Anda di halaman 1dari 16

PELANGGARAN ETIKA PROFESI DALAM MALPRAKTEK

KESEHATAN
Untuk memenuhi tugas ilmu filsafat

Disusun Oleh :

Cellia Riantiany. H 20090317020


M. Romdhani
Setyo

DOSEN:

MAGISTER MANAJEMEN RUMAH SAKIT


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum, dengan
berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhannya tentang perlindungan
hukum menjadikan dunia pengobatan bukan saja sebagai hubungan keperdataan,
bahkan sering berkembang menjadi persoalan pidana. Banyak persoalan-
persoalan malpraktek yang kita jumpai, atas kesadaran hukum pasien maka
diangkat menjadi masalah pidana. Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu
pemikiran dan langkah-langkah yang bijaksana sehingga masing-masing pihak
baik dokter maupun pasien memperoleh perlindungan hukum yang seadil adilnya.
Membiarkan persoalan ini berlarut-larut akan berdampak negativ terhadap
pelayanan medis yang pada akhirnya akan dapat merugikan masyarakat secara
keseluruhan. Memang disadari oleh semua pihak, bahwa dokter hanyalah manusia
yang suatu saat bisa salah dan lalai sehingga pelanggaran kode etik bisa terjadi,
bahkan mungkin sampai pelanggaran norma-norma hukum. Soerjono Soekanto
dan Kartono Muhammad berpendapat bahwa belum ada parameter yang tegas
tentang batas pelanggaran kode etik dan pelanggaran hukum.
Belum adanya parameter yang tegas antara pelanggaran kode etik dan
pelanggaran didalam perbuatan dokter terhadap pasien tersebut, menunjukan
adanya kebutuhan akan hukum yang betul-betul diterapkan dalam pemecahan
masalah-masalah medik, yang hanya bisa diperoleh dengan berusaha memahami
fenomena yang ada didalam profesi kedokteran.
Sekalipun pasien atau keluarganya mengetahui bahwa kualitas pelayanan
yang diterimanya kurang memadai, seringkali pasien atau keluarganya lebih
memilih diam karena kalau mereka menyatakan ketidak puasannya kepada dokter,
mereka khawatir kalau dokter akan menolak menolong dirinya yang pada akhirnya
bisa menghambat kesembuhan sang pasien. Walapun demikian tidak semua
pasien memilih diam apabila pelayanan dokter tidak memuaskan dirinya ataupun
keluarganya terutama bila salah satu anggota keluarganya ada yang mengalami
cacat atau kematian setelah prosedur pengobatan dilakukan oleh dokter.
Berubahnya fenomena tersebut terjadi karena perubahan sudut pandang terhadap
dokter dengan pasiennya.
Kedudukan pasien yang semula hanya sebagai pihak yang bergantung
pada dokter dalam menentukan cara penyembuhan (terapi) kini berubah menjadi
sederajat dengan dokter. Dengan demikian dokter tidak boleh lagi mengabaikan
pertimbangan dan pendapat pihak pasien dalam memilih cara pengobatan
termasuk pendapat pasien untuk menentukan pengobatan dengan operasi atau
tidak. Akibatnya apabila pasien merasa dirugikan dalam pelayanan dokter maka
pasien akan mengajukan gugatan terhadap dokter untuk memberikan ganti rugi
terhadap pengobatan yang dianggap merugikan dirinya. Dokterpun bereaksi,
tindakan-tindakan penuntutan dipengadilan itu mereka anggap sebagai ancaman.
Penerapan hukum dibidang kedikteran dianggap sebagai intervensi hukum.
Mereka mengemukakan bahwa KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) sudah
cukup untuk mengatur dan mengawasi dokter dalam bekerja, sehingga tidak perlu
lagi adanya intervensi hukum tersebut. Lebih jauh dari itu kekhawatiran paling
utama adalah profesi kedokteran akan kehilangan martabatnya manakala diatur
oleh hukum. Dokter merasa resah dan merasa diperlakukan tidak adil sehingga
mereka menuntut perlindungan hukum agar dapat menjalankan profesinya dalam
suasana tentram. Sampai sekarang yang mereka persoalkan adalah perlindungan
hukum dan bukan mengenai masalah tanggung jawab hukum serta kesadaran
hukum dokter dalam menjalankan profesinya. Hal ini menunjukan kurangnya
pengertian mengenai Etika dan Hukum dalam kalangan dokter. Demikian juga
kerancuan pemahaman atas masalah medical malpractice, masih sering dianggap
pelanggaran norma etis profesi saja yang tidak seharusnya diberikan sanksi
ancaman pidana.
Kenyataan menunjukan bahwa kemajuan teknologi memang mampu
meningkatkan mutu dan jangkauan diagnosis (penentuan jenis penyakit) dan terapi
(penyembuhan) sampai batasan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Namun demikian tidak selalu mampu menyelesaikan problema medis seseorang
penderita, bahkan kadang-kadang muncul problem baru dimana untuk melakukan
diagnosa dokter sangat bergantung pada alat bantu diagnosis. Patut disadari
bahwa ilmu dokter bukanlah ilmu pasti, menentukan diagnosis merupakan seni
tersendri karena memerlukan imajinasi setelah mendengar keluhan-keluhan
pasien dan melakukan pengamatan yang seksama terhadapnya. Hipocrates
mengatakan bahwa ilmu kedokteran merupakan perpaduan antara pengetahuan
dan seni (science and art) yang harus diramu sedemikian sehingga menghasilkan
suatu diagnosa yang mendekati kebenaran.
Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan
pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan
medis yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual antara dokter dengan
pasien yang membutuhkan penyembuhan. Dalam hubungan antara dokter dan
pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya masing-masing pihak
mempunyai hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan pelayanan
medis yang sebaik-baiknya bagi pasien. Pelayanan media ini dapat berupa
penegakan diagnosis dengan benar sesuai prosedur, pemberian terapi, melakukan
tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan tindakan wajar
yang memang diperlukan untuk kesembuhan pasiennya. Adanya upaya maksimal
yang dilakukan dokter ini adalah bertujuan agar pasien tersebut dapat memperoleh
hak yang diharapkannya dari transaksi yaitu kesembuhan ataupun pemulihan
kesehatannya. Namun adakalanya hasil yang dicapai tidak sesuai dengan harapan
masing-masing pihak. Dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien, adakalanya
pasien menderita cacat atau bahkan sampai terjadi kematian dan tindakan
dokterlah yang diduga sebagai penyebab kematian tersebut. Dalam hal terjadi
peristiwa yang demikian inilah dokter sering kali dituduh melakukan kelalaian yang
pada umumnya dianggap sebagai malpraktek.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah sebagai

berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan etika profesi ?

2. Bagaimana prinsip dasar etika profesi ?

3. Apa yang dimaksud dengan malpraktik ?

4. Apa saja unsur-unsur malpraktek ?

5. Bagaimana jenis-jenis malpraktik ?

6. Bagaimana penanganan malpraktik di Indonesia ?


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Etika Profesi


Etika profesi adalah sikap etis sebagai bagian integral dari sikap hidup
dalam menjalankan kehidupan sebagai pengemban profesi. Etika profesi adalah
cabang filsafat yang mempelajari penerapan prinsip-prinsip moral dasar atau
norma-norma etis umum pada bidang-bidang khusus (profesi) kehidupan manusia.
Etika profesi adalah sebagai sikap hidup untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
profesional dari klien dengan keterlibatan dan keahlian sebagai pelayanan dalam
rangka kewajiban masyarakat sebagai keseluruhan terhadap para anggota
masyarakat yang membutuhkannya dengan disertai refleksi yang seksama.

Prinsip dasar di dalam etika profesi :


1. Tanggung jawab
 Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.
 Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau
masyarakat pada umumnya.
2. Keadilan.
3. Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi
haknya.
4. Prinsip Kompetensi,melaksanakan pekerjaan sesuai jasa profesionalnya,
kompetensi dan ketekunan
5. Prinsip Prilaku Profesional, berprilaku konsisten dengan reputasi profesi
6. Prinsip Kerahasiaan, menghormati kerahasiaan informasi

2.2 Malpraktek
Malpraktek merupakan salah satu permasalahan kompleks yang sering
muncul di sekitar kita. Permasalahan ini kadang menjadi topik yang hangat, karena
berkaitan langsung dengan nyawa/jiwa dan kondisi kesehatan seseorang menjadi
pemikul kewajiban dalam mengupayakan kesembuhan pasien, tapi malah
merugikan pasien karena kelalaiannya. Proses kasus malpraktek ke pengadilan
banyak menemui kendala. Pertama, karena pengadilan di Indonesia sedang jatuh
wibawa, karena pengadilan itu sendiri seakan-akan bisa dibeli. Kedua, rumah sakit
dan dokter dianggap mewakili pihak yang sanggup membeli pengadilan. Ketiga,
para penegak hukum belum tentu memahami teknis dan prosedur dalam
mengajukan perkara malpraktek ke depan pengadilan. Tak aneh bila pasien
berpikir dua kali jika harus berhadapan dengan rumah sakit yang bermodal
raksasa.
Malpraktek terdiri dari 4 (empat) unsur yang harus ditetapkan untuk membuktikan
bahwa malpraktek atau kelalaian telah terjadi yaitu:
1. Kewajiban (duty) : Pada saat terjadinya cedera terkait dengan kewajibannya
yaitu kewajiban mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk
menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan
pasiennya berdasarkan standar profesi.
Contoh : Perawat rumah sakit bertanggung jawab untuk pengkajian yang
aktual bagi pasien yang ditugaskan untuk memberikan asuhan
keperawatan, mengingat tanggung jawab asuhan keperawatan professional
untuk mengubah kondisi klien, kompeten melaksanakan cara-cara yang
aman untuk klien.
2. Tidak melaksanakan kewajiban (Breach of the duty) : Pelanggaran terjadi
sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa yang
seharusnya dilakukan menurut standar profesinya.
Contoh: a. Gagal mencatat dan melaporkan apa yang dikaji dari pasien.
Seperti tingkat kesadaran pada saat masuk; b. Kegagalan dalam memenuhi
standar keperawatan yang ditetapkan sebagai kebijakan rumah sakit; c.
Gagal melaksanakan dan mendokumentasikan cara-cara pengamanan
yang tepat (pengaman tempat tidur, restrain, dll).
3. Sebab-akibat (Proximate caused): Pelanggaran terhadap kewajibannya
menyebabkan atau terkait dengan cedera yang dialami klien.
Contoh: Cedera yang terjadi secara langsung berhubungan dengan
pelanggaran terhadap kewajiban perawat terhadap pasien atau gagal
menggunakan cara pengaman yang tepat yang menyebabkan klien jatuh
dan mengakibatkan fraktur.
4. Cedera (Injury) : Sesorang mengalami cedera atau kerusakan yang dapat
dituntut secara hukum.
Contoh: Fraktur panggul, nyeri, waktu rawat inap lama dan memerlukan
rehabilitasi.16 Malpraktek merupakan kelalaian yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan dalam menjalankan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan
medik, sehingga pasien menderita luka, cacat, atau meninggal dunia.
Dari defenisi tersebut, dapat ditarik unsur-unsur malpraktek sebagai
berikut :
a. Adanya kelalaian Kelalaian adalah kesalahan yang terjadi karena
kekurang hati-hatian, kurangnya pemahaman, serta kurangnya
pengetahuan tenaga kesehatan akan profesinya, padahal diketahui
bahwa mereka dituntut untuk selalu mengembangkan ilmunya.
b. Dilakukan oleh Tenaga Kesehatan Tenaga kesehatan berdasarkan
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, Tenaga Kesehatan terdiri dari
tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga
kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterampilan fisik, dan
tenaga keteknisan medis. Yang dimaksud tenaga medis adalah dokter
dan dokter gigi.
c. Tidak sesuai standar pelayanan medik Standar pelayanan medik yang
dimaksud adalah standar pelayanan dalam arti luas, yang meliputi
standar profei dan standar prosedur operasional.
d. Pasien menderita luka, cacat, atau meninggal dunia Adanya hubungan
kausal bahwa kerugian yang dialami pasien merupakan akibat kelalaian
tenaga kesehatan. Kerugian yang dialami pasien yang berupa luka
(termasuk luka berat), cacat, atau meninggal dunia merupakan akibat
langsung dari kelalaian tenaga kesehatan.

Jenis Malpraktek
1. Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang
dituangkan da dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan
atau norma yang berlaku untuk dokter.
Ngesti Lestari berpendapat bahwa malpraktek etik ini merupakan dampak
negative dari kemajuan teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran
yang sebenarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi
pasien, dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan
lebih cepat, lebbih tepat dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih
cepat, ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan.
Efek samping ataupun dampak negative dari kemajuan teknologi kedokteran
tersebut antara lain :
 Kontak atau komunikasi antara dokter dengan pasien semakin berkurang
 Etika kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis.
 Harga pelayanan medis semakin tinggi, dsb.

Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran yang merupakan


malpraktek etik ini antara lain :
 Dibidang diagnostic
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak
diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena
laboratorium memberikan janji untuk memberikan “hadiah” kepada dokter yang
mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga
mendapatkan hadiah tersebut.
 Dibidang terapi
Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji
kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut,
kadang-kadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan
terapi kepada pasien. Orientasi terapi berdasarkan janji-janji pabrik obat yang
sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien juga
merupakan malpraktek etik.

2. Malpraktek Yuridik
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridik ini menjadi :
A. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian
(wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain,
atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga
menimbulkan kerugian pada pasien.
Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa :
 Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
 Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi
terlambat melaksanakannya.
 Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
 Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah
memenuhi beberapa syarat seperti :
 Harus ada perbuatan (baik berbuat naupun tidak berbuat)
 Perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis maupuntidak tertulis)
 Ada kerugian
 Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang
melanggar hukum dengan kerugian yang diderita.
 Adanya kesalahan (schuld)
Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian
dokter, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsure berikut :
 Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien.
 Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim.
 Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti
ruginya.
 Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.
Namun adakalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan adanya
kelalaian dokter. Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi “res ipsa loquitor” yang
artinya fakta telah berbicara. Misalnya karena kelalaian dokter terdapat kain kasa
yang tertinggal dalam perut sang pasien tersebut akibat tertinggalnya kain kasa
tersebut timbul komplikasi paksa bedah sehingga pasien harus dilakukan operasi
kembali. Dalam hal demikian, dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya
kelalaian pada dirinya.

3 Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)


Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau
tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atua kurang cermat dalam melakukan
upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
a. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional)
Misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia,
membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat
padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta
memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar.
b. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness)
Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan
standar profesi serta melakukan tindakn tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
c. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence)
Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter
yang kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam
rongga tubuh pasien.
d. Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice)
Terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran
terhadap hukum Administrasi Negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek
dokter tanpa lisensi atau izinnya, manjalankan praktek dengan izin yang sudah
kadaluarsa dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.

2.3 Penanganan Malpraktek di Indonesia


Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah hukum
substantive, diantaranya hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi
tidak mengenal bangunan hukum “malpraktek”.
Sebagai profesi, sudah saatnya para dokter mempunyai peraturan hukum
yang dapat dijadikan pedoman bagi mereka dalam menjalankan profesinya dan
sedapat mungkin untuk menghindari pelanggaran etika kedokteran.
Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter,
merupakan bibidang hukum baru dalam ilmu hukum yang sampai saat ini belum
diatur secara khusus. Padahal hukum pidana atau hukum perdata yang
merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini tidak seluruhnya tepat
bila diterapkan pada dokter yang melakukan pelanggaran. Bidang hukum baru
inilah yang berkembang di Indonesia dengan sebutan Hukum Kedokteran, bahkan
dalam arti yang lebih luas dikenal dengan istilah Hukum Kesehatan.
Istilah hukum kedokteran mula-mula diunakan sebagai terjemahan dari Health Law
yang digunakan oleh World Health Organization. Kemudian Health Law
diterjemahkan dengan hukum kesehatan, sedangkan istilah hukum kedokteran
kemudian digunakan sebagai bagian dari hukum kesehatan yang semula disebut
hukum medik sebagai terjemahan dari medic law.
Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan
berkembang pesat di Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum
pada tanggal 1 Nopember 1982 dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di
Indonesia dengan tujuan mempelajari kemungkinan dikembangkannya Medical
Law di Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical Law masih belum muncul dalam
bentuk modifikasi tersendiri. Setiap ada persoalan yang menyangkut medical law
penanganannya masih mengacu kepada Hukum Kesehatan Indonesia yang
berupa Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Kalau ditinjau dari budaya hukum Indonesia, malpraktek
merupakan sesuatu yang asing karena batasan pengertian malpraktek yang
diketahui dan dikenal oleh kalangan medis (kedokteran) dan hukum berasal dari
alam pemikiran barat. Untuk itu masih perlu ada pengkajian secara khusus guna
memperoleh suatu rumusan pengertian dan batasan istilah malpraktek medik yang
khas Indonesia (bila memang diperlukan sejauh itu) yakni sebagai hasil oleh piker
bangsa Indonesia dengan berlandaskan budaya bangsa yang kemudian dapat
diterima sebagai budaya hukum (legal culture) yang sesuai dengan system
kesehatan nasional.
Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan
malpraktek di Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi
(peradilan) dan jalur non litigasi (diluar peradilan).
Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau
kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya
banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam pembuktian kesalahan atau kelalaian
tersebut. Masalah ini berkait dengan masalah kelalaian atau kesalahan yang
dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai
penanggung jawab hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi
profesi. Oleh karena menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode
pendekatan yang digunakan dalam mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah
dengan cara pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum. Untuk itu
berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun
1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga
kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi
dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran
(MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam
struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan
menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah
pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang
kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya kesalahan
atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2)
yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No.
56/1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas
menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter dalam
menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri
dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli
Kesehatan yang mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli
Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang
dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK
hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga
cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya yang
seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap
melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan pasien.
Daftar Pustaka

1. Ameln, F., 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya,


Jakarta.
Mariyanti, Ninik, 1988, Malpraktek Kedokteran, Bina Aksara, Jakarta.

2. Undang undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;

Anda mungkin juga menyukai