Anda di halaman 1dari 5

Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba

adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di
Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka mayoritas hidup di provinsi Jambi,
dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.
A. Sejarah dan Asal Usul
Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat,
yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas.
Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka
berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat
suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau,
seperti sistem matrilineal.
Sumber dari Muchlas (1975) yang menelusuri asal usul Anak Dalam
menyatakan bahwa asal usul Anak Dalam berasal dari sejumlah cerita yang
dituturkan secara lisan dan berkembang di provinsi Jambi. Kesimpulan Muchlas
dari cerita tersebut adalah Anak Dalam berasal dari tiga keturunan yaitu:

1. Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah


Kabupaten Batanghari.
2. Keturunan dari Minangkabau umumnya di Kabupaten Bungo Tebo
sebagian Mersan.
3. Keturunan dari Jambi Asli ialah Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun
Bangko.

Menurut Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990)


menyebutkan asal usul Suku Anak Dalam yaitu: Sejak Tahun 1624, Kesultanan
Palembang dan Kerajaan Jambi yang sebenarnya masih satu rumpun memang
terus menerus bersitegang dan pertempuran di Air Hitam akhirnya pecah pada
tahun 1629. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada dua kelompok
masyarakat Anak Dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat
istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera
Selatan) berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan postur tubuh ras Mongoloid
seperti orang Palembang sekarang. Mereka ini keturunan pasukan palembang.
Kelompok lainnya tinggal di kawasan hutan Jambi berkulit sawo matang, rambut
ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda
dan negrito).
B. Penyebutan Orang Rimba / Orang Kubu
Ada tiga sebutan yang mengandung makna yang berbeda, yaitu:
1) Kubu, merupakan sebutan yang paling populer digunakan oleh terutama
orang Melayu dan masyarakat Internasional. Kubu dalam bahasa Melayu
memiliki makna peyorasi seperti primitif, bodoh, kafir, kotor dan
menjijikan.
2) Suku Anak Dalam, sebutan ini digunakan oleh pemerintah melalui
Departemen Sosial. Anak Dalam memiliki makna orang terbelakang yang
tinggal di pedalaman. Karena itulah dalam perspektif pemerintah mereka
harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka dari hutan dan
dimukimkan melalui program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing
(PKMT).
3) Orang Rimba, adalah sebutan yang digunakan oleh etnik ini untuk menyebut
dirinya. Makna sebutan ini adalah menunjukkan jati diri mereka sebagai
etnis yang mengembangkan kebudayaannya yang tidak bisa lepas dari
hutan.

C. Adat istiadat
Suku Anak Dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya diatur dengan
aturan, norma dan adat istiadat yang berlaku sesuai dengan budayanya. Dalam
lingkungan kehidupannya dikenal istilah kelompok keluarga dan kekerabatan,
seperti keluarga kecil dan keluarga besar. Keluarga kecil terdiri dari suami istri
dan anak yang belum menikah. Keluarga besar terdiri dari beberapa keluarga kecil
yang berasal dari pihak kerabat istri. Anak laki-laki yang sudah kawin harus
bertempat tinggal dilingkungan kerabat istrinya. Mereka merupakan satu kesatuan
sosial dan tinggal dalam satu lingkungan pekarangan. Setiap keluarga kecil
tinggal dipondok masing-masing secara berdekatan, yaitu sekitar dua atau tiga
pondok dalam satu kelompok.

D. Cara bertahan hidup


Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, suku anak anak dalam
biasanya melakukan kegiatan berburu atau meramu, menangkap ikan, dan
memanfaatkan buah-buahan yang ada di dalam hutan namun dengan
perkembangan zaman dan adanya akulturasi budaya dari masyarakat luar, kini
beberapa suku anak dalam telah mulai mengenal pengetahuan tentang pertanian
dan perkebunan.
E. Sistem Kepercayaan
Mayoritas suku kubu menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga
beberapa puluh keluarga suku kubu yang pindah ke agama Islam.
F. Perilaku Kesehatan
Kepercayaan Suku Anak Dalam terhadap Dewa-dewa roh halus yang
menguasai hidup tetap terpatri, kendatipun diantara mereka telah mengenal agama
islam. Mereka yakin bahwa setiap apa yang diperolehnya, baik dalam bentuk
kebaikan, keburukan, keberhasilan maupun dalam bentuk musibah dan kegagalan
bersumber dari para dewa. Sebagai wujud penghargaan dan persembahannya
kepada para dewa dan roh, mereka melaksanakan upacara ritual sesuai dengan
keperluan dan keinginan yang diharapkan. Salah satu bentuk upacara ritual yang
sering dilaksanakan adalah Besale (upacara pengobatan).
Upacara besale merupakan upacara yang dilakukan oleh suku anak dalam
(SAD) pada saat ada anggota keluarga yang mengalami sakit (biasanya sakit
parah) dengan tujuan untuk menyembuhkan penyakit yang di derita. Upacara ini
telah dilakukan turun temurun dari nenek moyang SAD sehingga menjadi tradisi
yang sering dilakukan SAD apabila ada salah satu anggota keluarganya yang
menderita penyakit.Menurut ketua adat desa senami dusun 3 upacara besale
berasal dari daerah Mentawak Di daerah Sarolangun.
Upacara besale di pandu oleh seorang pawang atau dukun yang di percaya
memiliki ilmu yang turun-temurun yang nantinya akan menari dan bernyanyi
membacakan jampi jampi yang ditujukan untuk orang yang sedang sakit tersebut.
Sang dukun menggunakan pakaian yang berwarna putih yang terdiri dari celana
panjang yang berwana putih, penutup kepala dari kain putih yang dililitkan ke
kepala sang dukun dilengkapi dengan tudung yang terbuat dari kain putih.
Perlengkapan lainya seperti tenggiring yaitu berupa lonceng yang terbuat dari
kuningan yang bersuara nyaring. Mangkuk kecil 2 buah tempat air jampijampian.
Diujung kain putih terdapat pera yaitu ujung kain yang dipercaya bisa untuk
mengobati anak-anak SAD yang sakit, dengan cara mencelupkan pera kedalam air
dan air dari pera tersebut di teteskan ke mata anak yang sakit. Semua peralatan
diatas di simpan dalam tempat yang terbuat dari anyaman rotan dan semua
peralatan tersebut berusia lebih dari 100 tahun yang di turunkan dari nenek
moyang dari masyarakat SAD.
Perlatan yang digunakan rumah-rumah kecil yang terbuat dari kayu dan
anyam-anyaman dari rotan, burung-burungan yang terbuat dari daun kelapa yang
diletakan dia atas rumah-rumahan, daun mengkuang dan daun rumbai. Burung-
burungan yang di anyam dari berbagai daun tersebut berjumlah 19 dengan nama
yang berbeda diantaranya ada kelancang, garudo, sirih semah, pedang, d’mang,
laying, denak, emai, ranyunai dan beberapa nama-nama burung lainya.
Syarat-syarat lain yang harus di buat yaitu sesajian yang terdiri dari
berbagai macam makanan yang juga diletakan di dalam rumah-rumahan yang
telah di terdiri dari ayam panggang, telor, gelamai dan makanan lainya yang
terbuat dari gula merah, gula putih, beras ketan, beras, kelapa, telor ayam, bawang
merah dll. Uniknya masakan yang di buat tersebut memiliki nama-nama yang
unik pula diantaranya ada juanda, caco serabi, penganan pepuntir, buah
bedaro,nasi kuning, nasi ketan putih dan lain sebagainya yang terdiri dari 18 jenis
makanan.
Dalam upacara adat besale di percaya bahwa apabila salah satu syarat
dalam pembuatan upacara tidak di penuhi maka pengobatan yang dilaksanakan
tidak begitu manjur bahkan dapat membuat arwah-arwah marah. Dukun yang
mengasuh upacara ini dalam kondisi tidak sadarkan diri dan melantunkan lagu-
lagu gaib yang tidak di sadari oleh si dukun terrsebut saat menyanyikanya. Boleh
dikatakan pada saat melakukan tarian-tarian dan nyanyian dukun dibawah
pengaruh arwah-arwah yang masuk ke dalam tubuhnya. Bait lagu sebagai
pembuka upacara adat besale ini adalah:
Betinjak dibungin baru sebiji

Dijanjam baru setitik

Angin baru serembus

Beteduh di langit selebar payung


Lagu-lagu yang di nyanyikan terus berlangsung selama semalam dalam
kondisi seperti ini dukun dilarang makan, dukun menari-nari mengelilingi orang
yang sakit yang duduk atau berbaring di bawah rumah-rumahan yang dibuat
sebelumnya, dengan mengibaskan bunga pinang yang dicelupkan air yang telah
dijampi-jampi kepada orang yang sakit tersebut sang dukun terus bernyanyi tanpa
sadarkan diri diiringi oleh tabuhan gendang dari beberapa suku anak dalam lainya.
Dana yang di butuhkan untuk melaksanakan upacara besale ini mulai dari
1.500.000-2.500.000 jumlah uang yang tidak sedikit untuk sebuah upacara adat
sebagai media untuk menyembuhkan orang yang sakit, dengan kondisi
keterbatasan kemampuan untuk melaksanakan upacara besale tersebut tidak
jarang SAD hanya mampu membawa keluarganya ke puskesmas untuk di obati
dan biaya yang dikeluarkan tidak sebanyak apabila mereka harus melaksanakan
upacara besale. Terkadang upacara yang telah dilaksanakan tidak mendatangkan
kesembuhan bagi orang yang diobati, menurut pengakuan dukun hal ini terjadi
karena kurang lengkapnya sesajian yang di buat.
Dukun yang juga merupakan ketua adat sangat disegani di kalangan SAD,
dan untuk menjadi seorang dukun yang kelak menggantikan beliau dibutuhkan
orang yang memiliki kriteria-kriteria tertentu. Untuk menjadi seorang dukun harus
bertempur dengan guru yang merupakan dukun yang akan memberikan ilmunya
dengan menggunakan buah pinang muda dan pinang yang sudah masak. Namun,
sebelumnya telah dilaksanakan pertapaan dengan berbagai syarat yang telah
ditentukan. Apabila sang murid telah kebal terkena pecutan dari pinang muda dan
telah mampu melewati berbagai tantangan selama menuntut ilmu yang telah
diberikan maka sang dukun muda bisa menggantikan dukun yang sebelumnya
dalam memandu upacara besale, mengobati orang yang sakit lainya.
Dari proses adaptasinya dengan lingkungan, Suku Anak Dalam juga
memilki pengetahuan tentang bahan pengobatan yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan dan hewan. Melalui panca indranya mampu membedakan tumbuhan
beracun dan tidak beracun termasuk mengolahnya. Pengetahuannya tentang
teknologi sangat sederhana, namun memiliki kemampuan mendeteksi masalah
cuaca, penyakit dan mencari jejak.

Anda mungkin juga menyukai