Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang

parenkim paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit

ini dapat juga menyebar ke bagian tubuh lain, seperti meningen, ginjal, tulang

dan nodus limfe (Somantri, 2012, p.67)

Tuberkulosis paru merupakan masalah kesehatan masyarakat di

seluruh dunia. Angka mortalitas dan morbiditasnya terus meningkat. TB paru

sangat erat kaitannya dengan kemiskinan, malnutrisi, tempat kumuh,

perumahan dibawah standar, dan perawatan kesehatan yang tidak adekuat.

Pada tahun 1952, diperkenalkan obat anti tuberkulosis dan angka kasus TB

paru yang dilaporkan di Amerika Serikat menurun rata-rata 6% setiap tahun

antara 1953 dan 1985. Saat ini di duga bahwa pada awal abad ke-21, TB paru

di Amerika Serikat mungkin dapat disingkirkan. Namun, sejak 1985 tren-nya

justru sebaliknya dan jumlah kasusnya meningkat (Smeltzer & Bare, 2002,

p.584).

Sebagian besar dari kasus TB paru (95%) dan kematiannya (98%)

terjadi di negara-negara yang sedang berkembang. Diantara mereka 75%

berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun. Karena penduduk yang padat

dan tinggi prevalensi, maka lebih dari 65% dari kasus-kasus TB paru yang

baru dan kematian yang muncul terjadi di Asia (Sudoyo, Setyohadi, Alwi, &

1
2

Setiati, 2006, p.988). Di Indonesia, TB paru merupakan masalah utama

kesehatan masyarakat, angka prevalensi TB paru di Indonesia pada tahun 2012

mencapai 194.780 jiwa (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012,

p.86).

Tubekulosis paru dapat menimbulkan dampak yang buruk bagi

kesehatan pasien. Pasien dengan TB paru sering menjadi sangat lemah karena

penyakit kronis yang berkepanjangan dan kerusakan status nutrisi, anoreksia,

penurunan berat badan, dan malnutrisi umum terjadi pada pasien dengan TB

paru. Keinginan pasien untuk makan terganggu oleh keletihan akibat batuk

berat, pembentukan sputum, nyeri dada, dan status kelemahan secara umum

(Smeltzer & Bare, 2002, p.589)

Penggunaan obat anti tuberkulosis seperti isoniazid, rifampisin,

streptomisin, etambutol dan pirazinamid juga menimbulkan efek bagi tubuh,

diantaranya yaitu tidak ada nafsu makan, kesemutan dan rasa terbakar di kaki,

warna kemerahan pada air seni, gatal dan kemerahan pada kulit, tuli, ganguan

keseimbangan, ikterik/hepatitis, muntah, gangguan penglihatan, dan kelainan

sistemik seperti syok (Tjay & Rahardja, 2010, p.158-161)

Selain masalah medis di atas, penyakit TB paru juga menimbulkan

masalah psikososial yang besar bagi pasien maupun keluarganya. Timbulnya

suatu penyakit pada masa maturasi fisik dan psikososial dapat mengganggu

kualitas hidup seseorang, pada individu tersebut dapat terlihat gejala secara

fisik, psikologis, dan sosial. Masalah tumbuh kembang dengan penyakit

kronik tergantung para pasien memahami dirinya, penyakitnya, pengobatan


3

yang diterima dan kematian. Perawatan yang lama dan sering di rumah sakit,

tindakan pengobatan yang menimbulkan rasa sakit dan pikiran tentang masa

depan yang tidak jelas, kondisi ini memiliki implikasi yang serius bagi

kesehatannya sehubungan dengan kualitas hidupnya. Faktor yang

menyebabkan turunnya kualitas hidup pada pasien baik secara sendiri-sendiri

maupun bersama-sama belum diketahui secara pasti. Hal inilah yang membuat

pengukuran terhadap kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan

(Health related quality of life/HRQOL) menjadi penting sebagai penilaian

biopsikososial (Bulan, 2009, p.3).

Kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi individu terhadap posisi

mereka dalam kehidupan ditinjau dari kontek budaya dan sistem nilai di mana

mereka tinggal, serta hubungan dengan standar hidup, harapan, dan

kesenangan. Hal ini terangkum secara komplek mencakup kesehatan fisik,

kesehatan psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan (WHO, 2002, P.2).

Kualitas hidup penderita TB paru merupakan ukuran penting karena

berhubungan dengan batuk yang berlangsung terus menerus yang dapat

membahayakan pernafasan, juga akan menyulitkan penderita melakukann

aktivitas kehidupan sehari-hari atau terganggu status fungsionalnya seperti

merawat diri, mobiliti, makan, berpakaian dan aktivitas rumah tangga. Jika

berlangsung dalam waktu yang lama, hal ini dapat menurunkan kualitas hidup

pasien (Smeltzer & Bare, 2002, p.590).

Masalah kualitas hidup dewasa ini mendapat perhatian yang sungguh-

sungguh karena penatalaksanaan penyakit diharapkan dapat meningkatkan


4

kualitas hidup dalam melakukan pengawasan terhadap pasien, perawat tidak

hanya terfokus pada kehidupan dan kesehatan pasien saja, tetapi perawat juga

harus mampu melakukan pengawasan terhadap faktor sosial yang dapat

mempengaruhi hidup mereka (Bloom, dalam Munanda, 2007, p.4).

Penelitian yang dilakukan oleh Guo, Carla, dan Marlo (2009, p.7)

tentang kualitas hidup pasien tuberkulosis paru, di dapatkan hasil bahwa

penyakit TB paru memiliki dampak negatif pada diri pasien yang mencakup

status kesehatan pasien TB paru dalam aspek fisik, psikologis, sosial, dan

lingkungan. Ternyata kesehatan fisik tampaknya lebih dipengaruhi oleh

penyakit namun membaik lebih cepat setelah perawatan, sedangkan penurunan

nilai atas kesejahteraan mental cenderung bertahan untuk jangka panjang.

Bahkan setelah pasien TB paru berhasil menyelesaikan pengobatan dan

dianggap sembuh, kualitas hidup mereka tetap kurang dibandingkan dengan

populasi umum. Penurunan kualitas hidup berkelanjutan mungkin sebagian

disebabkan oleh gejala fisik dan kerusakan fisiologis sisa dari penyakit

dan/atau pengobatan.

Dari data yang peneliti dapatkan pada studi awal di Balai Kesehatan

Paru Masyarakat (BKPM), terdapat 121 penderita TB paru dari bulan Januari

sampai dengan September 2012. Berdasarkan hasil wawancara peneliti

terhadap 7 orang pasien TB paru, di dapatkan hasil bahwa pasien merasa

aktivitas fisiknya mulai menurun semenjak menderita TB paru, karena batuk

yang terus menerus, mudah lelah dan adanya penurunan nafsu makan. Pasien

juga merasa adanya perubahan perilaku pada keluarga dan pasien merasa
5

mulai kehilangan perhatian dari keluarga serta sudah jarang bergaul dengan

masyarakat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan fenomena diatas, maka yang menjadi perumusan masalah

dalam penelitian ini adalah “Gambaran Kualitas Hidup Pasien Tuberkulosis

Paru Yang Menjalani Terapi Obat Anti Tuberkulosis Di Balai Kesehatan Paru

Masyarakat (BKPM) Banda Aceh Tahun 2012”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran

kualitas hidup pasien tuberkulosis paru yang menjalani terapi obat anti

tuberkulosis.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui gambaran kualitas hidup pasien tuberkulosis paru yang

menjalani terapi obat anti tuberkulosis ditinjau dari kesehatan fisik di

Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Banda Aceh Tahun 2012.

b. Mengetahui gambaran kualitas hidup pasien tuberkulosis paru yang

menjalani terapi obat anti tuberkulosis ditinjau dari kesehatan

psikologis di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Banda Aceh

Tahun 2012.
6

c. Mengetahui gambaran kualitas hidup pasien tuberkulosis paru yang

menjalani terapi obat anti tuberkulosis ditinjau dari fungsi sosial di

Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Banda Aceh Tahun 2012.

d. Mengetahui gambaran kualitas hidup pasien tuberkulosis paru yang

menjalani terapi obat anti tuberkulosis di tinjau dari lingkungan di

Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Banda Aceh Tahun 2012.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti

Menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam melakukan

penelitian tentang kualitas hidup pasien tuberkulosis paru yang menjalani

terapi obat anti tuberkulosis.

2. Bagi institusi pendidikan

Sebagai bahan tinjauan keilmuan khususnya di bidang keperawatan

medikal bedah sehingga dapat meningkatkan pengetahuan peserta didik

tentang kualitas hidup pasien tuberkulosis paru yang menjalani terapi obat

anti tuberkulosis.

3. Bagi peneliti lain

Penelitian ini sebagai dasar untuk penelitian lanjutan yang lebih spesifik

dan komprehensif mengenai gambaran kualitas hidup pasien tuberkulosis

paru yang menjalani terapi obat anti tuberkulosis.


7

4. Bagi Balai Kesehatn Paru Masyarakat (BKPM)

Diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Balai Kesehatan Paru

Masyarakat, khususnya dalam bidang keperawatan dalam meningkatkan

mutu pelayanan kesehatan khususnya terhadap pasien tuberkulosis paru

yang menjalani terapi obat anti tuberkulosis.

5. Bagi perawat

Dapat menambah pengetahuan perawat tentang gambaran kualitas hidup

pasien tuberkulosis paru yang menjalani terapi obat anti tuberkulosis

khususnya perawat yang bertugas di Balai Kesehatan Paru Masyarakat

(BKPM) Banda Aceh, sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan

pasien terkait dengan terapi obat anti tuberkulosis.

Anda mungkin juga menyukai