PJBL Bleeding
PJBL Bleeding
PENDAHULUAN
1
9. Apapenatalaksanaan medis dari tiap klasifikasiantepartum bleeding?
10.Apaasuhan keperawatan dari tiap klasifikasiantepartum bleeding?
2
BAB 2
PEMBAHASAN
3
2. Jumlah Flek Darah : mengeluarkan darah yang hanya sedikit berupa flek.
Terjadi hanya dalam 1-2 hari saja.
3. Warna : warna darah yang keluar dapat menjadi 2 kategori warna yaitu,
cenderung warna terang (merah segar) ataupun warna gelap (merah
kecokelatan).
4. Rasa nyeri atau keram perut : keram perut akan terjadi sebagai reaksi dari
proses implan. Gejala nyeri ringan.
2.1.2 Abortus
A. Definisi Abortus
Abortus merupakan berakhirnya kehamilan denganpengeluaran hasil konsepsi
sebelum janin dapat hidup di luar kandungan dengan batasan ialah usia kehamilan yang
kurang dari 20 minggu dan atau berat janin kurang dari 500 gram dimana plasentasi
belum sempurna (Rochmawati, 2013). Abortus sendiri diklasifikasikan menjadi dua
penyebab yaitu abortus spontan dan abortus provokatus serta klasifikasi abortus
bersarkan gejala klinis perdarahan.
a. Abortus Spontan
Abortus spontan adalah keluarnya hasil konsepsi yang terjadi tanpa tindakan
mekanis yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah atau tidak disengaja.
b. Abortus Provokatus
Abortus Provokatus atau abosri buatan adalah keluarnya hasil konsepsi akibat
tindakan sengaja baik secara mekanis maupun mengkonsumsi obat-obatan.
- Abortus artifisialis / abortus therapeutik, merupakan abortus atas indikasi
kepentingan ibu, misalnya penyakit jantung, hipertensi, karsinoma serviks, dan
lain-lain yang diputuskan oleh dokter ahli ginekologi dan obstetri, penyakit dalam,
maupun psikiatri.
- Abortus kriminalis, merupakan pengguguran kehamilan tanpa alasan medis yang
sah atau oleh yang tidak berwenang dan dilarang oleh hukum.
c. Abortus berdasarkan Gejala Klinis Perdarahan.
Abortus ini ditandai dengan gejala yang sama yaitu perdarahan namun disebabkan
oleh sebab yang berbeda-beda, tetapi belum tentu setiap perdarahan pada
kehamilan dikatakan sebagai keguguran.
- Threteaned Abortion, merupakan abortus yang mengancam dilihat dari
pemeriksaan lab (β-hCG), pemeriksaan USG, maupun pemeriksaan fisik dengan
4
gejala perdarahan bercak atau erdarahan yang semakin berat berlangsung selama
beberapa hari atau minggu.
- Inevitable Abortion, merupakan abortus dengan gejala perdarahan banyak dan
terkadang keluar gumpalan darah disertai nyeri dan juga didefinisikan jika
keguguran sudah tidak dapat dicegah atau telah terjadi dilatasi serviks dan
ketuban pecah, biasanya diikuti dengan kontraksi dan pengeluaran hasil konsepsi.
- Incomplete Abortio, sebagian hasil konsepsi telah keluar dari uterus. Pada usia
kehamilan kurang dari 10 minggu, janin dan plasenta dapat keluar secara
bersamaan. Setelah usia kehamilan 10 minggu janin dan plasenta dapat keluar
secara terpisah dan meninggalkan sisa konsepsi di dalam cavum uteri.Perdarahan
biasanya berlangsung terus menerus dengan jumlah banyak.
- Complete Abortion, merupakan keadaan dimana baik jaringan dan hasil konsepsi
telah keluar seluruhnya.
- Missed Abortion, biasa terjadi pada usia trimester pertama dimana sisa embrio
atau janin yang tidak berkembang beberapa lama sebelum ada tanda-tanda
keguguran. Hal ini biasanya disebabkan karena anomali kromosom parental,
gangguan trombofilik pada Ibu, dan kelainan struktural plasenta sehingga
plasenta tidak mampu menghasilkan progesteron sesudah korpus luteum artrofis.
- Septic Abortion , keguguran yang disertai infeksi berat dengan penyebaran kuman
atau toksinnya ke dalam peredaran darah maupun peritoneum.
B. Epidemiologi Abortus
Insiden terjadinya abortus sekitar 12-15 % kehamilan secara klinis berakhir
dengan abortus spontan pada usia 4-20 minggu. Meski demikian tingkat abortus yang
sesungguhnya termasuk abortus dini adlah 2 hingga 4 kali lebih besar tergantung usia
Ibu.Abortus spontan merupakan kejadian yang paling sering dialami, insiden nya sekitar
50 % dari semua kehamilan. Sekitar 25 % kejadian perdarahan pada kehamilan
ditemukan threatened abortion. Abortus yang dialami pada minggu-minggu pertama
kehamillan lebih sering disebabkan oleh kelainan kromosom sebanyak 50-60 %, diikuti
oleh faktor endokrin sekitar 10-15 %, faktor serviks inkompeten sebanyak 8-15 %,
imunologis dan infeksi 3-5 % serta kelainan uterus 1-3 %.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan 4,2 juta abortus dilakukan
setiap tahun di Asia Tenggara, dengan data di Indonesia sekitar antara 750.000 sampai
1,5 juta kasus. Di perkotaan Indonesia abortus dilakukan 24-57% oleh dokter,16-28%
oleh bidan/perawat, 19-25% oleh dukun dan 18-24% dilakukan sendiri. Sedangkan di
5
pedesaan abortus dilakukan 13-26% oleh dokter, 18-26% oleh bidan/perawat, 31-47%
oleh dukun dan 17-22% dilakukan sendiri. Cara abortus yang dilakukan oleh dokter dan
bidan/perawat adalah berturut-turut: kuret isap (91%), dilatasi dan kuretase (30%)
sertas prostaglandin/ untikan (4%). Abortus yang dilakukan sendiri atau dukun memakai
obat/hormon (8%), jamu/obat tradisional (33%), alat lain (17%) dan pemijatan
(79%).Data dan lapangan menunjukkan bahwa ternyata sekitar 70-80% wanita yang
meminta tindakan aborsi legal ternyata dalam status menikah, karena tidak
menginginkan kehamilannya, dan sisanya antara lain dari kalangan remaja putri.
6
serta kelainan bentuk rahim. Sedangkan faktor Ayah terjadi karena Ayah dengan
kelainan kromosom dan infeksi sperma diduga dapat menyebabkan abortus.
e. Faktor Anatomi
Abnormalitas anatomi maternal yang dihubungkan dengan kejadian abortus
spontan yang berulang termasuk inkompetensi serviks, kongenital dan defek uterus
yang didapatkan (acquired). Defek pada uterus yang acquired yang sering
dihubungkan dengan kejadian abortus spontan berulang termasuk perlengketan
uterus atau sinekia dan leiomioma.
f. Faktor Hormonal
Kenaikan insiden abortus bisa disebabkan oleh hipertiroidismus, diabetes melitus
dan defisisensi progesteron. Defisiensi progesteron karena kurangnya sekresi
hormon tersebut dari korpus luteum atau plasenta, mempunyai kaitan dengan
kenaikan insiden abortus. Karena progesteron berfungsi mempertahankan desidua,
defisiensi hormon tersebut secara teoritis akan mengganggu nutrisi pada hasil
konsepsi dan dengan demikian turut berperan dalam peristiwa kematiannya.
g. Faktor Imunologi
Faktor imunologis yang telah terbukti signifikan dapat menyebabkan abortus
spontan yang berulang antara lain: antibodi antinuklear, antikoagulan lupus dan
antibodi cardiolipin. Adanya penanda ini meskipun gejala klinis tidak tampak dapat
menyebabkan abortus spontan yang berulang. Inkompatibilitas golongan darah A, B,
O, dengan reaksi antigen antibodi dapat menyebabkan abortus berulang, karena
pelepasan histamin mengakibatkan vasodilatasi dan peningkatan fragilitas kapiler.
h. Faktor Penyakit Kronis
Pada awal kehamilan, penyakit-penyakit kronis yang melemahkan keadaan ibu,
misalnya penyakit tuberkulosis atau karsinomatosis jarang menyebabkan abortus
dan sebaliknya pasien penyakit tersebut sering meninggal dunia tanpa melahirkan.
i. Faktor Nutrisi
Malnutrisi umum yang sangat berat memiliki kemungkinan paling besar menjadi
predisposisi abortus.
j. Faktor Obat-obatan
Peranan penggunaan obat-obatan rekreasional tertentu yang dianggap teratogenik
harus dicari dari anamnesa seperti tembakau dan alkohol, yang berperan karena jika
ada mungkin hal ini merupakan salah satu yang berperan.
7
k. Faktor Psikologis
Dibuktikan bahwa ada hubungan antara abortus yang berulang dengan keadaan
mental akan tetapi belum dapat dijelaskan sebabnya. Resiko tinggi terhadap
terjadinya abortus ialah wanita yang belum matang secara emosional dan sangat
penting dalam menyelamatkan kehamilan.
l. Faktor Lingkungan
- Pendidikan : Rendahnya tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi insiden
abortus. Hal ini berhubungan dengan kurangnya informasi dan kesadaran
masyarakat terhadap kesehatan kehamilan.
- Merokok : Merokok dapat dilaporkan menyebabkan peningkatan risiko abortus.
Bagi wanita yang merokok lebih dari 14 batang per hari, risiko tersebut sekitar
dua kali lipat dibandingkan wanita normal.
- Alkohol : Abortus spontan dan anomaly janin dapat terjadi akibat sering
mengonsumsi alcohol selama 8 minggu pertama kehamilan.
D. Patofisiologi Abortus
Pada awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atau seluruh bagian
embrio akibat adanya perdarahan minimal pada desidua. Kegagalan fungsi plasenta
yang terjadi akibat perdarahan subdesidua tersebut menyebabkan terjadinya kontraksi
uterus dan mengawali proses abortus. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, embrio
rusak atau cacat yang masih terbungkus dengan sebagian desidua dan villi chorialis
cenderung dikeluarkan secara in toto , meskipun sebagian dari hasil konsepsi masih
tertahan dalam cavum uteri atau di canalis servicalis. Perdarahan pervaginam terjadi
saat proses pengeluaran hasil konsepsi.
Pada kehamilan 8 – 14 minggu, mekanisme diatas juga terjadi atau diawali
dengan pecahnya selaput ketuban lebih dulu dan diikuti dengan pengeluaran janin yang
cacat namun plasenta masih tertinggal dalam cavum uteri. Plasenta mungkin sudah
berada dalam kanalis servikalis atau masih melekat pada dinding cavum uteri. Jenis ini
sering menyebabkan perdarahan pervaginam yang banyak. Pada kehamilan minggu ke
14 – 22, Janin biasanya sudah dikeluarkan dan diikuti dengan keluarnya plasenta
beberapa saat kemudian. Kadang-kadang plasenta masih tertinggal dalam uterus
sehingga menyebabkan gangguan kontraksi uterus dan terjadi perdarahan pervaginam
yang banyak. Perdarahan umumnya tidak terlalu banyak namun rasa nyeri lebih
menonjol.
8
Kelainan kromosom,
lingkungan, teratogenik,
kongenital, penyakit pada ibu
hubungan seksual
yang berlebihan Gangguan sirkulasi
Kelainan ovum kelainan pada ibu
,trauma. plasenta
Psikologis ibu
MK : Lepasnya PD ABORTUS
ResikoPerda dan plasenta
ibu
rahan
kecemasan
Rangsangan pada
uterus
perdarahan
MK:
Gangguan transpor Prostaglandin ansietas
Hipovolemik
oksigen sistemik
Dilatasi serviks
MK : Resiko
MK :Kekurangan Gangguan Hub.
Volume dan Ibu dan Janin MK : Nyeri Akut
Cairan
MK : Gangguan rasa
kelemahan
MK : Resiko syok nyaman
hipovolemi
9
2. Nyeri dan kram terjadi di perut bagian bawah. Mereka hanya satu sisi, kedua sisi, atau di
tengah. Rasa sakit juga dapat masuk ke punggung bawah, bokong, dan alat kelamin.
3. Tidak lagi memiliki tanda-tanda kehamilan seperti mual atau payudara bengkak / nyeri
jika Anda telah mengalami keguguran (Vicken Sepilian, 2007).
10
2. Inevitable Miscarriage (Abortus Tidak Terhindarkan).
Abortus tidak terhindarkan (inevitable) ditandai oleh pecah ketuban yang nyata
disertai pembukaan serviks.
3. Incomplete Miscarriage (Abortus tidak lengkap).
Pada abortus yang terjadi sebelum usia gestasi 10 minggu, janin dan plasenta
biasanya keluar bersama-sama, tetapi setelah waktu ini keluar secara terpisah.
Apabila seluruh atau sebagian plasenta tertahan di uterus, cepat atau lambat akan
terjadi perdarahan yang merupakan tanda utama abortus inkomplet.
4. Missed Abortion.
Hal ini didefenisikan sebagai retensi produk konsepsi yang telah meninggal in utero
selama beberapa minggu. Setelah janin meninggal, mungkin terjadi perdarahan per
vaginam atau gejala lain yang mengisyaratkan abortus iminens ataupun spontan.
Pada kasus kehamilan blighted ovumjuga akan mengalami gejala gejala perdarahan
yang menandakan akan terjadinya keguguran.
5. Recurrent Miscarriage (Abortus Berulang).
Keadaan ini didefinisikan menurut berbagai kriteria jumlah dan urutan, tetapi definisi
yang paling luas diterima adalah abortus spontan berturut-turut selama tiga kali atau
lebih (Cunningham, 2000).
11
2. Pemberian antibiotika yang cukup tepat yaitu suntikan penisilin 1 juta satuan tiap 6
jam, suntikan streptomisin 500 mg setiap 12 jam, atau antibiotika spektrum luas
lainnya.
3. Dua puluh empat jam sampai 48 jam setelah dilindungi dengan antibiotika atau lebih
cepat bila terjadi perdarahan yang banyak, lakukan dilatasi dan kuretase untuk
mengeluarkan hasil konsepsi.
4. Pemberian infus dan antibiotika diteruskan menurut kebutuhan dan kemajuan
penderita.
5. Dilatasi dan Kuretase
Aborsi bedah sebelum 14 minggu dilakukan mula-mula dengan membuka serviks,
kemudian mengeluarkan kehamilan dengan secara mekanis mengerok keluar isi
uterus (kuretase tajam), dengan aspirasi vakum (kuretase isap), atau keduanya.
Setelah 16 minggu, dilakukan dilatasi dan evakuasi (D&E). Tindakan ini berupa
pembukaan seviks secara lebar diikuti oleh dekstruksi mekanis dan evakuasi bagian
janin. Setelah janin dikeluarkan secara lengkap maka digunakan kuret vakum
berlubang besar untuk mengeluarkan plasenta dan jaringan yang tersisa. Dilatasi dan
Curretase (D&C) serupa dengan D&E kecuali pada D&C, bahwa sebagian dari janin
mula-mula dikuretase melalui serviks yang telah membuka untuk mempermudah
tindakan.
6. Dilator Higroskopik
Batang laminaria sering digunakan untuk membantu membuka serviks sebelum
aborsi bedah. Alat ini menarik air dari jaringan serviks sehingga serviks melunak dan
membuka. Dilator higroskopik sintetik juga dapat digunakan. Lamicel adalah suatu
spons polimer alkohol polivinil yang mengandung magnesium sulfat anhidrosa.
Trauma akibat dilatasi mekanis dapat diperkecil dengan menggunakan dilator
higroskopik. Wanita yang sudah dipasangi dilator osmotik sebelum suatu aborsi
elektif, tetapi kemudian berubah pikiran umumnya tidak menderita morbiditas
infeksi setelah dilator dikeluarkan.
Semua pasien abortus disuntik vaksin serap tetanus 0,5 cc IM. Umumnya setelah
tindakan kuretase pasien abortus dapat segera pulang ke rumah. Kecuali bila ada
komplikasi seperti perdarahan banyak yang menyebabkan anemia berat atau infeksi.2
Pasien dianjurkan istirahat selama 1 sampai 2 hari. Pasien dianjurkan kembali ke dokter
bila pasien mengalami kram demam yang memburuk atau nyeri setelah perdarahan
12
baru yang ringan atau gejala yang lebih berat. Tujuan perawatan tersebut untuk
mengatasi anemia dan infeksi.
A. Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang tempat implantasi/nidasi/melekatnya
buah kehamilan di luar tempat yang normal, yakni di luar rongga rahim. Sedangkan yang
disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu adalah suatu kehamilan ektopik yang
mengalami abortus ruptur pada dinding tuba (Ezeddin, 2008).
B. Epidemiologi
Berdasarkan data The Centers for Disease Control and Prevention menunjukkan
bahwa kehamilan ektopik di Amerika Serikat meningkat drastis pada 15 tahun terakhir.
Insiden kehamilan ektopik terganggu semakin meningkat pada semua wanita terutama
pada mereka yang berumur lebih dari 30 tahun. Penelitian di RSUD Arifin Achmad
Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005 tercatat sebanyak 7498
kehamilan 133 diantaranya adalah kehamilan ektopik terganggu (1,77%), penderita
kehamilan ektopik terganggu yang terbanyak terdapat pada umur 30-34 tahun (40,60%)
dengan paritas penderita 1 sebanyak (35,34%). Lokasi kehamilan ektopik terganggu
terbanyak adalah pada daerah ampula tuba (82,70%) dimana jumlah Ibu yang meninggal
sekitar 1,5% (Ezeddin, 2008).
C. Faktor Resiko
Berikut ini merupakan beberapa faktor yang berhubungan dengan penyebab
ehamilan ektopik terganggu :
1. Faktor Mekanis
Hal-hal yang mengakibatkan terhambatnya perjalanan ovum yang dibuahi ke dalam
kavum uteri, antara lain:
- Salpingitis, terutama endosalpingitis yang menyebabkan aglutinasi silia lipatan
mukosa tuba dengan penyempitan saluran atau pembentukan kantong-kantong
13
buntu. Berkurangnya silia mukosa tuba sebagai akibat infeksi juga menyebabkan
implantasi hasil zigot pada tuba falopi.
- Adhesi Peritubal setelah infeksi pasca abortus/infeksi pasca nifas, apendisitis,
atau endometriosis, yang menyebabkan tertekuknya tuba atau penyempitan
lumen.
- Kelainan pertumbuhan tuba, terutama divertikulu, ostium asesorius dan
hipoplasi.
- Bekas operasi tuba memperbaiki fungsi tuba atau terkadang kegagalan usaha
untuk memperbaiki patensi tuba pasa sterilisasi.
- Tumor yang merubah bentuk tuba sepertu mioma uteri dan adnya benjolan pada
adneksia.
- Penggunaan alat kontrasepsi IUD.
2. Faktor Fungsional
- Migrasi eksternal ovum terutama pada kasus perkembangan duktus mulleri yang
abnormal.
- Refluks menstruasi.
- Berubahnya motilitas tuba karena perubahan kadar hormon estrogen dan
progesteron.
3. Peningkatan daya penerimaan mukosa tuba terhadap ovum yang dibuahi.
4. Usia Ibu dengan 20-40 tahun serta dengan tingkat sosio-ekonomi yang rendah dan
tinggal di daerah prevalensi gonorea dan tuberkulosa yang tinggi.
5. Hal-hal lainnya. Seperti riwayat pemakaiann antibiotik pada penyakit radang
panggul, riwayat KET dan riwayat abortus induksi sebelumnya. Antibiotik dapat
mempertahankan terbukanya tuba yang mengalami infeksi tetapi perlekatan
menyebabkan pergerakan silia dan peristaltik tuba terganggu.
D. Patofisiologi
Proses implantasi ovum di tuba pada dasarnya sama dengan yang terjadi di
kavum uteri. Perkembangan telur selanutnya dibatasi oleh vaskularisasi dan biasnya
telur akan mati secara dini dan direarbsorbsi. Pembentukan desidua akan terjadi pada
tuba dan kadang-kadang sulit dilihat vili khorealis menembus endosalping dan masuk
kedalam otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan
janin selanjutnya tergantung dari beberapa faktor yaitu tempat implantasi, tebalnya
dinding tuba, dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi trofoblas.
14
Setelah janin mati, desidua dalam uterus mengalami degenerasi kemudian
dikeluarkan secara utuh atau berkeping-keping. Perdarahan yang dijumpai pada
kehamilan ektopik terganggu berasal dari uterus yang disebabkan pelepasan desidua
yang degeneratif. Sebagian besar kehamilan ektopik terganggu terjadi pada umur
kehamilan antara 6 sampai 10 minggu. Karena tuba bukan tempat pertumbuhan hasil
konsepsi, tidak mungkin janin tumbuh secara utuh dalam uterus. Beberapa
kemungkinan yang mungkin terjadi adalah :
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi.
Pada implantasi secara kolumna, ovum yang dibuahi cepat mati karena vaskularisasi
yang kurang dan dengan diresorbsi total.
2. Abortus ke dalam lumen tuba.
Perdarahan yang terjadi karena terbentuknya dindig pembuluh darah oleh vili korialis
pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari dinding
tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis. Segera setelah
perdarahan, hubungan antara plasenta serta membran terhadap dinding tuba
terpisah bila pemisahan terjadi dengan sempurna, seluruh hasil konsepsi dikeluarkan
melalui ujung fimbriae tuba ke dalam kavum peritoneum. Dalam keadaan tersebut
gejala perdarahan dll akan menghilang.
3. Ruptur dinding tuba.
Penyebab utama dari ruptur tuba adalah penembusan dinding vili korialis ke dalam
lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum. Ruptur tuba sering terjadi bila ovum
yang dibuahi berimplantasi pasda itshmus dan biasnya terjadi pada kehamilan muda.
Sebaliknya ruptur yang terjadi pada pars-intersisialis pada kehamilan lebih lanjut.
Ruptur dapat terjadi secara spontan, atau yang disebabkan trauma ringan seperti
pada koitus dan pemeriksan vagina.
15
Hasil pemeriksaan Zigot tidak menempel
tidak terdapat pada endometrium
gestasi Intrauteri
Pasien tidak paham
mengenai penyakitnya
KEHAMILAN EKTOPIK
Kehilangan bagian dari proses
tubuh (kehamilan)
kecemasan
Penembusan Vili kholiaris ke
dalam lapisan muskularis
MK : Resiko Gangguan menuju peritoneum.
MK: ansietas
Hub. Ibu dan Janin
Merangsang
noniseptor
Akumulasi darah Kondisi
pada kavum hipovolemi
doughlas
Dibawa melalui
medulla spinalis
MK : Resiko
Port de entry Syok
Hipovolemi Sampai ke korteks
somatosensorik
MK : Resiko
Infeksi
Presepsi nyeri
MK : Nyeri Akut
16
E. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dari kehamilan ektopik terganggu tergantung pada lokasinya.
Tanda gejala nya sangat bervariasi tergantung pada ruptur atau tidaknya kehamilan
tersebut. Adapun tanda dan gejala yang terjadi antara lain:
1. Nyeri Abdomen
Pasien biasnya mengeluh nyeri bagian pelvis. Rasa nyeri terbut kadang disertai
dengan vertigo atau rasa pening kepala. Nyeri tekan abdomen dan pelvis timbul
apabila di palpasi saat pemeriksaan, khusunya dengan menggerakkan servik,
dijumpai pada lebih dari tiga per empat kasus kehamilan ektopik sudah atau sedang
mengalami ruptur, tetapi kadang-kadang tidak terlihat sebelum ruptur terjadinya.
2. Amenore
Riwayat amenore tidak ditemukan pada seperempat kasus atau lebih. Salah satu
penyebab karena pasien menganggap perdarahan pervagina yang lazim pada
kehamilan ektopik sebagai periode haid yang normal.
3. Spotting atau perdarahan vaginal
Selama fungsi endokrin plasenta masih bertahan, perdarahan uterus biasnya tidak
ditemukan, namun bila fungsi endokrin dan endometrium sudah tida memadai lagi,
mukosa uterus akan mengalami perdarahan. Perdarahan tersebut biasanya sedikit-
sedikit, bewarna cokelat gelap dan dapat terputus-putus atupun terus-menerus.
4. Perubahan uterus.
Uterus pada kehamilan ektopik dapat terdorong ke salah satu sisi oleh masa ektopik
tersebut dan uterus dapat mengalami pergeseran yang mengakibatkan munculnya
gejala keram.
5. Tekanan darah dan denyut nadi.
Reaksi awal pada perdarahan sedang tidak menunjukkan perubahan pada denyut
nadi dan tekanan darah, terjadi respon vasovagal disertai bradikardi derta hipotensi.
Hal ini berpeluang meningkatkan terjadinya syok hipovolemi.
6. Masa pelvis.
Normalnya masa pelvis sering teraba lunak dan elastis, namun pada KET masa pelvis
tersebut terba keras karenaa infiltrasi dinding tuba yang luas oleh darah. Gejala
perdarahan aktif tidak terdapat dan bahkan keluhan yang ringan dapat mereda,
namun darah yang terus merembes akan berkumpul dalam panggul, kurang lebih
terbungkus dengan adanya perlekatan dan akhirnya membentuk hematokel pelvis.
17
F. Pemeriksaan Diagnostik
Berikut ini merupakan jenis pemeriksaan untuk membantu diagnosis kehamilan ektopik.
1. Β-hCG
Pengukuran sub-unit beta dari HCG-β (Human Chorionic Gonadotropin-Beta)
merupakan tes laboratorium terpenting dalam diagnosis. Pemeriksaan ini dapat
membedakan antara kehamilan intrauterin dengan kehamilan ektopik.
2. Kuldosintesis
Tindakan kuldosintesis atau punksi Douglas yaitu pemeriksaan dimana adanya darah
yang dihisap berwarna hitam (darah tua) walaupun hanya sedikit tetapi dapat
membuktikan adanya darah di kavum Douglasi.
3. Dilatasi dan Kuretase
Biasanya kuretase dilakukan apabila sesudah amenore terjadi perdarahan yang
cukup lama tanpa menemukan yang nyata disamping uterus.
4. Laproskopi
Laparoskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnosis terakhir apabila hasil-
hasil penilaian prosedur diagnostik lain untuk kehamilan ektopik terganggu
meragukan.
5. Ultrasonografi (USG)
Keunggulan cara radiologi tersebut ialah bukan merupakan tindakan invasif, artinya
tidak perlu memasukkan sesuatu dalam rongga perut/uteri. Dapat menilai kavum
uteri, kosong atau berisi, tebal endometrium, adanya massa dikanan kiri uterus dan
apakah kavum Doughlas berisi cairan.
6. Tek Oksitosin
Pemberian oksitosin dalam dosis kecil intravena dapat membuktikan adanya
kehamilan ektopik lanjut. Dengan pemeriksaan bimanual diluar kantong janin dapat
diraba seperti suatu tumor.
7. Foto Rontgen
Tampak kerangka janin lebih tinggi letaknya dan berada dalam letak paksa. Pada
foto lateral tampa bagian-bagian janin menutupi vertebra Ibu.
8. Histerosalpingografi
Memberikan gambaran kavum uteri kosong dan lebih besar dari biasa, dengan janin
diluar uterus. Pemeriksaan ini dilakukan jika diagnosis kehamilan ektopik terganggu
sudah dipastikan dengan USG (Ultrasonografi) dan MRI (Magnetic Resonance
Imagine).
18
G. Penatalaksanaan
Pada kehamilan ektopik terganggu, walupun tidak selalu ada bahaya terhada jiwa
penderita, dapat dilakukan terapi konservatif, tetapi sebaiknya tetap dilakukan tindakan
operasi. Kekurangan dari terapi konservatif (non-operatif) yaitu walaupun darah
berkumpul di rongga abdomen lambat laun dapat diresorbsi atau untuk sebagian dapat
dikeluarkan dengan kolpotomi (ppengeluaran melalui vagina dari darah di kavum
Dauglas) sisa darah dapat menyebabkan perlekatan-perlekatan dengan bahaya ileus.
Operasi terdiri dari salpingektomi ataupun salpingo-ooforektomi. Jika penderita sudah
memiliki anak cukup dan terdapat kelainan pada tuba tersebut dapat dipertimbangkan
untuk mengangkat tuba. Namun jika penderita belum mempunyai anak, maka kelainan
tuba dapat dipertimbangkan untuk dikoreksi agar tuba berfungsi baik.
Tindakan laparotomi dapat dilakukan pada ruptur tuba, kehamilan dalam
divertikulum uterus, kehamilan abdominal dan kehamilan tanduk rudimenter.
Perdarahan sedini mungkin dihentikan dengan menjepit bagian dari adneksia yang
menjadi sumber perdarahan. Keadaan umum penderita terus diperbaiki dan darah dari
rongga abdomen sebanyak mungkin dikeluarkan. Serta memberikan transfusi darah bila
perlu.
Untuk kehamilan ektopik terganggu dini yang berlokasi di ovarium bila
dimungkinkan dirawat, namun apabila tidak menunjukkan perbaikan maka dapat
dilakukan tindakan sistektomi ataupun oovorektomi. Sedangkan kehamilan ektopik
terganggu berlokasi di servik uteri yang sering mengakibatkan perdarahan dapat
dilakukan histerektomi, tetapi pada multipara yang ingin sekali mempertahankan
fertilitasnya diusahakan melakukan terapi konservatif.
19
B. Epidemiologi
Kehamilan mola dapat menimbulkan penyakit trofoblas gestasional persisten
yang mana ditemukan sekitar 10-30% kasus setelah terjadinya mola yang sempurna
(complete), dan 0,5-5 % setelah terjadinya mola parsial. Sedangkan karsinoma juga
muncul sekitar 3% setelah terjadi mola sempurna dan jarang dilaporkan setelah mola
parsial. Kehamilan mola memiliki prevalensi yang cukup di dunia sekitar 6 : 10.000
kehamilan. Di Asia, Afrika Amerika Latin memiliki prevalensi lebih tinggi dibanding
negara-negara lainnya. Di Indonesia sendiri terjadi insiden yang tinggi pula yaitu sekitar
1 : 40 persalinan dan sekitar 13: 1000 kehamilan. Kehamilan mola biasanya lebih sering
dijumpai pada usia produktif (15-45 tahun) dan pada multipara, seiring meningkatnya
paritas, kemungkinan untuk menderita mola lebih besar.
C. Faktor Resiko
Etiologi dari kehamilan mola sendiri belum diketahui secara pasti. Diperkirakan
adanya peranan kelainan kromosomal dan juga sel sperma membuahi ovum secara
abnormal yang tidak memiliki nukleus/kromosom. Namun, kehamilan mola sangat
banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang memungkinkan dapat meningkatkan resiko
terjadinya kehamilan mola, antara lain :
1. Usia Ibu hamil yaitu masih terlalu muda sekitar kurang dari 16 tahun dan juga
terlalu tua yaitu diatas 35 atau 40 tahun.
2. Intake perkusor vitamin A (beta-karoten) dan juga konsumsi dari zat protein.
3. Konsumsi lemak hewani yang rendah, paritas, dan riwayat pernah atau mengalami
ataupun dalam keluarga mengalami kehamilan mola dengan kondisi tingkat sosio-
ekonomi serta edukasi yang rendah.
4. Gangguan pada sel telur, faktor ovum sudah patologi tetapi terlambat dikeluarkan,
kekurangan gizi Ibu, dan atau kelainan rahim.
5. Balance Translokasi yaitu hilangnya DNA serta kromosom 19.
D. Patofisiologi
Pada konsepsi normal, setiap sel tubuh manusia mengandung 23 pasang
kromosom dimana salah satu masing-masing pasangan dari Ibu dan yang lainnya dari
Ayah. Dalam konsepsi normal, sperma tunggal dengan 23 kromosom, sehingga akan
dihasilkan 46 kromosom.
Pada mola hidatidosa parsial, dua sperma akan membuahi sel tuler, menciptakan
69 kromosom, dibandingkan 46 kromosom pada konsepsi normal. Hal ini disebut
20
triploid. Dengan materi genetik yang terlalu banyak, kehamilan akan berkembang secara
abnormal, dengan plasenta tumbuh melampaui bayi. Janin dapat terbentuk pada
kehamilan ini, akan tetapi janin tumbuh secara abnormal dan tidak dapat bertahan
hidup. Sedangkan,pada mola hidatidosa komplit yaitu ketika salah satu (atau bahkan
dua sperma) membuahi sel telur yang tidak memiliki materi genetik. Bahkan jika
kromosom Ayah dilipat gandakan untuk menyusun 46 kromosom, materi genetik yang
ada terlalu sedikit. Biasanya sel telur yang dibuahi akan mati. Tetapi dalam kasus yang
jarang sel tersebut terimplantasi pada uterus yang menyebabkan embrio tidak tumbuh
dan hanya sel trofoblas yang tumbuh mengisi rahim dengan jaringan mola.
Jaringan korion yang tumbuh berganda dan mengandung cairan (penimbunan cairan)
Mola Hidatidosa
21
Jika perdarahan Terjadi
Kehilangan bayi karena tidak dapat hiperemesis
ternyata hamil anggur dikontrol gravidarum
E. Manifestasi Klinis
Tahap awal perkembangan kehamilan mola menunjukkan karakteristik klinis yang
sulit dibedakan dengan gejala kehamilan normal. Pada trimester 1 dan terutama selama
trimester 2 sejumlah perubahan terjadi, yang paling umum adalah perdarahan
pervaginam berwarna kecokelatan yang sering disertai dengan keluar nya jaringan-
jaringan mola yaitu jaringan menyerupai buah anggur. Anemia pun dapat terjadi pada
kasus-kasus prolonged bleeding yang ditandai dengan gejala fatigue dan sesak napas.
Selain itu dapat ditemukan hipertiroid dan terbentuknya kista ovarium yang disebabkan
tingginya kadar beta hCG dan juga perdarahan terutama pada mola hidatidosa komplit.
Pada kehamilan mola juga terjadi pembesaran ukuran uterus yang biasanya lebih
besar untuk usia kehamilan pada normalnya terutama pada kasus mola hidatidosa
komplit (4 minggu lebih tua), dan denyut jantung janin tidak ditemukan. Pre-eklampsi
yang ditandai dengan hipertensi dapat terjadi sebelum usia kehamilan kurang dari 24
minggu. Selain itu dapat ditemukan hipertiroid dan terbentuknya kista ovarium yang
disebabkan tingginya kadar beta hCG dan juga perdarahan terutama pada mola
hidatidosa komplit. Selain itu, pasien juga dapat mengalami mual dan muntah yang
berlebihan.
F. Pemeriksaan Diagnostik
Secara umum pemeriksaan yang tepat untuk mendeteksi adanya kehamilan mola
yaitu sebagai berikut :
1. Anamnesis
- Adanya amenore pada masa reproduksi.
- Perdarahan pervaginam disertai dengan keluarnya jaringan mola.
- Frekuensi mual dan muntah selama masa kehamilan.
2. Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan tanda-tanda vital seperti tekanan darah serta frekuensi nafas.
22
- Inspeksi pada wajah dan kadang-kadang badan kelihatan kekuningan serta wajah
berbentuk mola face.
- Palpasi uterus dan lalukan pengukuran TFU karena akan ditemukan TFU yang lebih
besar dibanding kehamilan normal dan tidak sesuai usia kehamilan.
- Auskultasi yaitu dengan melakukan pemantauan DJJ dengan funandoskop namun
tidak akan terdengan denyut janyung janin.
3. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan radiologi.
Pemeriksaan USG akan membantu melihat vili khorionik pada trimester 1 dimana
mola hidatidosa komplit (MHK) cenderung lebih kecil dan lebih sedikit kavitasi.
Mayoritas di MHK trimester 1 menunjukkan gambaran snow storm.Kemudian pada
USG juga ditemukan gambaran seperti sarang lebah.kumpulan anggur. Selain USG,
dapat menggunakan plain foto Abdomen-Pelvis untuk mendeteksi adanya gambaran
tulang janin.
2) Pemeriksaan laboratorium.
Pemerikssan dapat dimulai dengan pengukuran kadar hormon corionic
gonadothropin (hCG) dan akan ditemukan nilai yang sangat tinggi sekitar lebih dari
100.000 mIU/ml pada urin dan pada serum lebih dari 40.000 IU/m. Kemudian
dilanjutkan dengan uji biologik dan imunologik (galli mainini dan plano test) akan
bernilai positif setelah titrasi (penngenceran) dengan nilai 1/300 maka suspek
molahidatidosa.
3) Pemeriksaan Doppler arteri intrauterin.
Pemeriksaan ini menunjukkan kecepatan aliran yang tinggi, impedansi aliran rendah
pada trimester 1 dan trimester 2. Meskipun adanya jaringan mola pada USG skala
abu-abu dikombinasikan engan hCG meningkat merupakan tanda pasati
molahidatidosa. Pada kehamilan normal akan menunjukkan bentuk gelombang
impedansi tinggi dengan kecepatan diastolik rendah selama trimester pertama.
Namun, pada kehamilan mola akan menunjukkan invasi arteri miometrium oleh
jaringan trofoblas yang abnormal.
4) Uji Sonde (cara Acosta-Sison)
Uji ini tidak harus dikerjakan. Biasanya dilakukan sebagai tindakan awal kuretase.
5) Uji lab lanjutan histopatologik
Dari gelembung mola yang keluar, akan dikiimkan ke lab untuk diperiksa.
23
G. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan yang tepat untuk menangani adanya kehamilan
mola yaitu sebagai berikut :
1. Suction & Cutettage
Tindakan ini akan membersihkan hasil konsepsi memakai alat kuretase (sendok
kerokan). Sebelum melakukan kuretase, penolong harus melakukan pemeriksaan dalam
untuk menentukan letak uterus, keadaan serviks, dan besarnya uterus yang berguna
untuk mencegah terjadinya bahaya kecelakaan misalnya perforasi. Persiapan pasien
yaitu puasa 4-6 jam sebelumnya. Berikut ini 2 prosedur suction dan curettage.
- Serviks dibuka lalu melakukan pengerokan keluar secara mekanis (kuretase tajam)
dengan ,enghisap keluar isi (kuretase hisap) atau keduanya.
- Aspirasi vakum, bentuk tersering kuret hisap, memerlukan kanula kaku yang
dihubungkan ke sumber vakum bertenaga listrik.
2. Histerektomi
Merupakan suatu tindakan bedah yaitu dengan prinsip pengangkatan rahim dan uterus
(kandungan) dengan indikasi usia Ibu lebih dari 40 tahun.
3. Induksi obat-obatan
Induksi obat-obatan oksitosin maupun prostaglandin akan memberikan efek kontraksi
uterus sehingga hasil/sisa konsepsi dapat keluar melalui jalan lahir. Tetapi setelah itu
tetap harus melakukan tindakan kuretase.
24
e) Pemeriksaan fisik :
- Tanda-tanda vital : Denyut nadi perifer menurun, TD menurun namun bisa
juga normal, frekuensi jantung meningkat, dll
- Kepala leher : Wajah terlihat lemas, pucat dan meringis kesakitan. Mata :
konjungtiva anemis. Mukosa bibir dan kulit kering. Turgor kulit menurun.
- Thoraks : Peningkatan pigmentasi areola putting susu Bertambahnya ukuran
dan noduler. Terjadi peningkatan volume darah dan peningkatan frekuensi
nadi, Penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dan pembulu darah
pulmonal.Terjadi hiperventilasi selama kehamilan. Peningkatan volume tidal,
penurunan resistensi jalan nafas. Perubahan pernapasan abdomen menjadi
pernapasan dada.
- Abdomen : Striae atau tanda guratan bisa terjadi di daerah abdomen dan
paha. Terjadi nyeri pinggang, kontraksi uterus berlebihan, berat janin kurang
dari normal.
- Perineum dan genital : terjadi keluaran vagina yaitu darah dengan
karakteristik warna bisa kecokelatan maupun merah segar, jumlah bisa
hanya flek saja atau banyak. Pengukuran tinggi fundus uteri tidak sesuai
dengan usia kehamilan normal.
- Sistem muskuloskeletal : persendian tulang pinggul yang mengendur, gaya
berjalan yang canggung, terjadi pemisahan otot rektum abdominalis
(diastasis rekta).
f) Pemeriksaan Laboratorium :
- Hasil Lab darah dan USG : hematokrit turun, SDM turun (anemia), kadar
hormon beta hCG. Hasil USG : untuk menentukan apakah janin kandungan
hidup atau telah mati, adanya gambaran sarang lebah/anggur pada
kehamilan mola, posisi terjadinya ovuasi, dll
2. Analisa Data
25
↓
Penembusan vili kholiaris dalam
lapisan muskularis ke dinding
peritoneum abnormal
↓
Terjadi gangguan/kelainan pada
kehamilan trimester 1
↓
Terjadi perlukaan pada dinding
cavum uteri maupun jalan lahir
↓
Terjadinya ruptur tuba (akibat
ektopik) ataupun peluruhan dari
endometrium (abortus)
↓
Perdarahan pervaginam
↓
Resiko Syok : Hipovolemi
2. Faktor Resiko Faktor resiko Resiko Gangguan
- Gangguan transpor oksigen ↓ Hubungan Ibu dan Janin
(karena anemia, kejang, Terjadi komplikasi pada
hemoragi) kehamilan trimester 1 Berhubungan dengan :
↓ Komplikasi kehamilan
Perdarahan pervaginam
↓
Dapat menimbulkan kekurangan
darah dan kurangnya suplai
oksigen ke seluruh jaringan baik
ke Ibu maupun ke janin
↓
Perfusi jaringan tidak efektif
hingga kematian sel-sel organ
↓
Meningkatkan resiko bahaya
26
yang mengarah ke morbiditas
↓
Resiko gangguan hubungan ibu
dan janin
3. Tanda dan Karakteristik Terjadi komplikasi pada Nyeri Akut
- Bukti nyeri (skala nyeri) kehamilan trimester 1
- Dilatasi pupil ↓ Berhubungan dengan :
- Ekspresi wajah meringis Kematian janin pada usia Agen cedera
- Keluhan tentang intensitas kehamilan kurang dari 20
nyeri minggu
- Keluhan tentang ↓
karakteristik nyeri Mekanisme tubuh secara
- Laporan nyeri otomatis untuk mengeluarkan
- Ekspresi perilaku nyeri konsepsi yang telah mati
↓
Rangsangan abortus/ruptur
tuba hingga perlukaan
↓
Terjadi reaksi inflamasi
↓
Pelepasan mediator nyeri
(histmain, dll) atau penekanan
saraf sekitar akibat
pertumbuhan yang abnormal
↓
Merangsang non-reseptor
dibawa melalui medulla spinalis
↓
Merangsang reseptor dan
presepsi nyeri
↓
Nyeri Akut
27
3. Daftar Diagnosa Keperawatan (secara umum)
1) Resiko Syok b.d hipovolemia, hipoksemia
2) Resiko Gangguan Hub. Ibu dan janin b.d komplikasi kehamilan
3) Nyeri akut b.d agen cedera (plasenta menutupi ostium uteri internum)
28
kelelahan otot pernafasan, dll)
5 Monitor tanda awal terjadinya syok Monitor nilai laboratorium
- NIC :
Pengurangan Perdarahan : Uterus Antepartum
Perawatan Kehamilan Resiko Tinggi
Intervensi :
29
hidrasi, diet, modifikasi aktifitas, dll)
5 Lakukan pemeriksaan USG secara berkala Ajarkan klien tindakan monitor TTV
Memulai tindakan-tindakan keamanan Monitor ketat status fisik dan psikologis
6 (istirahat, tidur, bed rest ketat, dan posisi selama kehamilan
istirahat lateral)
3) Nyeri Akut
- NOC :
Tingkat Nyeri & Kontrol Nyeri
Indikator :
- NIC :
Manjemen Nyeri & Administrasi:obat analgesik
Intervensi :
30
farmakologi, non-farmakologi, dan untuk pengobatan nyeri teratur.
interpersonal.
Kontrol lingkungan yang dapat
Evaluasi efektivitas analgesik, tanda
5 mempengaruhi nyeri (suhu, pencahyaan,
dan gejala.
kebisingan, dll)
31
mewakili angka kejadian kelahiran prematur. Dalam studi yang dilakukan di RSUP Dr.
Kariadi Semarang tahun 2002 didapatkan kelahiran prematur sebesar 138 kasus sekitar
4,6 % (Agustiana, 2012).
32
bertambahnya volume darah, penurunan afterload akibat menurunya resistesi
vaskular sitemik, dan peningkatandenyut jantung ibu saat istirahat 10-20 kali/menit.
Peningkatan curah jantung dipengaruhi juga oleh isi sekuncup jantung yang
meningkat 20-30% selama kehamilan. Pada penyakit jantung yang disertai
kehamilan, pertambahan denyut jantung dan volume sekuncup jantung dapat
menguras cadangan kekuatan jantung. Payah jantung akan menyebabkan stres
maternal sehingga terjadi pengaktifan aksis HPA yang akan memproduksi kortisol
dan prostaglandin, kemudian mencetuskan terjadinya persalinan prematur.
4. Anemia
Selama kehamilan, tubuh ibu mengalami mengalami banyak perubahan salah
satunya adalah hubungan antara suplai darah dengan respon tubuh. Seperti yang
telah dijelaskan pada subbab penyakit kardivaskular, total jumlah plasma pada
wanita hamil dan jumlah SDM meningkat dari kebutuhan awal, namun peningkatan
volume plasma lebih besar dibandingkan peningkatan massa SDM dan menyebabkan
penurunan konsentrasi hemoglobin, sehingga mempengaruhi kadar O2 yang masuk
ke dalam jaringan. Keadaan ini dapat menyebabkan hipoksia jaringan yang kemudian
akan memproduksi kortisol dan prostaglandin, yang mencetuskan terjadinya
persalinan prematur pada ibu dengan anemia.
5. Hipotiroid
Saat awal gestasi, janin bergantung sepenuhnya pada hormon tiroid ibu yang
melewati plasenta karena fungsi tiroid janin belum berfungsi sebelum 12-14 minggu
kehamilan. Pada kehamilan 12 minggu pertama kadar hormon chorionic
gonadotropin (HCG) akan mencapai puncaknya dan kadar tiroksin bebas akan
meningkat, sehingga menekan kadar tirotropin. Namun, kadar hormon tiroid yang
rendah pada hipotiroid kehamilan akan memacu aksis HPA untuk memacu produksi
TRH untuk memenuhi kebutuhan hormon tiroid ibu dan janin. Pengaktifan aksis HPA
ini yang dapat memacu pelepasan kortisol kedalam darah sehingga memproduksi
prostaglandin yang dapat memacu terjadinya persalinan prematur.
6. Paritas
Jumlah paritas merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya kelahiran
prematur karena jumlah paritas dapat mempengaruhi keadaan kesehatan ibu
dalamkehamilan. Hal ini di karenakan oleh kenyataan bahwa wanita multipara akan
mencari pengetahuan yang lebih untuk menghindari risiko yang akan terjadi pada
33
kehamilan berikutnya berdasarkan pengalaman dari proses persalinan sebelumnya,
sehingga dapat mengurangi risiko persalinan berikutnya.
7. Riwayat partus prematur
Berdasarkan data Health Technology Assessment Indonesia tahun 2010 bahwa
insiden terjadinya persalinan prematur selanjutnya setelah 1x persalinan prematur
meningkat hingga 14,3% dan setelah 2x persalinan prematur meningkat hingga 28%.
Wanita yang mengalami persalinan prematur memiliki risiko untuk mengalaminya
kembali pada kehamilan selanjutnya.
8. Ketuban pecah dini
Pecahnya selaput ketuban yang berfungsi melindungi atau menjadi pembatas dunia
luar dan ruangan dalam rahim pecah dan mengeluarkan air ketuban menyebabkan
hubungan langsung antara dunia luar dan ruangan dalam rahim yang memudahkan
terjadinya infeksi asenden. Semakin lama periode laten maka semakin besar
kemungkinan infeksi dalam rahim, persalinan prematur dan selanjutnya
meningkatkan kejadian kesakitan dan kematian ibu dan bayi atau janin dalam rahim.
9. Gemeli
Persalinan prematur pada kehamilan ganda dapat terjadi dikarenakan terjadinya
overdistensi, maka retraksi akibat ketegangan otot uterus makin dini sehingga
dimulailah proses Braxton Hicks, kontraksi makin sering dan menjadi HIS persalinan.
D. Patofisiologi
Secara umum patofisiologi persalinan prematur dapat dikelompokan menjadi 4
mekanisme yaitu :
1. Mekanisme pertama ditandai dengan stres dan anxietas yang biasa terjadi pada
primipara muda yang mempunyai predisposisi genetik. Adanya stres fisik maupun
psikologi menyebabkan aktivasi prematur dari aksis Hypothalamus-Pituitary-Adrenal
(HPA) ibu dan menyebabkan terjadinya persalinan prematur. Aksis HPA ini
menyebabkan timbulnya insufisiensi uteroplasenta dan mengakibatkan kondisi stres
pada janin. Stres pada ibu maupun janin akan mengakibatkan peningkatan
pelepasan hormon Corticotropin Releasing Hormone (CRH), perubahan pada
Adrenocorticotropic Hormone (ACTH), prostaglandin, reseptor oksitosin, matrix
metaloproteinase (MMP), interleukin-8, cyclooksigenase-2,dehydroepiandrosteron
sulfate (DHEAS), estrogen plasenta dan pembesaran kelenjar adrenal.
2. Mekanisme kedua adalah decidua-chorio-amnionitis, yaitu infeksi bakteri yang
menyebar ke uterus dan cairan amnion. Keadaan ini merupakan penyebab potensial
34
terjadinya persalinan prematur. Infeksi intraamnion akan terjadi pelepasan
mediator inflamasi seperti pro-inflamatory sitokin (IL-1β, IL-6, IL-8, dan TNF-α ).
Sitokin akan merangsang pelepasan CRH, yang akan merangsang aksis HPA janin dan
menghasilkan kortisol dan DHEAS. Hormon-hormon ini bertanggung jawab untuk
sintesis uterotonin (prostaglandin dan endotelin) yang akan menimbulkan kontraksi.
Sitokin juga berperan dalam meningkatkan pelepasan protease (MMP) yang
mengakibatkan perubahan pada serviks dan pecahnya kulit ketuban.
3. Mekanisme ketiga yaitu mekanisme yang berhubungan dengan perdarahan plasenta
dengan ditemukannya peningkatan hemosistein yang akan mengakibatkan kontraksi
miometrium. Perdarahan pada plasenta dan desidua menyebabkan aktivasi dari
faktor pembekuan Xa (protombinase). Protombinase akan mengubah protrombin
menjadi trombin dan pada beberapa penelitian trombin mampu menstimulasi
kontraksi miometrium.
4. Mekanisme keempat adalah peregangan berlebihan dari uterus yang bisa
disebabkan oleh kehamilan kembar, polyhydramnion atau distensi berlebih yang
disebabkan oleh kelainan uterus atau proses operasi pada serviks. Mekanisme ini
dipengaruhi oleh IL-8, prostaglandin, dan COX-2.
35
Faktor mediator Kontraksi uterus Pelepasan sitokin
inflamasi dan meningkatkan pelepasan
protaglandin protease (MMP)
Partus Prematur
E. Manifestasi Klinis
Tanda klinis atau penampilan tampak sangat bervariasi, bergantung pada usia
kehamilan saat bayi dilahirkan. Makin prematur atau makin kecil umur kehamilan saat
dilahirkan makin besar pula perbedaannya dengan bayi yang lahir cukup bulan. Berikut
ini merupakan gambaran-gambaran dari kelahiran prematur.
Maternal :
- Awitan spontan kontraksi uterus yang teratur dan nyeri atau tanpa nyeri disertai
pecah ketuban dini yang spontan.
- Nyeri punggung dan ketidaknyamanan abdomen ringan
- Inkontinensia urin yang bertolak belakang dengan pecah ketuban dini.
- Tanda-tanda kelahiran dan proses melahirkan di usia kehamilan kurang dari 37
minggu.
36
Perinatal :
- Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR). Berat badan lahir rendah (BBLR) telah didefinisikan
oleh WHO sebagai berat saat lahir kurang dari 2500 gram. BBLR dapat menjadi
konsekuensi dari kelahiran prematur atau karena ukurannya yang kecil untuk usia
kehamilan.
- Panjang badan kurang atau sama dengan 45 cm. Lingkaran dada kurang dari 30 cm.
Lingkaran kepala kurang dari 33 cm.
- Kepala bayi relatif lebih besar dari badannya dan tidak mau tegak, kulit tipis
transparan, lanugonya banyak, lemak subkutan kurang, sering tampak adanya
peristaltik usus.
- Frekuensi pernafasan sekitar 45-50 kali per menit, frekuensi nadi 100-140 kali per
menit.
- Tangisan lemah dan jarang serta pernafasan tidak teratur hingga apnea.
- Alat kelamin pada bayi laki-laki pigmentasi dan rugae pada skrotum kurang, testis
belum turun. Sedangkan pada bayi perempuan klitoris menonjol, labia minora belum
tertutup labia mayora.
- Tonus otot lemah, otot-oto hipotonik sehingga kurang aktif dan pergerakannya
lemah. Reflek tonik leher lemah dan refleks morro (+)
- Fungsi saraf yang belum atau kurang matang mengakibatkan refleks hisap menelan
dan batuk masih lemah atau tidak efektif.
- Tulang rawan dan daun telinga belum sempurna pertumbuhannya sehingga seolah-
olah tidak teraba tulang rawan dan daun telinga.
F. Pemeriksaan Diagnostik
Insidensi persalinan palsu yang tinggi menyulitkan diagnosis tepat partus
prematur yang sejati. Pada sepertiga kasus, apa yang disebut persalinan berhenti tanpa
tindakan atau setelah pemberian suatu plasebo. Kriteria partus prematurus yang lazim
mencakup :
1. Serviks sedikitnya sudah terbuka 2 cm atau sudah mendatar 75%.
2. Ada perubahan yang progresif pada serviks selama periode observasi.
3. Terjadinya kontraksi yang terasa nyeri, teratur dan intervalnya kurang dari 10
menit menunjukkan bahwa pasien tersebut tengah berada dalam proses
persalinan.
37
Menegakkan diagnosis persalinan preterm terlalu cepat atau lambat mempunyai
risiko meningkatkan morbiditas dan mortalitas neonatus. Pada kenyataannya kurang
dari 50 % ibu hamil yang didiagnosis mengalami persalinan preterm melahirkan bayinya
dalam l minggu setelah diagnosis ditegakkan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak mudah
menentukan diagnosis persalinan preterm. Diagnosis persalinan preterm dapat
dilakukan juga dengan:
1. Gejala dini persalinan preterm, yaitu nyeri perut bawah dan/atau kram dan/atau
pelvic pressure serta nyeri pinggang belakang.
2. Tanda persalinan preterm
Kontraksi uterus : intensitas, frekuensi, durasi. His yang regular dengan interval
tiap 8-10 menit yang disertai perubahan serviks. Prediksi persalinan preterm yang
hanya berdasarkan kontraksi uterus sulit karena:
- Hanya 15% kontraksi tampak pada gambaran kardiotokografi (KTG).
- Pada kehamilan biasa terjadi kontraksi Braxton-Hicks.
Kriteria Creasy dan Heron: Kontraksi uterus 4 kali dalam 20 menit atau 8 kali
dalam satu jam, pendataran dan pembukaan serviks dinilai dengan pemeriksaan
berkala dan disertai dengan salah satu keadaan di bawah ini:
- Pecahnya kantung amnion
- Pembukaan serviks >2 sentimeter
- Pendataran serviks >50%.
Perubahan serviks - Digital, dengan memeriksa panjang dan pembukaan serviks,
pemeriksaan ini sangat subjektif
USG abdominal, transvaginal, transpfrineal
G. Penatalaksanaan
Manajemen persalinan kurang bulan mencakup:
1. Tirah baring (bedrest)
2. Hidrasi dan sedasi
Hidrasi oral maupun intravena sering dilakukan untuk mencegah persalinan
preterm, karena sering terjadi hipovolemik pada ibu dengan kontraksi premature.
Preparat morfin dapat digunakan untuk mendapatkan efek sedasi.
3. Pemberian Tokolitik
Tokolitik akan menghambat kontraksi miometrium dan dapat menunda persalinan.
Jenis obbat yaitu nifedipin, COX (Cyclo-oxygenase)-2 inhibitors, magnesium sulfat,
atosiban, beta2-sympathomimetics, dan progesteron.
38
4. Pemberian steroid
Pemakaian kortikosteroid dapat menurunkan kejadian perdarahan intraventikuler
dan kematian neonatal. Dianjurkan pada kehamilan 24 — 34 minggu, namun dapat
dipertimbangkan sampai 36 minggu. Betametason merupakan obat terpilih,
diberikan secara injeksi intramuskuler dengan dosis 12 mg dan diulangi 24 jam
kernudian. Apabila tidak terdapat betametason, dapat diberikan deksametason
dengan dosis 2x5 mg IM per hari selama 2 hari.
5. Antibiotika
Pemberian antibiotika pada persalinan tanpa infeksi tidak dianjurkan karena tidak
dapat meningkatkan luaran persalinan. Pada ibu dengan ancaman persalinan
preterm dan terdeteksi adanya vaginosis bakterial, pemberian klindamisin (2 x 300
mg sehari selama 7 hari) atau metronidazol (2 x 500 mg sehari selama 7 hari).
6. Emergency cerclage
Biasanya dilakukan di negara maju dengan teknik yang cukup sulit dilakukan dan
beresiko untuk terjadi pecah ketuban.
7. Perencanaan Persalinan
Persalinan preterm harus dipertimbangkan kasus perkasus, dengan
mengikutsertakan pendapat orang tuanya. Untuk kehamilan <32 minggu sebaiknya
ibu dirujuk ke tempat yang mempunyai fasilitas neonatal intensive care unit (NICU).
Kehamilan <24 minggu dilahirkan pervaginam. Kehamilan 24- 37 minggu
diperlakukan sesuai dengan risiko obstetrik lainnya dan disamakan dengan aturan
persalinan aterm.
39
Pada kasus inkompetensi serviks menggambarkankelemahanfungsionalleher
rahim, denganketidakmampuanuntuk mencapaikehamilanpenuholeh karena defek
fungsi maupun struktur pada serviks. Hal ini biasanyaterjadi secara akut, dilatasileher
rahim tanpa disertai rasa nyeri, yangdapatmenyebabkankeguguranpada
pertengahantrimester.
B. Epidemiologi
Insiden inkompetensi serviks masih belum diketahui secara pasti karena
diagnosisnya ditegakkan secara klinis dan belum ada kriteria objektif yang disetujui
secara umum untuk mendiagnosis keadaan tersebut. Secara kasar, suatu studi
epidemiologi menunjukkan insiden terjadinya serviks inkompeten adalah sekitar 0,5%
pada populasi pasien obstetri secara umum dan 8% pada wanita dengan abortus
trimester kedua sebelumnya. Kejadian inkompetensi serviksterjadi padasampai
dengan2% dari seluruh kehamilan. Kurang dari30% wanita denganriwayatkeguguran
pertengahantrimesterakan mengalami kegugurankembali dalamkehamilanberikutnya.
b. Faktor akuisita
40
Akibat trauma sebelumnya pada serviks uteri yang mencapai ostium uteri internum,
misalnya pada persalinan normal, tindakan cunam yang traumatik, kesulitan
ekstraksi bahu, seksio sesaria di daerah serviks yang terlalu rendah, dilatasi dan
kuretase berlebihan, amputasi serviks, konisasi ataupun kauterisasi. Kelainan ini
lebih sering ditemukan.
c. Faktor fisiologik
Hal ini ditandai dengan pembukaan serviks normal akibat kontraksi uterus yang
abnormal.
Dikemukakan bahwa ibu-ibu hamil yang menggunakan dietilstilbestrol akan
berakibat janin yang dikandungnya mempunyai resiko tinggi untuk menderita
inkompetensi serviks
D. Patofisiologi
Perubahan patofisiologi jaringan serviks yang disebut pelunakan serviks, adalah
kompleks dan tidak dipahami. Apa yang diketahui adalah serviks adalah struktur
anatomi dinamik yang berfungsi selama kehamilan sebagai pertahanan bagi janin dan
sekitarnya , dengan vagina dan dunia luar. Pada waktu gestasi ini, ia terdiri dari struktur
yang kuat yang terdiri dari kolagen, tetapi ketika tiba masanya persalinan, kolagennya
mengalami degradasi dan serviks menjadi lunak dan memulai proses untuk dilatasi. Ini
mengakibatkan ketidaksempurnaan dalam proses ini dan; atau waktu pelunakan yang
tidak sesuai waktunya dan menjadikan serviks tidak kompeten lagi sehingga terjadinya
kelahiran prematur atau kesulitan dalam persalinan (distosia).
Leher rahimberkembang darifusi danrekanalisasidarisalurandistalparamesonefrik
(Müllerian Ducts), yangberkembang secara lengkap setelahusia kehamilanmencapai
sekitar 20minggu, dan terdiridari otot danjaringan ikat fibrosa. Komponenfibrosa, yang
bertanggung jawab untukkekuatan penyempitanserviks. Pada serviksinsufisiensi,
didugaterkait dengan adanya defek pada kekuatan penyempitan dicervicoisthmic
junction.
Infeksi dan inflamasi sangat berhubungan dengan kelahiran prematur dan
pelunakan serviks. Ini berhubungan dengan sifat serviks, dimana peluang untuk
terjadinya persalinan premature berbanding terbalik dengan panjang kanalis servikalis,
yang berisi lender yang bersifat antibakteri. Jika sifat mekanik atau antibakteri leher
rahim secara antomi atau fungsional terganggu, misalnya dengan paparan
dietilstilbestrol intra-uterin atau dengan operasi atau trauma pada serviks, kekuatan
serviks mungkin tidak cukup untuk mempertahankan kehamilan.
41
Faktor resiko
(anomali kongenital, paparan diestilstilbestrol, gangguan kolagen,
infeksi dan inflamasi, defek dll)
INKOMPETENSI SERVIKS
E. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang muncul sebelum, selama dan setelah mengalami
keguguran yaitu sebagai berikut.
1. Terjadi perdarahan pervagina
2. Merasakan keram ataupun kontraksi
3. Nyeri suprapubis
4. Nyeri punggung bagian bawah
5. Tekanan pada vagina atau abdomen bawah
6. Rabas vagina tanpa tanda dan gejala infeksi vagina
7. Ketuban pecah
F. Pemeriksaan Diagnostik
42
Diagnosis serviks inkompeten umumnya ditegakkan berdasarkan riwayat satu
atau lebih kegagalan kehamilan pada trimester kedua atau riwayat keguguran berulang
pada trimester kedua, dengan kerugian masing-masing terjadi pada usia kehamilan lebih
awal dari yang sebelumnya dan kurang kontraksi yang menyakitkan atau peristiwa
berkaitan lainnya. Namun, dalam penemuan ultrasonografi terakhir, definisi ini sedang
ditantang. Terdapat keraguan bahwa pemeriksaan ultrasonografi, terutama
transvaginal, bermanfaat sebagai alat bantu untuk mendiagnosis pemendekan serviks
atau pencorongan ostium interna dan mendeteksi secara dini serviks yang inkompeten.
Secara umum, panjang serviks sebesar 25mm atau kurang antara 16 dan 18 minggu
gestasi dibuktikan secara prediktif untuk kelahiran prematur pada wanita dengan
riwayat penghentian kehamilan pada midtrimester.
Ultrasonografi transvaginal adalah metode yang aman untuk secara objektif
menilai panjang serviks dan lebih unggul berbanding pemeriksaan vagina digital atau
USG perut dalam hal ini. Ultrasonografi transvaginal telah menjadi standar emas atau
“gold standard” untuk evaluasi serviks. Leher rahim pada kehamilan mengikuti pola
penipisan dimulai ostium servikal internal dan berlangsung dalam cara menyalurkan
menuju ostium serviks eksternal. Pada sonogram ini awalnya muncul sebagai “beaking”
atau bentuk mencuih dibentuk dinding samping saluran leher rahim yang berkembang
dari ‘Y’ menjadi ruang berbentuk ‘U’. Panjang leher rahim biasanya tetap stabil hingga
awal trimester ketiga dan memendek secara progresif setelah itu. Temuan
ultrasonografi :
1. Penyempitan atau funneling serviks yang membentuk huruf T, Y, V, U (hubungannya
dengan panjang serviks dengan perubahan pada ostium uteri internum).
2. Panjang serviks < 25 mm
3. Protusi membran amnion
4. Adanya bagian fetus dalam serviks atau vagina
G. Penatalaksanaan
Terapi untuk inkompetensi serviks adalah dengan cara bedah dan non-bedah.
Pilihan terapi non-bedah dapat mengurangi risiko kelahiran prematur pada wanita
dengan inkompetensi serviks. Pengurangan aktivitas atau istirahat total di tempat tidur,
menghindari hubungan seksual, dan penghentian penggunaan narkotin atau rokok
telah direkomendasikan. Penggunaan indomethasin (100mg sekali, diikuti dengan 50mg
setiap 6 jam selama 48jam telah dihubungkan dengan penurunan persalinan sebelum 35
43
minggu dan penurunan kelahiran prematur sebesar 86% pada wanita dengan
pemendekan serviks menjelang usia kehamilan 24 minggu.
Penatalaksanaan inkompetensi serviks adalah dengan cara bedah yaitu penguatan
serviks yang lemah dengan jahitan yang di sebut ‘cerclage’. Perdarahan, kontraksi
uterus, atau ruptur membran biasanya merupakan kontraindikasi untuk pembedahan.
Terdapat beberapa tehnik ‘cerclage’ yang pernah dilakukan seperti McDonalds dan
modifikasi Shirodkar. Waktu terbaik untuk prosedur cerclage serviks adalah pada bulan
ketiga (12-14 minggu) kehamilan . Namun, beberapa wanita mungkin perlu dipasangkan
cerclage darurat pada kehamilan lanjut jika terjadi perubahan seperti pembukaan atau
pemendekan serviks. Jika sudah ada riwayat pemasangan cerclage darurat, pada
kehamilan selanjutnya juga wanita ini akan memerlukan pemasangan cerclage pada
serviksnya.
1. Pemasangan cerclage adalah andalan untuk pencegahan kelahiran prematur pada
wanita dengan insufisiensi atau inkompetensi serviks. Pendekatan dan penempatan
dari jahitan cerclage ada berbagai macam dan tidak ada tehnik tunggal yang
terbukti lebih unggul dari yang lainnya.
2. Pendekatan transvaginal yang paling popular adalah tehnik McDonald, yang
menggunakan anestesi local atau regional untuk menempatkan jahitan
monofilament (polypropylene) atau tape serat polyester di persimpagan
cervicovaginal. Sebuah speculum tertimbang dimasukkan ke dalam vagina, dan
Sims retractor digunakan untuk retraksi anterior vagina. Serviks ini digenggam
lembut dengan penjepit atau forsep Allis cincin untuk traksi. Dimulai pada posisi
jam 12, 4 atau 5 gigitan berurutan yang diambil secara “tas-string”. Jahitan terikat
anterior dan dipangkas.
3. Manakala prosedur Shirodkar melibatkan penempatan jahitan yang sehampir
mungkin pada os interna setelah diseksi pada rectum dan kandung kemih dari
leher rahim. Setelah jahitan dimasukkan, mukosa ditempatkan diatas simpul
jahitan. Prosedur McDonald lebih menjadi favorit berbanding Shirodkar kerana
penempatan jahitan yang lebih mudah.
4. Dalam pendekatan transabdominal melalui laparotomi atau laparoskopi, jahitan
ditempatkan di wilayah cervicoisthmic setelah pembedahan kandung kemih jauh
dari segmen bawah uterus. Prosedur invasif ini mempunyai risiko tinggi terjadinya
komplikasi, misalnya perdarahan. Umumnya dijadikan pilihan bagi pasien yang
gagal bagi penempatan transvaginal, mempunyai penyakit bawaan dengan serviks
44
hipoplasia, atau memiliki jaringan parut besar dari operasi sebelumnya atau
trauma.
5. Cerclage Darurat dilakukan pada wanita yang datang dengan gejala inkompetensi
serviks, misalnya nyeri panggul, keputihan dengan cairan bening, dilatasi serviks
dari 2cm atau lebih, tidak adanya kontraksi rahim yang teratur. Pada tahap ini,
membrane atau selaput ketuban sering berada pada atau diluar os serviks
eksternal. Ada berbagai metode untuk mendorong membrane atau selaput
ketuban ini kembali ke rongga intrauterine.
45
- Abdomen : Striae atau tanda guratan bisa terjadi di daerah abdomen dan
paha. Terjadi nyeri pinggang, kontraksi uterus berlebihan, berat janin kurang
dari normal.
- Perineum dan genital : terjadi keluaran vagina yaitu darah dengan
karakteristik warna bisa kecokelatan maupun merah segar, jumlah bisa
hanya flek saja atau banyak. Dilatasi srviks. Pembukaan serviks.
- Sistem muskuloskeletal : persendian tulang pinggul yang mengendur, gaya
berjalan yang canggung, terjadi pemisahan otot rektum abdominalis
(diastasis rekta).
f) Pemeriksaan Laboratorium :
- Hasil Lab darah dan USG : hematokrit turun, SDM turun (anemia), kadar
hormon beta hCG. Hasil USG : untuk menentukan apakah janin kandungan
hidup atau telah mati.
2. Analisa Data
46
Resiko gangguan hubungan ibu
dan janin
2 Faktor Resiko Terjadi komplikasi pada Resiko Ketidakefektifan
- Kunjungan perawatan kehamilan trimester 2 proses kehamilan dan
prenatal tidak konsisten ↓ melahirkan
- Kurang nutrisi ibu Degradasi kolagen yang
- Kurang pengetahuan tentang mempengaruhi serviks Berhubungan dengan :
proses kehamilan ↓ Kurang perawatan prenatal,
melahirkan Serviks menjadi lunak dan kurang pengetahuan
- Kurang perawatan prenatal dilatasi tentang proses kehamilan
↓ dan melahirkan
Inkompetensi serviks
↓
Resiko Ketidakefektifan proses
kehamilan dan melahirkan
47
↓
Lahir bayi prematur
↓
Resiko Sindrom kematian bayi
mendadak
- NIC :
Pengurangan Perdarahan : Uterus Antepartum
Perawatan Kehamilan Resiko Tinggi
Intervensi :
48
berhubungan dengan perdarahan pada berhubungan dengan kondisi
kehamilan kehamilan yang buruk
Kenali faktor sosio demografi yang
Periksa perineum untuk mengetahui berhubungan dengan kondisi
2
jumlah dan karakteristik perdarahan kehamilan yang buruk (usia kehamilan,
ketiadaan pemeriksaan kehamilan)
Pendidikan kesehatan membahas
3 Monitor tanda-tanda vital ibu
faktor resiko serta pemeriksaan fisik.
Lakukan rujukan yang sesuai untuk
Palpasi kontraksi uterus atau
4 program-program khusus (misalnya,
peningkatan tonus otot
hidrasi, diet, modifikasi aktifitas, dll)
5 Lakukan pemeriksaan USG secara berkala Ajarkan klien tindakan monitor TTV
Memulai tindakan-tindakan keamanan Monitor ketat status fisik dan psikologis
6 (istirahat, tidur, bed rest ketat, dan posisi selama kehamilan
istirahat lateral)
49
- NIC :
Perawatan Prenatal
Intervensi :
- NIC :
Perawatan Bayi prematur
Intervensi :
50
2.3 Perdarahan pada Trimester 3
2.3.1 Plasenta Previa
A. Definisi
Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat
abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh
pembukaan jalan lahir (ostium uteri internal) dan oleh karenanya bagian terendah
sering kali terkendala memasuki Pintu Atas Panggul (PAP) atau menimbulkan kelainan
janin dalam rahim. Pada keadaan normal plasenta umumnya terletak di korpus uteri
bagian depan atau belakang agak ke arah fundus uteri.
Klasifikasi plasenta previa didasarkan atas terabanya jaringan plasenta melalui
pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu, karena klasifikasi tidak didasarkan pada
keadaan anatomi melainkan pada keadaan fisiologis yang dapat berubah-ubah, maka
klasifikasi ini dapat berubah setiap waktu misalnya pada pembukaan yang masih kecil,
seluruh pembukaan yang lebih besar, keadaan ini akan menjadi plasenta previa lateralis.
Secara umum plasenta previa dapat dibagi menjadi empat, yaitu :
1. Plasenta previa totalis : Apabila jaringan plasenta menutupi seluruh ostium uteri
internum.
2. Plasenta previa parsialis : Yaitu apabila jaringan plasenta menutupi sebagian
ostium uteri internum.
3. Plasenta previa marginalis : Yaitu plasenta yang tepinya terletak pada pinggir
ostium uteri internum.
4. Plasenta previa letak rendah: Apabila jaringan plasenta berada kira-kira 3-4 cm di
atas ostium uteri internum, pada pemeriksaan dalam tidak teraba
B. Epidemiologi
Plasenta previa terjadi sekitar 1 dalam 200 kelahiran, tetapi hanya 20% termasuk
dalam plasenta previa totalis. Insiden meningkat 20 kali pada grande multipara. Dari
seluruh kasus perdarahan antepartum, plasenta previa merupakan penyebab yang
terbanyak. Plasenta previa lebih banyak terjadi pada kehamilan dengan paritas tinggi,
dan sering terjadi pada usia di atas 30 tahun. Uterus yang cacat juga dapat
meningkatkan angka kejadian plasenta previa. Pada beberapa Rumah Sakit Umum
Pemerintah dilaporkan angka kejadian plasenta previa berkisar 1,7 % sampai dengan 2,9
%. Sedangkan di negara maju angka kejadiannya lebih rendah yaitu kurang dari 1 % yang
mungkin disebabkan oleh berkurangnya wanita yang hamil dengan paritas tinggi.
51
C. Etiologi dan Faktor Resiko
Penyebab plasenta previa belum diketahui secara pasti. Namun teori lain
mengemukakan bahwa yang menjadi salah satu penyebabnya adalah vaskularisasi
desidua yang tidak memadai, yang mungkin terjadi karena proses radang maupun
atropi.
Faktor resiko timbulnya plasenta previa belum diketahui secara pasti namun dari
beberapa penelitian dilaporkan bahwa frekuensi plasenta previa tertinggi terjadi pada
ibu yang berusia lanjut, multipara, riwayat seksio sesarea dan aborsi sebelumnya serta
gaya hidup yang juga dapat mempengaruhi peningkatan resiko timbulnya plasenta
previa. Dan berikut ini merupakan beberapa faktor yang meningkatkan kemungkinan
terjadinya plasenta previa, antara lain :
1. Umur : Wanita pada umur kurang dari 20 tahun mempunyai risiko yang lebih
tinggi untuk mengalami plasenta previa karena endometrium masih belum
matang, dan kejadian plasenta previa juga sering terjadi pada ibu yang berumur di
atas 35 tahun karena tumbuh endometrium yang kurang subur.
2. Banyaknya jumlah kehamilan dan persalinan (paritas)
3. Hipoplasia endometrium
4. Korpus luteum bereaksi lambat
5. Tumor-tumor, seperti mioma uteri, polip endometrium
6. Endometrium cacat, seksio cesarea, kuretase, dan manual plasenta
7. Kehamilan kembar
8. Riwayat plasenta previa sebelumnya.
D. Patofisiologi
Perdarahan antepartum yang disebabkan oleh plasenta previa umumnya terjadi
pada triwulan ketiga karena saat itu segmen bawah uterus lebih mengalami perubahan
berkaitan dengan semakin tuanya kehamilan, segmen bawah uterus akan semakin
melebar, dan serviks mulai membuka. Perdarahan ini terjadi apabila plasenta terletak
diatas ostium uteri interna atau di bagian bawah segmen rahim. Pembentukan segmen
bawah rahim dan pembukaan ostium interna akan menyebabkan robekan plasenta
pada tempat perlekatannya.
Darah yang berwarna merah segar, sumber perdarahan dari plasenta previa ini
ialah sinus uterus yang robek karena terlepasnya plasenta dari dinding uterus, atau
karena robekan sinus marginalis dari plasenta. Perdarahannnya tak dapat dihindarkan
karena ketidakmampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi
52
menghentikan perdarahan tersebut, tidak sama dengan serabut otot uterus
menghentikan perdarahan pada kala III pada plasenta yang letaknya normal. Semakin
rendah letak plasenta, maka semakin dini perdarahan yang terjadi. Oleh karena itu,
perdarahan pada plasenta previa totalis akan terjadi lebih dini daripada plasenta letak
rendah yang mungkin baru berdarah setelah persalinan mulai.
53
E. Manifestasi Klinis
Ciri yang menonjol dari plasenta previa adalah perdarahan uterus yang keluar
melalui vagina tanpa disertai dengan adanya nyeri. Perdarahan biasanya terjadi diatas
akhir trimester kedua. Perdarahan pertama berlangsung tidak banyak dan dapat
berhenti sendiri. Namun perdarahan dapat kembali terjadi tanpa sebab yang jelas
setelah beberapa waktu kemudian. Dan saat perdarahan berulang biasanya perdarahan
yang terjadi lebih banyak dan bahkan sampai mengalir. Karena letak plasenta pada
plasenta previa berada pada bagian bawah, maka pada palpasi abdomen sering teraba
bagian terbawah janin masih tinggi diatas simfisis dengan letak janin tidak dalam letak
memanjang. Pada plasenta previa ini tidak ditemui nyeri maupun tegang pada perut ibu
saat dilakukan palpasi. Berikut ini merupakan beberapa penjelasan singkat gambaran
klinis dari plasenta previa.
1. Perdarahan pervaginam
Darah berwarna merah terang pada umur kehamilan trimester kedua atau awal
trimester ketiga merupakan tanda utama plasenta previa. Perdarahan pertama
biasanya tidak banyak sehingga tidak akan berakibat fatal, tetapi perdarahan
berikutnya hampir selalu lebih banyak dari perdarahan sebelumnya.
2. Tanpa alasan dan tanpa nyeri Kejadian yang paling khas pada plasenta previa adalah
perdarahan tanpa nyeri yang biasanya baru terlihat setelah kehamilan mendekati
akhir trimester kedua atau sesudahnya.
3. Pada ibu, tergantung keadaan umum dan jumlah darah yang hilang, perdarahan yang
sedikit demi sedikit atau dalam jumlah banyak dengan waktu yang singkat, dapat
menimbulkan anemia sampai syok.
4. Pada janin, turunnya bagian terbawah janin ke dalam Pintu Atas panggul (PAP) akan
terhalang, tidak jarang terjadi kelainan letak janin dalam rahim, dan dapat
menimbulkan aspiksia sampai kematian janin dalam rahim
F. Pemeriksaan Diagostik
Apabila plasenta previa terdeteksi pada akhir tahun pertama atau trimester
kedua, sering kali lokasi plasenta akan bergeser ketika rahim membesar. Untuk
memastikannya dapat dilakukan pemeriksaan USG, namun bagi beberapa wanita
mungkin bahkan tidak terdiagnosis sampai persalinan, terutama dalam kasus-kasus
plasenta previa sebagian. Diagnosa dari plasenta previa bisa ditegakkan dengan adanya
gejala klinis dan beberapa pemeriksaan yaitu:
54
1. Anamnesia, pada saat anamnesis dapat ditanyakan beberapa hal yang berkaitan
dengan perdarahan antepartum seperti umur kehamilan saat terjadinya
perdarahan, apakah ada rasa nyeri, warna dan bentuk terjadinya perdarahan,
frekuensi serta banyaknya perdarahan.
2. Inspeksi, dapat dilihat melalui banyaknya darah yang keluar melalui vagina, darah
beku, dan sebagainya. Apabila dijumpai perdarahan yang banyak maka ibu akan
terlihat pucat.
3. Palpasi abdomen, sering dijumpai kelainan letak pada janin, tinggi fundus uteri
yang rendah karena belum cukup bulan. Juga sering dijumpai bahwa bagian
terbawah janin belum turun, apabila letak kepala, biasanya kepala masih
bergoyang, terapung atau mengolak di atas pintu atas panggul.
4. Pemeriksaan inspekulo, dengan menggunakan spekulum secara hati-hati dilihat
dari mana sumber perdarahan, apakah dari uterus, ataupun terdapat kelainan
pada serviks, vagina, varises pecah, dll.
5. Pemeriksaan radio-isotop : Plasentografi jaringan lunak, sitografi,plasentografi
indirek,arteriografi,amniografi, danradio isotop plasentografi.
6. Ultrasonografi, transabdominal ultrasonografi dalam keadaan kandung kemih
yang dikosongkan akan memberikan kepastian diagnosa plasenta previa.
Walaupun transvaginal ultrasonografi lebih superior untuk mendeteksi keadaan
ostium uteri internum namun sangat jarang diperlukan, karena di tangan yang
tidak ahli cara ini dapat menimbulkan perdarahan yang lebih banyak.
7. Pemeriksaan dalam, Indikasi pemeriksaan dalam pada perdarahan antepartum
yaitu jika terdapat perdarahan yang lebih dari 500 cc, perdarahan yang telah
berulang, his telah mulai dan janin sudah dapat hidup diluar janin. Dan
pemeriksaan dalam pada plasenta previa hanya dibenarkan jika dilakukan
dikamar operasi yang telah siap untuk melakukan operasi dengan segera. Selain
itu juga dapat dilakukan pemeriksaan fornises dengan hati-hati. Jika tulang kepala
teraba, maka kemungkinan plasenta previa kecil. Namun jika teraba bantalan
lunak maka, kemungkinan besar plasenta previa.
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada plasenta previa dapat dibagi dalam 2 golongan, yaitu:
1. Ekspektatif, dilakukan apabila janin masih kecil sehingga kemungkinan hidup di dunia
masih kecil baginya. Sikap ekspektasi tertentu hanya dapat dibenarkan jika keadaan
ibu baik dan perdarahannya sudah berhenti atau sedikit sekali. Dahulu ada anggapan
55
bahwa kehamilan dengan plasenta previa harus segera diakhiri untuk menghindari
perdarahan yang fatal. Syarat terapi ekspektatif yaitu:
1) Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti.
2) Belum ada tanda-tanda in partu.
3) Keadaan umum ibu cukup baik (kadar hemoglobin dalam batas normal).
4) Janin masih hidup.
2. Terminasi, dilakukan dengan segera mengakhiri kehamilan sebelum terjadi
perdarahan yang dapat menimbulkan kematian, misalnya: kehamilan telah cukup
bulan, perdarahan banyak, dan anak telah meninggal. Terminasi ini dapat dilakukan
dengan 2 cara yaitu:
1) Cara vaginal yang bermaksud untuk mengadakan tekanan pada plasenta,
dengan cara ini maka pembuluh-pembuluh darah yang terbuka dapat tertutup
kembali (tamponade pada plasenta). Penekanan tersebut dapat dilakukan
melalui beberapa cara yaitu:
a. Amniotomi (pemecahan selaput ketuban). Cara ini merupakan cara yang
dipilih untuk melancarkan persalinan pervaginam. Cara ini dilakukan
apabila plasenta previa lateralis, plasenta previa marginalis, atau plasenta
letak rendah, namun bila ada pembukaan. Pada primigravida telah terjadi
pembukaan 4 cm atau lebih. Juga dapat dilakukan pada plasenta previa
lateralis/ marginalis dengan janin yang sudah meninggal.
b. Memasang cunam Willet Gausz. Pemasangan cunam Willet Gausz dapat
dilakukan dengan mengklem kulit kepala janin dengan cunam Willet
Gausz. Kemudian cunam diikat dengan menggunakan kain kasa atau tali
yang diikatkan dengan beban kira-kira 50-100 gr atau sebuah batu bata
seperti katrol. Tindakan ini biasanya hanya dilakukan pada janin yang
telah meninggal dan perdarahan yang tidak aktif karena seringkali
menimbulkan perdarahan pada kulit kepala janin.
c. Metreurynter. Cara ini dapat dilakukan dengan memasukkan kantong
karet yang diisi udara dan air sebagai tampon, namun cara ini sudah tidak
dipakai lagi.
d. Versi Braxton-Hicks. Cara ini dapat dilakukan pada janin letak kepala,
untuk mencari kakinya sehingga dapat ditarik keluar. Cara ini dilakukan
dengan mengikatkan kaki dengan kain kasa, dikatrol, dan juga diberikan
beban seberat 50-100 gr.
56
2) Dengan cara seksio sesarea, yang dimaksud untuk mengosongkan rahim
sehingga rahim dapat berkontraksi dan menghentikan perdarahan. Selain itu
seksio sesarea juga dapat mencegah terjadinya robekan serviks dan segmen
bawah rahim yang sering terjadi pada persalinan pervaginam. Persalinan
seksio sesarea diperlukan hampir pada seluruh kasus plasenta previa. Pada
sebagian besar kasus dilakukan melalui insisi uterus transversal. Karena
perdarahan janin dapat terjadi akibat insisi ke dalam plasenta anterior.
57
3. Solusio plasenta tipe campuran (mixed), terjadi perdarahan baik retroplasental
atau pervaginam,uterus tetanik.
B. Epidemiologi
Frekuensi solusio plasenta yang dilaporkan adalah sekitar 1 dari 200 pelahiran.
Ananth mengulas 13 penelitian dengan hampir 1,6 juta kehamilan dan melaporkan
insiden 1 dari 155. Seiring dengan berkurangnya jumlah wanita yang berparitas tinggi
yang dirawat serta tersedianya perawatan prenatal secara luas di masyarakat dan
membaiknya transportasi darurat, frekuensi solusio plasenta yang menyebabkan
kematian janin telah turun menjadi 1 dari 830 pelahiran.
Kejadian solusio plasenta sangat bervariasi dari 1 di antara 75 sampai 830
persalinan dan merupakan penyebab dari 20-35% kematian perinatal. Walaupun angka
kejadian cenderung menurun pada akhir-akhir ini namun morbiditas perinatal masih
cukup tinggi, termasuk gangguan neurologis pada tahun pertama kehidupan. Solusio
plasenta sering berulang pada kehamilan berikutnya. Kejadiannya tercatat sebesar 1 di
antara 8 kehamilan.
58
Kondisi yang paling sering berkaitan adalah beberapa tipe hipertensi, antara lain
mencakup pre-eklampsia, hipertensi gestasional, atau hipertensi kronik. Pada studi
terdahulu di Parkland Hospitalterdapat 408 kasus solusio plasenta yang sedemikian
berat sehingga mematikan janin, hipertensi ibu dijumpai pada sekitar separuh wanita.
Separuhnya mengidap hipertensi kronik dan sisanya menderita hipertensi gestasional
dan pre-eklampsia. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa wanita hipertensi
cenderung mengalami solusio yang lebih berat.
D. Patofisiologi
Perdarahan dapat terjadi dari pembuluh darah plasenta atau uterus yang
membentuk hematoma pada desidua, sehingga plasenta terdesak dan akhirnya
terlepas. Apabila perdarahan sedikit, hematoma yang kecil itu hanya akan mendesak
jaringan plasenta, peredaran darah antara uterus dan plasenta belum terganggu, dan
tanda serta gejalanya pun tidak jelas. Kejadiannya baru diketahui setelah plasenta lahir,
yang pada pemeriksaan didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan
bekuan darah lama yang berwarna kehitam-hitaman.
Biasanya perdarahan akan berlangsung terus-menerus karena otot uterus yang
telah meregang oleh kehamilan itu tidak mampu untuk lebih berkontraksi
menghentikan perdarahannya. Akibatnya, hematoma retroplasenter akan bertambah
besar, sehingga sebagian dan akhirnya seluruh plasenta terlepas dari dinding uterus.
Sebagian darah akan menyelundup di bawah selaput ketuban keluar dari vagina; atau
menembus selaput ketuban masuk ke dalam kantong ketuban atau mengadakan
ekstravasasi di antara serabut-serabut otot uterus. Apabila ekstravasasinya berlangsung
hebat, seluruh permukaan uterus akan berbercak biru atau ungu. Hal ini disebut uterus
Couvelaire, menurut orang yang pertama kali menemukannya. Uterus seperti itu akan
terasa sangat tegang dan nyeri. Akibat kerusakan jaringan miometrium dan pembekuan
retroplasenter, banyak tromboplastin akan masuk ke dalam peredaran darah ibu,
sehingga terjadi pembekuan intravaskuler di mana-mana, yang akan menghabiskan
sebagian besar persediaan fibrinogen. Akibatnya, terjadi hipofibrinogenemi yang
menyebabkan gangguan pembekuan darah tidak hanya di uterus, akan tetapi juga pada
alat-alat tubuh lainnya. Perfusi ginjal akan terganggu karana syok dan pembekuan
intravaskuler. Oliguria dan proteinuria akan terjadi akibat nekrosis tubuli ginjal
mendadak yang masih dapat sembuh kembali, atau akibat nekrosis korteks ginjal
mendadak yang biasanya berakibat fatal.
59
Nasib janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus.
Apabila sebagian besar atau seluruhnya terlepas, mungkin tidak berpengaruh sama
sekali, atau mengakibatkan gawat janin. Waktu, sangat menentukan hebatnya gangguan
pembekuan darah, kelainan ginjal, dan nasib janin. Makin lama sejak terjadinya Solutio
plasenta sampai selesai, makin hebat umumnya komplikasinya.
60
E. Manifestasi Klinis
1. Nyeri perut berat dan konstan, nyeri semakin bertambah jika terdapat
perdarahan yang tersembunyi
2. Perdarahan pervaginam
3. Uterus menjadi tegang dan nyeri saat disentuh karena isi rahim bertambah,
terjadi ektravasasi perdarahan hingga ke dinding uterus. Pada kasus yang berat,
darah dapat masuk ke peritoneum dan menyebabkan sulit untuk mendengarkan
denyut jantung janin
4. Dapat terjadi atonia uteri
5. Tanda-tanda syok tampak
6. Bunyi jantung janin berfluktuasi
7. Dapat terjadi hipovolemia berdasarkan beratnya perdarahan
F. Pemeriksaan Diagnostik
Pada pemeriksaan radiologi ultrasonographic (USG), perdarahan akut dapat
terlihat hiperechoic atau isoechoicsama dengan warna plasenta. Lebih dari 1 minggu
hematoma menjadi hipoechoic. Untuk itu dalam mendiagnosis dibutuhkan pemeriksaan
USG beberapa kali, disamping itu pemeriksaan USG digunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya plasenta previa. Hematoma preplasenta dapat terlihat mengapung
pada cairan amnion saat menahan pasenta. USG dapat menunjukkan banyak
perdarahan, hiphoechoic atau hiperechoic (tergantung stadiumnya) perdarahan
retroplasenta dan elevasi plasenta dari dinding uterus akan tampak. Pemeriksaan USG
dapat memperlihatakan perdarahan retroplasenta diantara plasenta dan miometrium.
G. Penatalaksanaan
1. Setiap pasien yang dicurigai solusio plasenta harus dirujuk ke spesialis karena
memerlukan monitoring yang lengkap baik dalam kehamilan maupun persalinan.
2. Bila umur kehamilan <37 minggu/TBF <2500 g solusio plasenta ringan maka
pengelolaan konservatif meliputi tirah baring, sedatif, mengatasi anemia,
monitoring keadaan janin dengan kardiotokografi dan USG serta menunggu
persalinan spontan.
3. Pada solusio plasenta sedang dan berat atau solusio plasenta ringan yang
memburuk, jika persalinan diperkirakan < 6 jam, diusahakan partus pervaginam
dengan amniotomi dan pitosin drip. Seksio sesarea diindikasikan bila persalinan
diperkirakan > 6 Jam. Pasien dengan solusio plasenta sedang atau berat, tranfusi
61
darah atau resusitasi cairan dan pemberian oksigen pada saat terjadi syok
hendaknya dilakukan terlebih dahulu sebelum tindakan obstetri. Ketuban dapat
segera dipecah untuk mengurangi regangan uterus. Setelah ketuban pecah, segera
berikan infus oksitosin. Pemecahan ketuban (amniotomi) dapat mengurangi syok
serta mengurangi kemungkinan masuknya tromboplastin.
4. Bila umur kehamilan 37 minggu seksio sesar diindikasikan jika persalinan
pervaginam diperkirakan berlangsung lama baik pada solusio plasenta ringan,
sedang maupun berat. Seksio sesarea biasanya di lakukan pada keadaan dimana
solusio plasenta dengan anak hidup tapi pembukaan kecil, solusio plasenta dengan
toksemia berat dengan perdarahan banyak tetapi pembukaan kecil, dan solusio
plasenta dengan panggul sempit atau letak melintang. Seksio sesarea juga menjadi
pilihan jika janin harus dilahirkan cepat karena mengalami gawat janin.
5. Ketika fibrinogen turun mencapai <300mg/dl terjadi gangguan pembekuan darah,
harus dilakukan transfusi. Transfusi dengan whole blood adalah pilihan terbaik.
Histerektomi dilakukan bila ada atonia uteri yang berat, Hipofibrinogenemia dan
kalau persedian darah atau fibrinogen tidak cukup.
6. Resusitasi dan mengembalikan volume darah dilakukan untuk mencegah
kerusakan ginjal. Pemberian darah yang cukup bergantung pada derajat
perdarahan ibu. Paling sedikit 1500 ml darah harus ditransfusikan pada kasus
perdarahan sedang, dan 2500 ml pada kasus berat, 500 ml pertama ditransfusikan
secara cepat untuk mencegan gangguan ginjal dan anuria dan sisa transfusi di
sesuaikan dengan kebutuhan. Darah vena diperiksa setiap 2 jam untuk
mengetahui koagulopati dan jika terjadi gangguan ini harus di terapi. Jumlah urine
yang keluar diukur setiap 2 jam. Dapat terjadi oliguria tetapi diuresis dapat timbul
setelah melahirkan asalkan jumlah darah yang ditransfusikan memadai. Diuresis
yang baik lebih dari 30-40 cc/jam, jika urine <30 ml/jam, harus segera di berikan
bolus cairan 250-500ml.
7. Konservatif
1) Hanya untuk Solutio plasenta derajat ringan dan janin masih belum cukup
bulan, apalagi jika janin telah meninggal.
2) Transfusi darah (1x24 jam) bila anemia (HB kurang dari 10,0%).
3) Apabila ketuban telah pecah, dipacu dengan Oksitosin 10 IU dalam larutan
Saline 500cc, kemudian ditunggu sampai lahir pervaginan.
62
4) Bila 1 botol tersebut belum lahir,ulangi dengan 1 botol lagi dan ditunggu
sampai lahir. Dengan langkah ini biasanya sebagian besar kasus dapat
diselesaikan dengan baik (90%), sedangkan bagi yang gagal dapat dilakukan
SC emergency.
8. Pengobatan
1) Umum
- pemberian darah yang cukup
- pemberian O2
- pemberian antibiotik
- pada syok yang berat diberi kortikosteroid dalam dosis tinggi.
2) Khusus
a. Terhadap hypofibrinogenaemi
- substansi dengan human fibrinogen 10 g atau darah segar.
- menghentikan fibrinolyse dengan trasylol ( proteinase inhibitor) 200.000
IV selanjutnya kalau perlu 100.000 S/jam dalam infus.
b. Untuk merangsang diurese : Mannit, Mannitol diurese yang baik lebih
dari 30-40cc/jam.
63
5. Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri,
disebabkan olehkonstruksi ostium uteri.
B. Epidemiologi
Rentensio plasenta adalah salah satu komplikasi post partum yang dapat
menimbulkan perdarahan, yang merupakan penyebab kematian nomor satu (40% -
60%) kematian ibu melahirkan di Indonesia. Berdasarkan data kematian ibu yang
disebab kan oleh perdarahan pasca persalinan di Indonesia adalah sebesar 43%.
Menurut WHO dilaporkan bahwa 15-20% kematian ibu karena retensio plasenta dan
insidennya adalah 0,8-1,2% untuk setiap kelahiran. Menurut hasil survey di RS PKU
Muhammadiyah Surakarta pada tahun 2012 lalu kasus Retensio Plasenta ini di
perkirakan terjadi hingga 4:10 dari sekian banyak persalinan normal atau post partum
spontan. Dan hingga akhir April 2013, saat ini telah terdapat 12 kasus ibu post partum
spontan disertai retensio plasenta maupun retensio sisa plasenta.
64
3. Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan olehtidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah
penanganan kala III, sehinggaterjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah
uterus yang menghalangi keluarnyaplasenta (inkarserasio plasenta).
D. Patofisiologi
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi
otot-ototuterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi,
sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal.
Dengan kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif,
dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecian mendadak uterus
ini disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta. Ketika jaringan penyokong
plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat berkontraksi mulai terlepas dari
dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua
spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu.
Pembuluh darah yang terdapat di uterus berada di antara serat serat oto miometrium
yang saling bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini menekan pembuluh darah dan
retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta perdarahan berhenti.
Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan pencitraan
ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala
tiga persalinan.
65
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis diantaranya : saat pemeriksaan pervaginaan, plasenta tidak
ditemukan dalam kanalis servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di
dalam uterus. Plasenta Akreta Konsistensi uterus cukup, TFU setinggi pusat, bentuk
uterus discoid, pendarahan sedikit atau tidak ada, tali pusat tidak terjulur, ostium uteri
terbuka, separasi plasenta melekat seluruhnya, syok jarang sekali, kecuali akibat
inversion oleh tarikan kuat pada tali pusat. Secara umum gejala klinis dapat ditemukan
sebagai berikut.
1. Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi
mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat
multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana
plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi
dilahirkan
2. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis servikalis
tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan hematokrit
(Hct), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang
disertai dengan infeksi, leukosit biasanya meningkat.
66
2. Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung protrombin time (PT)
danactivated Partial Tromboplastin Time (aPTT) atau yang sederhana dengan
Clotting Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini penting untuk menyingkirkan
perdarahan yang disebabkan oleh faktor lain.
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan retensio plasenta atau sebagian plasenta adalah sebagai berikut :
1. Resusitasi, pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter yang
berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida isotonik atau
larutan ringer laktat yang hangat, apabila memungkinkan). Monitor jantung, nadi,
tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang
dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.
2. Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat atau NaCl
0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.
3. Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan dengan
drips oksitosin untuk mempertahankan uterus.
4. Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta.
5. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan
dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta.
6. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan
pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
7. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan
infeksi sekunder.
67
e) Pemeriksaan fisik :
- Tanda-tanda vital : TD menurun, frekuensi jantung meningkat , denyut nadi
perifer menurun dll
- Kepala leher : Wajah terlihat lemas, pucat dan meringis kesakitan. Mata :
konjungtiva anemis. Mukosa bibir dan kulit kering. Turgor kulit menurun.
- Thoraks : Peningkatan pigmentasi areola putting susu Bertambahnya ukuran
dan noduler. Terjadi peningkatan volume darah dan peningkatan frekuensi
nadi, Penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dan pembulu darah
pulmonal.Terjadi hiperventilasi selama kehamilan. Peningkatan volume tidal,
penurunan resistensi jalan nafas.
- Abdomen : Striae atau tanda guratan bisa terjadi di daerah abdomen dan
paha. Terjadi nyeri pinggang, kontraksi uterus berlebihan.
- Perineum dan genital : terjadi keluaran vagina yaitu darah dengan
karakteristik warna bisa kecoelatan maupun merah segar, jumlah bisa hanya
flek saja atau banyak. Observasi penempelan plasenta.
- Sistem muskuloskeletal : persendian tulang pinggul yang mengendur, gaya
berjalan yang canggung, terjadi pemisahan otot rektum abdominalis
(diastasis rekta).
f) Pemeriksaan Laboratorium :
- Hasil Lab darah dan USG : hematokrit meningkat, SDM turun (anemia), kadar
hormon beta hCG. Hasil USG : untuk menentukan apakah janin kandungan
hidup atau telah mati.
2. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah Keperawatan
1 Tanda dan Karakteristik Penempelan plasenta di Kekurangan Volume dan
- Kulit kering endometrium segmen bawah cairan
- Membran mukosa kering ↓
- Penurunan turgor kulit Faktor resiko : segmen bawah Berhubungan dengan :
mengalami perubahan berkaitan Kehilangan cairan aktif
semakin tua kehamilan danperdarahan
↓
Segmen bawah uterus semakin
melebar dan serviks mulai
68
membuka
↓
Pembukaan ostium interna
menyebabkan robekan plasenta
pada tempat perlekatan
↓
Perdarahan pervaginam
↓
Kekurangan volume dan cairan
2 Faktor Resiko Penempelan plasenta di Resiko Syok
- Hipovolemia endometrium segmen bawah
- Hipoksia ↓ Berhubungan dengan :
- hipoksemia Faktor resiko : segmen bawah Hipovolemia
- infeksi mengalami perubahan berkaitan
semakin tua kehamilan
↓
Segmen bawah uterus semakin
melebar dan serviks mulai
membuka
↓
Pembukaan ostium interna
menyebabkan robekan plasenta
pada tempat perlekatan
↓
Perdarahan pervaginam
↓
Resiko Syok : Hipovolemi
3 Faktor Resiko Penempelan plasenta di Resiko Infeksi
- stasis cairan tubuh endometrium segmen bawah
- penurunan hemoglobin ↓ Berhubungan dengan :
- respon inflamasi Faktor resiko : segmen bawah penurunan hemoglobin,
mengalami perubahan berkaitan suspresi respon inflamasi
semakin tua kehamilan
↓
69
Segmen bawah uterus semakin
melebar dan serviks mulai
membuka
↓
Pembukaan ostium interna
menyebabkan robekan plasenta
pada tempat perlekatan
↓
Perdarahan pervaginam
↓
Penurunan hemoglobin diikuti
penurunan imunitas tubuh
↓
Terbukanya pintu pembawa
infeksi (port de entry)
↓
Resiko Infeksi
4 Faktor Resiko Faktor resiko Resiko Gangguan
- Gangguan transpor oksigen ↓ Hubungan Ibu dan Janin
(karena anemia, kejang, Terjadi kelainan pada kehamilan
hemoragi) trimester 3 Berhubungan dengan :
↓ Gangguan transpor oksigen
Perdarahan pervaginam
↓
Dapat menimbulkan kekurangan
darah dan kurangnya suplai
oksigen ke seluruh jaringan baik
ke Ibu maupun ke janin
↓
Perfusi jaringan tidak efektif
hingga kematian sel-sel organ
↓
Meningkatkan resiko bahaya
yang mengarah ke morbiditas
70
↓
Resiko gangguan hubungan ibu
dan janin
5 Faktor Resiko Faktor resiko Ansietas
- Gelisah ↓
- Kontak mata buruk Terjadi kelainan pada kehamilan Berhubungan dengan :
- Ekspresi kekhawatiran trimester 3 Gangguan transpor oksigen
- Tampak waspada ↓
- Distress Perdarahan pervaginam
- Ketakutan ↓
- Kesedihan yang mendalam Meningkatkan resiko bahaya
- Sangat khawatir yang mengarah ke morbiditas
- Wajah tegang ↓
- Keringatan Ansietas
5 Hematokrit Penurunan TD
71
6 Turgor kulit Bola mata cekung lunak
- NIC :
Pengurangan perdarahan : uterus antepartum & Manajemen cairan
Intervensi :
72
2 Pucat Perdarahan vagina
- NIC :
Pencegahan Syok & Manajemem Hipovolemi
Intervensi :
3) Resiko Infeksi
- NOC :
Deteksi Resiko & Kontrol Resiko
Indikator :
73
Selalu memperbarui data tentang Menghindari paparan ancaman
3
riwayat penyakit diri dan keluarga kesehatan
4 Memvalidasi resiko kesehatan yang ada Melakukan imunisasi sesuai kebutuhan
Memoniitor status perubahan status
5 Menyesuaikan strategi kontrol resiko
kesehatan
- NIC :
Kotrol Infeksi & Proteksi Infeksi
Intervensi :
74
4 Hemoglobin Kecepatan aliran darah tali pusar
5 Perdarahan pervaginam Temuan sample cairan ketuban
6 Sirkulasi perifer Studi aliran tali pusar (doopler)
7 Kenyamanan Tes nonstress
- NIC :
Pengurangan Perdarahan : Uterus Antepartum
Perawatan Kehamilan Resiko Tinggi
Intervensi :
5) Ansietas
- NOC :
Tingkat Kecemasan
Indikator :
75
2 Rasa cemas yang disampaikan
4 Berkeringat dingin
5 Distress
6 Wajah tegang
7 Rasa takut yang disampaikan
- NIC :
Pengurangan Kecemasan
76
DAFTAR PUSTAKA
Ezeddin, Harri Prawira. 2008. Gambaran Kasus Kehamilan Ektopik Terganggu di Bagian
Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru .Fakultas Kedokteran :
Universitas Riau.
Fitriani, R. 2009. Mola Hidatidosa. 11 (4): 1-6 Jurnal Kesehatan Fakultas Kedokteran UIN
Alauddin Makasar.
Kumboyo DA, et al. 2008. Standar Pelayanan Medik Ilmu Obstetri Dan Ginekologi.Disertasi
tidak diterbitkan. Mataram: Fakultas Kedokteran Universitas Mataram.
Manuaba, Ida Bagus Gede. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC.
Mochtar. R. 2010. Penyakit Trofoblas. Sinopsis Obstetri. Jilid I. Ed 2.Hal. 238-243. Jakarta: EGC
Ningsih, Wati. 2013. Asuhan keperawatan Pda Ny. D dengan Post Partum Spontan Disertai
Retensio Plasenta di Ruang Annisa RS. PKU Muhammadiyah Surakarta. Naskah
Publikasi. Fakultas Ilmu Kesehatan : Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Norwitz, Errol & Schorage John. 2008. Obstetri & Ginekologi. Jakarta: Erlangga.
77
78