Anda di halaman 1dari 12

A.

Pendahuluan
Sindrom nefrotik (SN) merupakan kumpulan manifestasi klinis yang ditandai dengan
hilangnya protein urin secara masif (albuminuria), diikuti dengan hipoproteinemia
(hipoalbuminemia) dan akhirnya mengakibatkan edema. Dan hal ini berkaitan dengan
timbulnya hiperlipidemia, hiperkolesterolemia dan lipiduria.
Sindom nefrotik pada anak dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih banyak terjadi
pada usia 1-2 tahun dan 8 tahun.(2) Pada anak-anak onsetnya paling sering dibawah usia 8
tahun, ratio antara anak laki-laki dan perempuan bervariasi dari 2 : 1 hingga 3 : 2. Pada anak
yang lebih tua, remaja dan dewasa, prevalensi antara laki-laki dan perempuan kira-kira sama.
Data dari International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menunjukkan bahwa
66% pasien dengan minimal change nephrotic syndrome (MCNS) dan focal segmental
glomerulosclerosis (FSGS) adalah laki-laki dan untuk membranoproliferative
glomerulonephritis (MPGN) 65 % nya adalah perempuan.
Di USA, SN merupakan suatu kondisi yang jarang terjadi. Dari seluruh pengalaman
praktek, ahli pediatri hanya menemukan 1-3 pasien dengan kondisi seperti ini. Dilaporkan
angka kejadian tahunan rata-rata 2-5 per 100.000 anak dibawah usia 16 tahun. Prevalensi
kumulatif rata-rata adalah kira-kira 15,5 per 100.000 individu.
SN bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu petunjuk
awal adanya kerusakan pada unit filtrasi darah terkecil (glomerulus) pada ginjal, dimana
urine dibentuk.(2). Sekitar 20% anak dengan SN dari hasil biopsi ginjalnya menunjukkan
adanya skar atau deposit pada glomerulus. Dua macam penyakit yang paling sering
mengakibatkan kerusakan pada unit filtrasi adalah Glomerulosklerosis Fokal Segmental
(GSFS) dan Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP). Seorang anak yang lahir
dengan kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya Sindrom nefrotik.
Sindroma Nefrotik dapat berkembang selama perjalanannya menjadi
glomerulonephritis tetapi paling lazim adalah glomerulonefritis membranosa,
membranoproliferatif pasca-streptokokus, lupus infeksi kronis, dan purpura anafilaktoid.
Keadaan-keadan tersebut berkaitan erat dengan kejadian gagal ginjal.
B. Kasus
Seorang anak laki-laki usia 10 tahun 4 bulan, suku bugis, masuk rumah sakit pada
tanggal 14 mei 2014 dengan keluhan utama bengkak pada seluruh tubuh. Bengkak di rasakan
kurang lebih 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, awalnya bengkak pada daerah wajah
utamanya di sekitar mata, bengkak pada wajah kemudian meluas pada daerah kaki kemudian
perut. Bengkak terutama terlihat pada pagi hari. Pasien juga mengeluhkan sesak sejak 3 hari
1
sebelum masuk rumah sakit, sesak tidak membaik dengan perubahan posisi. Selain itu
keluhan lain pasien adalah mual di sertai muntah sebanyak dua kali, 2 hari sebelum masuk
rumah sakit. Buang air kecil pasien sedikit-sedikit tetapi tidak nyeri warna kuning jernih,
buang air besar kesan normal. Riwayat penyakit sebelumnya demam, batuk, beringus di
rasakan 2 minggu yang lalu tidak berobat ke dokter dan membaik setelah pemberian
paracetamol sirup, pasien pernah mengalami keluhan yang sama pada bulan 4 tahun 2013 dan
di rawat di RS. Bhayangkara lalu di rujuk di RS. Wahidin Makassar dengan diagnosa sakit
ginjal.
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan kesadaran somnolen, tekanan darah 170/110, nadi
120x/menit, pernafasan 26x/menit, Suhu 37,6’C, berat badan 47 kg, dan tinggi badan 157 cm,
status gizi cukup. Ditemukan edema pada kelopak mata, konjungtiva anemis, tetapi sklera
tidak ikterik. Pada THT (telinga, hidung, dan tenggorokan) tidak di temukan kelainan tonsil
T2/T2, faring tidak hiperemi. JVP dalam batas normal 5+0 cm H2O . Suara jantung pertama
dan kedua normal tanpa murmur, suara dasar paru vesikuler, tidak di temukan ronkhi dan
wheezing. Pada abdomen di temukan ascites sedang (Shifting Dullnes), hati dan limpa tidak
teraba, ekstremitas terdapat pitting edema pada ekstremitas inferior dan akral teraba hangat.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan, Leukosit 35,21, Hemoglobin 5,4 g/dL,
Trombosit 340 103/uL, LED 124, Protein total 3,88 g/dL, albumin 1,25 g/dL, Urea 91,6
mg/dL, Kreatinin 16,23 mg/dL, eLFG 4 ml/mnt/1,73 m2. Urinalisis Albumin +4, Glukosa +2,
Keton +2, Darah +4, Eritrosit 2-5. Berdasarkan data klinik di atas pasien di diagnosa Sindrom
Nefrotik dengan komplikasi Gagal Ginjal Kronik Stadium Akhir.
Pada pasien ini berikan Diet protein 1,5 g/kg/24 jam contohnya telur dan susu yang
memiliki nilai protein biologis yang tinggi, Ringer Laktat 8 tpm (mikrodrips) dan di berikan
terapi furosemide agresif 3 x 20 mg (1-4 mg/kg/24 jam), transfusi PRC 500 cc (10 mL/kg),
serta pengontrol tekanan darah nifedipine oral 1 x 20 mg (0,25-0,5 mg/kg). Terapi
simptomatis paracetamol 500 mg dan Persiapan rujukan untuk pertimbangan dialisis.
C. Pembahasan
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu keadaan menurunnya laju filtrasi glomerulus
(LFG) yang bersifat tidak reversibel. Pada anak-anak GGK dapat disebabkan oleh berbagai
hal, terutama karena kelainan kongenital, glomerulonefritis, penyakit multisistem, dan lain-
lain. Gagal ginjal kronik terjadi apabila laju filtrasi glomerulus kurang dari 50
ml/menit/1.73m2.
Gagal ginjal kronis pada masa kanak-kanan berkorelasi erat dengan umur penderita pada
saat pertama kalinya gagal ginjal tersebut terdeteksi. Gagal ginjal kronis pada anak di bawah
2
usia 5 tahun biasanya akibat kelainan anatomis (hipoplasia, dysplasia, obstruksi, malformasi),
sedangkan setelah usia 5 tahun dominan adalah penyakit glomerulus di dapat
(glomerulonefritis, sindrom hemolitik uremik) atau gangguan herediter (sindrom Alport,
penyakit kistik). Gagal ginjal kronis dapat di kaitkan dengan keadaan sindrom nefrotik
utamanya bila telah terjadi komplikasi infeksi dan menjadi glomerulonephritis.
Manifestasi klinis pada gagal ginjal kronis karena penyakit glomerulus atau herediter
mungkin tidak spesifik dan tergantung pada penyakit dasarnya, keluhan-keluhan yang
muncul sperti nyeri kepala, lelah, letargi, nafsu makan menurun, muntah, polidipsia, poliuria,
dan kegagalan pertumbuhan, pada pemeriksaan fisik tidak khas kebanyakan pasien gagal
ginjal kronis tampak pucat dan lemah serta tekanan darah tinggi. Pada pasien ini memenuhi
kriteria dari gagal ginjal kronis dimana terdapat penurunan laju filtrasi glomerulus kurang
dari 50 ml/menit/1.73m2, serta dari manifestasi klinis dan pemeriksaa fisik memenuhi kriteria
gagal ginjal kronis.
Manifestasi klinis pada sindrom nefrotik adalah kelainan lebih sering di jumpai pada
laki-laki daripada perempuan (2:1) dan paling lazim muncul antara usia 2-6 tahun. Penyakit
ini biasanya muncul sebagai edema yang merupakan keluhan utama, tidak jarang merupakan
satu-satunya keluhan dari pasien dengan SN. Lokasi edema pada daerah kelopak mata (puffy
face), dada, perut, tungkai dan genitalia. Episode pertama penyakit sering mengikuti sindrom
seperti influenza, bengkak periorbital dan oliguria. Edema kadang-kadang mencapai 40% dari
berat badan dan didapatkan anasarka. Penderita sangat rentan terhadap infeksi sekunder.
Selama beberapa minggu mungkin terdapat hematuria, azotemia dan hipertensi ringan.
Pada beberapa pasien SN (anasarka), tidak jarang ada keluhan-keluhan menyerupai
akut abdomen seperti mual dan muntah, dinding perut sangat tegang. Keluhan jarang selain
malaise ringan dan nyeri perut. Hipertensi terjadi 15% pada minimal change disease dan
33% pada pasien dengan glomerulosklerosis fokal segmental.
Pada pemeriksaan urin (urinalisa), jumlah protein pada sampel urine penderita SN
biasanya melampaui 100 mg/dl, dan nilainya dapat mencapai 1000 mg/L. Mikroskopik
hematuria tampak pada permulaan penyakit 20-30% penderita dengan MCD, dan setelah itu
dapat tidak tampak. Sedimen urin dapat normal atau berupa torak hialin,granula, lipoid;
terdapat pula sel darah putih.. Kimia darah menunjukkan konsentrasi serum albumin kurang
dari 2,5 g/dl dan hiperkolesterolemia (> 250 mg/dl). Laju endap darah dapat meninggi. Pada
pasien ini di temukan kriteria yang menggambarkan sindrom nefrotik yakni proteinuria masif
Protein total 3,88 g/dL, edema, hipoalbumin 1,25 g/dL, dan LED yang meningkat 124.

3
Komplikasi Gagal ginjal dapat terjadi pada semua tipe sindrom nefrotik, tetapi lebih
jarang terjadi pada penderita dengan minimal change disease (MCD). Hipertensi lebih sering
terjadi pada tipe glomerulonephritis membranoproliferatif (GNMP) dan glomerulosklerosis
fokal segmental (GSFS).
Patogenesis dari gagal ginjal kronis pada pasien ini di duga di dahului oleh sindrom
nefrotik (skema.1). Indikator utama pada SN adalah adanya proteinuria masif yaitu lebih dari
3,5 gram per 1,73 m2 luas permukaan badan perhari atau 25 x nilai normal (pada orang
normal protein dalam urine + 150 mg/hari). Proteinuria ini sebagian besar berasal dari
kebocoran glomerulus (proteinuria glomerulus) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi
tubulus (proteinuria tubular). Pada dasarnya proteinuria masif ini mengakibatkan dua hal,
jumlah serum protein yang difiltrasi glomerulus meningkat sehingga serum protein tersebut
masuk ke dalam lumen tubulus dan kapasitas faal tubulus ginjal menurun untuk mereabsorbsi
serum protein yang telah difiltrasi glomerulus. Mekanisme atau patogenesis proteinuria masif
sangat kompleks, dan tergantung dari banyak faktor. Albumin merupakan serum protein yang
mempunyai berat molekul kecil dan jumlahnya banyak sehingga mudah keluar bila terdapat
kerusakan membran basalis ginjal. Keadaan demikian sering ditemukan pada pasien dengan
kerusakan minimal.
Bila kerusukan ini terjadi terus menerus akan terjadi kemunduran fungsi ginjal
mencapai kritis, penjelekan sampai gagal ginjal stadium akhir tidak dapat dihindari.
Mekanisme yang tepat, yang mengakibatkan kemunduran fungsi secara progresif belum jelas
Endapan kompleks imun atau antibodi anti-membrana basalis glomerulus secara terus-
menerus pada glomerulus dapat mengakibatkan radang glomerulus yang akhirnya
menimbulkan jaringan parut.
Cedera hiperfiltrasi dapat merupakan akhir jalur umum yang penting pada destruksi
glomerulus akhir, tidak tergantung mekanisme yang memulai cedera ginjal. Bila nefron
hilang karena alasan apapun, nefron sisanya mengalami hipertrofi struktural dan fungsional
yang ditengahi, setidak-tidaknya sebagian, oleh peningkatan aliran darah glomerulus.
Peningkatan aliran darah sehubungan dengan dilatasi arteriola aferen dan konstriksi arteriola
eferen akibat-angiotensin II menaikkan daya dorong filtrasi glomerulus pada nefron yang
bertahan hidup. "Hiperfiltrasi" yang bermanfaat pada glomerulus yang masih hidup ini, yang
berperan memelihara fungsi ginjal, dapat juga merusak glomerulus dan mekanismenya belum
dipahami. Mekanisme yang berpotensi menimbulkan kerusakan adalah pengaruh langsung
peningkatan tekanan hidrostatik pada integritas dinding kapiler, hasilnya mengakibatkan
keluarnya protein melewati dinding kapiler, atau keduanya. Akhirnya, kelainan ini
4
menyebabkan perubahan pada sel mesangium dan epitel dengan perkembangan sklerosis
glomerulus. Ketika sklerosis meningkat, nefron sisanya menderita peningkatan beban
ekskresi, mengakibatkan lingkaran setan peningkatan aliran darah glomerulus dan
hiperfiltrasi. Penghambatan enzim pengubah angiotensin mengurangi hiperfiltrasi dengan
jalan menghambat produksi angiotensin II, dengan demikian melebarkan arteriola eferen, dan
dapat memperlambat penjelekan gagal ginjal.
PERMEABILITAS GLOMERULUS MENINGKAT

Kebocoran PBH melalui urin kenaikan filtrasi LIPIDURIA


(protein-bound hormon) plasma protein

penurunan plasma T-4 HIPERKOLESTEROLEMIA

Kenaikan reabsorbsi ALBUMINURIA kenaikan sintesis protein


Plasma protein dalam sel hepar

Katabolisme albumin HIPOPROTEINEMIA Penurunan volume


Dalam sel tubulus intravaskular

Malnutrisi Kenaikan volume cairan


interstitial
Kehilangan protein melalui
Usus (enteropati)
Kerusakan sel tubulus

AMINOASIDURIA EDEMA
Skema 1. Patogenesis SN

Secara garis besar penatalaksanaan dapat dibagi 2 golongan, yaitu pengobatan


konservatif dan pengobatan pengganti. Pada umumnya pengobatan konservatif masih
mungkin dilakukan bila klirens kreatinin > 10 ml/menit/1,73 m2, tapi bila sudah < 10
ml/menit pasien tersebut harus diberikan pengobatan pengganti.

5
Terapi Konservatif
Tujuan terapi konservatif gagal ginjal pra-terminal, adalah:
a. Anak merasa sehat, tidak ada keluhan atau rasa sakit yang disebabkan oleh
uremia, seperti misalnya mual, muntah.
b. Merasa normal, seperti teman-temannya, mempunyai cukup energi untuk
berpartisipasi dalam kegiatan sekolah dan aktivitas sosial lainnya; sehingga dapat
mencapai pertumbuhan motorik, sosial, dan intelektual yang optimal.
c. Mempertahankan pertumbuhan fisik yang normal.
d. Mempertahankan agar fungsi keluarga berjalan seperti biasanya.
e. Memperlambat progresivitas penurunan LFG.
f. Mempersiapkan anak dan keluarganya untuk menghadapi keadaan gagal ginjal
terminal.
Malnutrisi energi protein seringkali ditemukan pada anak-anak dengan GGK.
Patogenesis terjadinya malnutrisi ini multifaktorial. Intake nutrisi yang direkomendasikan
untuk anak-anak dengan GGK hendaklah memperhatikan hal-hal berikut:
1. Asupan nutrisi sebaiknya dipantau melalui cara penilaian diet secara prospektif 3
hari berturut-turut 2 kali setahun, dan lebih sering bila ada indikasi klinik.
2. Anak-anak dengan GGK cenderung kehilangan nafsu makan dan seringkali
mendapatkan intake dibawah kebutuhan yang dianjurkan. EAR adalah estimasi
kebutuhan rata-rata energi, protein, vitamin, mineral. Kriteria ini dipakai untuk
menggantikan Recommended Daily Allowance (RDA), yang didefinisikan
sebagai kecukupan kebutuhan nutrisi untuk anak sehat dengan jenis kelamin,
tinggi badan dan umur yang sama. Asupan energi kurang dari 80% dari RDA telah
terbukti berasosiasi dengan gagal tumbuh (Rizzoni 1984), yang dapat dipulihkan
dengan meningkatkan energi menjadi 100% RDA. Asupan energi berlebih tidak
memberikan manfaat, kecuali pada anak-anak dengan ratio berat terhadap tinggi
badan yang rendah, yang membutuhkan asupan energi sampai 120% RDA. Untuk
mencapai EAR yang sesuai umur dan energi, sebagian besar anak dengan GGK
membutuhkan suplemen kalori dalam bentuk polimer glukosa atau emulsi lemak,
dimana pada bayi dan anak-anak kecil, diperlukan nutrisi tambahan melalui pipa
nasogastrik.
3. Untuk mencegah atau mengobati hiperparatiroidisme sekunder, kadar fosfat
plasma harus dipertahankan antara mean dan -2SD untuk umurnya, dengan cara
membatasi diet fosfat dan pemakaian kalsium karbonat sebagai pengikat fosfat.9
6
Sumber fosfat terbanyak adalah susu, keju dan yoghurt.
4. Pada binatang coba, diet rendah protein terbukti mampu menghambat laju
penurunan fungsi ginjal. Pada anak-anak, yang kebutuhan proteinnya lebih tinggi
untuk pertumbuhannya, restriksi protein ternyata tidak bermanfaat dalam
menghambat laju penurunan fungsi ginjal dan bahkan akan mengakibatkan gagal
tumbuh. Anak-anak dengan GGK sebaiknya memperoleh asupan protein
minimum sesuai EAR for age (lihat tabel). Tetapi bila kadar urea darah anak tetap
diatas 120 mg/dl, barulah dilakukan restriksi protein secara bertahap sampai kadar
ureumnya menurun. Restriksi protein tidak perlu diberlakukan bila protein telah
mencapai 6% dari kebutuhan total kalori. Beberapa penelitian mengenai
pemberian diet protein yang dicampur dengan asam amino essensial atau analog
ketoasidnya menunjukkan perbaikan keadaan umum, perbaikan pertumbuhan dan
fungsi ginjal, namun diet ini sangat kompleks, mahal, rasanya tidak enak, dan
belum ada penelitian yang membuktikan bahwa diet ini lebih unggul dibanding
kelompok kontrol dengan makanan yang kurang kompleks.
Penilaian secara klinik adanya dehidrasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan turgor
kulit, kekeringan mukosa, tekanan darah, tekanan vena juguler, dan berat badan, yang harus
selalu dilakukan pada setiap kunjungan. Anak dengan uropati obstruktif atau displasia ginjal
umumnya cenderung menderita kekurangan garam natrium dan kalium, yang akan
mengganggu pertumbuhannya. Suplemen natrium khlorida sebaiknya diberikan pada kasus-
kasus tersebut dengan pemantauan ketat terhadap pertumbuhan, sembab, hipertensi, atau
hipernatremia. Kebutuhan air disesuaikan dengan jumlah urine yang keluar.
Anak-anak dengan penyakit ginjal primer yang menimbulkan hipertensi, dianjurkan untuk
membatasi asupan natrium dan air.
Sebagian besar anak dengan GGK mampu mempertahankan homeostasis kalium. Bila
terjadi hiperkalemia, perlu dipikirkan apakah tidak ada obat2an seperti misalnya ACE
inhibitors, katabolisme, atau asidosis metabolik, sebagai penyebabnya, sebelum membatasi
asupan kalium atau memberikan kalium exchange resin.

Osteodistrofi Renal
1. Kadar hormon paratiroid (PTH) meningkat dan kadar 1,25 dihydroxycholecalciferol
menurun, sejak mulai terjadinya insufisiensi ginjal ringan, yaitu pada LFG 50-80
ml/menit/1.73m2. Kadar fosfat plasma merupakan sebab utama terjadinya
7
hiperparatiroidisme sekunder. Fosfat mengatur sel paratiroid secara independen pada
kadar calcium serum dan kadar 1,25-dihydroxycholecalciferol endogen. Oleh karenanya
kontrol terhadap fosfat plasma adalah hal paling penting sebagai prevensi dan terapi
hiperparatiroidisme sekunder, meskipun hal tersebut paling sulit dicapai dalam jangka
panjang, oleh karena membutuhkan kepatuhan akan diet rendah fosfat yang ketat and
pemberian pengikat fosfat untuk mengurangi absorbsinya. Diet rendah fosfat berarti
membatasi intake susu sapi dan produknya. Bila kadar fosfat plasma tetap diatas harga
rata-rata untuk umur, pengikat fosfat misalnya kalsium karbonat 100 mg/kg/hari
diberikan bersama makanan, dosis disesuaikan sampai kadar fosfat plasma berada antara
harga rata-rata dan -2SD sesuai umurnya. Kalsium asetat, dan yang lebih baru, sevelamer
(non-calcium/non-aluminium containing polymer) juga merupakan pengikat fosfat yang
bermanfaat.
2. Penurunan kadar fosfat plasma dapat meningkatkan kadar 1,25-dihydroxycholecalciferol
endogen dan kalsium ion, yang mampu menormalkan kadar PTH. Namun, bila kadar
PTH tetap tinggi dan kadar fosfat plasma normal, perlu ditambahkan vitamin D3
hidroksilasi.
3. Tipe, dosis, frekuensi, dan rute pemberian vitamin D sebagai prevensi dan terapi
osteodistrofi renal masih merupakan kontroversi. Dianjurkan pemberian dosis rendah
1,25-dihydroxycholecalciferol 15-30 ng/kg/sekali sehari untuk anak-anak dengan berat
kurang dari 20 kg, dan 250-500 ng sekali sehari untuk anak-anak yang lebih besar, untuk
menaikkan kadar kalsium plasma sampai batas normal atas: bila kadar PTH telah normal,
1,25-dihydroxycholecalciferol dapat dihentikan sementara. Pemberian 1,25-
dihydroxycholecalciferol secara intravena lebih efektif untuk menurunkan kadar PTH,
tetapi dapat menyebabkan adynamic bone, oleh karena 1,25-dihydroxycholecalciferol
pada dosis tinggi mempunyai efek antiproliferatif pada osteoblast.
4. Kadar kalsium, fosfat, dan alkali fosfatase plasma diperiksa setiap kunjungan. Kadar
PTH diukur setiap bulan, atau setiap kunjungan bila anak melakukan kunjungan yang
lebih jarang, dan terapi disesuaikan. Bila anak asimtomatik dan parameter biokimia
normal, hanya perlu dilakukan pemeriksaan radiologi manus kiri dan pergelangan tangan
setiap tahun untuk menilai usia tulang.
Hipertensi dapat berasal dari penyakit ginjal primer, misalnya nefropati refluks,
penyakit ginjal polikistik autosomal resesif, atau karena GGK yang telah lanjut, akibat retensi
natrium dan air. Pengendalian tekanan darah pada GGK, bukan saja untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi itu sendiri, melainkan juga untuk mencegah
8
progresivitas penurunan fungsi ginjal. Bila tidak ada circulatory volume overload, sistolik
dan diastolik dalam pemeriksaan berulang lebih dari 90 persentil untuk umur, perlu diberikan
terapi antihipertensi untuk prevensi komplikasi hipertensi dan menghambat laju GGK. Bila
ada tanda-tanda circulatory volume overload sebagai penyebab hipertensi, diberikan diuretik
dari golongan furosemide dengan dosis 1-3 mg/kg dan diet rendah garam.
Anak-anak dengan kelainan ginjal rentan mengalami infeksi saluran kemih berulang.
Bila menderita refluks vesiko-ureter perlu diberikan antibiotik dosis rendah sebagai
profilaksis.
Anemia pada GGK adalah anemia normokromik normositer, karena produksi
eritropoietin yang tidak adekuat. Eritropoietin rekombinan (rHuEPO) telah dipakai secara
luas untuk mencegah anemia pada GGK. Disamping eritropoietin masih ada faktor lain yang
dapat mempermudah terjadinya anemia antara lain menurunnya daya survival sel darah
merah, inhibisi sumsum tulang terutama oleh PTH, kehilangan darah intestinal, dan paling
sering defisiensi besi dan folat.
Sebagian besar anak-anak dengan pra-GGT dapat mempertahankan kadar hemoglobin
tanpa bantuan terapi eritropoietin rekombinan, dengan cara pengaturan nutrisi yang baik,
suplemen besi dan folat, dan bila diperlukan supresi hiperparatiroid sekunder dengan
memakai pengikat fosfat yang tidak mengandung aluminium. Bila anemia tetap terjadi, dapat
diberikan eritropoietin rekombinan dengan dosis 50 unit/kg secara subkutan dua kali
seminggu, dosis dapat dinaikkan sesuai respon agar mencapai target hemoglobin 10-12 g/dl.
Kadar ferritin serum dipertahankan diatas 100 mcg/l agar tercapai suplemen besi yang
adekuat. Anak-anak dengan pra-GGT biasanya mendapatkan suplemen besi peroral,
sedangkan mereka yang telah dilakukan dialisis biasanya memerlukan suplemen besi secara
intra-vena.
Terapi Pengganti Ginjal
Tujuan terapi Gagal Ginjal Terminal pada anak-anak tidak hanya untuk
memperpanjang hidup anak, namun juga untuk meningkatkan kualitas hidup secara
keseluruhan, dengan tujuan utama adalah kehidupan masa dewasa yang lebih baik.
Transplantasi ginjal yang berhasil merupakan terapi pilihan untuk semua anak dengan gagal
ginjal terminal. Transplantasi ginjal dapat dilakukan dengan donor ginjal yang berasal dari
keluarga hidup atau jenazah.
Dialisis merupakan pelengkap dari transplantasi yang diperlukan pada saat sebelum
atau antara transplantasi, dan bukanlah merupakan pilihan alternatif dari transplantasi. Ada 2
pilihan dasar yaitu hemodialisis atau dialisis peritoneal. Tetapi pilihan tidak selalu dapat
9
dilakukan, bila misalnya terdapat kesulitan untuk memperoleh akses fistula A-V, maka
pilihan hanyalah dialisis peritoneal, atau misalnya adanya adhesi intra-abdominal, maka
dialisis peritoneal tidak bisa dipilih, kecuali hemodialisis.
Seorang anak dipersiapkan untuk dilakukan transplantasi apabila laju filtrasi
glomerulus telah menurun sampai 10 ml/menit/1.73m2. Secara ideal sebenarnya adalah
melakukan transplantasi sebelum timbul gejala-gejala akibat gagal ginjal kronik dan sebelum
dialisis dibutuhkan. Tetapi hal tersebut jarang bisa dilakukan karena masa tunggu untuk
mendapatkan donor yang cocok tidak bisa dipastikan, masalah-masalah medis yang tidak
memungkinkan anak segera menjalani transplantasi, atau yang paling sering adalah
memberikan waktu yang cukup untuk pasien dan keluarganya guna mempersiapkan dan
menyesuaikan diri menghadapi situasi yang baru. Indikasi untuk memulai dialisis adalah:
1. Timbulnya gejala sindrom uremia berupa letargi, anoreksia, atau muntah yang
mengganggu aktivitas sehari-harinya.
2. Gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam jiwa,
misalnya hiperkalemia yang tidak respon terhadap pengobatan konservatif.
3. Gejala kelebihan cairan yang tidak dapat diatasi dengan terapi diuretik.
4. Terjadi gagal tumbuh yang menetap meskipun telah dilakukan terapi konservatif
yang adekuat.
Dialisis
Keuntungan dan kerugian dialisis peritoneal dan hemodialisis dapat dilihat pada tabel
di bawah ini. Di Inggeris, Amerika Serikat, dan banyak negara-negara lain, dialisis peritoneal
lebih banyak dilakukan pada anak-anak.
Hemodialisis adalah suatu teknik untuk memindahkan atau membersihkan solut
dengan berat molekul kecil dari darah secara difusi melalui membran semipermeabel.
Hemodialisis membutuhkan akses sirkulasi, yang paling baik adalah pembuatan fistula A-V
pada vasa radial atau brachial dari lengan yang tidak dominan.
Pada dialisis peritoneal, membran peritoneal berfungsi sebagai membran semi-
permeabel untuk melakukan pertukaran dengan solute antara darah dan cairan dialisat. Untuk
memasukkan cairan dialisat kedalam rongga peritoneum perlu dipasang kateter peritoneal
dari Tenckhoff. Ada 2 cara pelaksanaan dialisis peritoneal, yaitu:
1. Automated Peritoneal Dialysis (APD), dimana dialisis dilakukan malam hari
dengan mesin dialisis peritoneal, sehingga pada siang hari pasien bebas dari
dialisis.
2. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dialisis berlangsung 24 jam
10
sehari dengan rata-rata pertukuran cairan dialisat setiap 6 jam sekali.
Meskipun hemodialisis dan dialisis peritoneal merupakan TPG yang efektif, angka mortalitas
dialisis lebih tinggi daripada transplantasi untuk semua kelompok umur.
Transplantasi
Merupakan terapi terbaik bagi anak-anak dengan gagal ginjal terminal oleh karena
akan memberikan rehabiltasi terbaik untuk hidup yang sangat mendekati wajar. Transplantasi
dilakukan dengan ginjal jenazah atau ginjal yang berasal dari keluarga hidup yang berusia
relatif lebih tua, biasanya dari orang tuanya.
Di Eropa pada tahun 1984-1993 hampir 21% anak yang berusia kurang dari 21 tahun
mendapat ginjal dari donor hidup,12 sedangkan di Amerika Utara donor hidup mencapai 50%
dari seluruh donor yang diterima anak-anak yang berusia kurang dari 21 tahun pada tahun
1987-2000.
Pada pasien ini berikan Diet protein 1,5 g/kg/24 jam contohnya telur dan susu yang
memiliki nilai protein biologis yang tinggi oleh karena pada anak dengan insufisiensi ginjal,
kecepatan pertumbuhan berkurang ketika LFG turun di bawah 50% normal. Ringer Laktat 8
tpm (mikrodrips) karna pada anak ini terdapaat edema dan tekanan darah tinggi maka
pembatasan natrium perlu sehingga tidak di anjurkan pemberian cairan berupa NaCL, dan di
berikan terapi furosemide agresif 3 x 20 mg (1-4 mg/kg/24 jam), transfusi PRC 500 cc (10
mL/kg), serta pengontrol tekanan darah nifedipine oral 1 x 20 mg (0,25-0,5 mg/kg). Terapi
simptomatis paracetamol 500 mg dan Persiapan rujukan untuk pertimbangan dialisis.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Pradana, A., 2009, Gagal Ginjal Kronik pada Anak,


http://www.docstoc.com/docs/14785676/Gagal-Ginjal-Kronik-pada-Anak, 3 Juni
2014.
2. Vincent lannelli, M.D. Childhood Nephrotic Syndrome 2005; (online)
(http://www.eMedicine.com/pediatrics/kidney diakses Juni 2014)
3. Y. C. Tsao. Some Recent Advances in The Investigation and Treatment of The
Nephrotic Syndrome in Children in The Bulletin of The Hongkong Medical
Association . Departement of Pediatrics, University of Hongkong. Vol.23, 1971.
4. Mansjoer, A. Suprahaita. Sindrom Nefrotik. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran Jilid
2 Edisi III. Media Aesculapius FKUI. Jakarta : 2000
5. Abdoerrachman,M.H dkk. Sindrom Nefrotik. Dalam : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak Jilid 2. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1997; 832-835
6. William Wong ed PK. Nephrotic Syndrome in Childhood 2001; (online)
(http://www.eMedicine.com/Paediatrics Clinical diakses Juni 2014)
7. Sukandar Enday. Sindrom Nefrotik. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai
Penerbit FKUI . Jakarta : 1998 ; 282 – 305

12

Anda mungkin juga menyukai