Anda di halaman 1dari 15

Pembahasan PP No.

109/2012 (Terkait Iklan/Promosi


Rokok)
15 Januari 2013 pukul 23:32

Pengantar

Akhirnya, setelah 3 tahun menunggu, Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang


pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan
ditanda-tangani oleh Presiden Republik Indonesia pada Desember 2012. Peraturan
Pemerintah ini merupakan turunan dari Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan di mana dalam Bagian Ketujuh Belas (pasal 113 s/d 116) tercantum mengenai
“Pengamanan Zat Adiktif”. Dengan lahirnya PP ini, maka PP No. 19 Tahun 2003 tentang
Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.

Dokumen PP NO. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif
Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan tersebut dapat diunduh di:
http://depkes.go.id/index.php/component/depkesdownload/index.php?option=com_depkesdo
wnload&itemid=24&folderid=62

Tulisan ini dimaksudkan untuk membahas sekaligus memberikan sorotan khusus pada hal-hal
baru yang terdapat pada Peraturan Pemerintah tersebut, khususnya terkait dengan industri
periklanan.

Peraturan Terkait Periklanan Produk Rokok

Sebelum menyinggung soal pengaturan periklanan untuk produk tembakau/rokok, ada


beberapa hal menarik dari peraturan tersebut yang perlu dicermati, sebagai berikut:

1. Pasal 13 ayat 1 menyebutkan: “Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor


Produk Tembakau berupa Rokok putih mesin dilarang mengemas kurang dari 20
(dua puluh) batang dalam setiap Kemasan.”
2. Pasal 14 ayat 1 menyebutkan: “Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor
Produk Tembakau ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan.”
Dan ayat 2 menyebutkan: “Peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berbentuk gambar dan tulisan yang harus mempunyai satu makna.” Isi dari
peringatan dan gambar tersebut akan ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI.
3. Pasal 24 ayat 1 menyebutkan: “Setiap produsen dilarang untuk mencantumkan
keterangan atau tanda apapun yang menyesatkan atau kata-kata yang bersifat
promotif.” Dan ayat 2 menyebutkan: “Selain larangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), setiap produsen dilarang mencantumkan kata “Light”, “Ultra Light”,
“Mild”, “Extra Mild”, “Low Tar”, “Slim”, “Special”, “Full Flavour”, “Premium”
atau kata lain yang mengindikasikan kualitas, superioritas, rasa aman, pencitraan,
kepribadian, ataupun kata-kata dengan arti yang sama.” Aturan ini mengacu pada
pernyataan pada kemasan produk tembakau/rokok.
4. Pasal 39 menyebutkan: “Setiap orang dilarang menyiarkan dan menggambarkan
dalam bentuk gambar atau foto, menayangkan, menampilkan atau menampakkan
orang sedang merokok, memperlihatkan batang Rokok, asap Rokok, bungkus Rokok
atau yang berhubungan dengan Produk Tembakau serta segala bentuk informasi
Produk Tembakau di media cetak, media penyiaran, dan media teknologi informasi
yang berhubungan dengan kegiatan komersial/iklan atau membuat orang ingin
merokok.” Ketentuan larangan menyiarkan dan menggambarkan produk tembakau ini
dimaksudkan antara lain dalam film, sinetron, dan acara televisi lainnya kecuali
tayangan/liputan berita.
5. Pasal 45 menyebutkan: Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor Produk
Tembakau dilarang memberikan Produk Tembakau dan/atau barang yang
menyerupai Produk Tembakau secara cuma-cuma kepada anak, remaja, dan
perempuan hamil. Penjelasannya: Yang dimaksud dengan “barang yang menyerupai
Produk Tembakau” antara lain makanan dan minuman termasuk permen yang
berbentuk seperti Produk Tembakau.
6. Pasal 61 menyebutkan: “Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor
Produk Tembakau harus menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 14, Pasal 15, dan
Pasal 17 paling lambat 18 (delapan belas) bulan terhitung sejak Peraturan
Pemerintah ini diundangkan.”

Menarik bahwa Pasal 61 (tentang Ketentuan Peralihan) tidak menyebutkan periode peralihan
untuk Pasal 24 sehingga seharusnya Pasal 24 di atas berlaku seketika (Pasal 15 dan 17
merupakan penjabaran lebih lanjut mengenai pencantuman peringatan berupa tulisan dan
gambar).

Pasal-pasal yang mengatur mengenai periklanan pada PP ini jauh lebih banyak dan jauh lebih
detil dari PP sebelumnya. Total ada 13 pasal yang mengatur iklan dan promosi rokok,
ditambah satu pasal tentang Sanksi dan satu pasal tentang Ketentuan Peralihan.

Pasal-pasal yang mengatur tentang iklan dan promosi rokok selengkapnya saya kutipkan di
bawah ini:

Pasal 26

(1) Pemerintah melakukan pengendalian Iklan Produk Tembakau.


(2) Pengendalian Iklan Produk Tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
pada media cetak, media penyiaran, media teknologi informasi, dan/atau media luar ruang.

Pasal 27

Pengendalian Iklan Produk Tembakau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, antara lain
dilakukan sebagai berikut:

a. mencantumkan peringatan kesehatan dalam bentuk gambar dan tulisan sebesar paling
sedikit 10% (sepuluh persen) dari total durasi iklan dan/atau 15% (lima belas persen) dari
total luas iklan;

b. mencantumkan penandaan/tulisan “18+” dalam Iklan Produk Tembakau;

c. tidak memperagakan, menggunakan, dan/atau menampilkan wujud atau bentuk Rokok atau
sebutan lain yang dapat diasosiasikan dengan merek Produk Tembakau;

d. tidak mencantumkan nama produk yang bersangkutan adalah Rokok;

e. tidak menggambarkan atau menyarankan bahwa merokok memberikan manfaat bagi


kesehatan;

f. tidak menggunakan kata atau kalimat yang menyesatkan;

g. tidak merangsang atau menyarankan orang untuk merokok;

h. tidak menampilkan anak, remaja, dan/atau wanita hamil dalam bentuk gambar dan/atau
tulisan;

i. tidak ditujukan terhadap anak, remaja, dan/atau wanita hamil;

j. tidak menggunakan tokoh kartun sebagai model iklan; dan

k. tidak bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Pasal 28

Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Iklan Produk Tembakau
di media cetak wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. tidak diletakkan di sampul depan dan/atau belakang media cetak, atau halaman depan surat
kabar;

b. tidak diletakkan berdekatan dengan iklan makanan dan minuman;

c. luas kolom iklan tidak memenuhi seluruh halaman; dan


d. tidak dimuat di media cetak untuk anak, remaja, dan perempuan.

Pasal 29

Selain pengendalian Iklan Produk Tembakau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, iklan di
media penyiaran hanya dapat ditayangkan setelah pukul 21.30 sampai dengan pukul 05.00
waktu setempat.

Pasal 30

Selain pengendalian Iklan Produk Tembakau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, iklan di
media teknologi informasi harus memenuhi ketentuan situs merek dagang Produk Tembakau
yang menerapkan verifikasi umur untuk membatasi akses hanya kepada orang berusia 18
(delapan belas) tahun ke atas.

Pasal 31

Selain pengendalian Iklan Produk Tembakau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, iklan di
media luar ruang harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. tidak diletakkan di Kawasan Tanpa Rokok;

b. tidak diletakkan di jalan utama atau protokol;

c. harus diletakkan sejajar dengan bahu jalan dan tidak boleh memotong jalan atau melintang;
dan

d. tidak boleh melebihi ukuran 72 m2 (tujuh puluh dua meter persegi).

Pasal 32

Dalam rangka memenuhi akses ketersediaan informasi dan edukasi kesehatan masyarakat,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyelenggarakan iklan layanan masyarakat mengenai
bahaya menggunakan Produk Tembakau.

Pasal 33

Ketentuan lebih lanjut mengenai Iklan Produk Tembakau diatur dengan peraturan instansi
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penyiaran.
Pasal 34

Ketentuan lebih lanjut mengenai Iklan Produk Tembakau di media luar ruang diatur oleh
Pemerintah Daerah.

Pasal 35

(1) Pemerintah melakukan pengendalian Promosi Produk Tembakau.

(2) Ketentuan pengendalian Promosi Produk Tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan sebagai berikut:

a. tidak memberikan secara cuma-cuma, potongan harga, hadiah Produk Tembakau, atau
produk lainnya yang dikaitkan dengan Produk Tembakau;

b. tidak menggunakan logo dan/atau merek Produk Tembakau pada produk atau barang
bukan Produk Tembakau; dan

c. tidak menggunakan logo dan/atau merek Produk Tembakau pada suatu kegiatan lembaga
dan/atau perorangan.

Penjelasan terhadap Pasal 35 ayat 2.a.: “Yang dimaksud dengan “produk lainnya” antara
lain barang-barang selain Produk Tembakau yang menggunakan merek dagang, atau yang
dapat menimbulkan persepsi baik langsung maupun tidak langsung dengan Produk
Tembakau.”

Pasal 36

(1) Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor Produk Tembakau yang
mensponsori suatu kegiatan lembaga dan/atau perorangan hanya dapat dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:

a. tidak menggunakan nama merek dagang dan logo Produk Tembakau termasuk brand image
Produk Tembakau; dan

b. tidak bertujuan untuk mempromosikan Produk Tembakau.

(2) Sponsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk kegiatan lembaga dan/atau
perorangan yang diliput media.
Pasal 37

Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor Produk Tembakau yang menjadi
sponsor dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan hanya dapat dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:

a. tidak menggunakan nama merek dagang dan logo Produk Tembakau termasuk brand image
Produk Tembakau; dan

b. tidak bertujuan untuk mempromosikan Produk Tembakau.

Penjelasan terhadap Pasal 37 huruf a.: “Yang dimaksud dengan “brand image” termasuk
diantaranya semboyan yang digunakan oleh Produk Tembakau dan warna yang dapat
diasosiasikan sebagai ciri khas Produk Tembakau yang bersangkutan.”

Pasal 38

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengendalian Sponsor Produk Tembakau
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 37 diatur oleh Pemerintah Daerah.

Satu pasal yang mengatur mengenai sanksi terkait dengan iklan/promosi rokok:

Pasal 40

Setiap orang yang mengiklankan dan/atau mempromosikan Produk Tembakau tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal
31, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 39, dikenakan sanksi administratif oleh Menteri
dan/atau menteri terkait berupa:

a. penarikan dan/atau perbaikan iklan;

b. peringatan tertulis; dan/atau

c. pelarangan sementara mengiklankan Produk Tembakau yang bersangkutan pada


pelanggaran berulang atau pelanggaran berat.

Dan 1 (satu) Ketentuan Peralihan:


Pasal 62

(1) Setiap orang yang mempromosikan dan/atau mengiklankan Produk Tembakau harus
menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 35
paling lambat 12 (dua belas) bulan terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.

(2) Setiap orang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan Produk Tembakau yang
menjadi sponsor suatu kegiatan harus menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 36, dan Pasal 37
paling lambat 12 (dua belas) bulan terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.

Pembahasan Singkat

Beberapa hal penting yang penulis coba ulas adalah sebagai berikut:

1. Pencantuman peringatan pada iklan rokok (berupa pernyataan dan gambar) untuk
iklan di media cetak bertambah luas dari PP sebelumnya yang hanya 10% menjadi
15%. Untuk media siar, tetap 10% dari total durasi iklan (misalnya untuk iklan TV
dengan total durasi 30 detik, maka peringatan yang berupa pernyataan dan gambar
harus ditayangkan selama 3 detik). Berdasarkan pengamatan penulis, produsen rokok
sangat disiplin dalam menerapkan pencantuman peringatan pada iklan-iklan mereka
yang ditayangkan di media cetak. Tapi kedisiplinan tersebut tidak terwujud pada
iklan-iklan di media siar di mana spot peringatan nyaris tidak pernah ditayangkan
sepanjang 10% dari total durasi iklannya.
2. Pada Pasal 27 huruf f. tercantum bahwa iklan rokok tidak boleh menggunakan kata
atau kalimat yang menyesatkan. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini.
Pasal ini sangat berbahaya karena kata “menyesatkan” mempunyai arti yang sangat
luas. Apakah suatu iklan (misalnya) yang menyatakan “Pria Rokok X - Pria yang
Macho” bisa disebut sebagai suatu pesan yang menyesatkan (seolah-olah pria yang
merokok Rokok X akan memberikan sifat “macho”)? Produsen dan biro iklannya
harus sangat berhati-hati di area ini.
3. Pasal 28 membatasi secara cukup ketat penayangan iklan rokok di media cetak.
Penayangan iklan rokok di media cetak tidak boleh berdampingan dengan iklan
produk makanan dan minuman. Iklan rokok juga tidak boleh dipasang di media
khusus wanita (termasuk bila produknya adalah rokok khusus wanita).
4. Pasal 29 berisi pembatasan iklan produk rokok di media penyiaran yang isinya tidak
berbeda dengan peraturan sebelumnya. Iklan produk rokok hanya boleh ditayangkan
antara pk. 21.30 s/d 05.00 waktu setempat. DIkarenakan saat ini khusus untuk media
televisi swasta nasional mereka masih menerapkan tayangan nasional (materi tayang
sama untuk seluruh area Indonesia), maka berarti secara otomatis pembatasan waktu
tersebut terhitung untuk Waktu Indonesia Bagian Barat.
5. Pasal 30 mengatur iklan/promosi produk rokok di media teknologi informasi dimana
disebutkan bahwa diwajibkan ada proses verifikasi untuk membatasi akses hanya
kepada mereka yang telah berusia 18 tahun ke atas. Hal ini seharusnya juga berlaku
untuk media-media sosial seperti Facebook, Twitter dan sejenisnya.
6. Dengan adanya Pasal 35, produsen rokok tidak lagi diperkenankan menjajakan
produk-produk lain (seperti T-Shirt, korek-api/pemantik api, asbak, pulpen, kalender,
mug, dan sejenisnya) dalam rangka melakukan iklan/promosi produk rokoknya.
7. Pasal 36 dan 37 akan cukup membatasi produsen rokok mensponsori suatu kegiatan
(misalnya penayangan langsung/tunda pertandingan olah-raga, pertunjukkan musik,
mensponsori produksi film dan sejenisnya) dengan menggunakan “brand image” dari
produk rokoknya (seperti semboyan/slogan dan warna yang dapat diasosiasikan
sebagai ciri khas produk rokok yang bersangkutan). Sampai dengan saat ini, masih
cukup banyak produsen rokok yang “bernakal-ria” di area ini dengan mensponsori
berbagai kegiatan dengan menggunakan ciri-ciri “brand image” mereka. Padahal, hal
ini sudah diatur juga dalam PP No. 19 tahun 2003 walaupun mungkin terkesan kurang
tegas. Terkait dengan hal ini, sebaiknya pemerintah pusat juga melakukan koordinasi
dengan Kementerian Hukum dan HAM yang mengatur mengenai pemberian hak
cipta. Terdapat fakta bahwa beberapa produsen telah mendapatkan hak cipta atas
beberapa “merek” seperti “Rokok X Movie”, “Rokok X Sport”, “Liga Rokok X”,
“Rokok X Music”, dan sejenisnya dan “merek-merek” tersebut didaftarkan dalam
kategori “nama kegiatan”, bukan sebagai suatu produk rokok.
8. Sejalan dengan program Otonomi Daerah (OTDA), peraturan ini juga mendorong
peran Pemerintah Daerah untuk mengatur lebih lanjut iklan dan promosi rokok di
media luar ruang (Pasal 34) dan kegiatan sponsorship (Pasal 38). Tentunya ketentuan
yang akan ditetapkan oleh Pemerintah Daerah tersebut harus lebih ketat daripada
Peraturan Pemerintah ini.

Dec 6, 2011
Undang-Undang Penyiaran dan Iklan Rokok di Televisi (1)

Siaran iklan dikatakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sebagai
siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa,
barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan
kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan (pasal 1 ayat 5). Iklan sendiri merupakan
salah satu faktor kebudayaan paling penting yang mencetak dan merefleksikan kehidupan
manusia saat ini. Iklan ada di mana-mana, sebagai bagian tak terelakkan dari kehidupan
setiap orang. Bahkan, seandainya seseorang tidak membaca surat kabar atau menonton
televisi, berbagai imaji yang dipasang di lingkungan urban sekitar kita merupakan hal yang
tidak terhindarkan. Dengan menjalari semua media, dan tidak dibatasi pada siapa pun,
periklanan membentuk sebuah suprastruktur luas dengan eksistensi yang tampak otonom
dan disertai pengaruh yang sangat besar.

Adalah sifat iklan yang ada di mana-mana (ubiquitous) serta ketahanannya sebagai
‘bentuk’ yang dapat dikenali inilah yang mengindikasikan signifikansi periklanan, terlepas
dari fakta fungsinya dalam media teknis yang berbeda dan juga terlepas dari ‘muatan’ yang
berbeda (yaitu berbagai pesan yang berbeda tentang berbagai produk yang berbeda).
Periklanan memiliki sebuah fungsi, yakni menjual benda-benda kepada konsumen. Namun,
periklanan memiliki fungsi lainnya dalam banyak hal, menggantikan fungsi yang secara
tradisional dipenuhi oleh seni dan agama. Periklanan menciptakan struktur-struktur makna
(Williamson, 2007: 1-2).
Terdapat ada tiga produk dalam dunia periklanan yang selalu menimbulkan
kontroversi, yaitu: alkohol, rokok dan kondom (Tanudjaja : 2007). Dunia praktisi periklanan
menyebutnya sebagai produk AKROBAT, akronim dari: Alkohol, Kondom, Rokok, dan Obat-
obatan. Produk-produk tersebut selalu mendapatkan ‘perlakuan khusus’. Khusus untuk
rokok, WHO, organisasi kesehatan dunia yang bernaung dibawah payung Perserikatan
Bangsa Bangsa telah menghimbau supaya perusahaan-perusahaan tidak lagi
memanfaatkan dana dari produsen-produsen rokok bagi keperluan kegiatan sponsorship.
Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 mencantumkan iklan alkohol dan
rokok dalam pasal 46 ayat 3b dan 3c yang melarang promosi minuman keras, bahan/zat
adiktif, dan promosi rokok yang memperagakan wujud rokok. Sedangkan mengenai obat-
obatan diatur dalam pasal 36 ayat 5b, bahwa isi siaran dilarang menonjolkan
penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Adapun iklan kondom tidak disebutkan dalam
undang-undang ini.
Iklan merupakan salah satu alat pemasaran produk industri rokok yang efektif. Studi
dari Universitas Hamka dan Komnas Anak tahun 2007 menyatakan bahwa 99,7 persen anak
melihat iklan di televisi, 68 persen di antaranya berkesan positif pada iklan rokok, dan 50
persen lebih percaya diri seperti di iklan (Harmadi, 2009). Menurut penelitian penulis sendiri,
beberapa iklan rokok di televisi membawa mitos-mitos lelaki maskulin yang harus menjalin
persahabatan, mempunyai kemandirian, hingga dikaitkan dengan mitos lelaki pemberani
(Runtiko, 2009). Sehingga, wajar apabila anak-anak dan remaja berkesan positif dan lebih
percaya diri setelah melihat iklan-iklan yang ‘bagus’ tersebut.
Tampaknya, iklan rokok tidaklah sesederhana kelihatannya. Sehingga, yang
kemudian menjadi pertanyaan adalah: Apakah regulasi yang tercantum dalam Undang-
Undang Penyiaran telah mencukupi untuk mengatur iklan rokok? Kalau tidak, bagaimana
hendaknya regulasi tersebut? Lalu, faktor-faktor apakah yang hendaknya menjadi
pertimbangan regulasi iklan rokok?
Regulasi Iklan Rokok

Setidaknya ada tiga hal mengapa regulasi penyiaran dipandang penting (Mufid, 2005 : 67-
70). Pertama, dalam iklim demokrasi kekinian, salah satu urgensi yang mendasari
penyusunan regulasi penyiaran adalah hak asasi manusia tentang kebebasan berbicara
(freedom of speech), yang menjamin kebebasan seseorang untuk memperoleh dan
menyebarkan pendapatnya tanpa adanya intervensi, bahkan dari pemerintah.
Kedua, demokrasi menghendaki adanya ‘sesuatu’ yang menjamin keberagaman
(diversity) politik dan kebudayaan, dengan menjamin kebebasan aliran ide dan posisi dari
kelompok minoritas. Tentu saja, kebebasan minoritas ini dalam artian positif, dan tidak
berlaku bagi kalangan minoritas yang ‘menyimpang’, misalnya saja yang berkaitan dengan
pornografi.
Ketiga, terdapat alasan ekonomi mengapa regulasi media diperlukan. Tanpa adanya
regulasi media, cenderung akan muncul praktik-praktik monopoli, oligopoli, dan
komersialisasi oleh kelompok yang mempunyai kemampuan finansial.
Regulasi tentang iklan rokok mengalami pasang surut seiring bergantinya rezim yang
memerintah negeri ini. Setidaknya semenjak era Orde Baru, kebijakan tentang rokok telah
disinggung dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Rokok, yang dikategorikan
sebagai zat adiktif, diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan
perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Kemudian, produksi, peredaran dan
penggunaan zat adiktif ini harus memenuhi standar dan persyaratan yang ditentukan.
Kebijakan yang kemudian diamandemen ini belum menyentuh masalah iklan rokok. Bahkan,
produk perundang-undangan ini juga tidak menyebut rokok secara eksplisit.
Pada tahun 1997 muncul kebijakan baru tentang iklan rokok. Peraturan ini
dituangkan dalam UU No. 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran. Regulasi ini secara eksplisit
menyebut tentang rokok dan menyatakan bahwa siaran niaga dilarang memuat iklan yang
menggambarkan penggunaan rokok. Mulai tahun diundangkannya undang-undang ini, iklan
rokok tidak lagi menayangkan model yang sedang merokok. Sebelumnya, visualisasi model
yang sedang menghisap rokok menjadi trend gaya iklan rokok.
Era Presiden Habibie terjadi banyak ‘gebrakan’ dalam hal kebijakan terhadap industri
rokok dan tembakau. Setidak-tidaknya terdapat tiga peraturan perundang-undangan yang
berkaitan secara langsung dan tidak langsung dengan produk rokok dan tembakau.
Pertama, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah satu poinnya,
konsumen diberi hak untuk melakukan gugatan class action atas kerugian yang dialaminya.
Poin ini banyak digunakan oleh LSM maupun unsur masyarakat yang peduli terhadap
dampak rokok dan tembakau untuk melakukan gugatan terhadap industri rokok. Kedua, UU
No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Perusahaan pers dilarang memuat iklan peragaan wujud
rokok dan atau penggunaan rokok. Poin ini merupakan sebuah ‘pukulan telak’ bagi industri
periklanan, terutama iklan rokok. Mereka dipaksa untuk kreatif agar wujud dan penggunaan
rokok tidak muncul dalam iklan. Menurut beberapa kalangan, semenjak adanya aturan ini,
iklan rokok justru menjadi lebih ‘berwarna’ dan bagus. Ketiga, PP No. 81 Tahun 1999
tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Kebijakan ini kontroversial, banyak pihak yang
menolaknya, terutama produsen rokok, petani tembakau dan media. Bahkan, sebuah
departemen berada pada posisi menolak peraturan ini. Salah satu poin yang kontroversial
adalah bahwa iklan rokok hanya boleh ditayangkan di media cetak dan media luar ruang. Ini
berarti televisi dan radio akan kehilangan salah satu penyumbang terbesar iklan mereka.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, muncul PP No. 28 Tahun 2000
tentang perubahan PP No. 81 Tahun 1999 mengenai Pengamanan Rokok bagi Kesehatan.
Peraturan ini sekaligus merespon kontroversi mengenai PP No. 81 Tahun 1999. Isi dari
peraturan pemerintah ini antara lain: (1) iklan rokok pada media elektronik hanya dapat
dilakukan pada pukul 21.30 sampai dengan pukul 05.00 waktu setempat (Pasal 17 ayat 2),
dan (2) penyesuaian kandungan kadar tar dan nikotin maksimum, 7 (tujuh) tahun untuk
rokok kretek buatan mesin dan tangan, dan 10 tahun untuk rokok kretek buatan tangan.
Tindak lanjut dari peraturan ini, antara lain dikatakan bahwa pemerintah akan membentuk
Lembaga Pengkajian Rokok (LPR).
Pada masa pemerintahan Megawati, revisi terhadap UU No. 24 Tahun 1997 tentang
Penyiaran dilakukan. Hasilnya adalah terbitnya UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Selain itu, terbit juga PP No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan,
yang berisi: (1) rokok wajib diperiksa kadar kandungan tar-nikotin oleh lembaga yang
terakreditasi; dan wajib diinformasikan pada bungkus rokok, (2) wajib mencantumkan
peringatan kesehatan : merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi
dan gangguan kehamilan dan janin, (3) iklan pada media elektronik hanya diperbolehkan
pada pukul 21.30 sampai dengan pukul 05.00, dan (4) kawasan tanpa rokok di tempat-
tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, sarana belajar mengajar, arena kegiatan
anak, tempat ibadah, dan angkutan umum.
Undang-Undang Penyiaran Tahun 2002 adalah perundang-undangan yang
mempunyai struktur sangat langsing, dan hanya mengatur klausul-klausul yang sangat
umum. Undang-undang ini memerlukan penjabaran lebih lanjut dalam berbagai Peraturan
Pelaksana (Sudibyo, 2004:54). Peraturan Pelaksana inilah yang akan lebih berperan,
karena mengatur ketentuan-ketentuan yang detil dan operasional tentang dunia penyiaran,
termasuk di dalamnya tentang penyiaran iklan rokok.

Sosial Ekonomi Industri Rokok


Tidak dapat dipungkiri, industri rokok mempunyai peranan dalam kehidupan sosial-ekonomi
masyarakat. Industri rokok menyerap tenaga kerja yang berprofesi sebagai tukang linting
dan potong rokok, biasanya dinamakan sebagai SKT (Sigaret Kretek Tangan). Industri rokok
juga yang menjadi tumpuan petani tembakau untuk menjual hasil panennya. Selain itu,
industri rokok juga mengeluarkan iklan serta promosi yang menyebar mulai dari above the
line advertising (ATL) hingga below the line advertising (BTL). Namun, barangkali ada yang
bertanya, sejauhmana peranan industri rokok dalam kegiatan sosial ekonomi masyarakat
Indonesia? Pertanyaan yang perlu dijawab dengan berbagai data dan fakta yang absah.
Industri rokok, ternyata hanya menduduki peringkat 48 dari 66 sektor yang
berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja. Industri rokok berkontribusi kurang dari satu
persen terhadap total tenaga kerja nasional sejak tahun 1970-an hingga saat ini
(bandingkan dengan sektor jasa konstruksi yang berkontribusi 5,4 persen, atau sektor
pertambangan yang berkontribusi 4,6 persen). Penyerapan tenaga kerja dalam industri
rokok akan mengalami penurunan karena adanya mekanisasi.
Kontribusi ekonomi industri rokok terhadap kehidupan pertanian dan petani
tembakau tidak jauh berbeda. Menurut kajian Lembaga Demografi UI dan BPS, jumlah
petani tembakau tidaklah signifikan, karena hanya 1,6 persen (684.000) dari jumlah tenaga
kerja sektor pertanian, dan 0,7 persen dari jumlah seluruh tenaga kerja di Indonesia. Dari
jumlah yang tidak signifikan tersebut, kondisi sosial ekonomi petani tembakau juga kurang
menggembirakan. Misalnya, 69 persen petani tembakau hanya tamat SD, atau bahkan tidak
sekolah sama sekali, dan 58 persen rumahnya masih berlantai tanah. Penghasilan mereka
juga kurang memenuhi standar kehidupan yang layak, karena ternyata rata-rata upah petani
tembakau hanyalah 47 persen dari rata-rata upah nasional atau sekitar 413.374 rupiah per
bulan. Petani tembakau nyaris tidak mempunyai posisi tawar saat berhadapan dengan
industri rokok, sebagai pembeli tunggal produk daun tembakau. Harga dan kualitas daun
tembakau seluruhnya ditentukan oleh pihak industri rokok melalui grader yang bertugas
menentukan grade dari daun tembakau (Abadi, 2009).
Kesimpulan sementara yang dapat ditarik dari data-data di atas adalah bahwa
industri rokok tidak mempunyai peranan yang signifikan dalam perekonomian di Indonesia.
Bahkan, beberapa studi menyatakan bahwa industri rokok mendatangkan kerugian.
Misalnya saja, pada tahun 2001, kerugian ekonomi akibat kematian, morbiditas, disabilitas
dini, diperkirakan setidaknya sebesar 2,73 milyar dolar AS plus biaya pembelian tembakau
sebesar 12,21 miliar dolar AS (total 14,94 miliar dolar AS). Jumlah tersebut jauh lebih besar
dibandingkan penghasilan dari tembakau untuk tahun yang sama yakni 1,94 miliar dolar AS
(Kosen, 2004).
Kerugian ekonomi rumah tangga akibat mengkonsumsi rokok pada tahun 2001
adalah sebesar 12.5 miliar dollar AS, atau setara dengan 105.6 triliun rupiah setahun. Di
Jakarta saja, rumah tangga akan mengeluarkan biaya pengobatan, yaitu dengan
dihitungnya biaya perawatan (rawat inap) rumah sakit milik pemerintah pada tahun 2000-
2001, dan didasarkan pada lama rawat dan biaya pengobatan, besarnya mencapai 314 juta
dollar AS atau sekitar 2.6 triliun rupiah per tahun (Abadi, 2009).
Rokok juga mengeksploitasi kondisi perekonomian masyarakat. Pendapatan yang
seharusnya digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan primer, ternyata justru digunakan untuk
belanja rokok. Misalnya saja, pada tahun 2003, di mana tujuh dari sepuluh rumah tangga di
Indonesia mempunyai pengeluaran untuk rokok (minimal ada satu perokok dalam rumah
tangga tersebut). Pengeluaran rata-rata untuk tembakau dan sirih per bulan bagi rumah
tangga yang mempunyai pengeluaran untuk tembakau adalah sebesar Rp. 96.465,- atau
11.87 persen dari pendapatan. Pengeluaran ini hanya sedikit lebih kecil dibandingkan
dengan pengeluaran untuk padi-padian, yaitu Rp. 102.628,- atau 12 persen dari
pendapatan.
Pengeluaran untuk tembakau dan sirih juga dua kali lebih besar dari pengeluaran
untuk ikan (6.48 persen), empat kali pengeluaran untuk daging (2.85 persen), empat kali
pengeluaran untuk telur dan susu (2.86 persen), dan tiga kali pengeluaran untuk sayur dan
buah-buahan (4.13 persen). Selain itu, pengeluaran untuk tembakau juga lebih tinggi dari
setiap komponen pengeluaran bukan makanan, seperti biaya pendidikan, biaya kesehatan,
perumahan, pembelian barang dan jasa. Biaya pendidikan, misalnya, hanya seperempat
(2.55 persen) dari pengeluaran untuk tembakau (Ahsan dan Wiyono, 2003).
Diindikasikan, rumah tangga miskin merupakan kelompok masyarakat yang menjadi
sasaran eksploitasi industri rokok. Sebanyak 73,8 persen kepala keluarga rumah tangga
miskin perkotaan adalah perokok. Pengeluaran untuk rokok per minggu 22 persen, lebih
tinggi dari pengeluaran untuk membeli beras (19 persen). Selain itu, kelompok pendapatan
terendah (20 persen rumah tangga yang berpendapatan terendah) membelanjakan 12
persen pengeluaran bulanannya untuk membeli rokok, sementara kelompok pendapatan
tertinggi (20 persen rumah tangga yang berpendapatan tertinggi) membelanjakan hanya
9,25 persen. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2003-2005 membuktikan bahwa
konsumsi rumah tangga miskin untuk tembakau menduduki rating kedua (12,43 persen),
setelah konsumsi padi-padian (19,30 persen) (Abadi, 2009).
Fakta sosial ekonomi industri rokok selanjutnya adalah mengenai cukai rokok. Pada
kenyataannya cukai rokok di Indonesia masih rendah, bahkan terendah kedua setelah
negara Laos. Cukai rokok di Indonesia saat ini hanya 37 persen sedangkan Laos hanya 20
persen. Bandingkan dengan cukai rokok di negeri lain, seperti; Jepang (61 persen), China
(40 persen), India (72 persen), Thailand (75 persen), Malaysia (49-57 persen), Philipina (49-
64 persen), dan Vietnam (45 persen).
Di Indonesia, cukai rokok mengalir ke kas Anggaran dan Pendapatan Belanja
Negara (APBN), dan semuanya untuk dana pembangunan, bukan untuk mengendalikan
atas barang yang dikenai cukai, yaitu rokok. Dengan demikian, pemerintah, secara diametral
juga telah melanggar UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai, karena tidak melakukan
pengawasan dan pembatasan produk rokok. Hal ini menyimpang dari formula universal
bahwa cukai merupakan “pajak dosa” (sin tax), sekian persen dari cukai seharusnya
dialokasikan untuk promosi kesehatan dan atau membatasi/mengendalikan bahaya rokok
(earmarking tax).
Di banyak negara, hal earmarking tax lazim dilakukan; seperti di Australia, Inggris,
Amerika Serikat, Taiwan, bahkan Thailand. Di Taiwan, 70 persen earmarking tax digunakan
untuk asuransi kesehatan nasional, dan 30 persen sisanya untuk penanggulangan dampak
tembakau, promosi kesehatan, dan subsidi pemeningkatan kesejahteraan. Di Australia, 60
persen earmarking tax digunakan untuk promosi kesehatan dan promosi olahraga. Di Inggris
beda lagi, earmarking tax 100 persen didedikasikan bagi pelayanan rumah sakit dan
kesehatan nasional. Dan, di Thailand, 2 persen earmarking tax dialokasikan untuk keperluan
promosi kesehatan.
Alhasil, keuntungan industri rokok, apabila ditinjau secara sosial ekonomi nyaris nihil.
Hulu ke hilir yang diuntungkan hanya satu pihak saja. Lalu siapakah yang untung dari
perdagangan rokok ini? Jawabannya hampir dapat dipastikan adalah industri rokok negara
maju. Kenyataannya, 35 persen daun tembakau masih didatangkan dari Zimbabwe, untuk
memasok kekurangan produksi rokok nasional. Selain itu, industri rokok besar dunia yang
berbasis di negara maju, sejak tahun 1975 sudah mulai mengubah kebijakan pemasarannya
dengan membuka pasar luar negeri, terutama negara-negara yang belum sadar akan
bahaya rokok bagi kesehatan. Hal ini dilakukan karena meningkatnya kesadaran terhadap
kesehatan dan terjadinya penurunan konsumsi rokok di negara maju. Misalnya saja, nilai
ekspor beberapa pabrik rokok Amerika Serikat seperti Philip Morris, RJ Reynolds, dan
Brown Williamson meningkat lebih dari empat kali lipat pada tahun 1994 dibandingkan tahun
1975, yakni dari 50 miliar dollar AS menjadi 220 miliar dollar AS. Pada tahun 2009, Presiden
Obama menandatangani undang-undang berjudul Family Protection and Tobacco Control
Act. Undang-undang tersebut memberi kewenangan FDA untuk mengatur peredaran produk
tembakau di Amerika Serikat. Indonesia, relatif tidak mempunyai daya tawar dalam
mengendalikan dampak yang ditimbulkan oleh tembakau/rokok. Bahkan, pemerintah
cenderung memilih melindungi industri rokok daripada kesehatan masyarakat dengan
menolak menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) (Kartono
Mohammad, 2009).
Secara ringkas dapat disimpulkan sebagaimana ditunjukkan WHO mengenai tiga
cara tembakau memperburuk kemiskinan pada tingkatan rumah tangga. Pertama, belanja
tembakau mengambil alih uang yang seharusnya bisa dibelanjakan untuk kebutuhan dasar.
Kedua, merokok menyebabkan semakin meningkatnya kebutuhan perawatan kesehatan,
hilangnya produktivitas, dan kematian dini pada pencari penghasilan. Ketiga, mereka yang
dipekerjakan untuk pekerjaan yang berkaitan dengan tembakau mengalami upah rendah
dan resiko kesehatan yang tinggi (Semba et al, 2006).

Anda mungkin juga menyukai