakan dengan sukse untuk mengobati kasus-kasus tertentu anemia sel sabit. Dengan
dosis yang diberikan adalah 3x1 g/ hari, secara oral namun akan lebih efektif bila diberikan
secara IM dan IV karena obat ini nontoksik. Selain itu yang penting juga dengan penyuluhan
sebelum memilih pasangan hidup untuk mencegah keturunan yang homosigot dan
mengurangi kemungkinan heterosigot.8

Komplikasi dan Prognosis


Terjadi penurunan faal paru-paru dan ginjal yang berlangsung perogresif. Kolelitiasis,
infrak pada tulang, osteomielitis dan hematuria berat yang dapat kambuh. Hanya sedikit saja
kasus ini yang dapat mencapai umur 40 tahun. Jadi prognosisnya buruk.8

Penyakit defesiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD)

Defesiensi G6PD adalah penyakit turunan yang dibawah oleh kromosom X (X-linked
disease). Dimana pertama kali terkana yaitu pria yang hemizigot yang kromosom X-nya
mengandung gen defesiensi G6PD. Namun bisa juga di jumpai pada wanita yang homozigot.
Wanita yang heterozigot biasanya hanya berupa karier, karena pada sel eritrositnya hanya di
jumpai satu sel defesiensi G6PD sedangkan yang satunya sel normal. Maka masih dapat
mengkompensasi kebutuhan enzim G6PD tersebut. 9
Menurut WHO dibagi atas 5 kelas yaitu: 1. Klas I: varian G6PD yang defisiensi
enzimnya sangat berat (aktivitas enzim kurang dari 10% dari normal) dengan anemia
hemolitik kronis. 2. Klas II: varian G6PD yang defisiensi enzimnya cukup berat (aktivitas
enzim kurang dari 10% dari normal) namun tidak ada anemia hemolitik kronis. 3. Klas III:
varian G6PD dengan aktivitas enzimnya antara 10%-60% dari normal dan anemi hemolitik
terjadi bila terpapar bahan oksidan atau infeksi. 4. Klas IV: varian G6PD yang tidak
memberikan anemia hemolitik atau penurunan aktivitas enzim G6PD. 5. Klas V: varian

14
G6PD yang aktivitas enzimnya meningkat. Varian klas IV dan klas V secara biologis,
genetik dan antropologis tidak didapat gejala klinik.9

Epidemiologi
Menurut WHO scientific Group, diperkirakan lebih kurang 100 juta penduduk didunia
mendrita penyakit ini, dengan angka yang cukup tinggi diberbagai negara di afrika, misalnya
Angola 17-27%, dan Gana 24%. Di India didapatkan 1,37%, di Irak dan Turki dilaporkan
sebesar 12,4% dan 7,6%. Prevalensi penderita defisiensi G6PD cukup tinggi di dunia, Asia
Tenggara maupun di Indonesia. Terutama di daerah endemis malaria, kelainan ini dapat
memberikan keuntungan selektif bagi individu penderita untuk survive terhadap malaria.9

Etiologi
Untuk itu ada 2 faktor yang bisa mengakibatkan seseorang mengalami defesiensi
enzim G6PD (glukosa 6 fosfat dehidrogenase) yaitu: 1. Kekurangan jumlah molekul enzim
G6PD. 2. Kekurangan aktivitas enzim G6PD. 9

Patofisiologi
Energi utama dihasilkan oleh proses glikolisis anaerob. Sebanyak 95% glukosa
dimetabolisme menjadi asam laktat, sisanya 5% melalui siklus fosfat pentosa akan mereduksi
nikotinamid adenin dinukleotida fosfat ( NADP) menjadi reduced NADP (NADPH). NADPH
ini akan berperan dalam mempertahankan jumlah reduced glutathion yang cukup dan berguna
untuk melindungi sel eritrisit dari zat oksidan. Jadi kalau enzim tersebut berkurang akan
menimbulkan gangguan pada pembentukan NADPH sehingga berkurangnya kadar reduced
8,9
glutathion maka sel eritrosit akan sensitif terhadap zat oksidan dan mengalami hemolisis.
Mekanisme terjadinya hemolisis yaitu. Apabila aktivitas enzim G6PD dibawah nilai kritis,
bahkan oksidatif internal atau eksternal akan menimbulkan berkurangnya produksi NADPH
dan GSH. Bersama dengan ini terjadi presipitasi hemoglobin denaturasi dan pembentukan
Heinz body. Produk penghancur hemoglobin ini akan mengikat membran sel eritrosit,
sehingga menjadi lisis. Namun dikatakan juga bahwa ada pengaruh langsung dari zat oksigen
terhadap membran sel eritrosit sehingga menjadi lisis. Dan keadaan hemolisis biasanya dapat
berhenti sendiri, karena masih ada sel eritrosit mudah yang mempunyai aktivitas enzim
G6PD yang relatif tinggi dibandingkan dengan sel eritrosit yang tua.9
Selain itu ada obat-obatan yang dapat bersifat oksidan sebagai berikut: golongan
antipiretik dan analgetik, asam salisilat, asetalinid. Golongan sulfa, sulfanilamid, sulfasetamid

15
dan lain-lain. Golongan antimalaria, primakuin, pimakuin, atebrin, kuinin, pentakuin.
Golongan anti bakterial non-sulfonamid, kloramfenikol, nitrofurason. Golongan lain,
probenesid, isoniasid, vitamin K, kuinidin dan dimetkaptrol. Ahkir-ahkir ini sudah dilaporkan
pula bahwa radiasi, obat-obat anti kanker seperti BCNU dan doksorubisin, keracunan besi, air
minum yang diberi clorine dioxide sebagai desinfektan, hapatitis virus, obat tradisional Cina,
dapat menimbulkan hancurnya sel eritrosit penderita defesiensi G6PD.9

Gejala klinis
Menifestasi klinis dari defesiensi G6PD ini sangat bervariasi mulai dari yang paling
ringan tanpa gejala klinis sampai yang paling berat berupa hemolitik kronik dan ikterus
neonatus spontan. Keadaan tergantung pada derajat kekurangan dan aktivitas enzim G6PD
tersebut. Karena kurangnya enzim ini, eritrosit jadi lebih mudah mengalami penghancuran
(hemolisis). Terjadinya hemolisis ditandai dengan demam yang disertai jaundice (kuning)
dan pucat di seluruh tubuh dan mukosa. Urin juga berubah warna menjadi jingga-kecoklatan.
Ditemukan tanda syok (nadi cepat dan lemah, frekuensi pernapasan meningkat), dan tanda
kelelahan umum.9

Pemeriksaan laboratorium
Pada sediaan darah tepi akan ditemukan polikromasi poikilositosis, basophylic
stippling, dan heinz bodies.9

Penatalaksanaan
Pengobatan untuk penyembuhan penyakit belum ada. Tindakan-tindakan yang perlu
dilakukan untuk mencegah atau menanggulangi penyakit dengan defesiensi G6PD yaitu: 1.
Menghindari pemakaian obat-obatan yang bersifat aoksidan dan infeksi pada kasus-kasus
dnegan defesiensi G6PD. 2. Dengan mengadakan srreening test pada pasangan-pasangan
yang ini menikah terutama pada daerah yang tinggi prevalensi defesiensi G6PD. Tes
penyaringan dan enzymatic assay, yaitu: briliant cresyl blue linked test, methemoglobine test.
Enzymatic assey dilakukan dengan cara T.P.N linked test, DICP linked assey.9

Komplikasi dan Prognosis

16
Bila terpapar bahan oksidan, infeksi atau makan fava beans mempunyai potensi
terjadinya anemia hemolitik, ikterus neonatorum (neonatal jaundice) yang sering
mengakibatkan kerusakan syaraf permanen dan dapat menyebabkan kematian. Selain itu
dapat juga menimbulkan katarak, kelelahan otot dan infeksi berulang.9

Anemia hemolitik imun diinduksi obat

Pada kasus ini ada beberapa cara obat dapat menimbulkan anemia hemolitik imun.
Hapten atau penyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan
kompleks, induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit tanpa ada lagi obat
pemicu,serta oksidasi hemoglobin.6,7,9

Patofisiologi
Penyerapan atau absorpsi protein nonimunologis terkait obat akan menyebabkan tes
coombs positif tanpa terjadi kerusakan pada sel eritrosit. Pada mekanisme hapten, obat akan
melapisi sel eritrosit. Dengan kuat antibodi terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan
obat pada permukaan sel eritosit. Sel eritrosit yang teropsonisasi oleh obat tersebut akan
dirusak dilimpa.6,7,9
Antibodi ini bila dipisahkan dari eritrositnya hanya bereasksi dengan reagen yang
mengandung eritrosit berlapis obat yang sama misalnya obat penisilin. Sedangkan
mekanisme pembentukan kompleks, melibatkan obat atau metabolit obat. Tempat ikat obat
yaitu pada permukaan sel target, antibodi dan aktifasi komplemen. Antibodi akan melekat
pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat dan sel target itu
lemah, dan antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat ataupun membran
eritrosit. 6
Beberapa antibodi tersebut memiliki spesifitas terhadap antigen golongan darah
tertentu seperti: Rh, Kell,Kidd atau I/i. Pemeriksaan coombs biasanya positif. Setelah aktifasi
komplemen terjadi hemolisis intravaskuler, hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Biasanya
pada obat-obat kinin, kuinidin, sulfonamide, dulfonylurea dan tiazide. Selain itu banyak obat
yang dapat menginduksi pembentukan autoantobodi terhadap sel eritrosit autolog, seperti
obat methyldopa.6
Obat ini bersirkulasi didalam plasma akan menginduksi autoantibodi spesifik
terhadap antigen Rh pada permukaan sel darah merah. Jadi yang melekat pada permukaan sel

17
darah merah adalah autoantibodi, obat tidak melekat. Sel darah merah bisa mengalami trauma
oksidasif. Oleh karena hemoglobin mengikat oksigen maka bisa mengalami oksidasi dan
mengalami kerusakan akibat zat oksidasi. Eritrosit yang sudah tua mudah mengalami
oksidatif. Tanda hemolisis karena suatu proses oksidatif yaitu: ditemukan methemoglobin,
sulfhemoglobin dan heinz badies, blister cell, bites cell dan eccentrocytes. Contoh obatnya itu
nitrofurantoin, phenazopyridin, aminosalicylic acid. Pasien dengan terapi sefalosporin
biasanya tes coombsnya akan positif karena absorpsi nonimunologis, immunoglobin,
komplemen, albumin, fibrinogen dan plasma protein lain pada membran sel eritrosit. 6,7

Epidemiologi
12,4% dari penderita anemia hemolitik imun dapat disebabkan oleh obat. Antara
kasus anemia hemolitik yang ada hubungannya dengan obat, metildopa mengambil peranan
terbesar. Alfa metildopa (aldoment) dan beberapa obat lainnya seperti: kuinidin, sulfanilamid,
isoniazid dan banyak lagi bila diberika bersama sekurang-kurangnya 3 bulan dapat
mengakibatkan tes reaksi antiglobulin positif yang dose dependent pada 15-20% penderita-
6
penderita tersebut. Dan 1% pada penderita akan mendapat anemia hemolitik.

Gambaran klinis
Apabila riwayat pemakaian obat-obat tertentu positif. Pasien yang timbul hemolisis
melalui mekanisme hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi sebagai hemolisis
ringan sampai sedang. Bila sudah sampai pada kompleks yang berperan maka hemolisis akan
terjadi secara berat, mendadak, dan disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar
obat tersebut, maka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemapamar dengan dosis tunggal.6

Pemeriksaan laboratorium
Terlihat anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes coombs positif. Lekopenia,
trombositopenia, hemoglobinemia, hemoglobinuria. 6

Penatalaksanaan
Dengan menghentikan pemakain obat-obat tersebut yang menjadi pemicu, terjadinya
hemolisis pada sel darah merah dapat mengurangi. Obat kortikosteroid dan tranfusi darah
dapat diberikan pada kondisi yang berat.6

18
Anemia pasca perdarahan

Anemia pasca perdarahan dapat disebabkan oleh perdarahan ekternal, misalnya: ada
trauma, perdarahan pasca bedah. Ataupun perdarahan interna, misalnya: perdarahan pada
kehamilan ektopik terganggu, perdarahan rongga abdomen, dan lain-lainnya. Di katakan pada
seorang pria dewasa yang sehat, kehilangan darah melebihi 10% ( sekitar 500mL) baru akan
menimbulkan gejala klinis. Bila perdarahan terjadi secara perlahan-lahan selama beberapa
jam atau beberapa minggu, pasien dapat beradaptasi sampai kehilangan darah mencapai
sekitar 50% dari jumlah total eritrosit. Sebaliknya bila perdarahan terjadi secara akut,
kehilangan darah sebanyak 40-50% akan diikuti dengan syok berat sampai kematian.8

Gejala klinis
Pasien dengan timbul rasa lelah, pusing, haus, berkeringat, sinkop sampai syok atau
bisa juga sampai meninggal dunia. Gejala yang timbul ini biasanya tergantung dari beberapa
faktor yaitu: jumlah darah yang hilang, cepat atau lambatnya perdarahan yang terjadi, lokasi
perdarahan, dan adanya penyakit sebelum perdarahan. Bila terjadi anemia ringan-sedang,
terjadi hipoksia ringan dan terjadi perangsangan proses hemopoiesis dalam sumsum tulang.8

Patofisiologi
Segera setelah perdarahan, volume darah total akan berkurang tetapi kadar HB dan
nilai Ht belum menurun yaitu sesuai dengan keadaan sebelum terjadi perdarahan. Dua puluh
jam samapi 60 jam setelah perdarahan, terjadi perpindahan cairan dari ruang ektrasel kedalam
ruang intravaskuler (stadium hemodilusi). Pada saat itulah jumlaj eritrosit/uL, kadar Hb dan
nilai Ht dapat menurun. Stadium hemodilusi terjadi selama 1-3 hati setelah perdarahan dan
timbul anemia normositik normokrom. Dengan demikian anemia dengan pasca perdarahan
akan merangsang sumsum tulang melalui eritropoetin (EPO). 8
Peningkatan kadar EPO plasma terjadi 6 jam setelah perdarahan dan mencapai puncak
pada hari ke 2 dan 3. Bila sumsum tulang dalam keadaan normal, akan terjadi diferensiasi
stem sel menjadi sel-sel yang selanjutnya akan membentuk sel darah merah. Regenerasi
erotrosit terjadi 6-12 jam setelah perdarahan dan akan tampak sebagai polikromasi dan
erotrosit berinti di darah tepi. Jumlah retikulosit akan meningkat. Peningkatannya dapat
mencapai 5-10%, tergantung cadangan besi tibuh. Peningkatan retikulosit terjadi pada hari ke
2 dan 3, mencapai puncak pada hari ke 4-6 dan akan normal kembali pada hari ke 10-14

19
pasca perdarahan. Pada sedian hapus darah tepi akan tampak polikromasi sehingga hasil
pemeriksaan volume eritrosit rata-rata (VER) meningkat. Selain makrositosis dapat di jumpai
pulaleukositosis, neutrofilia dan trombositosis. 8
Bila tidak terjadi perdarahan ulang dan semua bahan untuk proses eritropoisis cukup,
maka semua nilai parameter hematologi dapat kembali normal dalm 3-6 minggu. Namun
beberapa jam setelah perdarahan, jumlah leukosit akan meningkat, dapat mencapai 20.000/uL
darah seperti batang dan metamiolosit. Terjadi juga trombositosis yang dapat mencapai
500.000-1 juta/uL darah. Pada pemeriksaan sumsum tulang di jumpai yang hiperseluler dan
aktivitas ketiga seri sel darah meningkat. Pada perdarahan yang internal dapat terjadi
peningkatan kadar bilirubin indirek serum. Keadaan ini terjadi akibat dari reabsorpsi hasil
eritrosit kedalam sirkulasi darah.8

Penatalaksanaan
Pulihkan volume darah dengan memberikan infus plasma expanders. Indikasi
diberikan tranfusi darah kalau Hbnya kurang dari 7g/dL. Kemudian pemberian 1 unit (PCR)
packed red cell dapat meningkatkan nilai Ht 3% atau meningkatkan Hg 1g/dL.8

Sferositosis herediter (SH)

Merupakan salah satu jenis anemia hemolitik yang disebabkan oleh kerusakan pada
membrane eritrosit . Kerusakan terjadi sebagai akibat defek molecular pada satu atau lebih
protein sitoskeletal sel darah merah yang terdiri dari spektrin , ankirin , band 3 protein , dan
protein 4.2. 10
Sferositosis merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai di Eropa dengan
insidens 1 kasus per 500 jiwa. Lembaga biologi molecular ejikman menemukan 12 pasien
yang terbukti SH sejak tahun 2002 sampai 2008 . Sebagian besar kasus SH diturunkan
secara autosomal dominan , namun 25% kasus disebabkan oleh mutase spontan atau
diturunkan secara resesif . 10

Patofisiologi
Membran eritrosit terdiri atas lapisan lemak dan protein yang saling berinteraksi.
Lapisan protein pada membran eritrosit dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu protein

20
integral dan protein perifer. Protein integral melekat pada lapisan lemak membran sel karena
interaksi hidrofobik. Glikoporin dan band 3 protein adalah protein terbanyak dalam kelompok
ini. Protein perifer disebut juga protein sitoskeletal, terdapat dalam sitoplasma dari lapisan
lemak membran eritrosit. Protein perifer terdiri atas spektrin, aktin, protein 4.1, protein 4.2
(palidin), ankirin, adusin, tropomiosin, dan tropomodulin . Defek selular primer pada SH
adalah berkurangnya luas permukaan membran relatif terhadap volume intraselular sel
eritrosit. Sehingga menyebabkan bentuk sel menjadi bulat dan deformabilitas sel berkurang.
Selain itu, defek protein pada membran sel meningkatkan fragilitas membran sehingga sel
menjadi mudah lisis terutama di limpa. Limpa memiliki pH dan kadar glukosa yang rendah
serta kadar toksin radikal bebas yang tinggi yang dapat menyebabkan kerusakan pada
membran eritrosit. Defek molekular yang terjadi pada SH adalah defisiensi spektrin, ankirin,
band 3 protein atau palidin pada membran sel. Kualitas dan kuantitas membran eritrosit
pasien SH berkurang karena defisiensi protein-protein tersebut.10
Sferositosis herediter diklasifikasikan menjadi ringan, sedang, dan berat atas dasar
kadar hemoglobin, retikulosit dan bilirubin. Proses hemolisis pada SH terjadi ekstravaskular
yaitu di limpa sehingga ukuran limpa dapat menjadi indikator derajat anemia pasien SH.10

Gejala klinis
Splenomegali dijumpai pada semua kasus SH, namun pada umumnya baru ditemukan
pada anak besar dan dewasa. Usia eritrosit pada SH menjadi lebih pendek, sehingga jumlah
eritrosit yang beredar menurun. Kadar eritropoietin akan meningkat dan merangsang aktivitas
sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit. Aktivitas sumsum tulang yang meningkat
ditandai dengan peningkatan jumlah retikulosit dalam darah. Pada pemecahan hemoglobin
terbentuk bilirubin indirek. Kadar bilirubin indirek lebih dari 3 mg/dL menunjukkan
hemolisis yang berat. Enam puluh lima persen pasien SH mengalami ikterus neonatorum dan
beberapa kasus di antaranya memerlukan transfusi tukar.10
Pasien menunjukkan gejala klinis anemia hemolitik yang sesuai dengan SH yaitu
pucat, riwayat ikterus neonatorum, dan splenomegali. Gejala tersebut sesuai dengan laporan
bahwa anemia, splenomegali dan ikterus neonatorum merupakan kelainan yang paling sering
ditemukan pada SH.10

Pemeriksaan laboratorium
21
Pemeriksaan laboratorium awal yang dilakukan pada anemia meliputi pemeriksaan
darah tepi lengkap termasuk retikulosit. Anemia dengan peningkatan retikulosit sering
ditemukan pada anemia hemolitik termasuk SH. Derajat anemia pada SH bervariasi mulai
dari ringan (Hb 11-15 g/dL) sampai berat (Hb 6-8 g/ dL). Nilai MCHC meningkat hingga
35%-38% pada sebagian besar pasien SH. Kombinasi pemeriksaan MCHC >35 g/dL dan Red
cell Distribution Width (RDW) >14% mempunyai sensitivitas 63% dan spesifisitas hingga
100% (Tabel 2). Pada gambaran darah tepi SH ditemukan sferosit dalam jumlah banyak.
Sferosit adalah sel eritrosit berbentuk bulat, tanpa central pallor dengan ukuran yang lebih
kecil daripada eritrosit normal . Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan adalah uji
fragilitas osmotik (resistensi NaCl). Fragilitas eritrosit pasien SH akan meningkat, sehingga
jumlah sel yang lisis akan lebih banyak dibandingkan control.10

Penatalaksanaan
Tala laksana SH secara garis besar sama dengan anemia hemolitik pada umumnya.
Asam folat diberikan pada pasien anemia hemolitik kronis untuk merangsang eritropoiesis,
namun tidak ada bukti kuat yang mendukung suplementasi asam folat pada SH. Walaupun
demikian, asam folat dibutuhkan pada pasien SH dengan anemia berat mengingat
kemungkingan defisiensi pada keadaan tersebut. Dosis yang direkomendasikan pada SH
dengan anemia sedang sampai berat 2,5 mg/hari untuk anak di bawah 5 tahun dan 5 mg/hari
untuk usia lebih tua. 10
Transfusi rutin diberikan pada pasien SH dengan anemia berat, krisis aplasia, dan
hipersplenisme. Pasien pernah mengalami anemia berat sehingga membutuhkan transfusi
darah merah, namun dalam pengamatan selanjutnya kadar Hb pasien berkisar 8-9 g/dL,
sehingga tidak dilakukan transfusi secara rutin. Kontrol teratur bagi pasien SH sangat
penting, demikian pula edukasi pada orangtua serta tindak lanjut terhadap keadaan umum,
pertumbuhan, ukuran limpa dan pemantauan terhadap komplikasi. Hemolisis kronis yang
terjadi pada SH merupakan faktor risiko terjadinya kolelitiasis. Komplikasi lain yang dapat
terjadi adalah hemosiderosis atau hemokromatosis akibat transfusi darah berulang. Oleh
karena itu pemeriksaan berkala kadar besi harus dilakukan terutama pada SH berat.
Splenoktomi dilakukan pada kasus berat .10

Prognosis
Sebagaimana pada sebagian besar pasien SH, prognosis pasien baik karena anemia
yang dialami masih dapat dikompensasi oleh sumsum tulang.10

22
Kesimpulan

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik , pasien wanita 25 tahun tersebut
mengalami anemia , dilihat dari hasil yang didapati yaitu pemeriksaan : konjungtiva anemis,
sklera ikterik, lien schufner 1-2, Hb: 9,5, Ht: 30, leukosit: 8900, trombosit: 23000, MCV: 82,
MCH: 30, MCHC: 34 dan retikulosit: 6%.wajah terlihat agak pucat. Pasien tidak merasa
demam, mual, muntah, BAK frekuensi serta warna dalam batas normal, dan BAB frekuensi,
warna, konsistensi masih dalam batas. Akan tetapi untuk penentuan working diagnosis
terlebih mencari etiologi dari penyebab anemia pada kasus ini , perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang yang lebih detail lagi untuk menyingkirkan Diferrential diagnosis yang ada.

Daftar Pustaka

1. Bakta IM . Pendekatan klinis terhadap pasien anemia . Dalam : Buku ajar ilmu
penyakil dalam. Jilid 1 .Edisi VI. Jakarta : Interna Publishing ;2014 .h. 2575-7
2. Supartondo, Setiyohadi B : Anamnesis . Dalam . AW, Setiohadi B, Alwi I,
Simadibrata M , Setiati S [editor]. Buku ajar ilmu penyakil dalam. Jilid 1 .Edisi VI.
Jakarta : Interna Publishing ;2014.h.25-8
3. Morton PG . Panduan pemeriksaan kesehatan dengan dokumentasi soapie . Edisi 2 .
Jakarta : EGC ; 2003.h.54
4. Price, Sylvia A. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: Penerbit EGC; 2005. h.256.
5. Atul BM, Victor H. At a glance hematologi. Edisi ke-2.Jakarta:Penerbit Erlangga;
2006. h.19.

23
6. Parjono E, Hariadi KWT. Anemia hemolitik autoimun .Dalam : Setiati S ,Alwi I ,
Sudoyo AW, Simadibrata MK , Setiyohadi B , Syam AF [ editor] . Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi 6. Jakarta : Interna Publishing; 2014. h. 2608 - 13
7. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W, Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi ke-3.Jilid 1.Jakarta:Media Aesculapius;2008. Hal 550-2.
8. Sudiono H , Iskandar I , Edward H , halim SK , Kosasih R . Penuntun patologi klinik
hematologi . Jakarta : Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UKRIDA ; 2014 .h
.121-2
9. Rinaldi I , Sudoyo AW . Anemia hemolitik nonimun . Dalam : Setiati S ,Alwi I ,
Sudoyo AW, Simadibrata MK , Setiyohadi B , Syam AF [ editor] . Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi 6. Jakarta : Interna Publishing; 2014. h. 2615-7
10. Sari TT , Ismail IC . Sferositosis herediter : laporan kasus . Sari Pediatri
2009;11(4):298-304

24

Anda mungkin juga menyukai