LAPORAN PENDAHULUAN
oleh
Yeni Dwi Aryati, S. Kep
NIM 132311101045
b. Lobus Temporalis
Lobus temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan kebawah
dari fisura lateralis dan sebelah posterior dari fisura parieto-oksipitalis
(White, 2008). Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, visual,
pendengaran dan berperan dalam pembentukan dan perkembangan emosi.
Gambar 4. Lobus Temporalis
c. Lobus Parietalis
Lobus parietalis merupakan pusat kesadaran sensorik di gyrus postsentralis
(area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran (White, 2008).
d. Lobus Okspitalis
Lobus ini berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi penglihatan
yaitu untuk menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan dari
nervus optikus dan mengasosiasikan rangsangan dengan informasi saraf lain
dan memori (White, 2008).
Gambar 6. Lobus Oksipitalis
e. Lobus Limbik
Lobus limbic berfungsi untuk mengatur emosi, memori emosi, dan bersama
hypothalamus menimbulkan perubahan melalui pengendalian atas susunan
endokrin dan susunan otonom.
2. Cerebelum
Cerebelum atau otak kecil berfungsi untuk koordinasi terhadap otot dan
tonus otot, keseimbangan dan posisi tubuh, serta untu berfungsi mengkoordinasi
gerakan yang halus dan luwes. Cerebelum berada pada bagian bawah dan
belakang tengkorak yang melekat pada otak tengah. Pada otak kecil terdapat tiga
pengelompokkan bagian-bagian otak kecil yaitu:
a. Berdasarkan lobus pada otak kecil dibagi menjadi tiga yaitu lobus anterior
(depan), lobus posterior (belakang) dan lobus frocculonadular.
Gambar 8. Lobus Otak Kecil
3. Brainstem
Brainstem adalah batang otak yang berfungsi untuk mengatur seluruh proses
kehidupan. Batang otak terdiri dari diensefalon (otak depan) yang terdiri atas dua
bagian yaitu thalamus yang berfungsi menerima semua rangsang dari reseptor
kecuali bau dan hypothalamus yang berfungsi dalam pengaturan suhu, pengaturan
nutrient, penjagaan agar tetap bangun dan penumbuhan sikap agresif;
mesencephalon (otak tengah) terletak dibagian depan otak kecil dan jembatan
varol berfungsi untuk reflex mata, tonus otot serta fungsi posisi atau kedudukan
tubuh; pons varoli (jembatan varol) yang merupakan serabut saraf pengubung otak
kecil bagian kirir dan kanan, selain itu menghubungkan otak besar dan sumsum
tulang belakang; medulla oblongata yaitu bagian dari batang otak yang paling
bawah dan menghubungkan antara pons varoli dengan medulla spinalis.
c. Syaraf-syaraf Otak
Smeltzer (2001) mengatakan bahwa nervus kranialis dapat terganggu bila
trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan
otak. Kerusakan nervus yaitu:
a) Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan
aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
b) Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.
c) Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)
menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris
dan otot iris.
d) Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang
pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.
e) Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah cabang
yang merupakan saraf otak besar, sarafnya yaitu:
1) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan
kelopak mata atas, selaput sopha kelopak mata dan bola mata.
2) Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas,
palatum, batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.
3) Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris)
mensarafi otot-otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi
bawah, kulit daerah temporal dan dagu.
f) Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf
penggoyang sisi mata.
g) Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi
otot-otot lidah dan selaput sopha ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat
serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala
fungsinya sebagai soph wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.
h) Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari
pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.
i) Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah,
saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
j) Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik,
sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, sophagus, gaster
intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya
sebagai saraf perasa.
k) Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI)
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium,
fungsinya sebagai saraf tambahan.
l) Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini
terdapat di dalam sumsum penyambung.
a. Definisi
Trauma atau cidera kepala dapat dikenal juga sebagai cidera otak adalah
gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul ataupun
trauma tajam (Batticaca, 2008). Cedera kepala adalah cedera yang dapat
mengakibatkan kerusakan otak akibat perdarahan dan pembengkakan otak
sebagai respon terhadap cedera dan penyebab peningkatan tekanan intra kranial
(TIK) (Smeltzer & Bare, 2002). Cidera otak ringan merupakan suatu kondisi
dimana terjadi kehilangan fungsi neurologis sementara dan tanpa adanya
kerusakan struktur (Batticaca, 2008).
b. Klasifikasi
Reimer (dalam Barbara (1999)), mengklasifikasikan cidera kepala akut sebagai
berikut:
a) Keadaan kulit kepala dan tulang tengkorak:
1) Trauma kepala tertutup
Keadaan truma kepala tertutup dapat mengakibatkan kondisi komosio,
kontusio, epidura hematoma, subdural hematoma, intrakranial
hematoma.
2) Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk dalam
jaringan otak dna melukai atau merobek dura mater dan menyebabkan
Cairan Serebro Spinal (CSS) merembes, serta terjadi kerusakan syaraf
otak dan jaringan otak.
b) Trauma pada jaringan otak:
1) Konkusio (ditandai dengan adanya kehilangan kesadaran sementara tanpa
adanya kerusakan jaringan otak, dan terjadi edema serebral).
2) Kontusio (ditandai leh adanya perlukaan pada permukaan jaringan otak
yang menyebabkan perdarahan pada area yang terluka, perlukaan pada
permukaan jaringan otak ini dapat terjadi pada sisi yang terkena (coup)
atau pada sisi yang berlawanan (contra coup)
3) Laserasi (ditandai oleh adanya perdarahan ke ruang sub arakhnoid, ruang
epidural atau sub dural).
2) Difusa
(i) Komosio ringan
(ii) Komosio klasik
(iii) Cedera aksonal difusa
c. Etiologi
Cedera otak dapat disebabkan oleh trauma pada kepala akibat benda
tumpul dan benda tajam. Adapun mekanisme terjadinya cedera kepala
berdasarkan terjadinya benturan terbagi menjadi beberapa menurut Nurarif dan
Kusuma (2013), yaitu:
a. Cedera akselerasi
Jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak (seperti kepala
tertembak peluru)
b. Cedera deselerasi
Kepala yang membentur objek diam (seperti kepala yang membentur kaca
mobil saat kecelakaan lalu lintas)
c. Cedera akselerasi-deselerasi
Terjadi pada kecelakaan bermotor dengan kekerasan fisik antara tubuh dan
kendaraan yang berjalan
d. Cedera coup-counter coup
Jika kepala terbentur dan menyebabkan otak bergerak dalam ruang
intracranial dan menyebabkan cedera pada area yang berlawanan dengan
yang terbentur dan area yang pertama terbentur
e. Cedera rotasional
Benturan yang menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang
mengakibatkan meregang dan robeknya pembuluh darah dan neuron yang
memfiksasi otak dengan bagian dalam tengkorak.
e. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari trauma, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-
deselarasi gerakan kepala (Gennarelli, 1996). Dalam mekanisme cedera kepala
dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan
oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi
coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi
yang disebut contrecoup (Perdosi, 2007).
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup) (Hickey, 2003).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.
f. Penatalaksanaan
a. Perawatan sebelum ke Rumah Sakit
1) Stabilisasi terhadap kondisi yang mengancam jiwa dan lakukan terapi
suportif dengan mengontrol jalan nafas dan tekanan darah.
2) Berikan O2 dan monitor
3) Berikan cairan kristaloid untuk menjaga tekanan darah sistolik tidak kurang
dari 90 mmHg.
4) Pakai intubasi, berikan sedasi dan blok neuromuskuler
5) Stop makanan dan minuman
6) Imobilisasi
7) Kirim kerumah sakit.
b. Perawatan di bagian Emergensi
1) Pasang oksigen (O2), monitor dan berikan cairan kristaloid untuk
mempertahankan tekanan sistolik diatas 90 mmHg.
2) Pakai intubasi, dengan menggunakan premedikasi lidokain dan obat-obatan
sedative misalnya etomidate serta blok neuromuskuler. Intubasi digunakan
sebagai fasilitas untuk oksigenasi, proteksi jalan nafas dan hiperventilasi
bila diperlukan.
3) Elevasikan kepala sekitar 30O setelah spinal dinyatakan aman atau gunakan
posis trendelenburg untuk mengurangi tekanan intra kranial dan untuk
menambah drainase vena.
4) Berikan manitol 0,25-1 gr/ kg iv. Bila tekanan darah sistolik turun sampai 90
mmHg dengan gejala klinis yang berkelanjutan akibat adanya peningkatan
tekanan intra kranial.
5) Hiperventilasi untuk tekanan parsial CO2 (PCO2) sekitar 30 mmHg apabila
sudah ada herniasi atau adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
(ICP).
6) Berikan phenitoin untuk kejang-kejang pada awal post trauma, karena
phenitoin tidak akan bermanfaat lagi apabila diberikan pada kejang dengan
onset lama atau keadaan kejang yang berkembang dari kelainan kejang
sebelumnya.
c. Terapi obat-obatan:
1) Gunakan Etonamid sebagai sedasi untuk induksi cepat, untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik, dan menurunkan tekanan
intrakranial dan metabolisme otak. Pemakaian tiophental tidak dianjurkan,
karena dapat menurunkan tekanan darah sistolik. Manitol dapat digunakan
untuk mengurangi tekanan intrakranial dan memperbaiki sirkulasi darah.
Phenitoin digunakan sebagai obat propilaksis untuk kejang – kejang pada
awal post trauma. Pada beberapa pasien diperlukan terapi cairan yang cukup
adekuat yaitu pada keadaan tekanan vena sentral (CVP) > 6 cmH 2O, dapat
digunakan norephinephrin untuk mempertahankan tekanan darah sistoliknya
diatas 90 mmHg.
2) Diuretik Osmotik
Misalnya Manitol : Dosis 0,25-1 gr/ kg BB iv.
Kontraindikasi pada penderita yang hipersensitiv, anuria, kongesti paru,
dehidrasi, perdarahan intrakranial yang progreasiv dan gagal jantung yang
progresiv.
Fungsi : Untuk mengurangi edema pada otak, peningkatan tekanan
intrakranial, dan mengurangi viskositas darah, memperbaiki sirkulasi darah
otak dan kebutuhan oksigen.
3) Antiepilepsi
Misalnya Phenitoin : Dosis 17 mg/ kgBB iv, tetesan tidak boleh berlebihan
dari 50 (Dilantin) mg/menit.
Kontraindikasi; pada penderita hipersensitif, pada penyakit dengan blok
sinoatrial, sinus bradikardi, dan sindrom Adam-Stokes. Fungsi : untuk
mencegah terjadinya kejang pada awal post trauma.
reaksi motorik.
Gambar 12. Glasgow Coma Scale
g. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Adapun pemeriksaan laboratorium darah yang berguna pada kasus cedera
kepala yaitu :
a) Hemoglobin sebagai salah satu fungsi adanya perdarahan yang berat
b) Leukositosis untuk salah satu indikator berat ringannya cedera
kepala yang terjadi.
c) Golongan Darah persiapan bila diperlukan transfusi darah pada
kasus perdarahan yang berat.
d) GDS memonitor agar jangan sampai terjadi hipoglikemia maupun
hiperglikemia.
e) Fungsi Ginjal memeriksa fungsi ginjal, pemberian manitol tidak
boleh dilakukan pada fungsi ginjal yang tidak baik.
f) Analisa Gas Darah PCO2 yang tinggi dan PO2 yang rendah akan
memberikan prognosis yang kurang baik, oleh karenanya perlu
dikontrol PO2 tetap > 90 mmHg, SaO2 > 95 % dan PCO2 30-50
mmHg. Atau mengetahui adanya masalah ventilasi perfusi atau
oksigenisasi yang dapat meningkatkan TIK.
g) Elektrolit adanya gangguan elektrolit menyebabkan penurunan
kesadaran.
h) Toksikologi mendeteksi obat yang mungkin menimbulkan
penurunan kesadaran.
2) Pemeriksaan Radiologi
a) CT Scan adanya nyeri kepala, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran,
mengidentifikasi adanya hemoragi, pergeseran jaringan otak.
b) Angiografi Serebral menunjukkan kelainan sirkulasi cerebral seperti
pergeseran cairan otak akibat oedema, perdarahan, trauma.
c) EEG (Electro Encephalografi) memperlihatkan keberadaan/perkembangan
gelombang patologis.
d) MRI (Magnetic Resonance Imaging) mengidentifikasi perfusi jaringan
otak, misalnya daerah infark, hemoragik.
e) Sinar X mendeteksi adanya perubahan struktur tulang tengkorak.
f) Test Orientasi dan Amnesia Galveston (TOAG) untuk menentukan apakah
pasien trauma kepala sudah pulih daya ingatnya.
Gambar 12. Contoh gambar CT Scan cedera otak
h. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada cedera kepala menurut Smeltzer &
Bare (2002) adalah:
a. Perluasan hematoma intracranial
b. Edema serebral dan herniasi, edema serebral adalah penyebab paling umum
dari peningkatan tekanan intracranial pada pasien yang mendapat cedera
kepala, puncak pembengkakan yang terjadi pada cedera kepala kurang lebih
72 jam pasaca cedera. Tekanan intrkranial meningkat akibat
ketidakmampuan tengkorak untuk membesar meskipun peningkatan volume
oleh pembengkakan otak akibat trauma.Tekanan intrakranial dinilai
berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg. Akibat dari peningkatan TIK
dan edema adalah penyebaran tekanan pada jaringan otak dan struktur
internal otak yang kaku. Bergantung pada area pembengkakan, perubahan
posisi ke bawah atau lateral otak (herniasi) melalui atau terhadap struktur
kakau akan mengakibatkan iskemia, infark, kerusakan otak ireversibel dan
kematian.
Sedangkan komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut
(Markam, 1999) pada cedera kepala meliputi :
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada
situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu,
setelahmasa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus
lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih
tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada
vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.
b. Kejang/Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
c. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya
berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system
saraf yang lain.
d. Hilangnya kemampuan kognitif.
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
mengalami masalah kesadaran.
e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson.
Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit
Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi
tergantung frekuensi dan keparahan cedera.
Clinical Pathway
Cedera akselerasi Cedera deselerasi Cedera coup-counter coup Cedera rotasional
Penurunan fungsi
pendengaran
Nyeri kepala
Hipoksia
Peningkatan TIK
Risiko ketidakefektifan
Penurunan
perfusi jaringan
kesadaran
serebral
Jaringan otak
rusak
Imobilisasi Resiko
Penumpukan cedera
sekret Rangsangan simpatis
meningkat
Penekanan area
tubuh
Tahanan vaskuler sistemik
Ketidakfektifan
dan tekanan darah meningkat
bersihan jalan
nafas Kerusakan
integritas kulit
Menurunkan tekanan
pembuluh darah
pulmonal
Kebocoran cairan
Oedem paru Tekanan hidrostatik meningkat
kapiler
j. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
penurunan aliran darah ke otak
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,
kompresi diafragma, ekspansi paru tidak maksimal
3. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekret
4. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan,
penekanan reseptor nyeri
5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah yang terus
menerus
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi dalam waktu
yang lama
7. Resiko infeksi berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan tulang,
jaringan kulit, otot, dan laserasi pembuluh darah
8. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran
k. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Hasil Intervensi Rasional
m. Discharge Planning
1. Jelaskan tentang kondisi klien yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
2. Ajarkan keluarga untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya
kesadaran, perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan
perubahan bicara.
3. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi
dari pemberian obat.
4. Ajarkan keluarga untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip
lidah, mempertahankan jalan nafas selama kejang.
5. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas
sehari-hari di rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum.
Aktivitas bermain, dan latihan ROM bila klien mengalami gangguan
mobilitas fisik.
6. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
7. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
8. Ajarkan pada keluarga bagaimana mengurangi peningkatan tekanan
intrakranial.
9. Jelaskan kepada keluarga, bahwa perubahan yang terjadi pada pasien bukan
merupakan bentuk kelainan jiwa, tetapi adalah komplikasi dari benturan
yang dialami pasien.
10. Anjurkan pada keluarga agar tidak merubah posisi/letak barang-barang
yang ada di rumah khususnya kamar pasien.
11. Anjurkan pada keluarga untuk membantu pasien dalam perawatan diri dan
pemenuhan kebutuhan dasar.
DAFTAR PUSTAKA