CKD (Chronic Kidney Disease) dengan ALO (Acute Lung Oedema) dan
Hemodialisa
Oleh :
Amar Husni Yunji
NIM. 170070301111047
Oleh :
Amar Husni Yunji
NIM. 170070301111047
Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal
mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam
hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat
kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau produksi urin. Penyakit
gagal ginjal berkembang secara perlahan kearah yang semakin buruk dimana ginjal
sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana fungsinya. Dalam dunia
kedokteran dikenal 2 macam jenis gagal ginjal yaitu gagal ginjal akut dan gagal ginjal
kronis (Warianto 2011).
Chronic kidney disease atau CKD adalah gagal ginjal kronik yang
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal, dimana ginjal tidak mampu
mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan, dan elektrolit yang menyebabkan
terjadinya uremia dan azotemia. Uremia adalah sindrom klinik yang terjadi pada
semua organ akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit GGK, sedangkan
azotemia yaitu kelebihan urea atau senyawa nitrogen dalam darah (Brunner &
Suddarth, 2008).
1.2 Etiologi
Gagal ginjal kronik dapat timbul dari hampir semua penyakit. Dibawah ini
terdapat beberapa penyebab gagal ginjal kronik.
a. Tekanan Darah Tinggi
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan –
perubahan stuktur pada arteriol diseluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan
hialinisasi (sklerosis) di dinding pembuluh darah. Organ sasaran utama organ
ini adalah jantung, otak, ginjal dan mata. Pada ginjal adalah akibat
aterosklerosis ginjal akibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis
begina. Gangguan ini merupakan akibat langsung dari iskemia renal. Ginjal
mengecil, biasanya simetris dan permukaan berlubang – lubang dan
berglanula. Secara histology lesi yang esensial adalah sklerosis arteri arteri
kecil serta arteriol yang paling nyata pada arteriol eferen. Penyumbatan arteri
dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus,
sehingga seluruh nefron rusak (price, 2007).
b. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis terjadi karena adanya peradangan pada glomerulus
yang diakibatkan karena adanya pengendapan kompleks antigen antibody.
Reaksi peradangan diglomerulus menyebabkan pengaktifan komplemen,
sehingga terjadi peningkatan aliran darah dan peningkatan permeabilitas
kapiler glomerulus dan filtrasi glomerulus. Protein-protein plasma dan sel
darah merah bocor melalui glomerulus. Glomerulonefritis dibagi menjadi dua
yaitu:
1) Gomerulonefritis Akut
Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara
mendadak.
2) Glomerulonefritis Kronik
Glomerulonefritis kronik adalah pradangan yang lama dari sel-sel
glomerulus. (Price, 2007)
c. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)
Nefritis lupus disbabkan oleh kompleks imun dalam sirkulasi yang
terperangkap dalam membrane basalis glomerulus dan menimbulkan
kerusakan. Perubahan yang paling dini sering kali hanya mengenai sebagian
rumbai glomerulus atau hanya mengenai beberapa glomerulus yang tersebar.
(Price, 2007)
d. Penyakit Ginjal Polikistik
Penyakit ginjal polikistik (PKD) ditandai dengan kista-kista multiple,
bilateral, dan berekspansi yang lambat laun mengganggu dan
menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan. Semakin lama
ginjal tidak mampu mempertahankan fungsi ginjal, sehingga ginjal akan
menjadi rusak (GGK) (Price, 2007)
e. Diabetes Melitus
Diabetes mellitus adalah penyebab tunggal ESRD yang tersering,
berjumlah 30% hingga 40% dari semua kasus. Diabetes mellitus menyerang
struktur dan fungsi ginjal dalam bentuk. Nefropati diabetic adalah istilah yang
mencakup semua lesi yang terjadi diginjal pada diabetes mellitus (Price,
2007). Riwayat perjalanan nefropati diabetikum dari awitan hingga ESRD
dapat dibagi menjadi lima fase atau stadium:
a) Stadium 1 (fase perubahan fungsional dini)
Ditandai dengan hifertropi dan hiperfentilasi ginjal, pada
stadium ini sering terjadi peningkatan GFR yang disebabkan oleh
banyak factor yaitu, kadar gula dalam darah yang tinggi, glucagon
yang abnormal hormone pertumbuhan, efek rennin, angiotensin II
danprostaglandin.
b) Stadium 2 (fase perubahan struktur dini)
Ditandai dengan penebalan membrane basalis kapiler
glomerulus dan penumpukan sedikit demi sedikit penumpukan
matriks mesangial.
c) Stadium 3 (Nefropati insipient)
d) Stadium 4 (nefropati klinis atau menetap)
e) Stadium 5 (Insufisiensi atau gagal ginjal progresif)
Chronik kidney disease penyebab utama disebabkan karena penyakit diabetes
melitus dan hipertensi. Adapun faktor predisposisi diantaranya:
a. Usia lebih dari 60 tahun
b. Penyakit ginjal congenital
c. Riwayat keluarga dengan penyakit ginjal
d. Obstruksi renal
1.3 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik
Pada tahun 2002, KDOQI menerbitkan klasifikasi tahapan penyakit gagal ginjal
kronis, sebagai berikut:
a. Tahap 1: Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat (> 90
mL/min/1.73 m2)
b. Tahap 2: penurunan ringan pada GFR (60-89 mL/min/1.73 m2)
c. Tahap 3: penurunan moderat pada GFR (30-59 mL/min/1.73 m2)
d. Tahap 4: penurunan berat pada GFR (15-29 mL/min/1.73 m2)
e. Tahap 5: Gagal ginjal (GFR <15 mL/min/1.73 m2 atau dialisis)
Pada tahap 1 dan tahap 2 penyakit ginjal kronis, GFR saja tidak dapat dilakukan
diagnosis. Tanda lain dari kerusakan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau urin atau kelainan pada studi pencitraan, juga harus ada dalam
menetapkan diagnosis tahap 1 dan tahap 2 penyakit ginjal kronis.
Pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium 1-3 umumnya asimtomatik,
manifestasi klinis biasanya muncul dalam tahap 4-5. Diagnosis dini, pengobatan dan
penyebab atau institusi tindakan pencegahan sekunder sangat penting pada pasien
dengan penyakit ginjal kronis.
1.4 PATOFISIOLOGI CKD
Kerusakan nefron
Produksi EPO ↓
Perpospatemia pruritus kelebihan
Gangguan volume cairan
Integritas Produksi eritrosit
urokrom perubahan Kulit ↓
beban jantung
tertimbun di kulit warna kulit naik
Anemia
intoleransi aktivitas
1.5 Manisfestasi klinik
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,
meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti kelainan hemopoeisis, saluran cerna,
mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Sukandar,
2006).
1) Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering
ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila
ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
2) Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal
ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih
belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga
terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa
lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau
hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
3) Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien
gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat
pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf
mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina
(retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada
pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva
menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati
mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit
hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
4) Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera
hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang
dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.
5) Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.Kelainan selaput serosa merupakan
salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.
6) Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik.Kelainan mental berat seperti konfusi,
dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien
GGK.Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau
tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).
7) Kelainan kardiovaskuler
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem
vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium
terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.
2) Darah :
a) Hemoglobin : Menurun pada anemia.
b) Sel darah merah : Sering menurun mengikuti peningkatan
kerapuhan / penurunan hidup.
c) pH : Asidosis metabolik (<>
d) Kreatinin : Biasanya meningkat pada proporsi rasio (l0:1).
e) Osmolalitas : Lebih besar dari 28,5 m Osm/ kg, sering sama
dengan urine .
f) Kalium : Meningkat sehubungan dengan retensi urine dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan
(hemolisis sel darah merah).
g) Natrium : Biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
h) pH, Kalium & bikarbonat : Menurun.
i) Klorida fosfat & Magnesium : Meningkat.
j) Protein : Penurunan pada kadar serum dapat menunjukan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan penurunan
pemasukan dan penurunan sintesis karena kekurangan asam
amino esensial.
b. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis (misalnya voltase rendah), aritmia dan gangguan elektrolit
(hiperkalemia, hipokalsemia).
c. Ultrasonografi (USG)
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, anatomi sistem, pelviokalises, ureter proksimal, kandung
kemih serta prostat. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari adanya factor
yang reversibel seperti obstruksi oleh karena batu atau masa tumor, juga
untuk menilai apakah proses sudah lanjut (ginjal yang lisut). USG ini sering
dipakai oleh karena non-infasif, tak memerlukan persiapan apapun.
d. Foto Polos Abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi
ginjal, menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi
lain. Foto polos yang disertai tomogram memberi keterangan yang lebih
baik.
e. Pielografi Intra-Vena (PIV)
Pada GGK lanjut tak bermanfaat lagi oleh karena ginjal tak dapat
memerlukan kontras dan pada GGK ringan mempunyai resiko penurunan
faal ginjal lebih berat, terutama pada usia lanjut, diabetes melitus, dan
nefropati asam urat. Saat ini sudah jarang dilakukan pada GGK. Dapat
dilakukan dengan cara intravenous infusion pyelography, untuk menilai
sistem pelviokalises dan ureter.
f. Pemeriksaan Foto Dada
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid
overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi pericardial. Tak jarang
ditemukan juga infeksi spesifik oleh karena imunitas tubuh yang menurun.
g. Pemeriksaan Radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi (terutama falang/jari), dan kalsifikasi metastatik.
1.7 penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal
ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia).Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik
dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus
segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah
satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif.Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang
sering dijumpai pada GGK.Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah
ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus
dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.
Gejala yang paling umum CKD dengan ALO adalah sesak napas. Ini mungkin
adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara
perlahan, atau ia dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari
pulmonary edema akut. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah,
lebih cepat mengembangkan sesak napas daripada normal dengan aktivitas
yang biasa (dyspnea on exertion), napas yang cepat (tachypnea), kepeningan,
atau kelemahan, dapat pula terjadi perikarditis yang disertai efusi perikardial.
Gangguan irama jantung sering dijmpai akibat gangguan elektrolit
Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada
pasien-pasien dengan pulmonary edema. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-
paru dengan stethoscope, mungkin akan terdengar suara-suara paru yang
abnormal, sepeti rales atau crackles (suara-suara mendidih pendek yang
terputus-putus yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli
selama bernapas).
Manifestasi klinis Edema Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium:
a. Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas
difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya
sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan
kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena
terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
b. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah
paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa
interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di
jaringan kendor inter-sisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil,
terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula
terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal
ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga
membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan
intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat
sedikit perubahan saja.
c. Stadium 3.
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat
terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak
sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume
paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary
shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus
yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia.
Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati (Ingram
and Braunwald, 2006).
3. HEMODIALISA
3.1 Definisi Hemodialisa
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi
yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik.
Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak
mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas
hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah
penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan
ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003)
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya
dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.
Selama proses hemodialisis, darah yang kontak dengan dialyzer dan selang dapat
menyebabkan terjadinya pembekuan darah. Hal ini dapat mengganggu kinerja dialyzer
dan proses hemodialisis. Untuk mencegah terjadinya pembekuan darah selama proses
hemodialisis, maka perlu diberikan suatu antikoagulan agar aliran darah dalam dialyzer
dan selang tetap lancar. Antikoagulan yang biasa digunakan untuk hemodialisa, yaitu :
a. Heparin
Heparin merupakan antikoagulan pilihan untuk hemodialisa, selain karena
mudah diberikan dan efeknya bekerja cepat, juga mudah untuk disingkirkan oleh
tubuh. Ada 3 tehnik pemberian heparin untuk hemodialisa yang ditentukan oleh
faktor kebutuhan pasien dan faktor prosedur yang telah ditetapkan oleh rumah
sakit yang menyediakan hemodialisa, yaitu :
c. Regional Citrate
Antikoagulan sitrat jarang digunakan, namun dapat digunakanuntuk
menggantikan Heparin-free dialysis. Regional Citratediberikan untuk pasien yang
sedang mengalami perdarahan, sedangdalam resiko tinggi perdarahan atau
pasien yang tidak bolehmenerima heparin.Kalsium darah adalah faktor yang
memudahkan terjadinyapembekuan, maka dari itu untuk mengencerkan darah
tanpamenggunakan heparin adalah dengan jalan mengurangi kadar kalsiumion
dalam darah. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan infuse trisodium sitrat
dalam selang yang berhubungan dengan arteri danmenggunakan cairan dialisat
yang bebas kalsium.Namun demikian, akan sangat berbahaya apabila darah
yangtelah mengalami proses hemodialisis dan kembali ke tubuh pasiendengan
kadar kalsium yang rendah. Sehingga pada saat pemberiantrisodium sitrat
dalam selang yang berhubungan dengan arterisebaiknya juga diimbangi dengan
pemberian kalsium klorida dalamselang yang berhubungan dengan vena
(Swartzendruber et al., 2008)
a. Pengkajian
1) Identitas :
2) Umur: Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan
remaja/dewasa muda
3) Riwayat Masuk: Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak
nafas, cyanosis atau batuk-batuk disertai dengan demam tinggi/tidak.
Kesadaran kadang sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba
pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar dengan masing-masik
tanda klinik mungkin menyertai klien
4) Riwayat Penyakit Dahulu: Predileksi penyakit sistemik atau berdampak
sistemik seperti sepsis, pancreatitis, Penyakit paru, jantung serta kelainan
organ vital bawaan serta penyakit ginjal mungkin ditemui pada klien
5) Pemeriksaan fisik
6) Sistem Integumen
7) Sistem Pulmonal
Subyektif : Sesak nafas, dada tertekan
Obyektif :Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu
pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan
meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru,
8) Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit dada
Obyektif :Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi,
kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung
tambahan
9) Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
10) Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru
dan penggunaan otot aksesoris pernafasan
3. Gangguan Gangguan keseimbangan 1. Kaji adanya hipertermi 1. danya hipertermi karena ketidah
keseimbangan cairan tidak terjadi setelah 2. Observasi tanda-tanda vital. mampuan ginjal memfiltrasi Na
cairan dan dilakukan tindakan 3. Kaji edema, auskultasi, 2. Untuk menghindari terjadinya
elektrolit keperawatan selama 1 × 4 takikardi dan reflek tendon. hipotensi dll.
berhubungan jam, dengan kriteria hasil: 4. Monitor BUN kreatinin dan 3. Merupakan tanda-tanda lethargi
dengan 1. Tidak ada edema monitor urinisasi dan cairan yang menambah kerja dari
penurunan dengan distensi hematuria jantung dan menuju edema pulmoner
glomerulo vena jugolaris, 5. Kolaborasi dengan tim medis dan gagal jantung
filtration rate dispnea, tachikardi, dalam memberikan 4. Tanda-tanda hipernatremia dihasilkan
peningkatan pengobatan dari tanda fungsi tubular ginjal
tekanan darah 5. Pengobatan yang diberikan berdasar
crakles pada indikasi sangat membantu dalam
auskultasi. proses terapi keperawatan
2. Tidak terjadi
muntah, hipotensi,
bradikardi dan
perubahan reflek
tendon dalam
DAFTAR PUSTAKA