Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KEGIATAN

USAHA KESEHATAN MASYARAKAT (UKM)


PENYAKIT MENULAR

Tuberculosis Multi Drug Resistence


(TB MDR)

Disusun Oleh:
dr. Yudhanta Suryadilaga

Pembimbing:
dr. Rahmi Asfiyatul Jannah

UPTD UNIT PUSKESMAS KEBUMEN I


KABUPATEN KEBUMEN
2018
BAB I
LATAR BELAKANG

A. Pendahuluan
Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang
parenkim paru, dengan agen infeksius utama Mycobacterium tuberculosis
(Smeltzer & Bare, 2001).
Berdasarkan data tentang kasus TB MDR di Indonesia yang dikeluarkan
oleh Kemenkes pada tahun 2015, terdapat 1850 kasus yang sudah
terkonfirmasi, 1566 kasus yang sudah diobati, dan 15,830 kasus yang masih
diduga TB MDR. Angka tersebut semakin naik dari tahun 2009 hingga tahun
2015 (Infodatin, 2016). Diperkirakan kasus TB MDR sebanyak 5900 kasus
yang berasal dari TB Paru baru dan 1000 kasus dari TB Paru pengobatan ulang
(WHO global report, 2013).
Pada laporan WHO tahun 2016, tercatat bahwa angka kejadian TB
mengalami peningkatan di tahun 2015. Diperkirakan terdapat 10,4 juta kasus
diseluruh dunia, yang terdiri dari 5,9 juta (56%) adalah laki-laki, 3,5 juta (34%)
adalah perempuan, dan 1 juta (10%) adalah anak-anak. Temuan pasien TB
dengan HIV sekitar 1,2 juta (11%) dari seluruh kasus TB yang ada. Sebanyak
60% kasus baru disumbang oleh 6 negara, diantaranya India, Indonesia, China,
Nigeria, Pakistan dan Afrika Selatan. Pada kasus TB MDR, tercatat di tahun
2015 terdapat 480.000 kasus baru dan 100.000 kasus Rifampicin-Resistant TB
(RR TB). India dan China sebagai negara yang mencapai angka 45% dari
keseluruhan kasus TB MDR (WHO, 2016).

Hasil survei terbaru yang dilakukan di Propinsi Jawa Tengah pada tahun
2010 TB MDR ditemukan pada 2% dari kasus baru dan 9,7% dari kasus
pengobatan (Asmalina, dkk., 2016). Berdasarkan data evaluasi kesembuhan
TB tahun 2010 sampai 2013 (triwulan 2) di Jawa Tengah didapat bahwa faktor
risiko terjadinya TB-MDR ada 5.779 kasus berasal dari kasus DO dan gagal
pengobatan pada pengobatan kategori 1 dan kategori 2. Suspek MDR-TB
terdeteksi sejumlah 702 kasus dan hasilnya 151 kasus sudah terdeteksi confirm
MDR TB sehingga proporsi confirm TB-MDR 21,51 %. Pengobatan yang
tidak standar terhadap pasien yang diduga TB MDR yang dilakukan di rumah
sakit, BKPM, klinik swasta, praktisi swasta, dan fasyankes lainnya semakin
memperparah situasi resistensi kuman TB.

B. Indikator Nasional Penanggulangan TBC


Terdapat dua indikator nasional dalam penanggulangan TBC di
Indonesia, yaitu Angka Penemuan Pasien baru TB BTA positif (Case
Detection Rate/ CDR) dan Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate
/SR). CDR adalah persentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan
dan diobati dibanding jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada
dalam wilayah tersebut. Case Detection Rate menggambarkan cakupan
penemuan pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut.
Dalam mencapai indikator tersebut, ada beberapa indikator proses yang
berguna yang harus diperhatikan, antara lain :
1. Angka Penjaringan Suspek
Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000
penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan
untuk mengetahui upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu,
dengan memperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu
(triwulan/tahunan).
Rumusnya adalah :

2. Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara Suspek yang diperiksa


dahaknya
Adalah persentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara seluruh
suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari
proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan
kriteria suspek.
Rumusnya :
Angka ini sekitar 5 - 15%. Bila angka ini terlalu kecil ( < 5 % )
kemungkinan disebabkan penjaringan suspek terlalu longgar, banyak
orang yang tidak memenuhi kriteria suspek, atau ada masalah dalam
pemeriksaan laboratorium ( negatif palsu ). Bila angka ini terlalu besar
(>15 % ) kemungkinan disebabkan penjaringan terlalu ketat atau ada
masalah dalam pemeriksaan laboratorium ( positif palsu).
3. Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru
Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara semua
pasien Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas
penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara seluruh pasien
Tuberkulosis paru yang diobati. Rumusnya adalah :

Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih
rendah, itu berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas
untuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif).
4. Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien
5. Angka Notifikasi Kasus (CNR)
Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan
tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini
apabila dikumpulkan serial, akan menggambarkan kecenderungan
penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah tersebut. Angka ini berguna
untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya
penemuan pasien pada wilayah tersebut.
6. Angka Konversi
7. Angka Kesembuhan
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien
baru TB paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan,
diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat.
Angka kesembuhan dihitung juga untuk pasien BTA positif pengobatan
ulang dengan tujuan:
a. Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap
obat terjadi di komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans
kekebalan obat.
b. Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan
obat baris kedua (second-line drugs).
c. Menunjukan prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang
terjadi pada pasien dengan HIV.
8. Angka Kesalahan Laboratorium

C. Definisi dan faktro yang mempengaruhi MDR TB


TB resistensi obat merupakan keadaan dimana kuman Mycobacterium
tuberculosis sudah tidak lagi dapat dibunuh dengan salah satu atau lebih obat
anti TB (OAT). Menurut Kemenkes RI tahun 2016, TB MDR merupakan TB
resisten obat terhadap minimal dua obat anti TB yang paling poten yaitu
Isoniazid (INH) dan Rifampisin secara bersama sama atau disertai resisten
terhadap obat anti TB lini pertama lainnya seperti etambutol, streptomisin dan
pirazinamid (Infodatin, 2016).
Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi :
1. Resistensi primer ialah apabila penderita sebelumnya tidak pernah
mendapat pengobatan TB
2. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah penderitanya
sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak
3. Resistensi sekunder ialah apabila penderita telah punya riwayat
pengobatan sebelumnya.

Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran MDR TB akibat


mutasi dari gen mikobakterium tuberkulosis. Basil tersebut mengalami mutasi
menjadi resisten terhadap salah satu jenis obat akibat mendapatkan terapi OAT
tertentu yang tidak adekuat. Terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh
konsumsi hanya satu jenis obat saja (monoterapi direk) atau konsumsi obat
kombinasi tetapi hanya satu saja yang sensitif terhadap basil tersebut (indirek
monoterapi) yang selanjutnya menyebabkan terjadinya resistensi sekunder.
Mutasi baru dalam pertumbuhan populasi basil menyebabkan resistensi obat
yang banyak bila terapi yang tidak adekuat terus berlanjut. Pasien TB dengan
resistensi obat sekunder dapat menginfeksi yang lain dimana orang yang
terinfeksi tersebut dikatakan resistensi primer. Transmisi difasilitasi oleh
adanya infeksi HIV, dimana perkembangan penyakit lebih cepat, adanya
prosedur kontrol infeksi yang tidak adekuat; dan terlambatnya penegakkan
diagnostik (Leitch, 2000 dalam Syahrini, 2008).
Data di Kemenkes RI pada tahun 2011 menyebutkan beberapa penyebab
utama resistensi obat TB di Indonesia telah diidentifikasi, antara lain: (1)
implementasi DOTS rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lain yang
masih rendah kualitasnya (2) peningkatan ko-infeksi TB-HIV; (3) sistem
surveilans yang lemah, dan (4) penanganan kasus TB resisten obat yang belum
memadai.
1. Implementasi DOTS Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Lain yang
Berkualitas Rendah
Implementasi DOTS yang tidak adekuat di rumah sakit, balai besar
paru kesehatan masyarakat/balai paru kesehatan masyarakat (B/BKPM)
klinik dan praktek swasta terutama disebabkan oleh pengobatan TB MDR
yang tidak adekuat. Hasil penilaian implementasi DOTS di 50 rumah sakit
di Jawa pada tahun 2007 menunjukkan bahwa angka putus berobat
(default) pasien TB masih tinggi, yaitu 10-20% dari pasien TB kategori 1
dan 6-29% dari pasien TB kategori 2. Selain itu, rerata keberhasilan
pengobatan di rumah sakit juga masih rendah, berkisar 60% dari target
kesembuhan 85%. Angka kesembuhan pada pasien TB yang mendapat
pengobatan ulang semakin rendah, hanya mencapai 6,5%. Oleh karena itu,
lebih dari 90% pasien TB yang mendapat pengobatan ulang di rumah sakit
mempunyai risiko untuk menjadi tersangka TB MDR.
Tingkat keberhasilan pengobatan yang rendah ini juga disebabkan
oleh proses case holding yang lemah akibat rendahnya tingkat kepatuhan
pasien dalam pengobatan, kurangnya dukungan pasien/keluarga dan
lemahnya jejaring internal rumah sakit serta jejaring eksternal antara rumah
sakit dengan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang menerapkan
DOTS (Hospital DOTS Linkage). Disamping itu, tingkat pengetahuan,
sikap, dan perilaku pasien terhadap penyakit TB juga ikut mempengaruhi
rendahnya kepatuhan pasien dalam pengobatan.

2. Ko-infeksi MDR TB – HIV


Kombinasi TB dan HIV sudah cukup memberikan tantangan
masalah yang belum bisa terpecahkan sampai saat ini. Dengan demikian
ko-infeksi TB MDR dan HIV tentu saja menjadi kombinasi penyakit yang
lebih mematikan dibanding TB-HIV. Lebih dari 50% pasien TB MDR
yang terinfeksi HIV di Peru meninggal dalam waktu kurang dari dua
minggu setelah diagnosis. Di Inggris, seorang pasien TB MDR dengan
penurunan fungsi imunitas tubuh memiliki risiko kematian sembilan kali
lebih besar dibanding pasien TB MDR tanpa gangguan imunitas.
Prevalensi maupun insidensi infeksi TB pada penderita HIV, atau
infeksi HIV pada penderita TB, belum rutin dilaporkan. Secara nasional
diperkirakan angka TB-HIV di Indonesia adalah 3%. Di Papua, daerah
dengan status epidemi yang meluas yang memiliki prevalensi HIV tertinggi
di Indonesia, masalah ko-infeksi TB-HIV telah berkembang dengan sangat
cepat. Studi skrining HIV terhadap penderita TB yang dilakukan di Papua
pada tahun 2008-2009 menunjukkan peningkatan seroprevalensi HIV
hampir 5 kali lipat dibanding penelitian serupa yang dilakukan tahun 2003-
2004. Pada wilayah di luar Papua, hanya terdapat 5,6% populasi yang HIV
positif dibandingkan 21% di wilayah Papua. Dengan demikian Papua
merupakan wilayah dengan prevalensi TB-HIV tertinggi di Asia.
Belum tersedianya fasilitas diagnosis TB MDR dengan biakan dan
uji sensitivitas di Timika menyebabkan prevalensi TB MDR pada
kelompok TB-HIV ini belum diketahui. Meskipun demikian, konsekuensi
ko-infeksi TB MDR-HIV yang fatal dan wilayah geografi yang tumpang
tindih dari kedua epidemi ini, menegaskan kebutuhan perhatian khusus dari
program TB nasional.

3. Sistem Surveilans TB MDR yang Lemah


Survei resistensi obat TB (drug resistance survey atau DRS)
dilakukan pertama kali dalam skala terbatas di Papua pada tahun 2003.
Hasil yang diperoleh adalah 2% dari pasien TB baru dan 14,7% dari pasien
TB yang menerima pengobatan ulang menderita TB MDR. Surveilans
kedua dengan skala yang lebih luas dilakukan pada tahun 2006 di Provinsi
Jawa Tengah. Hasil surveilans kedua ini menunjukkan angka insidensi TB
MDR 1,93% dari kasus TB baru dengan sputum positif, hampir sama
dengan angka yang diperoleh dari hasil surveilans sebelumnya. Akan tetapi
pada pasien TB yang menerima pengobatan ulang insidensinya lebih
tinggi, yaitu menjadi 16%.
Pendekatan surveilans yang telah dilakukan di Jawa Tengah masih
terbatas pada sampel dari Puskesmas dan B/BKPM, sehingga hasilnya
belum memberikan gambaran TB MDR di rumah sakit. Sedangkan survei
resistensi obat TB yang saat ini sedang berlangsung di Provinsi Jawa Timur
telah mencakup sampel yang berasal dari dari Puskesmas dan BKPM
maupun rumah sakit. Dengan demikian hasilnya diharapkan lebih
mencerminkan masalah TB MDR yang sesungguhnya. Pelaksanaan
surveilans TB MDR juga masih terbatas di wilayah tertentu, dan belum
menjangkau daerah-daerah dengan perkiraan prevalensi TB yang tinggi,
seperti halnya di wilayah Indonesia Timur. Kelemahan ini terutama
diakibatkan oleh sulitnya akses dan keterbatasan kapasitas laboratorium
untuk melakukan pemeriksaan biakan dan uji sensitivitas.

4. Penanganan TB MDR yang Belum Memadahi


Peningkatan jumlah kasus TB MDR yang terdeteksi setelah
pelaksanaan PMDT, kapasitas laboratorium yang telah tersertifikasi untuk
mendiagnosis TB MDR dan perbaikan sistem pelaporan dan surveilans TB
MDR harus dilaksanakan selaras dengan peningkatan suplai obat untuk TB
MDR. Hal ini merupakan pengejawantahan dari pemenuhan terhadap
prinsip etika kedokteran, seperti yang tertuang dalam Deklarasi Helsinki
bagian 14, yang menyebutkan kewajiban untuk memberikan pengobatan
yang adekuat bagi semua individu yang ditemukan menderita suatu
penyakit yang telah diketahui pengobatannya. Meskipun demikian, secara
global hanya 2-3% dari 1-1,5 juta estimasi kasus TB MDR pada akhir tahun
2007 yang telah ditangani sesuai dengan rekomendasi WHO.

D. Diagnosis MDR TB
Kriteria terduga TB MDR menurut data yang dikeluarkan oleh
Kemenkes RI tahun 2014 adalah semua orang yang mempunyai gejala TB
yang memenuhi satu atau lebih kriteria terduga/suspek di bawah ini :
1. Pasien TB gagal pengobatan Kategori 2
2. Pasien TB pengobatan Kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan
pengobatan
3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta
menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal selama 1 bulan
4. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal
5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan
pengobatan
6. Pasien TB kasus kambuh
7. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow up (lalai berobat)
8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR
9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons terhadap pemberian OAT
Alur penegakan TB MDR dapat dilihat pada diagram berikut :
E. Penatalaksanaan MDR TB
Dasar pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen obat-
obat anti TB, WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi 5 group
berdasarkan potensi dan efikasinya, sebagai berikut (World Health
Organization, 2008) :
1. Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat
ditoleransi dengan baik. Obat lini pertama yang terbukti sebaiknya
digunakan dan digunakan dalam dosis maksimal.
2. Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika
alergi digunakan kapreomisin, viomisin. Semua pasien diberikan injeksi
sampai jumlah kuman dibuktikan rendah melalui hasil kultur negatif
3. Grup ketiga, fluorokuinolon, obat bekterisidal tinggi, misal levofloksasin.
Semua pasien yang sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon
dalam regimennya
4. Grup empat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS (paraaminocallicilic acid),
ethionamid, dan sikloserin. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak
sebaik obat-obat oral lini pertama dan kuinolon.
5. Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam
klavulanat, dan makrolid baru (klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan
efikasinya, akan tetapi data melalui uji klinis pada pasien MDR TB masih
minimal.
Pengobatan pasien MDR TB terdiri atas dua tahap, tahap awal dan tahap
lanjutan. Pengobatan MDR TB memerlukan waktu lebih lama daripada
pengobatan TB bukan MDR, yaitu sekitar 18-24 bulan. Menurut WHO
guidelines 2008 membuat pentahapan tersebut sebagai brikut (World Health
Organization, 2008):
Tahap 1 : gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih
menunjukkan efikasi
Tahap 2 : tambahan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi
berdasarkan hasil uji sensitivitas dan riwayat pengobatan
Tahap 3 : tambahan obat-obat di atas dengan salah satu obat golongan
fluorokuinolon
Tahap 4 : tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan satu atau lebih dari
obat golongan 4 sampai sekurang-kurangnya sudah tersedia 4
obat yang mungkin efektif
Tahap 5 : pertimbangkan menambahkan sekurang-kurangnya 2 obat dari
golongan 5 (melalui proses konsultasi dengan pakar TB MDR)
apabila dirasakan belum ada 4 obat yang efektif dari golongan 1
sampai 4.

F. Pemantauan selama pengobatan


Selama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk
menilai respons terhadap pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak
dini. Gejala dari TB seperti batuk, berdahak, demam dan berat badan menurun
umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Konversi
dahak dan biakan merupakan indikator respons pengobatan. Pengertian dari
konversi biakan sendiri merupakan pemeriksaan biakan 2 kali berurutan
dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. Pemantauan
yang dilakukan selama pengobatan meliputi pemantauan secara klinis dan
laboratorium seperti pada tabel berikut :

Pemantauan Bulan Pengobatan


0 1 2 3 4 5 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Evaluasi Utama
Pemeriksaan dahak dan Setiap bulan pada tahap awal, setiap 2 bulan pada fase lanjutan

biakan
Evaluasi Penunjang
Evaluasi klinis (termasuk
Setiap bulan sampai pengobatan selesai atau lengkap
BB)
Uji kepekaan obat √ Berdasarkan indikasi
Foto thoraks √ √ √ √
Ureum, kreatinin √ 1-3 minggu selama
suntikan
Elektrolit (Na, K, Cl) √ √ √ √ √ √ √
EKG √ Setiap 3 bulan sekali
TSH √ √ √ √
Enzim hepar (SGOT,
√ Evaluasi secara periodic
SGPT)
Darah lengkap √ Berdasarkan indikasi
Audiometri √ Berdasarkan indikasi
Kadar gula darah √ Berdasarkan indikasi
Asam urat √ Berdasarkan indikasi
Test HIV √ Dengan atau tanpa faktor risiko
Tabel 1. Pemantauan Selama Pengobatan TB MDR

Pemantauan terjadinya efek samping sangat penting pada pengobatan


pasien TB MDR, karena dalam paduan OAT MDR terdapat OAT lini kedua
yang memiliki efek samping yang lebih banyak dibandingkan dengan OAT lini
pertama. Semua OAT yang digunakan untuk pengobatan pasien TB MDR
mempunyai kemungkinan untuk timbul efek samping baik ringan, sedang,
maupun berat. Bila muncul efek samping pengobatan, kemungkinan pasien
akan menghentikan pengobatan tanpa memberitahukan petugas fasyankes,
sehingga KIE (Konfirmasi, Informasi, Edukasi) mengenai gejala efek samping
pengobatan. Lama pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan paling sedikit 18
bulan setelah terjadi konversi biakan harus dilakukan sebelum pasien memulai
pengobatan TB MDR. Selain itu penanganan efek samping yang baik dan
adekuat adalah kunci keberhasilan pengobatan TB MDR.

G. Pencegahan terjadinya resistensi obat


WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus
TB, selain relatif tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat
menurunkan risiko terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahanan
yang terbaik adalah dengan standarisasi pemberian regimen yang efektif,
penerapan strategi DOTS dan pemakaian obat FDC adalah yang sangat tepat
untuk mencegah terjadinya resistensi OAT.
Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan
kasus baru TB antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif
pada pertama kali, penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan
suatu pedoman terapi terhadap TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal
yang penting, pengawasan terhadap pengobatan, dan adanya OAT secar gratis.
Jangan pernah memberikan terapi tunggal pada kasus TB. Peranan pemerintah
dalam hal dukungan kelangsungan program dan ketersediaan dana untunk
penanggulangan TB (DOTS).
BAB II

PERMASALAHAN

Puskesmas Kebumen I memiliki wilayah kerja meliputi 11 desa yaitu Desa


Bandung, Desa Candimulyo, Desa Candiwulan, Desa Kalijirek, Desa Kawedusan,
Desa Kembaran, Desa Muktisari, Desa Murtirejo, Desa Panjer, Desa Sumberadi
dan Desa Tamanwinangun. Berdasarkan cakupan wilayah kerja Puskesmas
Kebumen 1, didapatkan data mengenai jumlah pasien TB berdasarkan pemeriksaan
yang dilakukan kepada seluruh pasien terduga TB sebagai berikut :

160

140

120

100

80

60

40

20

0
TB BTA (+) TB BTA (-)

Grafik 1. Kasus TB yang diobati periode Januari-Juni 2018

Pada grafik tersebut menunjukkan bahwa selama periode Januari-Juni 2018,


pasien terduga TB yang datang dan diperiksa sebanyak 135 orang dengan jumlah
kasus TB sebanyak 8 orang. Berdasarkan data tersebut, apabila dihitung CDR,
maka didapatkan angka 5,9%. Hal ini sangat jauh dari target nasional yaitu 100%.
Dalam 1 semester ini, penemuan kasus terdiagnosis TB masih belum mencapai 50%
dari yang terduga TB. Artinya, dalam 1 semester ini, seharusnya ditemukan kurang
lebih 87 kasus dari total pasien yang terduga TB. Angka CNR didapatkan 25,83 /
100.000 penduduk. Artinya setiap 100.000 penduduk, ditemukan pasien
terdiagnosis TB kurang lebih pasien. Tabel berikut memberikan gambaran
mengenai pasien TB yang menjalankan pengobatan di Puskesmas Kebumen 1.

Tabel 2. Karakteristik Pasien Tuberkulosis di Puskesmas Kebumen 1 periode


Januari-Juni 2017
Kriteria Pasien
Jenis
Anak Dewasa
Tuberkulosis
(0-14 tahun) 15-24 25-64 > 65
TB BTA (+) - 3 6 -
TB BTA (-) - - 1 1
TB Ekstra Paru - - - -
TB MDR - 1 1 -

Penderita pasien TB yang diobati di wilayah kerja Puskesmas Kebumen 1


pada periode Januari-Juni 2017 didominasi oleh usia dewasa. Pada pelaksanaanya,
di dapatkan 2 pasien yang meninggal selama menjalankan pengobatan. Selain itu,
data menunjukkan terdapat 2 pasien dengan pengobatan TB MDR yang sampai saat
ini sedang menjalankan pengobatan bulan ke 10.
Diketahui bahwa pengobatan terhadap pasien TB MDR memiliki durasi
yang lebih lama dari pada pasien TB non-MDR. Menurut keterangan penganggung
jawab program pengobatan TB di Puskesmas Kebumen 1, didapatkan hasil bahwa
permasalahan yang sering muncul selama pengobatan pasien TB MDR adalah
keluhan pasien yang menyebutkan obat yang diberikan sangat banyak, harus rutin
datang ke puskesmas untuk mendapatkan obat, dan juga efek samping obat yang
bermacam-macam. Hal ini menjadi perhatian karena jika pasien TB MDR putus
pengobatannya akan semakin memperparah kondisi pasien dan akan semakin
mudah juga menularkan ke orang lain.
BAB III

PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang ada, ditentukan perencanaan


dan pemilihan intervensi yaitu berupa penyuluhan kepada kader. Penyuluhan
kepada kader diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam
mendapatkan sampel dahak dari pasien sehingga didapatkan angka deteksi yang
lebih tinggi untuk mencapai target standar temuan minimum
Kunjungan rumah merupakan salah satu buntuk follow up kepada pasien
agar lebih mudah dalam mengevaluasi dan saling berinteraksi satu sama lain antara
pemeriksa dengan pasien. Pemeriksa dapat mengamati secara langsung lingkungan
sekitar yang dapat berhubungan dengan upaya pengobatan pasien, meliputi keadaan
lingkungan rumah, kepatuhan mengkonsumsi OAT, dan dukungan keluarga pasien.
Kegiatan konseling pada saat kunjungan ke rumah pasien juga dapat
mengefektifkan upaya kepatuhan pasien dalam pengobatan yang berlangsung.
Konseling akan menimbulkan interaksi dua arah antara pasien dan keluarga dengan
konselor atau pemeriksa, sehingga konselor lebih mengetahui permasalahan apa
saja yang muncul dalam perjalanan pengobatan pasien.
Intervensi tersebut akan dilaksanakan pada :
Hari/tanggal : Rabu, 6 Juni 2018
Lokasi : Desa Tamanwinangun
Sasaran : Kader desa dan masyarakat
Pelaksana : Dokter Internship dan Penanggung Jawab program dari
Puskesmas Kebumen 1
Melalui kedua intervensi ini, diharapkan pasien dapat semakin paham dan
terus termotivasi untuk menjalankan pengobatanya hingga sembuh. Selain itu,
diharapkan agar penyakit TB tidak menular kepada anggota keluarga ataupun
orang-orang di sekitar pasien, dan pengetahuan mengenai penyakit TB dapat
dipahami tidak hanya oleh pasien, tetapi juga oleh keluarga pasien. Sehingga peran
serta keluarga dalam upaya pengobatan pasien, akan sangat membantu kesembuhan
pasien.
BAB IV

PELAKSANAAN

A. Pelaksanaan Intervensi
Kunjungan rumah dan melakukan komunikasi 2 arah atau konseling
merupakan bagian dari usaha follow up untuk mengetahui perkembangan
keadaan pasien dan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Kunjungan rumah
pasien TB MDR di wilayah Puskesmas Kebumen 1 dilakukan oleh 2 orang
dokter internship didampingin oleh penanggung jawab dari Puskesmas
Kebumen 1 di bidang penyakit menular, khususnya Tuberkulosis. Kegiatan ini
dilakukan pada hari Rabu, 5 Juli 2017 pada pukul 09.00 pagi. Kegiatan
dilakukan dengan mengunjungi rumah pasien yang berada di Desa
Tamanwinangun.
Kegiatan berlangsung dengan bertemu pasien dan keluarganya. Follow
up yang dilakukan berupa anamnesis dan pemeriksaan fisik keadaan pasien saat
ini. Anamnesis bertujuan untuk mengetahui keluhan pasien saat ini dan perilaku
sosial pasien saat ini. Kegiatan berikutnya dengan inspeksi keadaan rumah dan
sekitarnya serta konseling bersama pasien dan keluarga pasien. Konseling disini
bertujuan untuk mengetahui tingkat pemahaman pasien dan keluarganya
mengenai penyakit yang diderita pasien saat ini, cara penularan, pengobatan dan
cara pencegahan bagi anggota keluarga yang lain agar tidak tertular. Selain itu,
pasien diajak berkomunikasi mengenai kendala dan kepatuhan pasien selama
pengobatan, serta efek samping dari OAT. Konseling menggunakan bantuan
media cetak berupa leaflet mengenai penyakit Tuberkulosis.

B. Materi Intervensi dan Pembahasan Masalah


1. Materi Intervensi
Pemberian materi selama tindakan konseling yang dilakukan
bersama dengan pasien dan keluarga pasien menjadi hal yang harus
diperhatikan. Materi yang diberikan kepada pasien dan keluarganya
bertujuan untuk mengetahui tingkat pemahaman mengenai penyakit yang
sedang diderita pasien dan perlunya upaya pencegahan penularan antara
pasien dengan anggota keluarga 1 rumah dan lingkungan sosialnya. Materi
mengenai penyakit Tuberkulosis adalah hal yang wajib untuk terus
diingatkan kepada pasien dan keluarganya sebagai upaya untuk pencegahan
penularan maupun pencegahan kasus resisten obat OAT yang serupa dengan
pasien. Materi ini dicetak berupa leaflet agar memudahkan pasien dan
keluarga pasien untuk tetap mengingatnya. Pembahasan mengenai skrining
TB pada anggota keluarga, efek samping obat, lama pengobatan, dan
kendala selama masa pengobatan juga dipaparkan kepada pasien.

2. Pembahasan Masalah
Hasil follow up pasien didapatkan bahwa pada saat ini, pasien sudah
tidak banyak mengalami keluhan. Gejala TB seperti batuk, berdahak,
demam, dan berat badan turun sudah tidak dikeluhkan lagi oleh pasien.
Pasien merasa selama pengobatan ini, tubuhnya menunjukan pemulihan
atau perubahan ke arah yang lebih baik. Berat badan sudah naik
dibandingkan pada saat pertama kali terkena TB. Namun dalam 2 bulan
terakhir BB cenderung tetap meskipun tidak ada penurunan nafsu makan.
Pasien penderita TB akan cenderung mengalami penurunan berat
badan selama proses infeksi bakteri TB terus berlangsung. Orang dengan
TB paru aktif sering kekurangan gizi dan mengalami defisiensi
makronutrien serta penurunan berat badan dan penurunan nafsu makan
(WHO, 2012). Vitamin A, vitamin B kompleks antara lain vitamin B5, B6,
dan B8 diperlukan untuk kasus seperti TB paru karena dapat membantu
memperkuat sistem imun dengan meningkatkan produksi antibodi serta
berperan dalam metabolisme karbohidrat, protein dan lemak (Suparman,
2011).
Adanya peran penting asupan makan yang dikonsumsi erat kaitanya
dengan faktor kesembuhan. Melalui kegiatan seperti konseling yang baik
akan dapat mempengaruhi pasien untuk mengubah kebiasaan yang kurang
baik, yang akhirnya akan mengubah pola makan. Melalui cara pemilihan
makanan yang disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas yang dibutuhkan,
yang akan menunjang penyembuhan penyakit TB Paru. Kebutuhan energi
dan protein yang tinggi dengan gizi yang baik akan mempercepat proses
penyembuhan, terutama pada penderita malnutrisi (Ramzie, 2010).
Dukungan pemerintah terhadap penderita TB MDR berupa sembako dan
uang sangat berguna untuk membantu biaya pengobatan, konsumsi
makanan bergizi serta memperbaiki kondisi rumah.
Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda vital dalam keadaan normal.
Selain itu, tidak ditemukan adanya efek samping dari OAT seperti gangguan
penglihatan, gangguan pendengaran, tidak ada ikterik atau kemerahan pada
kulit dan tidak ada gangguan pada pemeriksaan paru. Pemeriksaan fisik
dapat berguna untuk memberikan terapi simptomatik yang muncul selama
mengkonsumsi OAT agar pasien tetap patuh dan meneruskan
pengobatanya.
Pada pemberian intervensi berupa konseling, didapatkan tingkat
pemahaman pasien dan keluarganya mengenai penyakit tuberkulosis yang
diderita pasien saat ini, cara penularan, jenis pengobatan dan lama
pengobatan, cara pencegahan, efek samping obat dan juga pentingnya
kepatuhan dalam meminum obat sudah baik. Tingkat pengetahuan pasien
dan keluarganya yang baik ini merupakan hasil dari kegiatan kunjungan
rumah yang rutin dilakukan oleh petugas Puskesmas Kebumen 1.
Pada pemeriksaan keadaan rumah untuk mengetahui faktor risiko
penularan dari Tuberkulosis, pasien tinggal di rumah berukuran ±10 x 8 m,
lantai rumah pterbuat dari plester dan tegel. Dinding rumah tembok, atap
rumah berupa genteng tanpa ternit. Terdapat 4 kamar tidur, dengan 1 kamar
terpisah dikhususkan untuk pasien. Ketersediaan ventilasi berupa jendela di
ruang tamu dan kamar tidur sudah cukup. Kesadaran pasien dan ibu pasien
untuk membuka jendela sudah baik. Pencahayaan yang masuk ke rumah
cukup baik. Hal ini dapat dikatakan bahwa kesadaran pasien dan keluarga
mengenai pentingnya sirkulasi udara dan pencahayaan yang masuk ke
dalam rumah sebagai bentuk upaya untuk mencegah penularan TB sudah
baik.
BAB V

MONITORING DAN EVALUASI

A. Monitoring
Monitoring intervensi dapat dilakukan melalui kunjungan harian pasien
ke Puskesmas Kebumen 1 untuk mendapatkan obat TB MDR. Monitoring
dilakukan dengan pendampingan penanggung jawab program dari puskesmas.
Memonitoring pasien saat datang ke Puskesmas dilakukan di ruang khusus dan
dilakukan pemeriksaan berupa anamnesis, mengukur berat badan dan tanda –
tanda vital, serta pemeriksaan fisik paru. Selain kepada pasien, monitoring juga
harus dilakukan pada anggota keluarga pasien, terutama apabila dijumpai
gejala-gejala klasik TB.

B. Evaluasi
Evaluasi dari intervensi berupa kunjungan rumah dan konseling ini
berkaitan dengan tingkat pengetahuan pasien dan keluarganya, serta kebiasaan-
kebiasaan yang dilakukan untuk mencegah penularan. Pada setiap kunjungan
rumah, dapat kembali dilihat tingkat pengetahuan pasien dan keluarganya
mengingat penyakit ini dapat menular dan berbahaya. Evaluasi terhadap
pemeriksaan laboratorium pasien yang dilakukan di Solo juga perlu untuk
informasi bagi pihak Puskesmas Kebumen 1 sebagai bentuk indikator
keberhasilan pengobatan TB MDR.
BAB VI

LAMPIRAN

1. Leaflet Tuberkulosis

2. Laporan kasus
a. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Nn. F
Usia : 20 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan terakhir : SMK
Status : Belum menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Pengangguran
Alamat : Tamanwingaun 03/09 Kebumen

b. SUBJEKTIF
1) Keluhan Utama
Tidak ada keluhan

2) Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien pertama kali datang ke Puskesmas 1 Kebumen dengan
keluhan batuk berdahak pada bulan Mei 2016. Awalnya pasien
mengalami batuk lama. Batuk berdahaknya dirasakan sejak bulan Januari
2016. Namun pasien baru berobat ke puskesmas pada bulan Mei 2016.
Setelah dilakukan pemeriksaan BTA SPS menunjukkan hasil +.
Kemudian pasien diberikan obat OAT kategori 1. Pada akhir bulan
kelima pengobatan dahak pasien kembali diperiksa, tapi masih
menunjukkan hasil +. Bulan Oktober 2016 pasien kemudian didiagnosis
TB MDR dan memulai terapinya di Puskemas 1 Kebumen sampai saat
ini.

3) Riwayat Penyakit Dahulu


a) Riwayat keluhan serupa : diakui tahun 2016
b) Riwayat mondok : tidak diketahui
c) Riwayat OAT : diakui bulan Mei 2016
d) Riwayat hipertensi : tidak diketahui
e) Riwayat kencing manis : tidak diketahui
f) Riwayat asma : tidak diketahui
g) Riwayat alergi : tidak diketahui
4) Riwayat Penyakit Keluarga
a) Riwayat keluhan serupa : diakui ayah dan adik kandung
pasien
b) Riwayat mondok : tidak diketahui
c) Riwayat hipertensi : tidak diketahui
d) Riwayat kencing manis : tidak diketahui
e) Riwayat asma : tidak diketahui
f) Riwayat alergi : tidak diketahui

5) Riwayat Sosial Ekonomi


a) Community
Pasien tinggal bersama keluarga ayah, ibu dan kedua adiknya. Pasien
belum bekerja. Tidak diketahui apakah ada tetangga atau teman yang
mempunyai keluhan yang sama.
b) Home
Pasien tinggal bersama keluarga ayah, ibu dan kedua adiknya. Ayah
pasien pernah mengalami keluhan yang sama yaitu batuk lama,
sempat dilakukan pemeriksaan BTA namun hasilnya tidak tahu. Adik
pasien juga pernah mengalami batuk lama, tapi belum dilakukan
pemeriksaan dahak.
c) Occupational
Pasien belum bekerja. Pasien belum lama lulus dari bangku sekolah
SMK. Pada saat masih bersekolah pasien biasa berbagi-bagi makanan
atau minuman dengan teman-temannya. Tidak diketahui apakah ada
teman atau tetangga pasien yang mengeluhkan hal serupa atau
mengeluhkan batuk lama.

c. OBJEKTIF
1) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum : sedang
b) Kesadaran : compos mentis, GCS = 15 E4M6V5
c) BB : + 41 kg
d) TB : 158 cm
e) Vital sign
- Tekanan Darah : 110/80 mmHg
- Nadi : 88 x/menit
- RR : 20x/menit
- Suhu : 36.5oC

f) Status Generalis
 Kepala
- Bentuk : mesochepal, simetris
- Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut,
Distribusimerata, tidak rontok
- Nyeri tekan : (-)
 Mata
- Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
- Konjungtiva : anemis (-/-)
- Sklera : ikterik (-/-)
- Pupil : reflek cahaya (+/+),isokor
- Exopthalmus : (-/-)
- Lapang pandang : tidak ada kelainan
- Lensa : keruh (-/-)
- Gerak mata : normal
- Tekanan bola mata : normal
- Nistagmus : (-/-)
 Telinga
- otore (-/-)
- deformitas (-/-)
- nyeri tekan (-/-)
 Hidung
- nafas cuping hidung (-/-)
- deformitas (-/-)
- discharge (-/-)
 Mulut
- bibir sianosis (-)
- bibir kering (-)
- lidah kotor (-)
 Leher
- Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
- Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar thyroid : tidak membesar
- JVP : nampak,tidak kuat angkat

 Dada
a) Paru
- Inspeksi : bentuk dada simetris,ketinggalan gerak (-),
Retraksi intercostalis (-), jejas (-)

- Palpasi : vocal fremitus kanan =kiri


Tidak ada ketinggalan gerak
- Perkusi : sonor pada lapang paru kiri dan kanan
- Auskultasi : suara dasar vesikuler normal pada apex dan
basal paru kanan dan kiri. Rhonki basah kasar (-/-) ronkhi
basah halus (-/-) Wheezing (-/-)
b) Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tampak pada SIC V 2 jari medial
LMC sinistra
- Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMC
sinistra, tidak kuat angkat
- Perkusi : batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah :SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah : SIC V 2 jari medial
LMCS
- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
 Abdomen
- Inspeksi : datar, tidak terdapat jejas, tidak terdapat tanda-tanda
peradangan.
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Perkusi : tympani,tes pekak sisi (-), pekak beralih (-)
- Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, ada nyeri tekan
epigastrium
 Ekstremitas
- Superior : deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-)
- Inferior : deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-)

d. Foto

Gambar 1. Kondisi depan rumah Gambar 2. Kegiantan konseling


Gambar 3. Konseling bersama keluarga pasien Gambar 4. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik pasien

Gambar 5. Kondisi ruang tengah


Gambar 6. Kondisi ruang makan

DAFTAR PUSTAKA

Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia, PERPARI, Jakarta, 2006.
Bell RT. Tuberculosis of the 1990s: the quiet public health threat.
Pa Med 1992;95:24-5.
Bloom BR, Murray CJL. Tuberculosis: Commentaryon a
reemergent killer. Science 1992;257:1055-64.
Freiden TE, Sterling T, Pablos-Mendez A, Kilburn JO, Cauthen JO,
Dooley SW. The emergence of drugresistant tuberculosis in
New York city. “New England Journal Medicine”
1993;328:521-6.
Leitch GA. Management of tuberculosis in Seaton A,et al (eds) ,
Crofton and Douglas’s Respiratory diseases Vol 1, 15th ed.
Berlin.2000.
Martin A. Portaels F. Drug Resistance and Drug Resistance
detection in Palmino JC, et al (eds), Tuberculosis 2007 from
basic science to patient care, 1st ed. www.textbookcom.
2007.
Mc Donald RJ, Reichmann LB. Tuberculosis in Baum G.L., et al
(eds), Baum’s Textbook of Pulmonary Disease, 7th ed.
Lippincot William and Wilkins Publisher, Boston, 2003.
Rattan A, Kalia A, Ahmad N. Multidrug-Resistant Mycobacterium
tuberculosis: Molecular Perspectives. “Emerging Infectious
Diseases” Vol. 4, No. 2, April–June 1998.
Riyanto BS, Wilhan. Management of MDR TB Current and Future
dalam Buku Program dan Naskah Lengkap Konferensi Kerja
Pertemuan Ilmiah Berkala. PERPARI.Bandung. 2006.
Snyder DE Jr, Roper WL. The new tuberculosis. “New England
Journal Medicine” 1992;326:703- 5.
Spratt BG. Resistance to antibiotics mediated by target alterations.
Science 1994;264:388-93.
Vareldzis BP, Grosset J, de Kantor I, Crofton J, Laszlo A, Felten M,
et al. Drug-resistant tuberculosis: laboratory issues. World
Health Organization recommendations. Tubercle and Lung
Diseases 1994;75:1-7.
Wallace RJ, Griffith DE. Antimycrobial Agents in Kasper DL,
Braunwald E (eds), Harrison’s Principles of Internal
Medicine, 16th ed. Mc Graw Hill. New York. 2004.
World Health Organization .Guidelines for the programmatic
managementdrug –resistant tuberculosis emergency edition
,Geneve.2008.
World Health Organization report on TB epidemic. Global TB
programme. Geneva: The Organization; 1997.

Anda mungkin juga menyukai