Pendahuluan :
Tantangan yang berat bagi tugas seorang dokter yang bekerja di kebidanan
adalah merawat dua orang sekaligus, yang pertama adalah ibu, yang dapat
mengekspresikan perasaanya, dan menjawab apa yang kita tanya. Dilain pihak janin
sebagai orang kedua yang berada jauh dalam pandangan kita dan setiap informasi
yang kita butuhkan harus didapatkan dengan cara cara yang tidak langsung dengan
segala kelebihan dan keterbatasannya. Kita percaya bahwa persalinan merupakan
perjalanan yang berbahaya bagi janin, karena itu setiap ancaman dan bahaya yang
bisa terjadi dalam perjalanan itu harus dapat kita deteksi untuk mengantarkan si janin
lahir dengan selamat .
Tujuan dari “ fetal monitoring adalah untuk mengenal setiap bahaya yang
mengancam janin selama dalam kandungan ibunya, dan memutuskan kapan harus
mengeluarkan janin yang dalam keaadaan bahaya itu. Karena itu pengetahuan
tentang monitoring kesehatan janin intra uterine perlu ditingkatkan
.Kardiotokografi. ( KTG ) merupakan alat yang dapat merekam perubahan denyut
jantung janin dan kontraksi uterus serta interaksi antara keduanya yang dapat
memberikan informasi tentang kesehatan janin, atau keadaan keadaan yang
menunjukkan janin dalam bahaya.
Pada tahun 1818 seorang ahli bedah forensic Swiss Francois Isaac
pertamakali mendengar denyut jantung janin dengan cara menempelkan telinganya
pada seorang wanit hamil. Laennec seorang dokter yang bekerja di Paris merupakan
“ The Father of Auscultation “ yang mendengarkan suara jantung dan paru pada
orang dewasa, bersama dengan J A de Kergaradec, mengembangakan cara auskultasi
pada orang hamil. (S.Arulkumaran, 2001) Mendengarkan denyut jantung janin
dengan cara auskultasi dipublikasikan kan oleh Evory Kennedy dari Dublin pada
tahun 1833 didalam bukunya “ Observations On Obstetrics Auscultation.
Sejak saat itu banyak model auskultasi dikembangkan untuk dapat memantau
keaadaan janin intrauterine, diantarannya adalah fetoskope yang diperkenalkan
kepada publik oleh David Hillis, seorang obstetricus yang bekerja di Chicago Lying-
In Hospital pada tahun 1917 didalam “ Journal of the American Medical
Association.Tetapi kemudian pada tahun 1922, De Lee dari tempat yang sama
mengemukakan bahwa apa yang ditulis oleh David Hillis adalah merupakan hasil
karyanya sehingga kemudian alat tersebut dipublikasikan dengan nama De Lee-
Hillis sthetoscope.
Tahun 1834 A F Hohl mengenalkan alat “fetal sthetoscope” untuk
pertamakalinya yang kemudian disempurnakan disainnya oleh Depaul, yang kita
pakai sampai sekarang. ( S Arulkumaran 2001 ). Sejak tahun 1958, electronic fetal
1
monitoring mulai digunakan pertama kali oleh Edward Hon, MD dari Yale
University School of Medicine, yang merekam denyut jantung janin dengan alat
KTG yang ditempelkan didinding perut ibu. Kemudian pemantauan secara
elektronik terus dikembangkan dibeberapa negara seperti di Uruguay oleh Caldeyro-
Barcia dan di Jerman oleh Hammacer.
Tahun 1968 Hammacer dan Hewlett-Packard memproduksi secara komersial
alat KTG di AS yang diikuti kemudian oleh Sonicaid pada tahun 1968 di Inggris. Di
Berlin pada tahun 1966 , hampir bersamaan dengan pengembangan KTG juga
dikembangkan pemeriksaan pH kulit kepala janin oleh Erlich Saling (The father of
Perinatology) untuk memantau keadaan janin.
Sejak saat itu sampai sekarang diseluruh dunia mengembangkan alat ini
dengan interprtasi yang tidak seragam .( Roger Freeman et al, 2004). Kontroversi
mulai muncul di banyak praktisi , apakah alat ini bermanfaat untuk diagnosis “ fetal
distress” , dibeberapa tempat pemakaian alat yang ekstensif dan tidak menguasai
teknik serta tidak konsisten melakukan interpretasi malah meningkatkan angka
seksio sesaria, namun banyak penelitian yang juga membuktikan bahwa dengan
teknik, indikasi dan interprestasi yang baik, karddiotokografi mampu untuk menapis
mana kahamilan /persalinan yang memiliki risiko tinggi insufisiensiplasenta serta
mana yang tidak memiliki risiko.
Pertanyaannya adalah seberapa besar manfaat alat ini?, apa indikasinya serta
bagaimana menginterpretasi serta “action” apa yang harus dilakukan apabila
menemukan gambaran yang tidak normal ??. Untuk menjawab pertanyaan itu perlu
diketahui dasar fisiologik dari “fetal monitoring”, gambaran KTG normal serta
abnormal, dan keterbatasan alat KTG itu.
I. Sirkulasi Utero-plasenta :
Menjadi suatu hal yang sangat penting bagi klinisi untuk mengetahui fisiologi
pertukaran gas pada janin serta kontrol fisiologik denyut jantung janin. Plasenta
merupakan suatu organ yang berfungsi sebagai “ extra corporeal life-support system
“. Plasenta berfungsi sebagai paru janin ( respirasi ), ginjal ( ekskresi ), dan sebagai “
barrier “ untuk bahan bahan toksik yang berbahaya bagi janin, serta sebagai organ
endokrin yang menghasilkan steroid dan hormon hormon plasenta yang lainnya.
Pada kehamilan dini blastokis tertanam pada desidua dan sel tropoblast
menginvasi pembuluh darah maternal, sehingga terbentuk suatu danau yang terisi
oleh darah ibu , dimana vili( tropoblas) terendam didalam danau tersebut, sehingga
plasenta manusia disebut sebagai plasenta yang hemokorial. Dengan struktur
2
plasenta seperti itu memungkinkanuntuk terjadinya pertukaran gas antar ibu dan
janin dan sebaliknya.
Aliran darah ke uterus terutamanya di suplai oleh arteria uterine yang
menembus miometrium untuk mencapai ruang intervilus. Semua hal yang
mempengaruhi curah jantung dengan sendirinya akan mempengaruhi aliran darah ke
uterus dan plasenta, demikian juga bila uterus berkontraksi maka tekanan
intramiometrial akan meningkat akibatnya tekanan intra arterial akan meningkat
yang menyebabkan tertutupnya pembuluh darah sehingga aliran darah ke ruang
intervilus menjadi berkurang atau berhenti.
Pengaruh berkurangnya aliran darah ke uterus menjadi hal yang sangat
penting untuk mempertahankan sirkulasi uteroplasenta karena 85% aliran darah ke
uterus itu ditujukan ke ruang intervili, hanya 15 % aliran darah itu ke otot otot uterus.
Beberapa faktor yang menurunkan aliran darah uterus adalah,
1. Posisi :
Perubahan posisi maternal dapat menurunkan aliran darah uterus melalui 2
mekanisme yaitu, penekanan pada vena kava atau pembuluh darah aorta-
iliaca.Dengan tertutupnya pembuluh darah vena kava, maka terjadi penurunan
aliran darah balik ke jantung, yang mengakibatkan turunnya curah jantung ibu,
dan akibatnya aliran darah ke ruang intervili juga berkurang, keaadaan ini
biasanya juga disertai oleh turunnya tekanan darah ibu. Pada penekanan
pembuluh darah aorto-iliaka, maka terjadi juga penurunan aliran darah ke uterus
tanpa hipotensi maternal. Abitbol , 1985 membuktikan adanya deselerasi lambat
dan pH darah janin yang menurun pada pasien hamil dengan posisi supine,
dimana hal tersebut dapat diperbaiki dengan merubah posisi ibu ke lateral.
2. Exercise :
Maternal exercise dapat menurunkan aliran darah ke uterus oleh karena sebagian
darah akan dialirkan ke otot-otot somatic untuk pergerakan. Hal ini terutama akan
berpengaruh terhadap janin yang sebelumnya telah mengalami kondisi
insufisiensi utero-plasenta.
3. Kontraksi Uterus :
Arteria spirales yang masuk ke miometrium akan tertutup pada saat terjadi
kontraksi uterus, atau pada saat tekanan intra miometrial melebihi tekanan
arterial arteri spirales, keadaan ini terjadi pada kontraksi uterus. Bila cadangan
sirkulasi uterus adekuat maka kontraksi normal pada saat ibu hamil dalam
persalinan tidak akan mengurangi aliran darah total ruang intervilus, namun pada
keadaan dimana cadangan sirkulasi sudah kurang maka dengan adanya kontraksi
dalam persalinan yang normal akan menimbulkan defisit aliran darah ruang
intervili yang bermakna, menimbulkan keadaan hipoksia pada janin.Keaadaan
3
yang sama bisa terjadi pada kontraksi uterus yang berlebihan (Spontaneus or
induces uterine hypertonus atau tetanic contractions)
Disamping hal hal tersebut diatas janin mempunyai karakteristik yang unik yang
memungkinkan dia hidup dalam kondisi pO2 yang lebih rendah, beberapa
karakteristik itu adalah :
1. Konsentrasi Hb janin lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi Hb orang
dewasa, sehingga memiliki kemampuan membawa oksigen yang lebih tinggi.
2. “Fetal cardiac output” janin lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa
3. Kurva disosiasi Hb janin memiliki saturasi oksigen yang lebih tinggi.
Jadi secara klinis sebenarnya tidak terlalu perlu memberikan oksigenasi lebih dahulu
pada kondisi hipoksia janin dibandingkan dengan membuka aliran darah ke tali pusat
atau ke plasenta. ( Freeman, 2004 ).
4
KARDIOTOKOGRAFI :
Garis dasar DJJ adalah frekuensi DJJ rata-rata yang dinilai selama 10 menit
(minimal) diluar kontraksi uterus dan perubahan periodic/episodic DJJ. Pengukuran
5
ini didapatkan dengan cara menarik garis yang memotong ditengah tengah gambaran
DJJ pada rekaman KTG. Frekuensi normal adalah 110-150 kali/menit.
Apabila garis dasar denyut jantung janin melebihi 150 kali permenit maka
disebut takikardia. Pola dasar ini harus dibedakan dengan akselerasi atau prolonged
accelerations, dimana pada takikardia durasinya lebih dari 10 menit. ( Parer,1997).
Gambaran ini biasa terjadi pada fetus premature yang disebabkan oleh adanya
maturitas yang lebih awal dari sistem saraf simpatis dibandingkan dengan
parasimpatis. Dengan makin meningkatnya maturitas maka frekuensi denyut jantung
janin akan melambat secara graduil, sehingga pada saat aterm frekuensinya berkisar
pada 110-140 kali permenit.
Hal-hal non patologik lainnya yang harus dipikirkan sebagai penyebab
takikardia adalah, pemakaian obat-obatan betasimpatomimetik dan febris pada ibu.
Kuncinya adalah apabila takikardia tidak disertai dengan penurunan variabilitas
atau tidak ada deselerasi maka takikardia itu biasanya disebabkan oleh penyebab
lainnya yang non hipoksik. (Parer, 1997).
Bradikardia adalah penurunan frekuensi denyut jantung janin dibawah 110
kali permenit selama 10 menit, durasi ini penting untuk membedakannya dengan
deselerasi atau prolonged deselerasi. Menurunnya frekuensi denyut jantung janin
disebabkan oleh respon vagal, atau disebabkan oleh adanya hambatan impuls pada
nodus sinoatrial seperti yang tampak pada ibu dengan systemic lupus erymatosus,
dimana terdapat gambaran “ fetal heart block “ dengan bradikardia sebagai akibat
adanya blokade antibody ibu yang melewati plasenta kemudian serabut konduksi
jantung .(Freeman, 2004).
Pada bradikardia yang moderat ( 100-110 kali/.menit), tanpa disertai dengan
penurunan variabilitas , dapat dipastikan bukan disebabkan oleh hipokisa fetus.
Beberapa situasi yang menyebabkan bradikardia adalah, berkurangnya oksigenasi,
penurunan aliran darah tali pusat, berkurangnya aliran darah ke uterus dan
berkurangnya luas permukaan plasenta. ( Parer,1997).
Pada rekaman denyut jantung janin akan nampak gambaran garis iregularitas
yang kontinyu, iregularitas ini disebut dengan variabilitas. Variabilitas adalah deviasi
konstan dari denyut jantung janin yang dikendalikan oleh saraf simpatis dan
parasimpatis, sehingga menghasilkan gambaran “Shaw Thooted” pada rekaman
KTG.
Variabilitas ini ada 2 macam, yaitu yang pertama adalah Short Term
variability adalah iregularitas denyut jantung janin yang merupakan varian normal
dari interval antara denyutan, sebagai akibat dari “push-pull” effect dari simpatis –
parasimpatis. Gambaran ini yang paling sering digunakan. .Yang kedua adalah Long
6
term variability yang merupakan fluktuasi dari denyut jantung janin dalam suatu
satuan waktu tertentu, biasanya dalam 1 menit atau jumlah fluktuasi denyut jantung
janin yang memotong “baseline”
Cara mengukur variabilitas ini adalah dengan menarik garis horizontal pada
level tertinggi dan terendah dari “shaw thooted” itu pada segmen minimal 1 cm.
(Lihat gambar dibawah). Nilai normal dan abnormal dari variabilitas adalah , 10- 25
denyut per menit (normal), 5-10 denyut permenit (berkurang), kurang dari 5 denyut
permenit (menghilang) sedangkan apabila melebihi 25 denyut permenit disebut
“saltatory” atau meningkat.
Variabilitas ini merupakan gambaran yang sangat penting untuk menilai
dengan segera kondisi janin, bahkan dikatakan variabilitas merupakan “ the most
single FHR characteristic of fetal status”, hal ini disebabkan karena variabilitas ini
dikendalikan oleh susunan saraf simpatis, sehingga apabila variabilitas ini masih
baik, maka sistem tersebut juga masih normal berarti oksigenasi sentral pun masih
terjaga. ( Freeman 2004).
Bahkan menurut Parer, 1997 apabila variabilitas normal maka dapat
dipastikan ada 4 komponen vital fetus yang ada dalam kondisi baik , yatu (a) Korteks
serebral, (b) Midbrain, (c) Nervus vagus dan (d) sistem konduksi jantung .
(Parer,1997). Penyebab non hipoksik berkurangnya variabilitas adalah, prematuritas
dan depresi dari susunan saraf pusat, seperti yang nampak pada janin anencephaly.
Beberapa penyebab berkurangnya deselerasi dapat dilihat pada tabel berikut :
Hypoxia/acidosis
Drugs : CNS depressants,parasympatholitics
Fetal sleep
Congenital anomaly
Extreme prematurity
( Fetal heart rate monitoring, Freeman et al. 2004 )
7
variabilitas ( Parer, 1997). Adanya deselerasi biasanya mendahului berkurangnya
variabilitas, dengan kata lain deselerasi yang menetap baru akan menimbulkan
penurunan variabilitas.
Gambaran yang sulit diinterpretaskan adalah bila menurunya atau hilangnya
variabilitas dimana frekuensi dasar denyut jantung janin masih normal dan atau tidak
ada gambaran deselerasi, gambaran ini bisa terjadi pada fetus yang mengalami “ end
stage brain damage” atau pada fetus dengan anomali susunan saraf pusat. Pada
umumnya tidak ada manfaat klinis untuk membedakan apakah short term variability
lebih penting dari long term variability, walaupun yang sering dipakai adalah short
term variability.
Fetus yang menunjukkan gambaran penurunan variabilitas tanpa disertai
dengan gambaran patologik lainnya dapat dikatagorikan pada keadaan berkut (a)
quiet sleep state (b) idiopathic reduced FHR variability (c) obat obatan yang bekerja
sentral (d) kelainan congenital SSP (e) asfiksia yang dalam dimana janin tidak
mampu lagi untuk menimbulkan gambaran periodic. ( Parer,1997)
8
tachycardia with or without decelerations doesn’t move actively”
(Arulkumaran,2001)
Deselerasi merupakan penurunan denyut janin lebih dari 15 denyut permenit,
yang terjadi selama 15 detik dan tidak lebih dari 2 menit, kecuali bila variabilitas
kurang dari 5 denyut permenit, maka penurunan denyut kurang dari 15 denyut
permenit sudah dapat disebut sebagai deselerasi (Arulkumaran, 2001). Apabila
melebih 2 menit disebut prolonged deceleration , sampai batas waktu 10 menit, dan
apabila melebih 10 menit disebut sebagai bradikardia.
Deselerasi pada umumnya diklasifikasikan menjadi 3 , yaitu deselerasi dini,
deselerasi lambat dan deselerasi variable. Deselerasi dini dan lambat disebut juga
deselerasi yang uniform sebab bentuknya selalu sama, sedangkan deselerasi variable
disebut juga deselerasi yang non uniform sebab bentuknya tidak selalu sama.
Deselerasi yang uniform selalu memiliki onset dan recovery yang landai, berbentuk
agak bulat ( rounded), atau seperti gambaran kontraksi yang terbalik, dan deselerasi
model ini tidak memililiki komponen akselerasi pada awal maupun akhir deselerasi,
hal ini yang membedakannya dengan deselerasi yang non uniform, dimana selain
memiliki komponen akselerasi ( pre-post deceleration acceleration ), dia juga
mempunyai bentuk yang tidak selalu sama, dan onset dan recoverynya selalu tajam
(spike ), sehingga sebenarnya mudah membedakan dengan deselerasi dini dan
lambat.
Deselerasi dini :
Sesuai dengan namanya, deselerasi dini ini mempunyai onset yang segera
pada saat kontraksi mulai (awal kontraksi). Tekanan pada kepala janin pada saat
inpartu menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial , yang mengakibatkan
peningkatan tonus vagus sehingga denyut jantung janin melambat. Pada waktu
kontraksi berakhir maka tekanan intrakranial normal, sehingga denyut jantung janin
akan kembali normal.
Deselerasi ini sering nampak pada akhir kala I, pada pemeriksaan vaginal dan
pada pecah ketuban.Bentuk dari deselerasi ini simetris dan berbentuk seperti lonceng
( Bell-shaped).
Keaadan ini tidak berhubungan dengan hipoksia janin.
Deselerasi lambat :
Deselerasi lambat mempunyai karakter yang khas, dimana turunnya denyut
jantung janin terjadi terlambat, yaitu pada saat puncak kontraksi, dan pada saat
kontraksi uterus hilang maka denyut jantung janin kembali normal. Terjadinya
deselerasi lambat ini adalah akibat berkurangnya cadangan oksigen pada ruang
retroplasenter, seperti diketahui pada sirkulasi uteroplasenta yang baik, plasenta
mempunyai cadangan oksigen yang cukup, sehingga apabila terjadi kontraksi, tidak
akan menimbulkan perubahan denyut jantung janin yang bermakna, karena pada saat
9
kontraksi janin akan menggunakan cadangan oksigen itu, pada keadaan dimana
terjadi insufisiensi plasenta dengan cadangan oksigen yang berkurang, maka dengan
makin kuatnya kontraksi , akan terjadi penurunan denyut jantung janin, dan pada saat
kontraksi berhenti maka liran darah ke plasenta kembali normal, sehingga denyut
jantungpun akan kembali normal. (Arulkumaran, 2001).
Pada fetus yang mengalami hipoksia yang berat, deselerasi lambat diikuti
dengan penurunan variabilitas. Klasifikasi deselerasi lambat, berdasarkan penurunan
denyut jantung janin sebagai berikut :
Parer, 1997 membagi deselerasi lambat itu menjadi 2 tipe, yaitu tipe 1. Reflex
late decelarations, yaitu gambaran deselerasi lambat tanpa disertai dengan penurunan
variabilitas, gambaran ini terjadi karena berkurangnya aliran darah ke uterus ( mis
kontraksi) . Mekanismenya adalah dengan meningkatnya tekanan intramniotik maka
terjadi pengurangan aliran darah ke plasenta dan janin, tekanan oksigen yang rendah
ini ditangkap oleh kemoreseptor di kepala dan leher janin, dimana pada kondisi
normal pengurangan tekanan oksigen ini tidak cukup untuk mempengaruhi aktifitas
vagal, sehingga variabilitas denyut jantung janin tidak berubah.
Tetapi pada kondisi dimana kontraksi uterus berlebihan, yang menyebabkan
tekanan oksigen menjadi sangat rendah maka ambang perangsangan aktifitas vagal
ini tercapai sehingga terjadi penurunan frekuensi denyut jantung janin.
Pada tipe 2, Non reflexs Late decelerations, dimana gambaran deselerasi
lambat disertai dengan menurunnya atau hilangnya variabilitas. Mekanismenya sama
dengan mekanisme reflexs late decelarations, hanya pada yang non refleks ini terjadi
depresi miokardial secara langsung, sehingga menyebabkan inadequate fetal cerebral
and myocardial oxygenation , yang menyebakan gambaran deselerasi lambat itu
disertai dengan menurunnya atau hilangnya variabilitas.
Keadaan ini terjadi pada kondisi dimana cadangan oksigensi plasenta sudah
berkurang, misalnya pada preeklamsia, IUGR, atau pada reflexs late decelarations
yang memanjang. Pada percobaan binatang reflex late decelarations selama 3 hari,
menyebabkan hilangnya akselerasi dan memburuknya hipoksia serta asidosis,
demikian juga ditemukan bahwa 36 jam setelah deselerasi yang menetap atau non
reflexs late deceleration akan terjadi kematian janin. (Parer, 1997).
Penting untuk dicatat bahwa asosiasi antara deselerasi lambat dengan
menurunnya variabilitas atau meningkatnya frekuensi denyut jantung janin lebih
penting dibandingkan dengan deselerasi lambat saja, karena hal ini menggambarkan
adanya intoleransi janin terhadap situasi hipoksia. (Freeman, 2004).
10
Deselerasi variable :
Deselerasi variable sesuai dengan namanya merupakan penurunan sesaat
frekuensi denyut jantung janin, dengan karakteristik yang tidak mempunyai
hubungan dengan kontraksi uterus serta mempunyai variasi dalam bentuk, onset dan
intensitasnya. Penyebab dari munculnya gambaran deselerasi variable ini adalah
adanya penekanan tali pusat, sehingga penampilan gambar yang berbeda beda itu
tergantung dari saat dan kuatnya serta seringnya penekanan tali pusat.
Tali pusat terdiri dari 2 arteri dan 1 vena umbilicalis, dimana vena umbilikalis
mempunyai dinding yang lebih tipis dan tekanan intraluminar yang lebih rendah
dibandingkan dengan arteri umbilikalis, demikian juga letaknya lebih superficial
dibandingkan dengan arteri umbilikalis. Apabila terjadi tekanan pada tali pusat, maka
aliran darah yang menuju vena umbilikalis akan berkurang, sehingga terjadi fetal
hipovolemik, sebagai akibatnya janin akan meresponnya dengan perangsangan saraf
otonom dengan peningkatan frekuensi denyut jantung janin untuk kompensasi
(Predecelerations accelerations).
Pada saat ini akan muncul gambaran akselerasi pada rekaman KTG, setelah
itu bila tekanan terus berlanjut maka arteri umbilikalis akan tertekan, dan arteri
umbilikalis menjadi tertutup, sehingga aliran darah balik dari fetus ke plasenta
terhenti, akibatnya terjadi peningkatan tekanan sistemik janin, dimana keadaan ini
menyebabkan perangsangan baroreseptor dan mengakibatkan penurunan frekuensi
denyut jantung janin dimana dalam gambaran KTG akan terlihat penurunan
frekuensi denyut jantung janin sampai ke titik terendah tergantung kuatnya tekanan
pada kedua pembuluh darah itu.
Pada waktu tekanan tersebut menghilang maka, tekanan pada arteri
umbilikalis yang menghilang lebih dulu, akibatnya secara reflek denyut jantung janin
akan kembali ke frekuensinya yang normal, yang kita lihat adanya peningkatan yang
tajam dari frekeunsi denyut sampai melebihi sedikit diatas garis dasar, yang pada
gambaran KTG nampak sebagai akselerasi setelah deselerasi ( post decelartions
accelerations) Kedua akselerasi itu disebut dengan “ shouldering “, yang merupakan
tanda bahwa janin mempunyai kompensasi yang baik terhadap kompresi tali pusat.
Ciri khas lainnya pada deselerasi variable adalah penurunan frekuensi denyut jantung
( deselerasi ) sifatnya mendadak, berbeda dengan deselerasi dini dan lambat dimana
penurunannya landai/gradual.
Pada janin yang normal pada umumnya dapat melakukan kompensasi
terhadap penekanan dengan baik, tetapi pada janin yang sebelumnya sudah
mengalami gangguan oksigenasi maka mekanisme itu akan hilang, dan muncul
berbagai macam bentuk deselerasi variable, beberapa gambaran deselerasi variable
yang patologik dapat dilihat pada gambaran dibawah ini :
11
Jika deselerasi berlangsung lebih dari 60 detik, dan dalamnya lebih dari 60 denyut
per menit, atau disertai dengan takikardia atau penurunan variabilitas, menunjukkan
sudah terjadi hipoksia jaringan. ( Parer 1997, Arulkumaran, 2001 )
Freeman, 2004 menyatakan ada 4 kelompok peristiwa / penyebab yang perlu
dipikirkan apabila kita melihat adanya gamabaran deselerasi varaibel dalam
persalinan, yaitu :
1. Oligohidramnion : onset biasanya pada awal fase actif atau setelah pecah
ketuban.
2. Desensus : onsetpada pembukaan 8-10 cm , sering berhubungan dengan
lilitan tali pusat dileher, dan semakin berat bila penderita mengedan.
3. Prolap tali pusat : terjadi pada pecah ketuban, atau berhubungan dengan
tidak masuknya bagian terendah janin atau kelainan posisi.
4. Penyebab yang tidak diketahui : Simpul sejati, tali pusat pendek, dan lain
lainnya.
12
3. Garis dasar frekuensi denyut jantung janin normal
4. Variabilitas normal.
FIGO tahun 1987 membuat klasifikasi gambaran denyut jantung janin sebagai
berikut :
1. Normal : frekuensi jantung antara 110- 150 kali permenit, variabilitas 5-25
kali permenit
2. Suspisius : frekuensi jantung antara 150-170 kali permenit atau 100-110 kali
permenit, variabilitas 5-10 kali permenit selama 40 menit, atau peningkatan
variabilitas 25 kali per menit, dan terdapat deselerasi variable.
3. Patologis : frekuensi jantung dibawah 100 kali per menit atau diatas 170 kali
per menit., variabilitas kurang dari 5 kali per menit dalam waktu 40 menit,
deselerasi variable berat, deselerasi yang memanjang,deselerasi lambat dan
pola sinusoidal.
13
fetus mengalami hipoksia asidosis intra uterine. Istilah “fetal distress” seharusnya
tidak dipakai lagi, karena sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang apa yang
disebut dengan fetal distress itu. Parer, mendeskripsikan fetal distress itu sebagai,
asfiksia yang persisten dan progresif dalam berbagai tingkatan yang apabila tidak
dapat dihilangkan akan menyebabkan, (a) hilangnya mekanisme kompensasi
redistribusi aliran darah , (b) berkurangnya metabolisme serebral, dan (c) kematian
sel saraf.
Pengertian asifiksia adalah insufisiensi atau tidak adanya pertukaran gas, dan
keadaan ini terjadi akibat berkurangnya aliran darah uterus sampai pada lever kritis
sehingga terjadi penurunan oksigenasi ke otak yang dapat dilihat dengan perubahan
dari denyut jantung janin.
Kelima spekturm diagnosis diatas dapat diduga dengan melihat hasil rekaman KTG
dan dengan memperhatikan pola-pola spesifik dari hasil rekaman tersebut. Secara
umum penanganan untuk mencegah kerusakan otak akibat hipoksia berdasarkan
gambaran KTG sebagai berikut :
Sampai saat ini belum banyak penelitian yang membuktikan efektifitas KTG
dalam mendeteksi janin berada dalam bahaya, seringkali terdapat gambaran patologis
namun kenyataannya bayi lahir tidak menunjukkan tanda tanda depresi nafas , hal ini
disebabkan karena angka positip palsu dari KTG masih tinggi yaitu sekita 40%.
Bahkan pemakaian alat ini di beberapa tempat justru meningkatkan angka seksio
sesaria.
Arulkumaran, 2004 menyatakan bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan
terjadinya kasus kasus medikolegal yang berhubungan dengan pemakaian KTG
yaitu, (a) Ketidakmampuan untuk menginterprestasi hasil rekaman, (b) Tindakan
yang tidak tepat, dan (c) aspek teknis. Untuk mengurangi kejadian itu seharusnya
dilakukan beberapa usaha seperti melaksanakan pendidikan dan pelatihan KTG,
14
supervisi, dan audit. Saat ini telah dikembangkan komputerisasi KTG dimana alat
akan langsung menampilkan diagnosis patologis pada hasil rekaman, hal ini
bertujuan untuk mengurangi terjadinya misinterprestasi dan misdiagnosis pada klinisi
yang kurang terlatih membaca KTG.
Mempertimbangkan keadaan atau situasi klinis pasien tetap menjadi hal yang
sangat penting dalam pengambilan keputusan klinik, misalnya tindakan harusnya
lebih aktif pada kasus kasus IUGR, postterm, infeksi intrauterine atau adanya
mekonium pada air ketuban. Hal yang sangat penting diperhatikan adalah reaktifitas
(akselerasi) dan cycling (siklus tidur-bangun janin) yang menunjukkan bahwa bayi
tidak dalam keadaan hipoksia, pada rekaman KTG keadaan ini akan nampak sebagai
akselerasi dan keadaan tidur yang bergantian dalam satu segmen rekaman,
sebaliknya apabila terdapat gambaran yang non reaktif, dengan variabilitas kurang
dari 5 kali permenit dan adanya deselerasi yang berlangsung lebih dari 90 menit,
maka diduga telah terjadi hipokisa yang nyata.
Pada kondisi kondisi tertentu seperti adanya posterm, IUGR, tidak ada
gerakan janin, infeksi atau perdarahan antepartum, maka melahirkan bayi dengan
segera merupakan tindakan yang bijaksana. Pada gambaran deselerasi yang
memanjang (prolonged decelerations) yang dalamnya < 80 kali permenit, pH darah
janin turun 0,01 per menit, dalam kondisi ini bayi harus dapat dilahirkan dalam
waktu 15-30 menit.
Pemeriksaan Fetal scalp blood sampling (FBS) pada kondisi tersebut sangat
berisiko dan tidak tepat sebab dapat memperburuk kondisi janin. Pada situasi dimana
terdapat hiperstimulasi yaitu perubahan frekuensi jantung janin akibat dilakukan
induksi persalinan, maka pemberian tokolitik dan mengurangi dosis obat atau
menghentikan induksi merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan. Dalam
setiap penilaian hasil rekaman harus dipastikan bahwa sinyal yang muncul di kertas
benar-benar berasal dari denyut jantung bayi, bukan dari ibu. Untuk hal ini perlu
dilakukan pengecekan dengan meraba denyut nadi ibu sekali dalam setiap rekaman.
Apabila terlihat gambaran yang tidak memuaskan maka pemeriksa
diharuskan melakukan auskultasi untuk mendengarkan langsung dan menghitung
denyut jantung janin. Pertanyaan yang penting yang harus dapat dijawab adalah
seberapa lamakah kita boleh menunggu untuk melakukan tindakan apabila
berhadapan dengan gambaran KTG yang abnormal ?. Untuk menjawab pertanyaan
ini gambaran KTG dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu, :
15
menyebabkan hipoksia akut dan asidosis dalam waktu cepat, sehingga keputusan
untuk melahirkan bayi idealnya harus dalam 3 menit, sehingga waktu 15 menit
melahirkan bayi adalah waktu yang paling optimal yang diharapkan bisa
menghasilkan luaran bayi yang baik.
Harus diingat bahwa ada beberapa penyebab bradikardia yang berlangsung
sesaat (transient) yaitu hipotensi (mis pemakaian epidural anesthesia), posisi ibu,
hiperstimulasi, pecah ketuban dll, yang mana pada keadaan ini hendaknya dilakukan
koreksi misalnya dengan merubah posisi ibu dari posisi terlentang ke posisi miring
ke kiri atau memberikan tokolitik, dan memantau apakah dengan tindakan tersebut
frekuensi jantung janin kembali normal atau tidak.
Juga penekanan pada kepala bayi pada saat kala II dapat menimbulkan
bradikardia, dalam kondisi bradikardia yang berat tindakan segera melahirkan bayi
harus dipertimbangkan. Apabila frekuensi jantung janin tidak kembali normal setelah
dilakukan beberapa tindakan koreksi, maka melahirkan bayi dalam waktu segera
harus dipertimbangkan, sebab makin lama bradikardia itu berlangsung maka
kemungkinan turunnya pH darah janin juga makin besar.
Turunnya pH darah janin akan lebih cepat pada keadaan-keadaan dimana sudah
terjadi IUGR, infeksi atau mekonium dan pada situasi dimana terdapat gambaran
suspisius sebelum bradikardia terjadi. Plasenta seperti yang kita ketahui berfungsi
sebagai paru janin in –utero, dimana plalsenta berfungsi untuk mengeliminasi
karbondioksida dan menyerap oksigen dari sirkulasi ibu. Untuk tercapai pertukaran
gas yang baik maka harus ada sirkulasi darah yang adekuat pada sisi maternal dan
fetal dari plasenta.
Pada frekuensi denyut jantung yang normal 110- 150 kali per menit, akan
terdapat 1400 sirkulasi dalam plasenta yang memungkinkan terjadi pertukaran gas
tersebut, bila frekuensi jantung janin sampai turun dibawah 80 kali permenit, maka
janin akan kehilangan 600 sirkulasi sehingga yang tersisa hanya 800 sirkulasi saja,
dalam kondisi seperti ini jumlah karbondioksida akan menumpuk dalam sirkulasi
janin yang menyebabkan peningkatan pembentukan asam karbonat dan berakibat
menurunnya pH darah janin.
Dengan makin lamanya bradikardia berlangsung maka jumlah oksigen yang di
transfer ke janin akan berkurang juga, sehingga terjadi metabolisme anaerobic yang
banyak menghasilkan asam laktat. Jika frekuensi jantung janin kembali normal,
maka jumlah sirkulasi plasenta kembali normal sehingga karbondioksida dapat
ditransfer kembali ke sirkulasi ibu. Proses ini tidak boleh berlangsung lama sebab
akumulasi asam laktat akan menyebabkan kerusakan dan apoptosis jaringan. Waktu
yang dibutuhkan untuk menilai kembalinya frekuensi jantung janin adalah 6-7 menit,
artinya bila dalam rentang waktu tersebut frekuensi jantung janin tidak kembali
normal maka bayi harus segera dilahirkan .
16
2. Sub-acute Hypoxia :
Kondisi ini terjadi apabila ada gambaran deselerasi yang memanjang, dengan
dalamnya deselerasi dibawah 80 kali permenit, selama > 90 detik tetapi segera
kembali ke frekuensi dasar dalam waktu kurang dari 30 detik. Pada keadaan ini maka
hipoksia dan asidosis yang terjadi akan cepat terkoreksi
17
Hal lain yang diperlukan untuk memastikan apakah bayi mengalami asfiksia intra
uterin sebelumnya atau tidak, adalah pemeriksaan analisa gas darah tali pusat. Analisa
gas darah yang normal, menunjukkan bayi tidak mengalami asifiksia, demikian pula
sebaliknya bila pH < 7,0 dengan base excess C –20 mEqL menunjukkan bayi
mengalami asfiksia pada waktu lahir. Parer, 1997 merekomendasikan untuk memeriksa
gas darah pada setiap bayi baru lahir sepanjang secara finansial memungkinkan, namun
apabila finansial pasien tidak mencukupi , sebaiknya gas darah diperiksa pada setiap
bayi yang lahir dengan asfiksia. Perlu beberapa upaya agar masalah malpraktek ini bisa
diminimalkan yaitu, penyeragaman interprestasikan rekaman KTG, dan mengupayakan
pemakaian komputerisasi hasil rekaman serta managemen yang terstandarisasi dalam
menyikapi hasil yang patologik. (Parer 1997, Arulkumaran 2004)
18
umbilikalis dapat menurunkan angka kematian janin dan angka kematian perinatal
secara keseluruhannya, khususnya pada ibu hamil dengan preeklamsia dan janin
dengan IUGR.
Penting dimengerti bahwa terdapat perbedaan interprestasi pada pemeriksaan
doppler yang didapat dari sirkulasi arteri atau vena janin. Gelombang Doppler yang
didapat dari arteri uterine memberikan informasi tentang sirkulasi maternal
(screening for abnormal tropoblast invasion), gelombang Doppler yang didapat dari
arteri umbilikalis memberikan informasi tentang tahanan vaskuler plasenta
(screening for loss of tertiary villous vessles), gelombang Doppler yang diambil dari
middle cerebral artery (MCA) memberikan informasi tentang fetal adaptation
(screening for fetal compensation) dan pengukuran gelombang Doppler yang
dilakukan pada sirkulasi vena janin (vena umbilikalis, vana kava inferior, dan duktus
venosus) memberikan informasi tentang fetal cardiac dysfunction (screening for fetal
decompensation). Secara ringkas pemeriksaan Doppler pada sirkulasi maternal/fetal
dan informasi klinis yang didapatkan ada pada tabel dibawah ini.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa perubahan pada gelombang
Doppler arteri umbilikalis mendahului terjadinya perubahan pada KTG yang baru
terjadi setelah 1 minggu kemudian. Pada janin dengan IUGR dan ibu dengan
preeklamsia, hipertensi kronik atau penyakit vaskuler yang lainnya, USG serial untuk
menentukan pertumbuhan janin, NST, dan penilaian air ketuban terbukti efektif
untuk mendeteksi janin dalam bahaya. Pada tabel dibawah ini dijelaskan tentang tes
yang direkomendasikan untuk mengetahui telah terjadi penurunan sirkulasi
uteroplasenta.
Kelainan metabolik :
Kematian janin bisa terjadi akibat adanya kelainan metabolik pada ibu,
seperti pada hiperglikemik/hiperinsulinemik janin pada diabetes melitus gestasi.
Pemantauan gula darah ibu dapat dipakai untuk memprediksi fetus at risk, karena
tingginya kadar gula darah berkorelasi dengan risiko kematian janin. Risiko menjadi
kecil sekali apabila kadar gula darah normal, pertumbuhan janin normal serta tidak
ada polihidramnion. Sebaliknya apabila terjadi hiperglikemia, polihidramnion serta
19
peningkatan pertumbuhan janin, maka janin mempunyai risiko untuk mengalami
lactic acidemia, apalagi apabila terdapat vaskulopati pada ibu maka bayi sekaligus
terancam untuk hypoxic acidemia. Menurut hasil penelitian Salvesen et al seperti
yang dikutip oleh Eftichia V et al, 2004 yang meneliti kemampuan BPP, KTG dan
doppler velosimetri untuk mendeteksi asidemia janin pada pregeastasional insulin-
dependent diabetes, menemukan bahwa pada kehamilan tanpa vaskulopati, 30 %
janin mengalami lactic academia, dan hanya 25% janin yang mengalami lactic
academia itu menunjukkan hasil BPP yang abnormal serta hanya 50 % variabilitas
jantung janin nya abnormal.
Berbeda dengan pasien yang sudah memiliki vaskulopati dimana
pemeriksaan Doppler velosimetri seluruhnya abnormal. Masih menjadi pertanyaan
tentang manfaat BPP untuk tes kesejahteraan janin pada pasien dengan diabetes yang
tak terkontrol, sebab terbukti bahwa tingginya kadar gula darah mempengaruhi
gerakan janin (makin banyak), mempengaruhi jumlah air ketubah dan juga
meningkatkan fetal breathing.
Fetal sepsis :
Beberapa kondisi klinis yang sering menyebabkan fetal sepsis adalah,
preterm labor, pecah ketuban (PROM), atau primary sub-clinical intraamniotic
infection. Dari beberapa kondisi tersebut maka pecah ketuban yang paling sering
menimbulkan fetal sepsis. Pada penelitian prosepctive didapatkan hasil bahwa
pemeriksaan BPP setiap hari dapat dipakai sebagai predictor awal terjadinya fetal
sepsis, dimana NST dan fetal breathing yang pertama kali abnormal.
Dalam penelitian lain dibandingkan antara pemakaian NST dan Fetal
breathing dengan fetal brathing saja untuk monitoring kesehatan janin pada kasus
PROM, ternyata tidak ada perbedaan sensitifitas dan spesifisitas antar kedua cara
tersebut, namun demikian direkomendasikan untuk menggunakan BPP pada kasus
dengan umur kehamilan < 28 minggu, sedangkan pada kasus dengan umur
kehamilan > 28 minggu digunakan NST dan fetal breathing movement (FBP).
Alternative lainnya untuk mengidentifikasi fetus at risk untuk fetal sepsis adalah
pengecatan Gram, gluksoa, leukosit, IL-6 atau kultur aerob/anaerob dari air ketuban
yang diambil lewat amniosintesis. Jadi untuk fetal sepsis maka tes yang
direkomdasikan adalah amniosintesis untuk mendeteksi infeksi intramnion, AFI,
NST dan BPP.
Fetal Anemia :
Ada beberapa contoh kasus yang dapat menyebabkan terjadinya fetal anemia,
yaitu aloimunisasi rhesus dan perdarahan feto-maternal. Bukti ilmiah yang sudah
pasti saat ini memastikan pengukuran gelombang Doppler MCA (MCA-PSV)
merupakan predictor anemia yang baik. Apabila ditemukan gelombang Doppler
abnormal pada MCA maka tindakan selanjutnya adalah amniosintesis/cordosintesis
20
untuk menentukan nilai hemoglobin fetus, namun hal ini bersifat invasive dan
berisiko karena itu pemeriksaan diganti dengan pengukuran fetal liver length, splenic
parameter, placental thickness dan polihidramnion. Pada fetal anemia yang kronik
ukuran lobus kanan liver akan membesar disebabkan oleh aktifitas hemopoesis
ekstrameduler.
Diameter hepar merupakan cara menentukan fetal anemia yang sangat baik
pada umur kehamilan kurang dari 34 minggu, karena peran liver pada hematopoesis
pada umur kehamilan tersebut masih dominan, sedangkan pada umur kehamilan
diatas 34 minggu ukuran liver tidak akurat lagi, karena aktifitas hematopoesis sudah
diambil alih oleh sumsum tulang. Sensitifitas MCA-PSV untuk deteksi fetal anemia
adalah 100%, dengan false positip hanya 12 % (untuk umur kehamilan < 34 minggu).
Kesimpulan :
Dalam kondisi pemeriksaan kesejahteraan janin yang canggih seperti analisa
gas darah, fetal scalp sampling, fetal pulse oxymetri dan fetal ECG tidak tersedia,
maka pemakaian KTG dapat dipertanggungjawabkan. Pemilihan test kesejahteraan
janin hendaknya disesuaikan dengan patofisiologi yang dicurigai menyebabkan janin
terancam. Dalam kaitan dengan penanganan kasus maka situasi klinis harus selalu
diikut sertakan untuk mengambil keputusan.
Misinterpretasi dari hasil rekaman dapat mengakibatkan tindakan yang tidak
perlu untuk pasien atau membahayakan keselamatan janin. Karena itu edukasi dan
pelatihan pemakaian KTG ini perlu terus dilakukan di senter-senter/ klinik-klinik
yang menangani persalinan. Kardiotokografi ini akan sangat berguna apabila :
21
1. Adanya pengetahuan yang baik tentang interpretasi rekaman.
2. Mengetahui keterbatasan alat.
3. Digunakan dalam situasi, indikasi dan cara yang tepat.
4. Menggunakan tes tambahan bila hasilnya ragu-ragu.
22