Disusun Oleh:
dr. Yudhanta Suryadilaga
Pembimbing:
dr. Rahmi Asfiyatul Jannah
A. Pendahuluan
Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang
parenkim paru, dengan agen infeksius utama Mycobacterium tuberculosis
(Smeltzer & Bare, 2001).
Berdasarkan data tentang kasus TB MDR di Indonesia yang dikeluarkan
oleh Kemenkes pada tahun 2015, terdapat 1850 kasus yang sudah
terkonfirmasi, 1566 kasus yang sudah diobati, dan 15,830 kasus yang masih
diduga TB MDR. Angka tersebut semakin naik dari tahun 2009 hingga tahun
2015 (Infodatin, 2016). Diperkirakan kasus TB MDR sebanyak 5900 kasus
yang berasal dari TB Paru baru dan 1000 kasus dari TB Paru pengobatan ulang
(WHO global report, 2013).
Pada laporan WHO tahun 2016, tercatat bahwa angka kejadian TB
mengalami peningkatan di tahun 2015. Diperkirakan terdapat 10,4 juta kasus
diseluruh dunia, yang terdiri dari 5,9 juta (56%) adalah laki-laki, 3,5 juta (34%)
adalah perempuan, dan 1 juta (10%) adalah anak-anak. Temuan pasien TB
dengan HIV sekitar 1,2 juta (11%) dari seluruh kasus TB yang ada. Sebanyak
60% kasus baru disumbang oleh 6 negara, diantaranya India, Indonesia, China,
Nigeria, Pakistan dan Afrika Selatan. Pada kasus TB MDR, tercatat di tahun
2015 terdapat 480.000 kasus baru dan 100.000 kasus Rifampicin-Resistant TB
(RR TB). India dan China sebagai negara yang mencapai angka 45% dari
keseluruhan kasus TB MDR (WHO, 2016).
Hasil survei terbaru yang dilakukan di Propinsi Jawa Tengah pada tahun
2010 TB MDR ditemukan pada 2% dari kasus baru dan 9,7% dari kasus
pengobatan (Asmalina, dkk., 2016). Berdasarkan data evaluasi kesembuhan
TB tahun 2010 sampai 2013 (triwulan 2) di Jawa Tengah didapat bahwa faktor
risiko terjadinya TB-MDR ada 5.779 kasus berasal dari kasus DO dan gagal
pengobatan pada pengobatan kategori 1 dan kategori 2. Suspek MDR-TB
terdeteksi sejumlah 702 kasus dan hasilnya 151 kasus sudah terdeteksi confirm
MDR TB sehingga proporsi confirm TB-MDR 21,51 %. Pengobatan yang
tidak standar terhadap pasien yang diduga TB MDR yang dilakukan di rumah
sakit, BKPM, klinik swasta, praktisi swasta, dan fasyankes lainnya semakin
memperparah situasi resistensi kuman TB.
Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih
rendah, itu berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas
untuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif).
4. Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien
5. Angka Notifikasi Kasus (CNR)
Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan
tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini
apabila dikumpulkan serial, akan menggambarkan kecenderungan
penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah tersebut. Angka ini berguna
untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya
penemuan pasien pada wilayah tersebut.
6. Angka Konversi
7. Angka Kesembuhan
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien
baru TB paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan,
diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat.
Angka kesembuhan dihitung juga untuk pasien BTA positif pengobatan
ulang dengan tujuan:
a. Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap
obat terjadi di komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans
kekebalan obat.
b. Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan
obat baris kedua (second-line drugs).
c. Menunjukan prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang
terjadi pada pasien dengan HIV.
8. Angka Kesalahan Laboratorium
D. Diagnosis MDR TB
Kriteria terduga TB MDR menurut data yang dikeluarkan oleh
Kemenkes RI tahun 2014 adalah semua orang yang mempunyai gejala TB
yang memenuhi satu atau lebih kriteria terduga/suspek di bawah ini :
1. Pasien TB gagal pengobatan Kategori 2
2. Pasien TB pengobatan Kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan
pengobatan
3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta
menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal selama 1 bulan
4. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal
5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan
pengobatan
6. Pasien TB kasus kambuh
7. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow up (lalai berobat)
8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR
9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons terhadap pemberian OAT
Alur penegakan TB MDR dapat dilihat pada diagram berikut :
E. Penatalaksanaan MDR TB
Dasar pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen obat-
obat anti TB, WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi 5 group
berdasarkan potensi dan efikasinya, sebagai berikut (World Health
Organization, 2008) :
1. Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat
ditoleransi dengan baik. Obat lini pertama yang terbukti sebaiknya
digunakan dan digunakan dalam dosis maksimal.
2. Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika
alergi digunakan kapreomisin, viomisin. Semua pasien diberikan injeksi
sampai jumlah kuman dibuktikan rendah melalui hasil kultur negatif
3. Grup ketiga, fluorokuinolon, obat bekterisidal tinggi, misal levofloksasin.
Semua pasien yang sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon
dalam regimennya
4. Grup empat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS (paraaminocallicilic acid),
ethionamid, dan sikloserin. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak
sebaik obat-obat oral lini pertama dan kuinolon.
5. Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam
klavulanat, dan makrolid baru (klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan
efikasinya, akan tetapi data melalui uji klinis pada pasien MDR TB masih
minimal.
Pengobatan pasien MDR TB terdiri atas dua tahap, tahap awal dan tahap
lanjutan. Pengobatan MDR TB memerlukan waktu lebih lama daripada
pengobatan TB bukan MDR, yaitu sekitar 18-24 bulan. Menurut WHO
guidelines 2008 membuat pentahapan tersebut sebagai brikut (World Health
Organization, 2008):
Tahap 1 : gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih
menunjukkan efikasi
Tahap 2 : tambahan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi
berdasarkan hasil uji sensitivitas dan riwayat pengobatan
Tahap 3 : tambahan obat-obat di atas dengan salah satu obat golongan
fluorokuinolon
Tahap 4 : tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan satu atau lebih dari
obat golongan 4 sampai sekurang-kurangnya sudah tersedia 4
obat yang mungkin efektif
Tahap 5 : pertimbangkan menambahkan sekurang-kurangnya 2 obat dari
golongan 5 (melalui proses konsultasi dengan pakar TB MDR)
apabila dirasakan belum ada 4 obat yang efektif dari golongan 1
sampai 4.
PERMASALAHAN
160
140
120
100
80
60
40
20
0
TB BTA (+) TB BTA (-)
PELAKSANAAN
A. Pelaksanaan Intervensi
Kunjungan rumah dan melakukan komunikasi 2 arah atau konseling
merupakan bagian dari usaha follow up untuk mengetahui perkembangan
keadaan pasien dan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Kunjungan rumah
pasien TB MDR di wilayah Puskesmas Kebumen 1 dilakukan oleh 2 orang
dokter internship didampingin oleh penanggung jawab dari Puskesmas
Kebumen 1 di bidang penyakit menular, khususnya Tuberkulosis. Kegiatan ini
dilakukan pada hari Rabu, 5 Juli 2017 pada pukul 09.00 pagi. Kegiatan
dilakukan dengan mengunjungi rumah pasien yang berada di Desa
Tamanwinangun.
Kegiatan berlangsung dengan bertemu pasien dan keluarganya. Follow
up yang dilakukan berupa anamnesis dan pemeriksaan fisik keadaan pasien saat
ini. Anamnesis bertujuan untuk mengetahui keluhan pasien saat ini dan perilaku
sosial pasien saat ini. Kegiatan berikutnya dengan inspeksi keadaan rumah dan
sekitarnya serta konseling bersama pasien dan keluarga pasien. Konseling disini
bertujuan untuk mengetahui tingkat pemahaman pasien dan keluarganya
mengenai penyakit yang diderita pasien saat ini, cara penularan, pengobatan dan
cara pencegahan bagi anggota keluarga yang lain agar tidak tertular. Selain itu,
pasien diajak berkomunikasi mengenai kendala dan kepatuhan pasien selama
pengobatan, serta efek samping dari OAT. Konseling menggunakan bantuan
media cetak berupa leaflet mengenai penyakit Tuberkulosis.
2. Pembahasan Masalah
Hasil follow up pasien didapatkan bahwa pada saat ini, pasien sudah
tidak banyak mengalami keluhan. Gejala TB seperti batuk, berdahak,
demam, dan berat badan turun sudah tidak dikeluhkan lagi oleh pasien.
Pasien merasa selama pengobatan ini, tubuhnya menunjukan pemulihan
atau perubahan ke arah yang lebih baik. Berat badan sudah naik
dibandingkan pada saat pertama kali terkena TB. Namun dalam 2 bulan
terakhir BB cenderung tetap meskipun tidak ada penurunan nafsu makan.
Pasien penderita TB akan cenderung mengalami penurunan berat
badan selama proses infeksi bakteri TB terus berlangsung. Orang dengan
TB paru aktif sering kekurangan gizi dan mengalami defisiensi
makronutrien serta penurunan berat badan dan penurunan nafsu makan
(WHO, 2012). Vitamin A, vitamin B kompleks antara lain vitamin B5, B6,
dan B8 diperlukan untuk kasus seperti TB paru karena dapat membantu
memperkuat sistem imun dengan meningkatkan produksi antibodi serta
berperan dalam metabolisme karbohidrat, protein dan lemak (Suparman,
2011).
Adanya peran penting asupan makan yang dikonsumsi erat kaitanya
dengan faktor kesembuhan. Melalui kegiatan seperti konseling yang baik
akan dapat mempengaruhi pasien untuk mengubah kebiasaan yang kurang
baik, yang akhirnya akan mengubah pola makan. Melalui cara pemilihan
makanan yang disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas yang dibutuhkan,
yang akan menunjang penyembuhan penyakit TB Paru. Kebutuhan energi
dan protein yang tinggi dengan gizi yang baik akan mempercepat proses
penyembuhan, terutama pada penderita malnutrisi (Ramzie, 2010).
Dukungan pemerintah terhadap penderita TB MDR berupa sembako dan
uang sangat berguna untuk membantu biaya pengobatan, konsumsi
makanan bergizi serta memperbaiki kondisi rumah.
Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda vital dalam keadaan normal.
Selain itu, tidak ditemukan adanya efek samping dari OAT seperti gangguan
penglihatan, gangguan pendengaran, tidak ada ikterik atau kemerahan pada
kulit dan tidak ada gangguan pada pemeriksaan paru. Pemeriksaan fisik
dapat berguna untuk memberikan terapi simptomatik yang muncul selama
mengkonsumsi OAT agar pasien tetap patuh dan meneruskan
pengobatanya.
Pada pemberian intervensi berupa konseling, didapatkan tingkat
pemahaman pasien dan keluarganya mengenai penyakit tuberkulosis yang
diderita pasien saat ini, cara penularan, jenis pengobatan dan lama
pengobatan, cara pencegahan, efek samping obat dan juga pentingnya
kepatuhan dalam meminum obat sudah baik. Tingkat pengetahuan pasien
dan keluarganya yang baik ini merupakan hasil dari kegiatan kunjungan
rumah yang rutin dilakukan oleh petugas Puskesmas Kebumen 1.
Pada pemeriksaan keadaan rumah untuk mengetahui faktor risiko
penularan dari Tuberkulosis, pasien tinggal di rumah berukuran ±10 x 8 m,
lantai rumah pterbuat dari plester dan tegel. Dinding rumah tembok, atap
rumah berupa genteng tanpa ternit. Terdapat 4 kamar tidur, dengan 1 kamar
terpisah dikhususkan untuk pasien. Ketersediaan ventilasi berupa jendela di
ruang tamu dan kamar tidur sudah cukup. Kesadaran pasien dan ibu pasien
untuk membuka jendela sudah baik. Pencahayaan yang masuk ke rumah
cukup baik. Hal ini dapat dikatakan bahwa kesadaran pasien dan keluarga
mengenai pentingnya sirkulasi udara dan pencahayaan yang masuk ke
dalam rumah sebagai bentuk upaya untuk mencegah penularan TB sudah
baik.
BAB V
A. Monitoring
Monitoring intervensi dapat dilakukan melalui kunjungan harian pasien
ke Puskesmas Kebumen 1 untuk mendapatkan obat TB MDR. Monitoring
dilakukan dengan pendampingan penanggung jawab program dari puskesmas.
Memonitoring pasien saat datang ke Puskesmas dilakukan di ruang khusus dan
dilakukan pemeriksaan berupa anamnesis, mengukur berat badan dan tanda –
tanda vital, serta pemeriksaan fisik paru. Selain kepada pasien, monitoring juga
harus dilakukan pada anggota keluarga pasien, terutama apabila dijumpai
gejala-gejala klasik TB.
B. Evaluasi
Evaluasi dari intervensi berupa kunjungan rumah dan konseling ini
berkaitan dengan tingkat pengetahuan pasien dan keluarganya, serta kebiasaan-
kebiasaan yang dilakukan untuk mencegah penularan. Pada setiap kunjungan
rumah, dapat kembali dilihat tingkat pengetahuan pasien dan keluarganya
mengingat penyakit ini dapat menular dan berbahaya. Evaluasi terhadap
pemeriksaan laboratorium pasien yang dilakukan di Solo juga perlu untuk
informasi bagi pihak Puskesmas Kebumen 1 sebagai bentuk indikator
keberhasilan pengobatan TB MDR.
BAB VI
LAMPIRAN
1. Leaflet Tuberkulosis
2. Laporan kasus
a. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Nn. F
Usia : 20 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan terakhir : SMK
Status : Belum menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Pengangguran
Alamat : Tamanwingaun 03/09 Kebumen
b. SUBJEKTIF
1) Keluhan Utama
Tidak ada keluhan
c. OBJEKTIF
1) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum : sedang
b) Kesadaran : compos mentis, GCS = 15 E4M6V5
c) BB : + 41 kg
d) TB : 158 cm
e) Vital sign
- Tekanan Darah : 110/80 mmHg
- Nadi : 88 x/menit
- RR : 20x/menit
- Suhu : 36.5oC
f) Status Generalis
Kepala
- Bentuk : mesochepal, simetris
- Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut,
Distribusimerata, tidak rontok
- Nyeri tekan : (-)
Mata
- Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
- Konjungtiva : anemis (-/-)
- Sklera : ikterik (-/-)
- Pupil : reflek cahaya (+/+),isokor
- Exopthalmus : (-/-)
- Lapang pandang : tidak ada kelainan
- Lensa : keruh (-/-)
- Gerak mata : normal
- Tekanan bola mata : normal
- Nistagmus : (-/-)
Telinga
- otore (-/-)
- deformitas (-/-)
- nyeri tekan (-/-)
Hidung
- nafas cuping hidung (-/-)
- deformitas (-/-)
- discharge (-/-)
Mulut
- bibir sianosis (-)
- bibir kering (-)
- lidah kotor (-)
Leher
- Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
- Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar thyroid : tidak membesar
- JVP : nampak,tidak kuat angkat
Dada
a) Paru
- Inspeksi : bentuk dada simetris,ketinggalan gerak (-),
Retraksi intercostalis (-), jejas (-)
d. Foto
DAFTAR PUSTAKA