Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

CKD (Chronic Kidney Disease) dengan ALO (Acute Lung Oedema) dan
Hemodialisa

Untuk memenuhi tugas Profesi Ners Departemen Medikal Ruang Hemodialisa


RSSA Malang

Oleh :
Amar Husni Yunji
NIM. 170070301111047

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


CKD (Chronic Kidney Disease) dengan ALO (Acute Lung Oedema) dan
Hemodialisa

Untuk memenuhi tugas Profesi Ners Departemen Medikal Ruang Hemodialisa


RSSA Malang

Oleh :
Amar Husni Yunji
NIM. 170070301111047

Telah diperiksa dan disetujui pada :


Hari :
Tanggal :

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

(Ns. Mifetika L, S. Kep, M. Kep) (Mohammad Muchlas, S. ST)


NIP:2010038602252001 NIP:197106031993121003
CKD (Chronic Kidney Disease) dengan ALO (Acute Lung Oedema) dan Hemodialisa

1. CKD (Chronic Kidney Disease)


1.1 Definisi

Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal
mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam
hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat
kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau produksi urin. Penyakit
gagal ginjal berkembang secara perlahan kearah yang semakin buruk dimana ginjal
sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana fungsinya. Dalam dunia
kedokteran dikenal 2 macam jenis gagal ginjal yaitu gagal ginjal akut dan gagal ginjal
kronis (Warianto 2011).
Chronic kidney disease atau CKD adalah gagal ginjal kronik yang
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal, dimana ginjal tidak mampu
mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan, dan elektrolit yang menyebabkan
terjadinya uremia dan azotemia. Uremia adalah sindrom klinik yang terjadi pada
semua organ akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit GGK, sedangkan
azotemia yaitu kelebihan urea atau senyawa nitrogen dalam darah (Brunner &
Suddarth, 2008).
1.2 Etiologi

Gagal ginjal kronik dapat timbul dari hampir semua penyakit. Dibawah ini
terdapat beberapa penyebab gagal ginjal kronik.
a. Tekanan Darah Tinggi
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan –
perubahan stuktur pada arteriol diseluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan
hialinisasi (sklerosis) di dinding pembuluh darah. Organ sasaran utama organ
ini adalah jantung, otak, ginjal dan mata. Pada ginjal adalah akibat
aterosklerosis ginjal akibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis
begina. Gangguan ini merupakan akibat langsung dari iskemia renal. Ginjal
mengecil, biasanya simetris dan permukaan berlubang – lubang dan
berglanula. Secara histology lesi yang esensial adalah sklerosis arteri arteri
kecil serta arteriol yang paling nyata pada arteriol eferen. Penyumbatan arteri
dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus,
sehingga seluruh nefron rusak (price, 2007).
b. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis terjadi karena adanya peradangan pada glomerulus
yang diakibatkan karena adanya pengendapan kompleks antigen antibody.
Reaksi peradangan diglomerulus menyebabkan pengaktifan komplemen,
sehingga terjadi peningkatan aliran darah dan peningkatan permeabilitas
kapiler glomerulus dan filtrasi glomerulus. Protein-protein plasma dan sel
darah merah bocor melalui glomerulus. Glomerulonefritis dibagi menjadi dua
yaitu:
1) Gomerulonefritis Akut
Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara
mendadak.
2) Glomerulonefritis Kronik
Glomerulonefritis kronik adalah pradangan yang lama dari sel-sel
glomerulus. (Price, 2007)
c. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)
Nefritis lupus disbabkan oleh kompleks imun dalam sirkulasi yang
terperangkap dalam membrane basalis glomerulus dan menimbulkan
kerusakan. Perubahan yang paling dini sering kali hanya mengenai sebagian
rumbai glomerulus atau hanya mengenai beberapa glomerulus yang tersebar.
(Price, 2007)
d. Penyakit Ginjal Polikistik
Penyakit ginjal polikistik (PKD) ditandai dengan kista-kista multiple,
bilateral, dan berekspansi yang lambat laun mengganggu dan
menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan. Semakin lama
ginjal tidak mampu mempertahankan fungsi ginjal, sehingga ginjal akan
menjadi rusak (GGK) (Price, 2007)
e. Diabetes Melitus
Diabetes mellitus adalah penyebab tunggal ESRD yang tersering,
berjumlah 30% hingga 40% dari semua kasus. Diabetes mellitus menyerang
struktur dan fungsi ginjal dalam bentuk. Nefropati diabetic adalah istilah yang
mencakup semua lesi yang terjadi diginjal pada diabetes mellitus (Price,
2007). Riwayat perjalanan nefropati diabetikum dari awitan hingga ESRD
dapat dibagi menjadi lima fase atau stadium:
a) Stadium 1 (fase perubahan fungsional dini)
Ditandai dengan hifertropi dan hiperfentilasi ginjal, pada
stadium ini sering terjadi peningkatan GFR yang disebabkan oleh
banyak factor yaitu, kadar gula dalam darah yang tinggi, glucagon
yang abnormal hormone pertumbuhan, efek rennin, angiotensin II
danprostaglandin.
b) Stadium 2 (fase perubahan struktur dini)
Ditandai dengan penebalan membrane basalis kapiler
glomerulus dan penumpukan sedikit demi sedikit penumpukan
matriks mesangial.
c) Stadium 3 (Nefropati insipient)
d) Stadium 4 (nefropati klinis atau menetap)
e) Stadium 5 (Insufisiensi atau gagal ginjal progresif)
Chronik kidney disease penyebab utama disebabkan karena penyakit diabetes
melitus dan hipertensi. Adapun faktor predisposisi diantaranya:
a. Usia lebih dari 60 tahun
b. Penyakit ginjal congenital
c. Riwayat keluarga dengan penyakit ginjal
d. Obstruksi renal
1.3 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik

Pada tahun 2002, KDOQI menerbitkan klasifikasi tahapan penyakit gagal ginjal
kronis, sebagai berikut:
a. Tahap 1: Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat (> 90
mL/min/1.73 m2)
b. Tahap 2: penurunan ringan pada GFR (60-89 mL/min/1.73 m2)
c. Tahap 3: penurunan moderat pada GFR (30-59 mL/min/1.73 m2)
d. Tahap 4: penurunan berat pada GFR (15-29 mL/min/1.73 m2)
e. Tahap 5: Gagal ginjal (GFR <15 mL/min/1.73 m2 atau dialisis)
Pada tahap 1 dan tahap 2 penyakit ginjal kronis, GFR saja tidak dapat dilakukan
diagnosis. Tanda lain dari kerusakan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau urin atau kelainan pada studi pencitraan, juga harus ada dalam
menetapkan diagnosis tahap 1 dan tahap 2 penyakit ginjal kronis.
Pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium 1-3 umumnya asimtomatik,
manifestasi klinis biasanya muncul dalam tahap 4-5. Diagnosis dini, pengobatan dan
penyebab atau institusi tindakan pencegahan sekunder sangat penting pada pasien
dengan penyakit ginjal kronis.
1.4 PATOFISIOLOGI CKD

Faktor yg tidak dapat dimodifikasi: Faktor yg dapat dimodifikasi:


Herediter, Usia>60, Jenis kelamin, DM, hipertensi, merokok, obstruksi
Ras saluran kemih

Penurunan aliran darah renal


Primary kidney disease
Kerusakan ginjal karena penyakit lain
Obstruksi outflow urine

BUN ↑ Penurunan filtrasi glomerulus Serum creatinine ↑

Kerusakan nefron

Hipertrofi nefron yang tersisa

Kerusakan fungsi nefron lebih lanjut

Chronic kidney disease (CKD)

Ggn. sekresi protein retensi Na Kerusakan sel


yg memproduksi
EPO
sindrom uremia edema

Produksi EPO ↓
Perpospatemia pruritus kelebihan
Gangguan volume cairan
Integritas Produksi eritrosit
urokrom perubahan Kulit ↓
beban jantung
tertimbun di kulit warna kulit naik
Anemia

Toksisitas ureum Enchepalop Penurunan hipertrofi


di otak ati kesadaran ventrikel kiri Suplai O2 ↓

Ggn. asam - basa Mual Gangguan payah jantung


kiri Metab.anaerob
Muntah nutrisi

edema paru Asam laktat ↑


Asidosis gangguan
metabolik pola nafas Cardiac
output ↓
ggn. pertukaran gas fatigue

intoleransi aktivitas
1.5 Manisfestasi klinik

Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,
meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti kelainan hemopoeisis, saluran cerna,
mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Sukandar,
2006).
1) Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering
ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila
ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
2) Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal
ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih
belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga
terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa
lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau
hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
3) Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien
gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat
pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf
mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina
(retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada
pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva
menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati
mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit
hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
4) Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera
hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang
dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.
5) Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.Kelainan selaput serosa merupakan
salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.
6) Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik.Kelainan mental berat seperti konfusi,
dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien
GGK.Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau
tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).
7) Kelainan kardiovaskuler
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem
vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium
terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

1.6 Pemeriksaan penunjang

Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang baik


pemeriksaan laboratorium maupun radiologi.
a. Pemeriksaan laboratorium
Menurut Doenges (2008) pemeriksaan penunjang pada pasien GGK
adalah :
1) Ureum dan kreatinin :
a) Volume urine : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria)
terjadi dalam (24 jam – 48) jam setelah ginjal rusak.
b) Warna Urine : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya
darah.
c) Berat jenis urine : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal
contoh : glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan
kemampuan memekatkan : menetap pada l, 0l0 menunjukkan
kerusakan ginjal berat.
d) pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular
ginjal dan rasio urine/ serum saring (1 : 1).
e) Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan
kerusakan ginjal.
f) Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila
ginjal tidak mampu mengabsorpsi natrium.
g) Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
h) Protein : Proteinuria derajat tinggi (+3 – +4 ) sangat menunjukkan
kerusakan glomerulus bila Sel darah merahdan warna Sel darah
merahtambahan juga ada. Protein derajat rendah (+1 – +2 ) dan
dapat menunjukan infeksi atau nefritis intertisial.
i) Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi
tambahan warna merah diduga nefritis glomerulus.

2) Darah :
a) Hemoglobin : Menurun pada anemia.
b) Sel darah merah : Sering menurun mengikuti peningkatan
kerapuhan / penurunan hidup.
c) pH : Asidosis metabolik (<>
d) Kreatinin : Biasanya meningkat pada proporsi rasio (l0:1).
e) Osmolalitas : Lebih besar dari 28,5 m Osm/ kg, sering sama
dengan urine .
f) Kalium : Meningkat sehubungan dengan retensi urine dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan
(hemolisis sel darah merah).
g) Natrium : Biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
h) pH, Kalium & bikarbonat : Menurun.
i) Klorida fosfat & Magnesium : Meningkat.
j) Protein : Penurunan pada kadar serum dapat menunjukan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan penurunan
pemasukan dan penurunan sintesis karena kekurangan asam
amino esensial.
b. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis (misalnya voltase rendah), aritmia dan gangguan elektrolit
(hiperkalemia, hipokalsemia).
c. Ultrasonografi (USG)
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, anatomi sistem, pelviokalises, ureter proksimal, kandung
kemih serta prostat. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari adanya factor
yang reversibel seperti obstruksi oleh karena batu atau masa tumor, juga
untuk menilai apakah proses sudah lanjut (ginjal yang lisut). USG ini sering
dipakai oleh karena non-infasif, tak memerlukan persiapan apapun.
d. Foto Polos Abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi
ginjal, menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi
lain. Foto polos yang disertai tomogram memberi keterangan yang lebih
baik.
e. Pielografi Intra-Vena (PIV)
Pada GGK lanjut tak bermanfaat lagi oleh karena ginjal tak dapat
memerlukan kontras dan pada GGK ringan mempunyai resiko penurunan
faal ginjal lebih berat, terutama pada usia lanjut, diabetes melitus, dan
nefropati asam urat. Saat ini sudah jarang dilakukan pada GGK. Dapat
dilakukan dengan cara intravenous infusion pyelography, untuk menilai
sistem pelviokalises dan ureter.
f. Pemeriksaan Foto Dada
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid
overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi pericardial. Tak jarang
ditemukan juga infeksi spesifik oleh karena imunitas tubuh yang menurun.
g. Pemeriksaan Radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi (terutama falang/jari), dan kalsifikasi metastatik.

1.7 penatalaksanaan

1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal
ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia).Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik
dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus
segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah
satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif.Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang
sering dijumpai pada GGK.Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah
ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus
dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.

3. Terapi pengganti ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium
5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit.Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006dalam
Alamang 2012).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat
pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal
(LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif.Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang
tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan
Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi
elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah,
dan astenia berat.
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai
sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan.Umumnya
dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-
kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney).Kualitas hidup yang
diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14
tahun.Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik
CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun),
pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular,
pasienpasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien
GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik,
yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan
faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal
alamiah
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
2. ALO (Acute Lung Oedem)
2.1 Definis ALO
Acute Lung Oedema (ALO) adalah akumulasi cairan di paru yang terjadi
secara mendadak. (Aru W Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyaki Dalam, 2006).
Acute Lung Oedema (ALO) adalah terjadinya penumpukan cairan secara
masif di rongga alveoli yang menyebabkan pasien berada dalam kedaruratan
respirasi dan ancaman gagal napas.

2.2 ALO pada pasien CKD


Natrium mempunyai peranan penting dalam penimbunan cairan akut. Urine
pada orang sehat biasanya mengandung natrium dengan jumlah milli-ekuivalen yang
tepat sama dengan milli ekuivalen natrium di dalam makanan, sehingga orang
tersebut mempunyai balance natrium yang seimbang. Pada glomerulonefritis akut
(gagal ginjal kronis yang lama), natrium tidak lagi dapat dieksresikan oleh ginjal yang
sakit. Jika penderita tetap makan garam dalam jumlah yang sama seperti saat sehat,
maka jumlah natrium di dalam tubuh akan meningkat dan tetap tinggal di ruang
ekstraseluler. Hal inilah yang akan menarik air dengan tenaga osmotiknya, sehingga
di dalam tubuh terjadi dua peningkatan volume cairan yaitu ekstraseluler dan darah
yang bersirkulasi. Cairan berlebih inilah yang kemudian menuju ke paru-parubdan
dapat menyebabkan ALO juga dapat menyebabkan gagal jantung.

2.3 Tanda gejala CKD dengan ALO

Gejala yang paling umum CKD dengan ALO adalah sesak napas. Ini mungkin
adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara
perlahan, atau ia dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari
pulmonary edema akut. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah,
lebih cepat mengembangkan sesak napas daripada normal dengan aktivitas
yang biasa (dyspnea on exertion), napas yang cepat (tachypnea), kepeningan,
atau kelemahan, dapat pula terjadi perikarditis yang disertai efusi perikardial.
Gangguan irama jantung sering dijmpai akibat gangguan elektrolit
Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada
pasien-pasien dengan pulmonary edema. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-
paru dengan stethoscope, mungkin akan terdengar suara-suara paru yang
abnormal, sepeti rales atau crackles (suara-suara mendidih pendek yang
terputus-putus yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli
selama bernapas).
Manifestasi klinis Edema Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium:
a. Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas
difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya
sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan
kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena
terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
b. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah
paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa
interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di
jaringan kendor inter-sisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil,
terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula
terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal
ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga
membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan
intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat
sedikit perubahan saja.

c. Stadium 3.
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat
terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak
sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume
paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary
shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus
yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia.
Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati (Ingram
and Braunwald, 2006).
3. HEMODIALISA
3.1 Definisi Hemodialisa

Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh kumpulan zat sisa


metabolisme tubuh. Hemodialisis digunakan untuk pasien dengan tahap akhir gagal ginjal
atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat (Nursalam, 2006)
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah
yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin
hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal.
Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK stadium V dan pada pasien dengan AKI
(Acute Kidney Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang
dilakukan HD dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD
persiapan/preparative, dan HD kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).

3.2 Indikasi Hemodialisa

Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD kronik.


Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
a. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007):
1. Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5 mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati/miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k. Hipertermia
2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.
b. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan seumur
hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis
dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak
selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari
hal tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al., 2007):
a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e. Komplikasi metabolik yang refrakter.
3.3 Kontra Indikasi Hemodialisa

Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi
yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik.
Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak
mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas
hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah
penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan
ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003)

3.4 Tujuan Hemodialisa

Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya
dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.

3.5 Prinsip Dan Cara Kerja Hemodialisa


3.6 Mekanisme Hemodialisa

Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen:


a. kompartemen darah
b. kompartemen cairan pencuci (dialisat)
c. ginjal buatan (dialiser).
Darah dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu,
kemudian masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi proses
dialisis, darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik, selanjutnya beredar di
dalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam dialiser (Daurgirdas et al.,
2007).
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu larutan
(kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini dengan
larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel (dialiser).
Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai osmosis. Perpindahan ini terjadi
melalui mekanisme difusi dan UF. Mekanisme difusi bertujuan untuk membuang zat-zat
terlarut dalam darah (blood purification), sedangkanmekanisme ultrafiltrasi bertujuan
untuk mengurangi kelebihan cairandalam tubuh (volume control) (Roesli, 2006).
Kedua mekanisme dapatdigabungkan atau dipisah, sesuai dengan tujuan awal
hemodialisanya.Mekanisme difusi terjadi karena adanya perbedaan konsentrasiantara
kompartemen darah dan kompartemen dialisat. Zat-zat terlarutdengan konsentrasi
tinggi dalam darah, berpindah dari kompartemendarah ke kompartemen dialisat,
sebaliknya zat-zat terlarut dalam cairandialisat dengan konsentrasi rendah, berpindah
dari kompartemen dialisat ke kompartemen darah. Proses difusi ini akan terus
berlangsunghingga konsentrasi pada kedua kompartemen telah sama. Kemudian,untuk
menghasilkan mekanisme difusi yang baik, maka aliran darah danaliran dialisat dibuat
saling berlawanan (Rahardjo et al., 2006).
Kemudian pada mekanisme ultrafiltrasi, terjadi pembuangancairan karena adanya
perbedaan tekanan antara kompartemen darah dankompartemen dialisat. Tekanan
hidrostatik akan mendorong cairanuntuk keluar, sementara tekanan onkotik akan
menahannya. Bilatekanan di antara kedua kompartemen sudah seimbang,
makamekanisme ultrafiltrasi akan berhenti (Suwitra, 2006).

3.7 Penggunaan antikoagulan dalam terapi hemodialisa

Selama proses hemodialisis, darah yang kontak dengan dialyzer dan selang dapat
menyebabkan terjadinya pembekuan darah. Hal ini dapat mengganggu kinerja dialyzer
dan proses hemodialisis. Untuk mencegah terjadinya pembekuan darah selama proses
hemodialisis, maka perlu diberikan suatu antikoagulan agar aliran darah dalam dialyzer
dan selang tetap lancar. Antikoagulan yang biasa digunakan untuk hemodialisa, yaitu :
a. Heparin
Heparin merupakan antikoagulan pilihan untuk hemodialisa, selain karena
mudah diberikan dan efeknya bekerja cepat, juga mudah untuk disingkirkan oleh
tubuh. Ada 3 tehnik pemberian heparin untuk hemodialisa yang ditentukan oleh
faktor kebutuhan pasien dan faktor prosedur yang telah ditetapkan oleh rumah
sakit yang menyediakan hemodialisa, yaitu :

(1). Routine continuous infusion (heparin rutin)


Tehnik ini sering digunakan sehari-hari. Dengan dosis injeksi tunggal 30-50
U/kg selama 2-3 menit sebelum hemodialisadimulai. Kemudian dilanjutkan
750-1250 U/kg/jam selama proseshemodialisis berlangsung. Pemberian
heparin dihentikan 1 jamsebelum hemodialisa selesai.
(2) Routine repeated bolus
Dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg selama 2-3 menitsebelum
hemodialisa dimulai. Kemudian dilanjutkan dengandosis injeksi tunggal 30-50
U/kg berulang-ulang sampaihemodialisa selesai.
(3) Tight heparin (heparin minimal)
Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resikoperdarahan ringan
sampai sedang. Dosis injeksi tunggal dan lajuinfus diberikan lebih rendah
daripada routine continuous infusionyaitu 10-20 U/kg, 2-3 menit sebelum
hemodialisa dimulai.Kemudian dilanjutkan 500 U/kg/jam selama proses
hemodialisisberlangsung. Pemberian heparin dihentikan 1 jam
sebelumhemodialisa selesai.
b. Heparin-free dialysis (Saline)
Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resikoperdarahan berat atau
tidak boleh menggunakan heparin. Untukmengatasi hal tersebut diberikan
normal saline 100 ml dialirkandalam selang yang berhubungan dengan arteri
setiap 15-30 menitsebelum hemodialisa.Heparin-free dialysis sangat sulit untuk
dipertahankan karenamembutuhkan aliran darah arteri yang baik (>250
ml/menit), dialyzeryang memiliki koefisiensi ultrafiltrasi tinggi dan
pengendalianultrafiltrasi yang baik.

c. Regional Citrate
Antikoagulan sitrat jarang digunakan, namun dapat digunakanuntuk
menggantikan Heparin-free dialysis. Regional Citratediberikan untuk pasien yang
sedang mengalami perdarahan, sedangdalam resiko tinggi perdarahan atau
pasien yang tidak bolehmenerima heparin.Kalsium darah adalah faktor yang
memudahkan terjadinyapembekuan, maka dari itu untuk mengencerkan darah
tanpamenggunakan heparin adalah dengan jalan mengurangi kadar kalsiumion
dalam darah. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan infuse trisodium sitrat
dalam selang yang berhubungan dengan arteri danmenggunakan cairan dialisat
yang bebas kalsium.Namun demikian, akan sangat berbahaya apabila darah
yangtelah mengalami proses hemodialisis dan kembali ke tubuh pasiendengan
kadar kalsium yang rendah. Sehingga pada saat pemberiantrisodium sitrat
dalam selang yang berhubungan dengan arterisebaiknya juga diimbangi dengan
pemberian kalsium klorida dalamselang yang berhubungan dengan vena
(Swartzendruber et al., 2008)

3.8 Asupan makanan, cairan dan elektrolit selama proses hemodialisa

Asupan makanan pasien hemodialisa mengacu pada tingkatperburukan fungsi


ginjalnya. Sehingga, ada beberapa unsur yang harusdibatasi konsumsinya yaitu,
asupan protein dibatasi 1-1,2 g/kgBB/hari,asupan kalium dibatasi 40-70 meq/hari,
mengingat adanya penurunanfungsi sekresi kalium dan ekskresi urea nitrogen oleh
ginjal. Kemudian,jumlah kalori yang diberikan 30-35 kkal/kgBB/hari (Suwitra, 2006).
Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah urin yangada ditambah
dengan insensible water loss, sekitar 200-250 cc/hari.Asupan natrium dibatasi 40-120
meq/hari guna mengendalikan tekanandarah dan edema. Selain itu, apabila asupan
natrium terlalu tinggi akanmenimbulkan rasa haus yang memicu pasien untuk terus
minum,sehingga dapat menyebabkan volume cairan menjadi overload yangmengarah
pada retensi cairan. Asupan fosfat juga harus 600-800mg/hari (Pastans dan Bailey,
1998).

3.9 Dosis hemodialisa dan kecukupan dosis hemodialisa

a.) Dosis hemodialisa


Dosis hemodialisa yang diberikan pada umumnya sebanyak 2kali seminggu
dengan setiap hemodialisa selama 5 jam atausebanyak 3 kali seminggu dengan
setiap hemodialisa selama 4 jam(Suwitra, 2006).
Lamanya hemodialisis berkaitan erat dengan efisiensi danadekuasi hemodialisis,
sehingga lama hemodialisis juga dipengaruhioleh tingkat uremia akibat progresivitas
perburukan fungsi ginjalnyadan faktor-faktor komorbiditasnya, serta kecepatan aliran
darah dankecepatan aliran dialisat (Swartzendruber et al., 2008).Namun demikian,
semakin lama proses hemodialisis, makasemakin lama darah berada diluar tubuh,
sehingga makin banyakantikoagulan yang dibutuhkan, dengan konsekuensi sering
timbulnyaefek samping (Roesli, 2006).
Dosis waktu hemodialisis untuk 3 kali seminggu adalah 12 jam sampaidengan
15 jam atau 5 jam setiap kali tindakan. Sedangkan target Kt/Vyang harus dicapai
adalah 1,2 dengan rasio reduksi ureum 65% (NKFDOQI, 2006). Rekomendasi dari
PERNEFRI (2003) targetKt/Vadalah 1,2 untuk hemodialisis 3 kali seminggu selama 4
jam setiaphemodialisis dan Kt/V 1,8 untuk hemodialisis 5 jam setiaphemodialisis.
RRU yang ideal adalah diatas 65% setiap kali tindakanhemodialisis (PERNEFRI,
2003).
Dosis hemodialisis yang berdasarkantarget Kt/V bisa dihitung dengan rumus
generasi kedua dari rumusDaugirdas yaitu:
Kt/V =-Ln( R-0,008 x t ) + ( 4–3,5 x R ) x UF/W
Keterangan :
a. Ln adalah logaritma natural
b. R adalah BUN setelah hemodialisis dibagi BUN sebelum hemodialysis
c. T adalah lama waktu hemodialysis
d. UF adalah jumlah ultrafiltrasi dalam liter
e. W adalah berat badan pasien setelah hemodialisis
Target dosis hemodialisis disamping dengan Kt/V dapat juga dihitungberdasarkan
RRU.
b.) Kecukupan dosis hemodialisa
Kecukupan dosis hemodialisa yang diberikan disebut denganadekuasi
hemodialisis. Adekuasi hemodialisis diukur denganmenghitung urea reduction ratio
(URR) dan urea kinetic modeling(Kt/V). Nilai URR dihitung dengan mencari nilai rasio
antara kadarureum pradialisis yang dikurangi kadar ureum pascadialisis
dengankadar ureum pasca dialisis. Kemudian, perhitungan nilai Kt/V
jugamemerlukan kadar ureum pradialisis dan pascadialisis, berat badanpradialisis
dan pascadialisis dalam satuan kilogram, dan lama proseshemodialisis dalam satuan
jam. Pada hemodialisa dengan dosis 2 kaliseminggu, dialisis dianggap cukup bila
nilai URR 65-70% dan nilaiKt/V 1,2-1,4 (Swartzendruber et al., 2008).

3.10 Komplikasi Hemodialisis

Menurut Smeltzer (2002) komplikasi hemodialisis mencakup hal-hal sebagai berikut :


a. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.
b. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika udara
memasuki sistem vaskuler pasien
c. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya
sirkulasi darah di luar tubuh.
d. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
e. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral dan
muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini memungkinkan terjadinya lebih
besar jika terdapat gejala uremia yang berat.
f. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan
ruang ekstrasel.
g. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.
4. ASUHAN KEPERAWATAN

a. Pengkajian
1) Identitas :
2) Umur: Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan
remaja/dewasa muda
3) Riwayat Masuk: Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak
nafas, cyanosis atau batuk-batuk disertai dengan demam tinggi/tidak.
Kesadaran kadang sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba
pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar dengan masing-masik
tanda klinik mungkin menyertai klien
4) Riwayat Penyakit Dahulu: Predileksi penyakit sistemik atau berdampak
sistemik seperti sepsis, pancreatitis, Penyakit paru, jantung serta kelainan
organ vital bawaan serta penyakit ginjal mungkin ditemui pada klien
5) Pemeriksaan fisik
6) Sistem Integumen
7) Sistem Pulmonal
Subyektif : Sesak nafas, dada tertekan
Obyektif :Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu
pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan
meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru,
8) Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit dada
Obyektif :Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi,
kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung
tambahan
9) Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
10) Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru
dan penggunaan otot aksesoris pernafasan

11) Sistem genitourinaria


Subyektif :-
Obyektif : produksi urine menurun/normal,
12) Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare
13) Studi Laboratorik
Hb : menurun/normal
Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen
darah, kadar karbon darah meningkat/normal
Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal
5. Diagnosa yang mungkin muncul
a. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
penurunan glomerulo filtration rate
b. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai oksigen ke jaringan
menurun
c. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan keluaran urine, diet
berlebih dan retensi cairan dan natrium.
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane
mukosa mulut.
e. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status metabolic,
sirkulasi, sensasi, penurunan turgor kulit, penurunan aktivitas, akumulasi
ureum dalam kulit.
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur.
g. Gangguan konsep diri berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh,
tindakan dialysis, koping maladaptive.
h. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
6. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
No Diagnosa Tujuan & KH Intervensi Rasional
1. Ketidak Pola nafas kembali efektif 1. Berikan HE pada pasien 1. Informasi yang adekuat dapat
efektifan pola setelah dilakukan tindakan tentang penyakitnya membawa pasien lebih kooperatif
nafas keperawatan selama 1 × 4 2. Atur posisi semi fowler dalam memberikan terapi
berhubungan jam, dengan kriteria hasil: 3. Observasi tanda dan gejala 2. Jalan nafas yang longgar dan tidak
dengan 1. Tidak terjadi sianosis ada sumbatan proses respirasi dapat
menurunnya hipoksia atau 4. Berikan terapi oksigenasi berjalan dengan lancar.
ekspansi paru hipoksemia 5. Observasi tanda-tanda vital 3. Sianosis merupakan salah satu tanda
sekunder 2. Tidak sesak 6. Observasi timbulnya gagal manifestasi ketidakadekuatan suply
terhadap 3. RR normal (16-20 nafas O2 pada jaringan tubuh perifer
penumpukan × / menit) 7. .Kolaborasi dengan tim 4. Pemberian oksigen secara adequat
cairan dalam 4. Tidak terdapat medis dalam memberikan dapat mensuplai dan memberikan
rongga pleura kontraksi otot bantu pengobatan cadangan oksigen, sehingga
nafas mencegah terjadinya hipoksia.
5. Tidak terdapat 5. Dyspneu, sianosis merupakan tanda
sianosis terjadinya gangguan nafas disertai
dengan kerja jantung yang menurun
timbul takikardia dan capilary refill
time yang memanjang/lama.
6. Ketidakmampuan tubuh dalam proses
respirasi diperlukan intervensi yang
kritis dengan menggunakan alat
bantu pernafasan (mekanical
ventilation).
7. Pengobatan yang diberikan berdasar
indikasi sangat membantu dalam
proses terapi keperawatan
2 Gangguan Fungsi pertukaran gas 1. Berikan HE pada pasien 1. Informasi yang adekuat dapat
pertukaran dapat maksimal setelah tentang penyakitnya membawa pasien lebih kooperatif
Gas dilakukan tindakan 2. Atur posisi pasien semi dalam memberikan terapi
berhubungan keperawatan selama 1 × 4 fowler 2. Jalan nafas yang longgar dan tidak
dengan jam dengan kriteria hasil: 3. Bantu pasien untuk ada sumbatan proses respirasi dapat
perubahan 1. Tidak terjadi melakukan reposisi secara berjalan dengan lancer
membran sianosis sering 3. Posisi yang berbeda menurunkan
kapiler- 2. Tidak sesak 4. Berikan terapi oksigenasi resiko perlukaan akibat imobilisasi
alveolus 4. .Pemberian oksigen secara adequat
5. Observasi tanda – tanda vital
(perpindahan 3. RR normal (16-20 dapat mensuplai dan memberikan
6. Kolaborasi dengan tim medis
cairan ke × / menit) cadangan oksigen, sehingga
dalam memberikan
dalam area 4. BGA normal: mencegah terjadinya hipoksia
pengobatan
intertitial/alveol 5. partial pressure of 5. Dyspneu, sianosis merupakan tanda
i) oxygen (PaO2): 75- terjadinya gangguan nafas

100 mm Hg 6. disertai dengan kerja jantung yang

6. partial pressure of menurun timbul takikardia dan

carbon dioxide capilary refill time yang memanjang

(PaCO2): 35-45 mm 7. .Pengobatan yang diberikan berdasar

Hg indikasi sangat membantu dalam


proses terapi keperawatan
7. oxygen content
(O2CT): 15-23%
8. oxygen saturation
(SaO2): 94-100%
9. bicarbonate (HCO3):
22-26 mEq/liter
10. pH: 7.35-7.45

3. Gangguan Gangguan keseimbangan 1. Kaji adanya hipertermi 1. danya hipertermi karena ketidah
keseimbangan cairan tidak terjadi setelah 2. Observasi tanda-tanda vital. mampuan ginjal memfiltrasi Na
cairan dan dilakukan tindakan 3. Kaji edema, auskultasi, 2. Untuk menghindari terjadinya
elektrolit keperawatan selama 1 × 4 takikardi dan reflek tendon. hipotensi dll.
berhubungan jam, dengan kriteria hasil: 4. Monitor BUN kreatinin dan 3. Merupakan tanda-tanda lethargi
dengan 1. Tidak ada edema monitor urinisasi dan cairan yang menambah kerja dari
penurunan dengan distensi hematuria jantung dan menuju edema pulmoner
glomerulo vena jugolaris, 5. Kolaborasi dengan tim medis dan gagal jantung
filtration rate dispnea, tachikardi, dalam memberikan 4. Tanda-tanda hipernatremia dihasilkan
peningkatan pengobatan dari tanda fungsi tubular ginjal
tekanan darah 5. Pengobatan yang diberikan berdasar
crakles pada indikasi sangat membantu dalam
auskultasi. proses terapi keperawatan
2. Tidak terjadi
muntah, hipotensi,
bradikardi dan
perubahan reflek
tendon dalam
DAFTAR PUSTAKA

Wariano, 2011. Keterampilan Proses Sains. Kencana Media Group, Jakarta


Saragih, 2010, Hubungan Keluarga dengan Pengaruh Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal
Kronis. Media. Jakarta
Aru Wulan, 2007. Buku Ajar Penyakit Dalam, Sanjaya. Jakarta
Reever, 2007. Keperawatan Medical Bedah. Jakarta : Salemba Medica.
Sukandar. 2006. Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis. Fakultas Kedokteran UNPAD.
Bandung.
Asep Sumpena, ( 2002 ) , Panduan Hemodialisis Untuk Mahasiswa . Bandung Elektronik
(Internet) ( 2009 ) , Treatment Optrion For Intradialytic Hipotensin
Himmelfarb, Jonathan. 2005. Core Curriculum In Nephrology Hemodialysis
Complications.National Kidney Foundation. N Eng J M. Doi : 10.1053 http : //
www.nejm.org/content/full article.htm (12 September 2015)
Enday Suhandar, Prof ( 2006 ) , Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis. FK UNPAD.
Bandung Kumpulan Materi ( 2010 ), Teknik Hedmodialisis. Bandung
Nursalam, M.Nurs, DR (Hons). 2006. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
Rully M.A. Roesli, Prof ( 2008 ) Acute Kidney Injury. FK UNPAD. Bandung
Rudianto, AMK RS. Khusus Ginjal Ny. RA Habibie Bandung
Suhardjono. 2006. Proteinuria Pada Penyakit Ginjal Kronik: Mekanisme dan
Pengelolaannya. Peranan Stres Oksidatif dan Pengendalian Faktor Risiko pada
Progresi Penyakit Ginjal Kronik serta Hipertensi, JNHC 2006; 1-7.
Sukanandar, E (2006). Gagal ginjal dan panduan terapi dialisis. Bandung: Pusat Informasi
Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD/RS. DR.
Hasan Sadikin
Yunie Armyati ( 2009 ) , Komplikasi Intradialisis. FIK . UI. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai