Anda di halaman 1dari 31

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CIDERA OTAK


RINGAN DI RUANG GARDENA RSD dr. SOEBANDI JEMBER

oleh
Yeni Dwi Aryati, S. Kep
NIM 132311101045

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JUNI, 2018
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER
FORMAT LAPORAN PENDAHULUAN

A. Anatomi dan Fisiologi


Tengkorak menurut Pearce (2008) merupakan struktur tulang yang
menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka.
Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam.
Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid
merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk
rongga/fossa; fossa anterior di dalamnya terdapat lobus frontalis, fossa tengah
berisi lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fossa posterior berisi otak
tengah dan sereblum. Lapisan yang menyusun tulang kranium antara lain:
a. Meningen
Pearce (2008) mengatakan bahwa otak dan sumsum tulang belakang
diselimuti meningen yang melindungi struktur saraf yang halus, membawa
pembuluh darah dan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang
memperkecil benturan atau goncangan. Selaput meningen menutupi terdiri dari
3 lapisan yaitu:
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras,
terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari
kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka
terdapat suatu ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater
dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,
pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran
perdarahan ini adalah:
- sakit kepala yang menetap
- rasa mengantuk yang hilang-timbul
- linglung
- perubahan ingatan
- kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam
dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media
yang terletak pada fosa media fosa temporalis.
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan duramater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid
umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membran vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membran ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
b. Otak
Otak adalah organ vital yang terdiri dari 100-200 milyar sel aktif yang
saling berhubungan dan bertanggung jawab atas fungsi mental dan intelektual.
Otak melaksanakan semua fungsi yang disadari dan bertanggung jawab terhadap
pengalaman-pengalaman berbagai macam sensasi atau rangsangan terhadap
kemampua manusia untuk melakukan gerakan-gerakan yang disadari dan
kemampuan untuk melaksanakan berbagai macam proses mental seperti ingatan
atau memori, perasaan emosional, intelegensia, berkomunikasi, sifat atau
kepribadian.
Secara anatomis otrak terdiri dari cerebrum (otak besar), cerebellum (otak
kecil), brainstem (batang otak) dan limbic system (sistem limbik). Otak
merupakan bagian utama dari sistem saraf dengan komponen bagian-bagiannya
adalah:
1. Cerebrum
Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar terdiri dari sepasang
hemisfer kanan dan kiri dan tersusun dari korteks (permukaan otak), ganglia
basalis, dan sistem limbic. Kedua hemisfer kiri dan kanan dihubungkan oleh
serabut padat yang disebut dengan corpus calosum. Otak besar memiliki fungsi
untuk mengatur semua aktivitas mental yang berkaitan dengan kepandaian
(intelegensia), ingatan (memori), kesadaran dan pertimbangan.

Gambar 1. Otak Bagian Cerebrum


Gambar 2. Bagian-bagian Cerebrum

Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus yaitu:


a. Lobus Frontalis
Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual, seperti kemampuan
berpiki abstrak dan nalar, bicara (area broca di hemisfer kiri), pusat penghidu,
dan emosi. Lobus frontalis mengandung pusat pengontrolan gerakan
volunteer di gyrus presentralis (area motoric primer) dan terdapat area
asosiasi motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca yang
mengatur ekspresi bicara, lobis ini juga mengatur gerakan sadar, perilaku
sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif.

Gambar 3. Lobus Frontalis

b. Lobus Temporalis
Lobus temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan kebawah
dari fisura lateralis dan sebelah posterior dari fisura parieto-oksipitalis
(White, 2008). Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, visual,
pendengaran dan berperan dalam pembentukan dan perkembangan emosi.
Gambar 4. Lobus Temporalis

c. Lobus Parietalis
Lobus parietalis merupakan pusat kesadaran sensorik di gyrus postsentralis
(area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran (White, 2008).

Gambar 5. Lobus Parietal

d. Lobus Okspitalis
Lobus ini berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi penglihatan
yaitu untuk menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan dari
nervus optikus dan mengasosiasikan rangsangan dengan informasi saraf lain
dan memori (White, 2008).
Gambar 6. Lobus Oksipitalis
e. Lobus Limbik
Lobus limbic berfungsi untuk mengatur emosi, memori emosi, dan bersama
hypothalamus menimbulkan perubahan melalui pengendalian atas susunan
endokrin dan susunan otonom.

2. Cerebelum
Cerebelum atau otak kecil berfungsi untuk koordinasi terhadap otot dan
tonus otot, keseimbangan dan posisi tubuh, serta untu berfungsi mengkoordinasi
gerakan yang halus dan luwes. Cerebelum berada pada bagian bawah dan
belakang tengkorak yang melekat pada otak tengah. Pada otak kecil terdapat tiga
pengelompokkan bagian-bagian otak kecil yaitu:
a. Berdasarkan lobus pada otak kecil dibagi menjadi tiga yaitu lobus anterior
(depan), lobus posterior (belakang) dan lobus frocculonadular.
Gambar 8. Lobus Otak Kecil

b. Berdasarkan zonanya cerebellum dibagi menjadi tiga bagian yaitu vermis


yang memisahkan otak kecil menjadi dua hemisfer kiri dan kanan, zona
intermediate, dan lateral hemisfer

Gambar 9. Zona Otak Kecil

c. Berdasarkan fungsinya, terdiri dari cerebrocerebellum yang merupakan


bagian terbesar dari otak keci dengan fungsi utama untuk mengatur
pergerakan mortik dan evaluasi terhadap informasi sensoris agar dapat
melakukan gerakan yang tepat; Spinocerebellum berfungsi untuk mengatur
pergerakan tubuh melalui sistem propriosepsi yaitu sensasi yang didapatkan
tubuh melalu stimulasi dan aktivitas otot; Vestibulocerebelum berfungsi
untuk mengatur keseimbangan tubuh daris sistem vestibular dari
semicircular kanal di telinga dan gerakan bola mata yang menerima
informasi dari kortek visual.

3. Brainstem
Brainstem adalah batang otak yang berfungsi untuk mengatur seluruh proses
kehidupan. Batang otak terdiri dari diensefalon (otak depan) yang terdiri atas dua
bagian yaitu thalamus yang berfungsi menerima semua rangsang dari reseptor
kecuali bau dan hypothalamus yang berfungsi dalam pengaturan suhu, pengaturan
nutrient, penjagaan agar tetap bangun dan penumbuhan sikap agresif;
mesencephalon (otak tengah) terletak dibagian depan otak kecil dan jembatan
varol berfungsi untuk reflex mata, tonus otot serta fungsi posisi atau kedudukan
tubuh; pons varoli (jembatan varol) yang merupakan serabut saraf pengubung otak
kecil bagian kirir dan kanan, selain itu menghubungkan otak besar dan sumsum
tulang belakang; medulla oblongata yaitu bagian dari batang otak yang paling
bawah dan menghubungkan antara pons varoli dengan medulla spinalis.

Gambar 10. Brainsteam

c. Syaraf-syaraf Otak
Smeltzer (2001) mengatakan bahwa nervus kranialis dapat terganggu bila
trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan
otak. Kerusakan nervus yaitu:
a) Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan
aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
b) Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.
c) Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)
menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris
dan otot iris.
d) Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang
pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.
e) Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah cabang
yang merupakan saraf otak besar, sarafnya yaitu:
1) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan
kelopak mata atas, selaput sopha kelopak mata dan bola mata.
2) Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas,
palatum, batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.
3) Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris)
mensarafi otot-otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi
bawah, kulit daerah temporal dan dagu.
f) Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf
penggoyang sisi mata.
g) Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi
otot-otot lidah dan selaput sopha ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat
serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala
fungsinya sebagai soph wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.
h) Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari
pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.
i) Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah,
saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
j) Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik,
sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, sophagus, gaster
intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya
sebagai saraf perasa.
k) Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI)
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium,
fungsinya sebagai saraf tambahan.
l) Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini
terdapat di dalam sumsum penyambung.

a. Definisi
Trauma atau cidera kepala dapat dikenal juga sebagai cidera otak adalah
gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul ataupun
trauma tajam (Batticaca, 2008). Cedera kepala adalah cedera yang dapat
mengakibatkan kerusakan otak akibat perdarahan dan pembengkakan otak
sebagai respon terhadap cedera dan penyebab peningkatan tekanan intra kranial
(TIK) (Smeltzer & Bare, 2002). Cidera otak ringan merupakan suatu kondisi
dimana terjadi kehilangan fungsi neurologis sementara dan tanpa adanya
kerusakan struktur (Batticaca, 2008).
b. Klasifikasi
Reimer (dalam Barbara (1999)), mengklasifikasikan cidera kepala akut sebagai
berikut:
a) Keadaan kulit kepala dan tulang tengkorak:
1) Trauma kepala tertutup
Keadaan truma kepala tertutup dapat mengakibatkan kondisi komosio,
kontusio, epidura hematoma, subdural hematoma, intrakranial
hematoma.
2) Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk dalam
jaringan otak dna melukai atau merobek dura mater dan menyebabkan
Cairan Serebro Spinal (CSS) merembes, serta terjadi kerusakan syaraf
otak dan jaringan otak.
b) Trauma pada jaringan otak:
1) Konkusio (ditandai dengan adanya kehilangan kesadaran sementara tanpa
adanya kerusakan jaringan otak, dan terjadi edema serebral).
2) Kontusio (ditandai leh adanya perlukaan pada permukaan jaringan otak
yang menyebabkan perdarahan pada area yang terluka, perlukaan pada
permukaan jaringan otak ini dapat terjadi pada sisi yang terkena (coup)
atau pada sisi yang berlawanan (contra coup)
3) Laserasi (ditandai oleh adanya perdarahan ke ruang sub arakhnoid, ruang
epidural atau sub dural).

Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut (Mansjoer, 2000) dapat


diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan dikelompokkan
menjadi tiga yaitu :
1. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15
a) Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi
b) Tidak ada kehilangan kesadaran
c) Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
d) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e) Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala
2. Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13
a) Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi
respon yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan
b) Amnesia paska trauma
c) Muntah
d) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
e) Kejang
3. Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8
a) Penurunan kesadaran sacara progresif
b) Tanda neorologis fokal
c) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium
d) Kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam
e) Disertai kontusio cerebral, laserasi, hematoma intrakrania

Berdasarkan morfologinya cidera kepala dibagi menjadi:


a) Fraktura tengkorak
1) Kalvaria
(i) Linear atau stelata
(ii) Depressed atau nondepressed
(iii) Terbuka atau tertutup
2) Dasar tengkorak
(i) Dengan atau tanpa kebocoran CNS
(ii) Dengan atau tanpa paresis N VII
b) Lesi intrakranial
1) Fokal
(i) Epidural
(ii) Subdural
(iii) Intraserebral

2) Difusa
(i) Komosio ringan
(ii) Komosio klasik
(iii) Cedera aksonal difusa

c. Etiologi
Cedera otak dapat disebabkan oleh trauma pada kepala akibat benda
tumpul dan benda tajam. Adapun mekanisme terjadinya cedera kepala
berdasarkan terjadinya benturan terbagi menjadi beberapa menurut Nurarif dan
Kusuma (2013), yaitu:
a. Cedera akselerasi
Jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak (seperti kepala
tertembak peluru)
b. Cedera deselerasi
Kepala yang membentur objek diam (seperti kepala yang membentur kaca
mobil saat kecelakaan lalu lintas)
c. Cedera akselerasi-deselerasi
Terjadi pada kecelakaan bermotor dengan kekerasan fisik antara tubuh dan
kendaraan yang berjalan
d. Cedera coup-counter coup
Jika kepala terbentur dan menyebabkan otak bergerak dalam ruang
intracranial dan menyebabkan cedera pada area yang berlawanan dengan
yang terbentur dan area yang pertama terbentur
e. Cedera rotasional
Benturan yang menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang
mengakibatkan meregang dan robeknya pembuluh darah dan neuron yang
memfiksasi otak dengan bagian dalam tengkorak.

Gambar 11. Penyebab Cedera Kepala

d. Tanda dan Gejala


Konkusio otak setelah cidera kepala adalah kehilangan fungsi neurologis
sementara tanpa adanya kerusakan struktural, umumnya terjadi periode
ketidaksadaran yang bersangsung beberapa detik sampai beberapa menit.
Getaran otak mungkin sangat ringan sehingga hanya manyebabakan pusing dan
mata berkunang-kunang. Jika mengenai lobus frontalis pasien mungkin
menunjukkan perilaku kacau (bizare) irasional. Jika terkena lobus temporalis,
pasien akan menunjukkan amnesia tempore atau disorientasi (Baughman &
Hackley, 2000).
Pada cidera kepala ringan terdapat tanda dan gejala yang mungkin muncul,
antara lain (Muttaqin, 2008) :
a) Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembal
b) Hilang kesadaran sementara, krang lebih 10-20 menit, beberapa literatur
menyebutkan sampai 30 menit
c) Nteri kepala
d) Pusing
e) Muntah
f) Disorientasi sementara
g) Tidak ada gejala sisa

e. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari trauma, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-
deselarasi gerakan kepala (Gennarelli, 1996). Dalam mekanisme cedera kepala
dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan
oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi
coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi
yang disebut contrecoup (Perdosi, 2007).
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup) (Hickey, 2003).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.
f. Penatalaksanaan
a. Perawatan sebelum ke Rumah Sakit
1) Stabilisasi terhadap kondisi yang mengancam jiwa dan lakukan terapi
suportif dengan mengontrol jalan nafas dan tekanan darah.
2) Berikan O2 dan monitor
3) Berikan cairan kristaloid untuk menjaga tekanan darah sistolik tidak kurang
dari 90 mmHg.
4) Pakai intubasi, berikan sedasi dan blok neuromuskuler
5) Stop makanan dan minuman
6) Imobilisasi
7) Kirim kerumah sakit.
b. Perawatan di bagian Emergensi
1) Pasang oksigen (O2), monitor dan berikan cairan kristaloid untuk
mempertahankan tekanan sistolik diatas 90 mmHg.
2) Pakai intubasi, dengan menggunakan premedikasi lidokain dan obat-obatan
sedative misalnya etomidate serta blok neuromuskuler. Intubasi digunakan
sebagai fasilitas untuk oksigenasi, proteksi jalan nafas dan hiperventilasi
bila diperlukan.
3) Elevasikan kepala sekitar 30O setelah spinal dinyatakan aman atau gunakan
posis trendelenburg untuk mengurangi tekanan intra kranial dan untuk
menambah drainase vena.
4) Berikan manitol 0,25-1 gr/ kg iv. Bila tekanan darah sistolik turun sampai 90
mmHg dengan gejala klinis yang berkelanjutan akibat adanya peningkatan
tekanan intra kranial.
5) Hiperventilasi untuk tekanan parsial CO2 (PCO2) sekitar 30 mmHg apabila
sudah ada herniasi atau adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
(ICP).
6) Berikan phenitoin untuk kejang-kejang pada awal post trauma, karena
phenitoin tidak akan bermanfaat lagi apabila diberikan pada kejang dengan
onset lama atau keadaan kejang yang berkembang dari kelainan kejang
sebelumnya.

c. Terapi obat-obatan:
1) Gunakan Etonamid sebagai sedasi untuk induksi cepat, untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik, dan menurunkan tekanan
intrakranial dan metabolisme otak. Pemakaian tiophental tidak dianjurkan,
karena dapat menurunkan tekanan darah sistolik. Manitol dapat digunakan
untuk mengurangi tekanan intrakranial dan memperbaiki sirkulasi darah.
Phenitoin digunakan sebagai obat propilaksis untuk kejang – kejang pada
awal post trauma. Pada beberapa pasien diperlukan terapi cairan yang cukup
adekuat yaitu pada keadaan tekanan vena sentral (CVP) > 6 cmH 2O, dapat
digunakan norephinephrin untuk mempertahankan tekanan darah sistoliknya
diatas 90 mmHg.
2) Diuretik Osmotik
Misalnya Manitol : Dosis 0,25-1 gr/ kg BB iv.
Kontraindikasi pada penderita yang hipersensitiv, anuria, kongesti paru,
dehidrasi, perdarahan intrakranial yang progreasiv dan gagal jantung yang
progresiv.
Fungsi : Untuk mengurangi edema pada otak, peningkatan tekanan
intrakranial, dan mengurangi viskositas darah, memperbaiki sirkulasi darah
otak dan kebutuhan oksigen.
3) Antiepilepsi
Misalnya Phenitoin : Dosis 17 mg/ kgBB iv, tetesan tidak boleh berlebihan
dari 50 (Dilantin) mg/menit.
Kontraindikasi; pada penderita hipersensitif, pada penyakit dengan blok
sinoatrial, sinus bradikardi, dan sindrom Adam-Stokes. Fungsi : untuk
mencegah terjadinya kejang pada awal post trauma.

d. Terapi yang perlu diperhatikan


a. Airway dan Breathing
Perhatikan adanya apneu. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen
100% sampai diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat
terhadap FiO2.Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi
asidosis dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil
yang telah berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmhg.
b. Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya
perburukan pada cedera otak sedang. Hipotensi merupakan petunjuk adanya
kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi
hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan
darah. Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang
sementara penyebab hipotensi dicari.
c. Disability (pemeriksaan neurologis)
Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dinilai sebagai
data akurat, karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan respon
terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali segera tekanan
darahnya normal. Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan
reflek cahaya pupil. GCS diukur untuk menilai respon pasien yang
menunjukkan tingkat kesadaran pasien. GCS didapat dengan berinteraksi
dengan pasien, secara verbal atau dengan rangsang nyeri pada pangkal kuku
atau anterior ketiak. Pada pasien dengan cedera otak sedang perlu dilakukan
pemeriksaan GCS setiap setengah jam sekali idealnya. Untuk mendapatkan
keseragaman dari penilaian tingkat kesadaran secara kwantitatif (yang
sebelumnya tingkat kesadaran diukur secara kwalitas seperti apatis,
somnolen dimana pengukuran seperti ini didapatkan hasil yang tidak
seragam antara satu pemeriksaan dengan pemeriksa yang lain) maka
dilakukan pemeriksaan dengan skala kesadaran secara glasgow, ada 3
macam indikator yang diperiksa yaitu reaksi membuka mata, reaksi verbal,

reaksi motorik.
Gambar 12. Glasgow Coma Scale
g. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Adapun pemeriksaan laboratorium darah yang berguna pada kasus cedera
kepala yaitu :
a) Hemoglobin sebagai salah satu fungsi adanya perdarahan yang berat
b) Leukositosis untuk salah satu indikator berat ringannya cedera
kepala yang terjadi.
c) Golongan Darah persiapan bila diperlukan transfusi darah pada
kasus perdarahan yang berat.
d) GDS memonitor agar jangan sampai terjadi hipoglikemia maupun
hiperglikemia.
e) Fungsi Ginjal memeriksa fungsi ginjal, pemberian manitol tidak
boleh dilakukan pada fungsi ginjal yang tidak baik.
f) Analisa Gas Darah PCO2 yang tinggi dan PO2 yang rendah akan
memberikan prognosis yang kurang baik, oleh karenanya perlu
dikontrol PO2 tetap > 90 mmHg, SaO2 > 95 % dan PCO2 30-50
mmHg. Atau mengetahui adanya masalah ventilasi perfusi atau
oksigenisasi yang dapat meningkatkan TIK.
g) Elektrolit adanya gangguan elektrolit menyebabkan penurunan
kesadaran.
h) Toksikologi mendeteksi obat yang mungkin menimbulkan
penurunan kesadaran.

2) Pemeriksaan Radiologi
a) CT Scan adanya nyeri kepala, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran,
mengidentifikasi adanya hemoragi, pergeseran jaringan otak.
b) Angiografi Serebral menunjukkan kelainan sirkulasi cerebral seperti
pergeseran cairan otak akibat oedema, perdarahan, trauma.
c) EEG (Electro Encephalografi) memperlihatkan keberadaan/perkembangan
gelombang patologis.
d) MRI (Magnetic Resonance Imaging) mengidentifikasi perfusi jaringan
otak, misalnya daerah infark, hemoragik.
e) Sinar X mendeteksi adanya perubahan struktur tulang tengkorak.
f) Test Orientasi dan Amnesia Galveston (TOAG) untuk menentukan apakah
pasien trauma kepala sudah pulih daya ingatnya.
Gambar 12. Contoh gambar CT Scan cedera otak

h. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada cedera kepala menurut Smeltzer &
Bare (2002) adalah:
a. Perluasan hematoma intracranial
b. Edema serebral dan herniasi, edema serebral adalah penyebab paling umum
dari peningkatan tekanan intracranial pada pasien yang mendapat cedera
kepala, puncak pembengkakan yang terjadi pada cedera kepala kurang lebih
72 jam pasaca cedera. Tekanan intrkranial meningkat akibat
ketidakmampuan tengkorak untuk membesar meskipun peningkatan volume
oleh pembengkakan otak akibat trauma.Tekanan intrakranial dinilai
berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg. Akibat dari peningkatan TIK
dan edema adalah penyebaran tekanan pada jaringan otak dan struktur
internal otak yang kaku. Bergantung pada area pembengkakan, perubahan
posisi ke bawah atau lateral otak (herniasi) melalui atau terhadap struktur
kakau akan mengakibatkan iskemia, infark, kerusakan otak ireversibel dan
kematian.
Sedangkan komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut
(Markam, 1999) pada cedera kepala meliputi :
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada
situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu,
setelahmasa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus
lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih
tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada
vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.
b. Kejang/Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
c. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya
berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system
saraf yang lain.
d. Hilangnya kemampuan kognitif.
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
mengalami masalah kesadaran.
e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson.
Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit
Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi
tergantung frekuensi dan keparahan cedera.

Clinical Pathway
Cedera akselerasi Cedera deselerasi Cedera coup-counter coup Cedera rotasional

Trauma kepala Nyeri akut

Terputusnya kontinuitas jaringan


merangsang nosireseptor
tulang, jaringan kulit, otot, dan Pelepasan mediator
Resiko Infeksi
laserasi pembuluh darah nyeri

Perdarahan atau Gangguan suplai darah


hematoma

Perubahan sirkulasi CSS Mual-muntah Kekurangan iskemia


volume cairan
Pandangan kabur

Penurunan fungsi
pendengaran

Nyeri kepala
Hipoksia
Peningkatan TIK

Risiko ketidakefektifan
Penurunan
perfusi jaringan
kesadaran
serebral

Jaringan otak
rusak
Imobilisasi Resiko
Penumpukan cedera
sekret Rangsangan simpatis
meningkat
Penekanan area
tubuh
Tahanan vaskuler sistemik
Ketidakfektifan
dan tekanan darah meningkat
bersihan jalan
nafas Kerusakan
integritas kulit
Menurunkan tekanan
pembuluh darah
pulmonal

Kebocoran cairan
Oedem paru Tekanan hidrostatik meningkat
kapiler

Difusi oksigen Ketidakefektifan


Kompensasi
terhambat pola nafas
peningkatan RR

i. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Identitas pasien, meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, alamat, No. RM, dan tanggal
MRS
2. Keluhan utama
Nyeri akut pada kepala dan mata berkunang-kunang.
3. Riwayat penyakit sekarang
COR biasanya terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, cedera
olah raga, dll.
4. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit
degeneratif pada kepala dan persyarafan.
5. Pemeriksaan fisik
a) Breathing (B1)
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia
breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana
karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada
jalan napas.
b) Blood (B2)
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia)
c) Brain (B3)
otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia
seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran,
baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai
batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat
terjadi :
1) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan
memori).
2) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
3) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada
mata.
4) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
5) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus
vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
6) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh
kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
d) Blader (B4)
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia
uri, ketidakmampuan menahan miksi.
e) Bowel (B5)
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera.
Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
f) Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi.
Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan
dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot
antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara
pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula
terjadi penurunan tonus otot.

j. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
penurunan aliran darah ke otak
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,
kompresi diafragma, ekspansi paru tidak maksimal
3. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekret
4. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan,
penekanan reseptor nyeri
5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah yang terus
menerus
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi dalam waktu
yang lama
7. Resiko infeksi berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan tulang,
jaringan kulit, otot, dan laserasi pembuluh darah
8. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran
k. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Hasil Intervensi Rasional

1. Risiko NOC : NIC: Circulatory Precaution :


ketidakefektifan 1. Perfusion: Cerebral Circulatory Precaution :
perfusi jaringan 1. Kaji sirkulasi perifer secara 1. Mengetahui status sirkulasi perifer
serebral Kriteria Hasil : komprehensif (nadi perifer, edema, dan adanya kondisi abnormal pada
berhubungan 1. menunjukkan perfusi CRT, warna, dan suhu ekstremitas) tubuh
dengan jaringan membaik TD 2. Kaji kondisi ekstremitas meliputi 2. Mengetahui adanya perubahan
penurunan aliran dalam batas normal, tidak kemerahan, nyeri, atau akibat gangguan sirkulasi perifer
darah ke otak ada keluhan sakit kepala. pembengkakan 3. Menghindari cidera untuk
2. Tanda-tanda vital stabil 3. Hindarkan cidera pada area dengan meminimalkan luka
3. Tidak menunjukkan adanya perfusi yang minimal 4. Posisi trendelenberg akan
gangguan perfusi meliputi 4. Hindarkan klien dari posisi meningkatkan TIK sehingga
disorientasi, kebingungan, trendelenberg yang meningkatkan memperparah kondisi klien
maupun nyeri kepala TIK 5. Mengurangi penekanan agar
5. Hindarkan adanya penekanan pada perfusi tidak terganggu
area cidera 6. Obat-obatan untuk meningkatkan
6. Pertahankan cairan dan obat-obatan sattus perfusi
sesuai program
2. Ketidakefektifan NOC: NIC: Respiratory monitoring
pola napas Respiratory status : Ventilation Respiratory monitoring
berhubungan 1. Monitor kecepatan, frekuensi, 1. Mengetahui kondisi pernapasan
dengan Kriteria Hasil : kedalaman dan kekuataan ketika pasien
kerusakan 1. Pasien bernapas tanpa pasien bernapas 2. Mengetahui keadaaan paru dan
neuromuskuler, kesulitan 2. Monitor hasil pemeriksaan jantung pasien
kompresi 2. Menunjukkan perbaikan rontgen dada 3. Mengetahui suara napas pasien
diafragma, pernapasan 3. Monitor suara napas pasien 4. Mengetahui kondisi pasien untuk
ekspansi paru 3. Paru-paru bersih pada 4. Kaji dan pantau adanya menentukan intervensi
tidak maksimal pemeriksaan auskultasi perubahan dalam pernapasan selanjutnya sesuai indikasi
4. Kadar PO2 dan PCO2 5. Monitor sekret yang dikeluarkan 5. Untuk memantau kondisi pasien
dalam batas normal oleh pasien (suara napas pasien) untuk
6. Health education tentang menentukan intervensi sesuai
keadaan dan kondisi pasien indikasi
kepada keluarga 6. Mengurangi kecemasan keluarga
7. Kolaborasi pemberian terapi 7. Membantu penyembuhan klien
medikamentosa
3. Ketidakefektifan NOC : NIC : Airway Management :
bersihan jalan 1. Respiratory Airway Management :
nafas status 1. Kaji fungsi pernapasan (bunyi 1. Penurunan bunyi napas
napas, kecepatan, irama, kedalaman menunjukkan menunjukkan
berhubungan
dan penggunaan otot asesori) akumulasi sekret dan
dengan akumulasi Kriteria Hasil : 2. Kaji kemampuan mengeluarkan ketidakefektifan pengeluaran
sekret 1. Frekuensi pernafasan dalam sekresi, catat karakter, volume sekresi
rentang normal sputum dan adanya hemoptisis 2. Pengeluaran sulit bila sekret sangat
2. Menunjukkan kemampuan 3. Berikan posisi semi/fowler tinggi kental
untuk mengeluarkan sekret dan bantu pasien latihan napas 3. Posisi fowler memaksimalkan
3. Tidak terdengar suara nafas dalam dan batuk yang efektif. ekspansi paru dan menurunkan
tambahan ronkhi 4. Pertahankan asupan cairan upaya bernapas
sedikitnya 2500 ml/hari kecuali 4. Hidrasi yang adekuat membantu
tidak diindikasikan mengencerkan sekret
5. Bersihkan sekret dari mulut dan 5. Mencegah obstruksi dan aspirasi.
trakea, bila perlu lakukan Penghisapan diperlukan bila pasien
penghisapan (suction) tidak mampu mengeluarkan secret
6. Kolaborasi pemberian obat sesuai 6. Obat untuk membersihkan jalan
indikasi seperti agen mukolitik, nafas sesuai indikasi klien
bronkodilator dan kortikosteroid.
4. Nyeri akut NOC : NIC: Pain management :
berhubungan 1. Pain control Pain management :
dengan 2. Pain level 1. Kaji karakteristik nyeri secara 1. Karakteristik nyeri dikaji agar
terputusnya
kontinuitas komprehensif intervensi yang diberikan sesuai
jaringan, Kriteria Hasil : 2. Gunakan komunikasi terapeutik dengan tipe nyeri
penekanan 1. Mampu mengontrol nyeri untuk menggali pengalaman klien 2. Komunikasi terapeutik digunakan
reseptor nyeri yang dialami tentang nyeri yang dirasakan agar klien merasa lebih nyaman
2. Melaporkan bahwa nyeri 3. Observasi respon non verbal klien dan rasa saling percaya dapat
yang dialami berkurang 4. Evaluasi ketidakefektifan dibina, sehingga klien bersedia
pengobatan yang pernah dilakukan mengungkapkan pengalamannya
terhadap nyeri 3. Respon non verbal yang
5. Gunakan pendekatan multidisipliner ditunjukkan klien menggambarkan
untuk manajemen nyeri: penggunaan apa yang dirasakan klien
analgesik 4. Evaluasi dilakukan sebagai bahan
6. Ajarkan tentang teknik pengontrolan evaluasi agar tidak memberikan
nyeri non farmakologis terapi yang sama
5. Analgesik diberikan untuk
mengurangi nyeri yang dialami
klien
6. Teknik kontrol nyeri non
farmakologis dapat membantu
menurunkan rasa nyeri yang
dialami klien
5. Kekurangan NOC : NIC
volume cairan 1. Fluid balance Fluid Management : Fluid Management:
berhubungan 2. Hydration
dengan mual 3. Nutritional status : food and 1. Monitor TTV 1. Untuk mengetahui TTV dalam
fluid intake 2. Pertahankan catatan intake dan rentang normal
muntah yang
output yang akurat 2. Memantau balance cairan
terus menerus
Kriteria hasil : 3. Monitor masukan makanan/cairan 3. Untuk memantau adanya
1. Mempertahankan urine dan hitung intake kalori harian masukan berlebih
output sesuai dengan usia 4. Kolaborasikan pemberian cairan IV 4. Meningkatkan intake cairan
dan BB
2. TTV dalam rentang normal Hypovolemia Management :
3. Tidak ada tanda-tanda Hypovolemia Management :
dehidrasi, turgor kulit baik, 1. Untuk memantau kehilangan BB
mukosa lembab 1. Monitor BB 2. Memantau adanya abnormalitas
2. Monitor tingkat HB dan hematokrit pada pemeriksaan lab
3. Monitor adanya tanda gejala gagal 3. Memantau adanya komplikasi
ginjal 4. Untuk mengetahu TTV dalam
4. Monitor TTV rentang normal
5. Dorong pasien untuk intake oral 5. Untuk asupan yang adekuat
6. Resiko infeksi NOC : Kontrol Infeksi Kontrol Infeksi
berhubungan 1. Status imun
dengan 2. Kontrol resiko 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai 1. Untuk mencegah infeksi yang
terputusnya pasien lain ditularkan oleh pasien lain
kontinuitas Kriteria Hasil : 2. Gunakan sabun antimikrobia untuk 2. Memotong rantai infeksi
jaringan tulang, 1. Klien bebas dari tanda dan cuci tangan 3. Memotong rantai infeksi
jaringan kulit, gejala infeksi 3. Cuci tangan setiap sebelum dan 4. Tenaga kesehatan dapat mencegah
otot, dan laserasi 2. Menunjukkan kemampuan sesudah tindakan keperawatan infeksi nosokomial
pembuluh darah untuk mencegah timbulnya 4. Gunakan baju, sarung tangan sebagai 5. Resiko infeksi tidak terjadi
infeksi alat pelindung 6. Diet makanan tinggi protein untuk
3. Jumlah leukosit dalam batas 5. Pertahankan lingkungan aseptik mempercepat penyembuhan luka
normal selama pemasangan alat 7. Untuk mencegah atau mengobati
4. Menunjukkan perilaku 6. Tingkatkan intake nutrisi infeksi
hidup sehat 7. Berikan terapi antibiotik bila perlu
l. Evaluasi
Evaluasi adalah tahapan akhir dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
menilai keefektifan perawatan dan untuk mengkomunikasikan status pasien
dari hasil tindakan keperawatan. Evaluasi memberikan informasi sehingga
memungkinkan revisi perawatan. Disamping evaluasi merupakan proses yang
kontinue untuk menjamin kualitas dan ketepatan perawat yang diberikan,
dilakukan dengan meninjau respon pasien untuk menentukan kefektifan
rencana keperawatan dalam memenuhi kebutuhan pasien. Yang perlu
dievaluasi adalah sebagai berikut :
a. Apakah tujuan pelayanan keperawatan sudah tercapai atau belum.
b. Apakah masalah yang ada sudah terpecahkan atau belum.
c. Apakah perlu pengkajian kembali.
Hasil yang diharapakan :
1. Mencapai atau memperthankan tingkat kesadaran agar membaik serta fungsi
sensorik dan motoriknya.
2. Mencapai atau mempertahankan latihan jalan nafas yang efektif, ventilasi
dan oksigenasi otak agar tercapainya nilai gas darah normal dan bunyi nafas
normal saat diauskultasi.
3. Agar tercapainya keseimbangan cairan dan elektrolit yang memuaskan
a. Memperlihatkan elektrolit serum dalam nilai normal.
b. Menunjukkan tanda klinis dehidrasi dan kelebihan hidrasi.
4. Mencapai status nutrisi yang adekuat
a. Terdapat kurang dari 50 cc isi lambung saat diaspirasi sebelum
pemberian makan melalui cairan lambung
b. Bebas dari distensi lambung dan muntah.
c. Memperlihatkan penurunan berat badan minimal
5. Pasien dan anggota keluarga berpartisipasi dalam proses rehabilitasi

m. Discharge Planning
1. Jelaskan tentang kondisi klien yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
2. Ajarkan keluarga untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya
kesadaran, perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan
perubahan bicara.
3. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi
dari pemberian obat.
4. Ajarkan keluarga untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip
lidah, mempertahankan jalan nafas selama kejang.
5. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas
sehari-hari di rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum.
Aktivitas bermain, dan latihan ROM bila klien mengalami gangguan
mobilitas fisik.
6. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
7. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
8. Ajarkan pada keluarga bagaimana mengurangi peningkatan tekanan
intrakranial.
9. Jelaskan kepada keluarga, bahwa perubahan yang terjadi pada pasien bukan
merupakan bentuk kelainan jiwa, tetapi adalah komplikasi dari benturan
yang dialami pasien.
10. Anjurkan pada keluarga agar tidak merubah posisi/letak barang-barang
yang ada di rumah khususnya kamar pasien.
11. Anjurkan pada keluarga untuk membantu pasien dalam perawatan diri dan
pemenuhan kebutuhan dasar.
DAFTAR PUSTAKA

Barbara, Engram. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Alih


bahasa suharyati samba. Jakarta: EGC.
Baticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klian Dengan
Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Brunner & Suddarth, 2002. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:EGC.
Bulechek, G., et al. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC). Elsevier
Singapore Pre Ltd.
Gennarelli TA, Meaney DF. 1996. Mechanism of Primary Head Injury. Dalam:
Neurosurgery 2nd edition. New York : McGraw Hill.
Herdman, Heather dan Kamitsuru, Shigemi. 2015. Diagnosis Keperawatan
Definisi dan Klasifikasi 2015-2017. Edisi 10. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Aesculapius.
Moorhead, S., et al. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC). Elsevier
Singapore Pre Ltd.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salmeba Medika.
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddarth. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai