JOURNAL READING
Disusun oleh:
Pembimbing:
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2018
1
ABSTRAK
Epidermal growth factor (EGF) digunakan secara luas dalam perawatan diabetic
menerima terapi radio kepala dan leher. Namun laporan penggunaannya dalam
perawatan oral ulcers pada penderita diabetes jarang terjadi. Jurnal ini menjelaskan
kasus non healing oral ulcers pada penderita diabetes yang kami lakukan perawatan
menderita diabetes dengan non healing oral ulcers. Berdasarkan laporan kasus,
ulser tersebut didiagnosis sebagai ulser aphthous mayor. Hipoglikemik oral dan
dalam 5 hari dan topical EGF, serta antiseptik diberikan untuk meningkatkan
penyembuhan pada hari ke 21. Topical epidermal growth factor dapat digunakan
secara efektif dalam perawatan non healing oral ulcers pada penderita diabetes.
Kata kunci: Epidermal growth factor (EGF), diabetic foot, terapi radio.
ii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................... 3
2.1 Status awal ................................................................................................ 3
2.1.1 Status umum pasien .......................................................................... 3
2.1.2 Anamnesis ......................................................................................... 3
2.1.3 Riwayat penyakit sistemik ................................................................ 4
2.1.4 Pemeriksaan ekstraoral...................................................................... 4
2.1.5 Pemeriksaan intraoral ........................................................................ 4
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang .................................................................... 4
2.1.7 Diagnosis ........................................................................................... 5
2.1.8 Perawatan .......................................................................................... 5
2.1.9 Prognosa ............................................................................................ 7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 8
3.1 Recurrent Aphtous Stomatitis (RAS) ....................................................... 8
3.1.1 Terminologi dan Epidemiologi ......................................................... 8
3.1.2 Faktor Predisposisi ............................................................................ 8
3.1.3 Patofisiologi .................................................................................... 14
3.1.4 Gambaran Klinis ............................................................................. 15
3.1.5 Diagnosa.......................................................................................... 18
3.1.6 Diagnosa Banding ........................................................................... 19
3.1.7 Terapi .............................................................................................. 22
3.2 Diabetes Mellitus (DM) .......................................................................... 24
3.2.1 Terminologi dan Epidemiologi ....................................................... 24
3.2.2 Klasifikasi ....................................................................................... 25
iii
3.2.3 Patofisiologi .................................................................................... 27
3.2.4 Gambaran Klinis ............................................................................. 31
3.2.5 Komplikasi ...................................................................................... 31
3.2.6 Manajemen ...................................................................................... 34
3.2.7 Manifestasi Oral .............................................................................. 38
3.2.8 Dental Manajemen .......................................................................... 39
3.3 Epidermal Growh Factor (EGF) ............................................................ 42
3.3.1 Terminologi ..................................................................................... 42
3.3.2 Mekanisme kerja ............................................................................. 44
3.3.3 Peran Growth Factor dalam penyembuhan luka ............................ 45
3.3.4 Efek Samping Epidermal Growth Factor ....................................... 46
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 48
BAB V SIMPULAN ............................................................................................. 53
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 54
iv
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3. 5 Lesi herpetik gingivostomatitis primer yang disebabkan oleh HSV tipe
Gambar 3. 6 Lesi herpes simplex labialis (Usatine dan Tinitigan, 2010) ............. 22
vi
BAB I
PENDAHULUAN
lemak dan protein. Ini adalah salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia
(Al-Maskari, 20011). Tidak seperti organ lainnya, rongga mulut sangat dipengaruhi
oleh diabetes. Perubahan yang signifikan diamati pada mikroflora oral, kelenjar
2011).
oleh diabetes. Ulser aphthous yang umum terjadi pada usia dekade kedua atau
ketiga yang merespon dengan mudah terhadap topical antiseptics dan sembuh
dalam waktu satu minggu, namun pada proses penyembuhan penderita diabetes bisa
Sejumlah faktor bertanggung jawab untuk non healing oral ulcers atau
delayed healing oral ulcers pada penderita diabetes, salah satunya mengurangi
sekresi epidermal growth factor pada saliva dan mengurangi laju alir saliva (Clark,
2013).
penggunaannya dalam perawatan oral mucositis pada pasien yang menerima terapi
1
radio kepala dan leher. Namun laporan penggunaannya dalam perawatan non
healing oral ulcers pada penderita diabetes jarang terjadi. Jurnal ini menjelaskan
kasus non healing oral ulcers pada penderita diabetes yang dilakukan perawatan
2
BAB II
LAPORAN KASUS
Nama : NN
Umur : 45 tahun
Pekerjaan : Karyawan
2.1.2 Anamnesis
Pasien datang ke bagian instalasi rawat jalan (IRJ) bedah mulut dan
maksilofasial dengan keluhan utama non healing ulcer pada palatum sejak 6 bulan
yang lalu. Pasien mengalami gejala asimtomatik sejak 6 bulan yang lalu ketika ulser
diberikan resep antiseptik lokal dan anti inflamasi oral. Setelah meminum obat, rasa
sakit berkurang tetapi ulser belum sembuh. Pasien berkonsultasi lebih lanjut ke ahli
otolaringologi yang memberikan rujukan untuk menguji kadar gula dalam darah,
3
serta memberikan resep kortikosteroid lokal dan oral rebamipide untuk diminum
selama satu minggu. Keluhan pasien yang tidak kunjung sembuh, kemudian pasien
Pasien memiliki riwayat diabetes sejak 5 tahun dan meminum obat hipoglikemik
Pada pemeriksaan ekstra oral, kelenjar getah bening tidak ada kelainan.
Pada pemeriksaan intra oral, terdapat ulser di bagian palatum sebelah kiri
dengan diameter 8mm. Tidak ada kelainan yang lain pada rongga mulut. Tepi ulser
dikelilingi eritem dan bagian tengah ulser dipenuhi jaringan granulasi. Ulser sangat
4
Kadar HbA1c : 7,6
2.1.7 Diagnosis
2.1.8 Perawatan
Non Farmakologis:
5
Farmakologis
3) Diabetologist:
Repaglinide 1mg ditambah Metformin 500 mg satu hari sekali dan 20 unit
Aplikasi Epidermal growth factor dihentikan dari hari ke-14 dan dosis
6
Gambar 2. 3 Penyembuhan lengkap pada hari ke-21 (Tripathi, 2015)
2.1.9 Prognosa
Ad Bonam
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
ditandai dengan ulser yang berulang, sakit, kecil, ulser bulat atau oval, dikelilingi
oleh pinggiran yang eritematus dengan dasar kuning keabu-abuan (Greenberg dan
Glick, 2008). Ulser ini biasanya terjadi pada mukosa rongga mulut tidak berkeratin,
seperti bibir, pipi, vestibulum, dasar mulut, serta palatum lunak dan terkadang pada
gusi meskipun jarang terjadi (Guallar, et al., 2014). RAS dikarakteristikkan dengan
lesi ulser yang berbentuk bulat atau oval, berdiameter kurang dari 1 sentimeter,
dengan tepi eritem dan jaringan nekrotik di tengahnya. Ulser ini sering diikuti rasa
sakit yang memberikan dampak negatif terhadap kualitas hidup pasien (Hulling et
al, 2012).
bertambahnya usia. Sekitar 80% pasien dengan kasus RAS, onset penyakit terjadi
Etiologi RAS belum diketahui secara pasti, akan tetapi terdapat beberapa
8
adalah genetik, alergi makanan, trauma lokal, gangguan hormonal (berkaitan
3.1.2.1 Genetik
Prevalensi terjadinya RAS akan lebih tinggi pada pasien dengan riwayat
keluarga, khususnya kedua orang tua, positif memiliki riwayat RAS. Hal ini
ditunjukan oleh sepertiga pasien yang mengalami RAS memiliki riwayat keluarga
HLA spesifik, terutama pada beberapa etnis (HLA-A2, A11, B12, dan DR2)
(Scully, 2008).
strawberi, keju, tomat, dan gandum (mengandung gluten) pada beberapa orang
yang sensitif, mukosa akan meradang dan edematous, disertai rasa panas, kadang-
kadang timbul gatal-gatal, sehingga dapat terbentuk vesikel kecil. Vesikel ini
bersifat sementara dan akan pecah membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang
9
3.1.2.3 Trauma Lokal
Trauma merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan ulser pada
pasien RAS (Scully, 2008). Umumnya ulser terjadi karena tergigit saat berbicara,
makanan atau minuman yang terlalu panas, dan trauma akibat penyikatan gigi
Salah satu faktor predisposisi RAS adalah faktor hormonal. Faktor ini lebih
sering terjadi pada wanita berkaitan dengan kadar progesteron yang rendah saat fase
luteal pada siklus menstruasi atau saat pemakaian pil kontrasepsi. RAS juga dapat
Individu yang memiliki kadar progesteron lebih rendah dari kadar normal
memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena RAS. Efek progesteron terhadap jaringan
RAS dengan kadar progesteron yang rendah, maka polimorfonuklear leukosit dan
terkena infeksi. Hal-hal tersebut diduga dapat menyebabkan lesi RAS yang muncul
10
3.1.2.5 Stres dan Kecemasan
pasien dengan stres tingkat tinggi sering kali ditemukan RAS (Nasution, 2011).
makrofag, sehingga ketika sebelum terjadinya RAS infeksi menjadi lebih mudah
terjadi, dan apabila telah terjadi luka atau ulser RAS penyembuhannya akan
Kortisol inilah yang akan menyebabkan sistem imun menjadi berkurang (Scully,
2013).
RAS. Isolat bakteri inisial pada RAS adalah Streptococcus sanguinis, akan tetapi
analisis terbaru mengungkapkan bahwa bakteri yang berperan dalam RAS adalah
strain Streptococcus mitis. Analisis lain juga mengatakan bahwa adenovirus juga
dapat menyebabkan terjadinya RAS akan tetapi perlu konfirmasi lebih lanjut untuk
11
3.1.2.7 Gangguan Immunologi
limfosit, dan perubahan ratio limfosit CD4 hingga CD8. Penelitian terakhir telah
terfokus pada disfungsi interaksi antara sitokin dengan mukosa yang dihubungkan
dengan RAS. Suatu kondisi yang abnormal dari limfosit akan mengakibatkan lisis
atau rusaknya lapisan keratin oleh sitokin sehingga dapat menimbulkan ulserasi
Faktor nutrisi yang berpengaruh pada RAS adalah zat besi, vit. B12, dan asam
folat. Pada penelitian, pasien RAS yang diterapi dengan sediaan zat besi, vitamin
B12, dan asam folat menunjukkan adanya perbaikan. Faktor nutrisi lain yang
penting adalah vitamin B1, B2, dan B6. Terapi dengan pemberian vitamin tersebut
selama 3 bulan memberikan hasil yang cukup baik, yaitu ulserasi sembuh dan
like ulcers atau ALU) yang dapat terlihat pada pasien yang memiliki penyakit
12
keseluruhan harus dilakukan terhadap beberapa penyakit yang terjadi pada
1. Defisiensi imun seperti HIV, neutropenial siklik, dan defek imun lainnya.
2. Behcet Syndrome, dimana ulser terdapat pada rongga mulut juga organ
genital.
rongga mulut yang rekuren mengidap celiac (alergi terhadap gluten yang
sehat.
usus kecil yang menyebabkan protein tidak dapat diserap oleh tubuh.
faringitis dan servikal adenitis (PFAPA) yang sering terjadi pada anak-
anak.
6. Sweet Syndrome, yaitu kondisi dimana terdapat ulser pada rongga mulut
13
3.1.2.10 Obat-obatan
Beberapa jenis obat seperti obat anti inflamasi non steroid (NSAID) seperti
asam propionat, asam fenilasetik, dan diklofenak dapat memicu terjadinya ulser di
rongga mulut. Beberapa ulser biasanya terjadi sebagai efek samping dan dapat
RAS juga dapat meningkat pada penggunaan sodium lauryl sulfate yang terkandung
3.1.3 Patofisiologi
dan disertai gejala malaise seperti demam. Tetapi tahap ini jarang terjadi
nyeri lokal pada mukosa mulut. Terlihat lesi cekung dengan margin yang
tajam dan jelas dikelilingi daerah yang eritema dan oedem. Lesi berbentuk
bulat atau oval regular. Hal ini berlawanan dengan lesi traumatik yang
berbentuk irregular.
dan pseodomembran.
14
5. Tahap remisi : tahap ini waktunya panjang / pendek, regular / irregular
Perjalanan stomatitis aphtous dimulai dari masa prodromal selama 1-2 hari,
berupa panas atau nyeri setempat. Kemudian mukosa berubah menjadi makula
berwarna merah, yang dalam waktu singkat bagian tengahnya berubah menjadi
Ulkus akan ditutupi oleh eksudat fibrin kekuningan yang dapat bertahan selama
10-14 hari. Bila dasar ulkus berubah warna menjadi merah muda tanpa eksudat
Karakteristik ulser pada RAS adalah berbatas jelas, simetris, terasa sakit,
minor aphtae ulcer, major aphtae ulcer, dan ulser herpetiform (Scully, et al., 2003).
Ulser aftosa minor (Minor aphtae ulcer) dikenal juga sebagai Miculiz
aphthous atau ulser aftosa ringan. Ulser ini merupakan jenis RAS yang paling
sering terjadi, yaitu 75-85% dari seluruh kasus (Scully, 2013). Minor aphtae ulcer
dapat terjadi pada seluruh mukosa yang tidak berkeratin (mukosa bibir, mukosa
15
bukal, dasar lidah, vestibulum, dan permukaan ventral atau lateral lidah). Ukuran
lesi ini kurang dari 1 cm (biasanya 2-4 mm), berbentuk bulat atau ovoid, dan
banyaknya ulser berjumlah 1-6 buah pada saat kambuh. Pada awalnya dasar ulser
ditutupi oleh selaput berwarna kekuningan yang dikelilingi halo eritematus dan
odema, akan tetapi selaput tersebut akan berubah warna menjadi keabu-abuan
ketika proses epitelisasi terjadi, dapat sembuh 7-10 hari dengan sedikit
meninggalkan jaringan parut atau tidak sama sekali. Interval untuk terjadinya
Ulser aftosa mayor (Major aphtae ulcer) dikenal juga sebagai Sutton
aphthous atau periadenitis mucosa necrotica recurrens. Ulser jenis ini mempunyai
durasi lebih lama dan lebih menyakitkan dibandingkan ulser minor. Major aphtae
ulcer biasanya muncul setelah masa pubertas dan insidensinya sekitar 10-15%
kasus. Karakteristiknya berbentuk bulat atau ovoid dengan batas yang jelas, lebih
dalam dan lebih besar daripada minor aphtae. RAS tipe ini dapat berkembang
16
menjadi ulser dengan batas yang ireguler dan membesar hingga 1 cm, terasa nyeri,
dan dapat terjadi pada bibir, palatum lunak, dan tenggorokan. Ulser dapat bertahan
dalam hitungan minggu atau bulan dan meninggalkan jaringan parut setelah proses
Ulser herpetiform hanya terjadi 5-10% dari total kasus RAS dan jarang
terjadi. Karakteristiknya adalah ulser yang multipel (5-100 buah), berukuran 1-3
mm, bulat, dan terasa nyeri. Ulser jenis ini dapat terjadi di seluruh mukosa rongga
mulut, baik yang berkeratin ataupun tidak. Ulser diawali dengan vesikel yang
berkembang cepat menjadi beberapa ulser kecil seukuran jarum (1-3 mm),
menjadi ulser besar yang bulat tidak beraturan. Ulser ini dapat sembuh dalam 10
hari atau lebih, tanpa meninggalkan jaringan parut, sering menimbulkan rasa sakit,
dan berulang. RAS jenis ini lebih sering terjadi pada wanita (Scully, et al.,2013).
17
Gambar 3. 3 Ulser herpetiform (Scully, et al.,2013)
3.1.5 Diagnosa
Diagnosa RAS ditegakan berdasarkan anamnesis dan temuan klinis. Pada saat
anamnesis operator harus menggali informasi tentang ada atau tidaknya kalainan
darah, kelainan sistemik, dan ada atau tidak adanya lesi pada daerah lain, seperti
kulit, mata, genital, atau rektal. Pemeriksaan laboratorium diperlukan saat ulser
bertambah parah atau terjadi setelah umur 25 tahun. Biopsi hanya diindikasikan
Dokter gigi harus mencari tahu faktor yang dapat berkaitan dengan timbulnya
RAS jenis minor aphtae yang parah atau major aphtae, seperti penyakit jaringan
ikat, kadar serum zat besi, folat, vitamin B12, dan ferritin yang abnormal. Pasien
dengan kelaianan seperti di atas harus dirujuk ke spesialis penyakit dalam untuk
diberikan penanganan lebih lanjut. Operator juga harus selalu waspada terhadap
beberapa bentuk penyakit yang berkaitan dengan timbulnya RAS seperti alergi
18
3.1.6 Diagnosa Banding
Ulser traumatik dapat disebabkan oleh trauma fisik, termal, ataupun kimia.
Ulser yang dihasilkan dari luka traumatik merupakan tipe ulser yang paling sering
tertusuk makanan yang tajam seperti duri ikan dapat menyebabkan ulser traumatik
yang akut. Pada umumnya ulser akan sembuh dalam beberapa hari tanpa
komplikasi. Namun, trauma yang terus menerus dari tepi gigi yang tajam, restorasi
ataupun gigi tiruan yang tidak beradaptasi dengan baik dapat menyebabkan ulser
yang kronis sehingga perlu penanganan lebih lanjut pada gigi atau tambalan
dilaporkan bahwa prevalensi ulser traumatik sebesar 13,2% dan 12,4%. Pada
penelitian lain menyebutkan bahwa 15.6% dari populasi penelitian dengan gigi
tiruan yang buruk, restorasi yang fraktur, dan tepi gigi yang tajam dapat mengalami
Ulser traumatik kronik biasa ditemukan pada mukosa yang sering terkena
trauma karena gigitam seperti mukosa bukal, tepi lateral lidah, atau bibir. Lesi pada
area lain termasuk mucobuccal fold dan gingiva biasanya disertai dengan sumber
iritasi lain seperti trauma saat menggosok gigi ataupun terkena makanan (Anura,
2014).
19
Tampilan klinis ulser traumatik adalah soliter, bisa dangkal ataupun dalam
disertai dengan variasi derajat keratosis peripheral. Dasar ulser ditutupi oleh
gumpalan fibrin berwarna putih atau kekuningan. Ulser yang dihasilkan dari trauma
berulang dapat bergejala ataupun tidak, umumnya ditandai dengan peninggian tepi
ulser yang teraba saat palpasi. Ulser dapat sembuh dengan meninggalkan atau tidak
2014).
Gambar 3. 4 Ulser traumatik pada lateral lidah. Ulser ditandai dengan adanya eritema dan dasar
ulser yang ditutupi gumpalan fibrin berwarna kuning dengan ketebalan yang bervariasi, dan
sekeliling ulser terdapat hiperkeratosis (Wood, 2014)
herpes simplex intraoral rekuren) terjadi pada pasien dengan riwayat infeksi herpes
simplex dan memiliki serum antibodi proteksi untuk melawan infeksi primer
eksogen. Pada orang yang sehat, infeksi rekuren ini terlokalisasi pada kulit dan
berulang dari virus yang laten pada jaringan saraf antara episode pada tahap non
replikasi. Herpes rekuren dapat diaktivasi ketika terdapat trauma pada bibir,
20
demam, kulit terbakar, imunosupresi, dan menstruasi. Virus akan berjalan dari
batang saraf dan menginfaksi sel epitel, meluas dari satu sel ke sel lainnya
penderita AIDS atau transplantasi serta kemoterapi kanker dapat membentuk lesi
Rekuren herpes labialis (RHL) biasa ditandai dengan cold sore atau fever
blister, timbulnya penyakit ini dapat dipercepat dengan adanya demam, menstruasi,
cahaya ultraviolet, dan stress emosional. Lesi didahului dengan masa prodromal,
yaitu adanya rasa seperti tersengat atau terbakar, disertai juga dengan edema pada
daerah lesi, diikuti dengan pembentukan sekelompok vesikel kecil. Setiap vesikel
Lesi herpes simplex intraoral rekuren pada pasien normal tampilannya sama
seperti pada lesi RHL, akan tetapi vesikel pecah lebih cepat untuk membentuk ulser.
Lesi terdiri atas sekelompok vesikel kecil berukuran 1-2 mm, terjadi pada mukosa
berkeratin seperti gingival, palatum, dan alveolar ridge, walaupun kadang dapat
21
juga ditemukan pada mukosa lainnya. Perbedaan RHL dengan RAS ialah lesi RAS
dapat berkembang menjadi lesi yang lebih besar dan biasa ditemukan pada
permukaan mukosa dengan keratin rendah seperti mukosa bukal, labial, dan dasar
(a) (b)
Gambar 3. 5 Lesi herpetik gingivostomatitis primer yang disebabkan oleh HSV tipe 1 (a) ulser
pada mukosa labial rahang bawah disertai krusta pada rahang atas (b) ulser pada mukosa rahang
bawah dan lidah. Keduanya menunjukan adanya inflamasi pada gingiva (Usatine dan Tinitigan,
2010)
(a) (b)
Gambar 3. 6 Lesi herpes simplex labialis (a) ulser yang terbentuk akibat vesikel yang pecah (b)
lesi rekuren herpes simplex tipe 1 pada stase krusta di tepi vermilion bibir (Usatine dan Tinitigan,
2010)
3.1.7 Terapi
22
Tujuan terapi adalah untuk menurunkan gejala, mengurangi jumlah dan
ukuran ulser, serta meningkatkan periode bebas ulser. Pada pasien dengan RAS
penyakit dapat sesuai, sebelum memberikan terapi lain yang spesifik. Obat yang
dapat mengurangi keparahan dan durasi ulser RAS diantaranya obat kumur
ringan dengan 2-3 buah ulser kecil dapat menggunakan obat pereda rasa sakit
protektif seperti orabase (Bristol-Myers Squibb, Princeton, NJ) atau Zilactin (Zila
Pharmaceutions, Phoenix, AZ). Pereda nyeri pada lesi minor pun dapat diterapi
dengan agen anestesi topikal atau diclofenac topikal, yaitu NSAID yang sering
dipakai secara topikal setelah operasi mata (Greenberg dan Glick, 2008)
Pada kasus yang lebih parah dapat diterapi dengan topikal steroid berpotensi
langsung pada lesi setelah makan dan sebelum tidur, 2-3 kali sehari. Pada lesi yang
diletakan di atas ulser, biarkan 15-30 menit. Obat lainnya yang diketahui dapat
ulser, operator harus tetap memperhatikan indikasi dan kontraindikasi dari setiap
obat. Thalidomide tidak boleh diberikan kepada wanita yang sedang hamil muda
23
karena dapat mengancam nyawa dan menyebabkan cacat lahir. Selain itu, efek
penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai
karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat dari insufisiensi fungsi insulin.
Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan produksi insulin oleh sel-sel
beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-
dunia. Setiap tahun ada 3,2 juta kematian yang disebabkan langsung oleh diabetes.
Terdapat 1 orang per 10 detik atau 6 orang per menit yang meninggal akibat
juta pada tahun 1995, terbanyak ketujuh di dunia. Sekarang angka ini meningkat
menjadi 8,4 juta dan diperkirakan akan menjadi 12,4 juta pada tahun 2025 atau
24
Menurut penelitian, sekitar 16 juta orang Amerika menderita diabetes
(antara 6 dan 7% dari total populasi AS). Di seluruh dunia, prevalensi diabetes
diperkirakan dua kali lipat antara tahun 1994 dan 2010, dimana pada saat itu sekitar
240 juta orang akan menderita penyakit ini. Di Amerika Serikat, kejadian diabetes
saat ini tidak menyadari bahwa mereka memiliki penyakit ini. Sebagian besar
praktik gigi memiliki sejumlah besar pasien diabetes dalam populasi mereka.
Berdasarkan data prevalensi Amerika Serikat, rata-rata pada tempat praktik akan
mencakup antara 60 dan 70 individu diabetes untuk setiap 1.000 pasien, dan 30
3.2.2 Klasifikasi
defisiensi insulin absolut. Diabetes tipe ini lebih sering terjadi pada usia remaja.
Lebih dari 90% dari sel pankreas yang memproduksi insulin mengalami kerusakan
secara permanen. Oleh karena itu, insulin yang diproduksi sedikit atau tidak
langsung dapat diproduksikan. Hanya sekitar 10% dari semua penderita diabetes
melitus menderita tipe 1. Diabetes tipe 1 kebanyakan pada usia dibawah 30 tahun.
25
Para ilmuwan percaya bahwa faktor lingkungan seperti infeksi virus atau faktor gizi
Diabetes tipe 2 ini tidak ada kerusakan pada pankreasnya dan dapat terus
normal. Akan tetapi, tubuh manusia resisten terhadap efek insulin, sehingga tidak
ada insulin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Diabetes tipe ini sering
terjadi pada dewasa yang berumur lebih dari 30 tahun dan menjadi lebih umum
dengan peningkatan usia. Obesitas menjadi faktor resiko utama pada diabetes tipe
2. Sebanyak 80% sampai 90% dari penderita diabetes tipe 2 mengalami obesitas.
Obesitas dapat menyebabkan sensitivitas insulin menurun, maka dari itu orang
obesitas memerlukan insulin yang berjumlah sangat besar untuk mengawali kadar
2) DNA mitokondria.
a. Pankreatitis.
b. Tumor/ pankreatektomi.
c. Pankreatopati fibrokalkulus.
26
5) Endokrinopati.
a. Akromegali.
b. Sindroma Cushing.
c. Feokromositoma.
d. Hipertiroidisme.
3.2.3 Patofisiologi
ke dalam aliran darah yang menaikkan kadar glukosa darah. Peningkatan glikemia
ini merangsang sekresi insulin dari sel beta pankreas. Insulin sangat dibutuhkan
oleh sebagian besar sel untuk memungkinkan masuknya glukosa. Insulin berikatan
dengan reseptor seluler tertentu dan memudahkan masuknya glukosa ke dalam sel,
yang menggunakan glukosa untuk energi. Peningkatan sekresi insulin dari pankreas
dan penggunaan seluler berikut hasil glukosa dalam menurunkan kadar glukosa
Jika produksi dan sekresi insulin diubah oleh penyakit, dinamika glukosa
darah juga akan berubah. Jika produksi insulin menurun, glukosa masuk ke dalam
27
sel akan terhambat, mengakibatkan hiperglikemia. Efek yang sama akan terlihat
jika insulin itu disekresikan dari pankreas namun tidak digunakan dengan benar
oleh sel target. Jika sekresi insulin meningkat, kadar glukosa darah bisa menjadi
sangat rendah (hipoglikemia) karena sejumlah besar glukosa masuk ke sel jaringan
dalam bentuk glikogen, yang berfungsi sebagai cadangan yang siap untuk
digunakan di masa depan. Bila energi dibutuhkan, simpanan glikogen di hati diubah
glukosa dari lemak (asam lemak) dan protein (asam amino) melalui proses
28
Tabel 3.1 Regulasi Hormon Glukosa Darah
Regulasi Hormon Glukosa Darah
(medulla)
(korteks)
autoimun dari sel beta pankreas. Setelah penghancuran ini, individu tersebut
memiliki defisiensi insulin dan tidak lagi memproduksi insulin. Penghancuran sel
beta autoimun diperkirakan dipicu oleh peristiwa lingkungan, seperti infeksi virus.
usia 30 tahun, namun dapat didiagnosis pada usia berapa pun. Kebanyakan
penderita diabetes tipe 1 memiliki berat badan normal atau bertubuh kurus. Karena
29
pankreas tidak lagi memproduksi insulin, pasien diabetes tipe 1 sangat bergantung
pada insulin yang diberikan secara exogen untuk bertahan hidup. Orang dengan
diabetes tipe 1 sangat rentan terhadap ketoasidosis diabetik. Karena pankreas tidak
menghasilkan insulin, glukosa tidak bisa masuk ke sel dan tetap berada di aliran
darah. Untuk memenuhi kebutuhan energi seluler, lemak dipecah melalui lipolisis,
melepaskan gliserol dan asam lemak bebas. Gliserol diubah menjadi glukosa untuk
kadar keton dalam cairan tubuh dan penurunan konsentrasi ion hidrogen (pH).
Keton diekskresikan dalam urin, disertai dengan sejumlah besar air. Akumulasi
keton dalam cairan tubuh, penurunan pH, kehilangan elektrolit dan dehidrasi akibat
buang air kecil yang berlebihan, dan perubahan sistem buffer bikarbonat
kerusakan sel beta autoimun. Sebaliknya, diabetes tipe 2 ditandai oleh tiga kelainan
berikut: (1) resistensi perifer terhadap insulin, terutama pada sel otot; (2)
peningkatan produksi glukosa oleh hati; dan, (3) sekresi insulin pankreas yang
kali dan akhirnya diikuti oleh gangguan sekresi insulin. Pankreas menghasilkan
insulin, namun resistensi insulin mencegah penggunaannya yang tepat pada tingkat
sel. Glukosa tidak bisa masuk ke sel target dan terakumulasi dalam aliran darah,
30
mengakibatkan hiperglikemia. Kadar glukosa darah tinggi sering merangsang
selama bertahun-taun tanpa tanda atau gejala yang mencolok. Pasien yang tidak
terdiagnosa DM dapat muncul dengan satu atau lebih tanda dan gejala dari
kabur, perdarahan gingival, dan kerentanan yang tinggi terhadap infeksi dan mudah
3.2.5 Komplikasi
31
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau
Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih besar dari
600 mg% tanpa ketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350 mosm.
Keadaan ini jarang mengenai anakanak, usia muda atau diabetes tipe non insulin
dependen karena pada keadaan ini pasien akan jatuh kedalam kondisi KAD, sedang
pada DM tipe 2 dimana kadar insulin darah nya masih cukup untuk mencegah
lipolisis tetapi tidak dapat mencegah keadaan hiperglikemia sehingga tidak timbul
hiperketonemia.
3) Hipoglikemia
Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala
klinis atau GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium parasimpatik
(lapar, mual, tekanan darah turun), stadium gangguan otak ringan (lemah lesu, sulit
keringat dingin pada muka, bibir dan gemetar dada berdebar-debar), serta stadium
Komplikasi kronik dari diabetes melitus sendiri dapat dibagi menjadi 2 yaitu
32
1) Retinopati diabetik
serum dalam jumlah besar. Neovaskularisasi yang rapuh ini berproliferasi ke bagian
dalam korpus vitreum yang bila tekanan meninggi saat berkontraksi maka bisa
2) Neuropati diabetik
terjadi. Gejala dapat berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk
terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa
terbakar dan bergetar sendiri dan lebih terasa sakit di malam hari 7.
3) Nefropati diabetik
Ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24 jam atau > 200 ig/menit
Akibat glikasi nonenzimatik dan AGE, advanced glication product yang ireversible
glomerulus dan bila terjadi terus menerus dan inflamasi kronik, nefritis yang
reversible akan berubah menjadi nefropati dimana terjadi keruakan menetap dan
33
berkembang menjadi chronic kidney disease 8. komplikasi inilah yang akan dibahas
terjadi dengan gejala tipikal intermiten atau klaudikasio, meskipun sering tanpa
gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul
(Al-Maskari, 2011).
3.2.6 Manajemen
darah yang sedekat mungkin dengan nilai normal dan mencegah terjadinya
dan pengobatan komplikasi diabtes jangka panjang. Pengobatan utama dari diabetes
mellitus adalah diet, olahraga, pengendalian berat badan, dan medikasi. Obesitas
sangat umum terjadi pada DM tipe 2 dan memberikan konstribusi besar terhadap
jaringan terhadap insulin. Obat utama yang digunakan pada penderita DM tipe 1
34
adalah insulin, sedangkan pada DM tipe 2 penderita secara terkontrol meminum
sudah digantikan dengan preparat generasi kedua yang lebih poten, lebih banyak
sekresi insulin pankreas. Sulfonylureas mempunyai durasi kerja yang lama (12-24
jam, tergantung jenis obatnya) dan diminum 1-2 kali sehari. Hipoglikemi
kadar puncak di dalam plasma darah dalam 30 sampai 60 menit. Obat diminum
bersama makanan agar kadar glukosa di dalam plasma tidak langsung naik
penggunaan glukosa dan menurunkan kadar glukosa darah. Obat ini juga
35
menurunkan glukoneogenesis hati. Seperti metformin, thiazolidinediones
Acarbose memiliki mekanisme aksi yang berbeda dengan preparat lain yang
tipe 2. Insulin diambil melalui injeksi subkutan menggunakan syringe. Pompa infus
persiapan insulin dan berbeda dalam onset, puncak aktivitas, dan durasi
aktivitasnya serta digolongkan sebagai long, intermediate, short, atau rapid acting
36
Tabel 3.3 Tipe insulin
Tipe Klasifikasi Onset (h) Peak activity Durasi (h)
(h)
Insulin long-acting onset 2 h - 20 ≥ 24 h
glargine
Insulin long-acting onset 2 h - 6-24 h
detemir
Ultralente long-acting 6-10 12-16 20-30
Lente Intermediate 3-4 4-12 16-20
acting
NPH Intermediate 2-4 4-10 14-18
acting
Regular Short acting 0.5-1.0 2-3 4-12
Lispro Rapid acting 0.25 0.5-1.5 <5
Inhaled Rapid acting Onset 0 2-0.4 h Peak 30-90
insulin min
NPH =
Neutral
Protamine
Hagedorn.
hipoglikemia dapat terjadi pada pasien yang menggunakan preparat oral seperti
sulfonylurea, hal ini jauh lebih umum terjadi pada orang yang menggunakan
episode terjadi tanpa gejala peringatan bagi pasien diabetes. Fenomena yang
37
diabetes dengan kontrol glikemik yang baik dibandingkan mereka yang memiliki
Terdapat banyak gejala oral pada pasien dengan diabetes mellitus (DM),
terutama berhubungan dengan kontrol kadar gula. Gejala yang mengganggu mukosa
infeksi, dan infeksi candida (terutama kandidiasis pseudomembran akut pada lidah,
mukosa bukal, dan gusi). Xerostomia dan pembesaran kelenjar saliva bilateral atau
Pengobatan yang dilakukan oleh pasien DM untuk keadaan yang terkait atau
sehingga muncul xerostomia yang diakibatkan dari pengobatan diabetes itu sendiri.
Permukaan mukosa yang kering yang disebabkan oleh keluaran saliva yang tidak
karena aliran saliva dikendalikan oleh jalur simpatik dan parasimpatis. Tingginya
insidensi dan tingkat keparahan karies pada pasien diabetes melitus dikaitkan
38
DM juga merupakan faktor resiko terhadap prevalensi dan tingkat
banyak daripada yang terlihat pada individu non-diabetes atau DM yang terkontrol
Perubahan vaskularisasi yang terjadi pada retina, glomerulus, area perineural pada
periodontitis lebih sering ditemukan pada pasien dengan kontrol glikemik yang
buruk. Selain hiperglikemia, kebersihan gigi dan mulut yang buruk, serta merokok
mempunyai resiko, progresifitas, dan respon yang serupa terhadap prosedur dental.
faktor yang spesifik pada tiap individu, termasuk kontrol glikemik, penyakit
sistemik, diet, kebersihan mulut, dan kebiasaan (alcohol yang berlibihan dan
yang buruk, kebiasaan merokok, pemeriksaan gigi yang tidak teratur, dan diet tinggi
39
karbohidrat yang mudah terfermentasi, lebih mungkin mengalami penyakit oral
seperti karies dan periodontitis. Pasien tersebut lebih mungkin mengalami respon
terapi yang lebih lambar daripada pasien DM tanpa faktor- faktor tersebut
terkena infeksi dentoalveolar, respon terapi periodontal yang buruk baik operatif
dan non-operatif, dan perbaikan jangka pendek biasanya diikuti regresi dan
kekambuhan penyakit. Oleh karena itu, sangat penting untuk dokter gigi untuk
memiliki catatan mengenai kadar gula setiap pasien baik sebelum, selama
pengobatan, dan memelihara hubungan kerja yang baik terhadap setiap pasien.
Antibiotic prifilaksis perlu diberikan pada pasien dengan HbA1c >11-12%, dan
monitor DM, juga diharapkan memiliki alat untuk mengukur kadar gula yang dapat
memberikan hasil segera jika dibutuhkan. Alat tersebut terutama penting dimana
operasi atau presedur gigi berlansung lama, sehingga hipoglikemik dapat dihindari
40
modifikasi penggunaan obat antikoagulan sebelum dan setelah presedur. Apabila
pasien memiliki gangguan ginjal, obat yang berpotensi nefrotoksis harus dihindari
atau ditinjau ulang dosisnya. Pasien dengan hemodialisa adalah pasien dengan
untuk memeriksa kadar glukosa darah sebelum prosedur ini. Jika kadar glukosa
prosedur gigi mungkin harus dijadwal ulang, dan konsultasi medis harus diminta.
Pasien yang menjalani prosedur operasi periodontal atau oral selain ekstraksi
tunggal dan sederhana harus diberi instruksi diet setelah operasi; Instruksi ini harus
dibuat dengan masukan dari dokter dan ahli gizi pasien. Kandungan kalori total dan
rasio protein / karbohidrat / lemak makanan harus tetap identik sehingga kontrol
glikemik yang tepat dipertahankan. Jika ada infeksi mulut akut, terutama pada DM
yang tidak terkontrol dengan baik, antibiotik harus diberikan dan modifikasi yang
sesuai mungkin diperlukan pada obat pasien. Misalnya, perlu menaikkan dosis
insulin untuk mencegah hiperglikemia terkait dengan rasa sakit dan tekanan infeksi;
Namun, setiap perubahan obat harus dilakukan oleh dokter pasien (Greenberg dan
Glick, 2008).
termasuk pasien DM, menerima perawatan gigi di pagi hari untuk mengurangi stres,
41
namun ini mungkin tidak berlaku untuk beberapa pasien DM. pelepasan epinefrin
endogen dari stres dapat memiliki efek kontra-regulasi pada aksi insulin, yang
menyebabkan hiperglikemia. Oleh karena itu, dokter gigi harus meninjau ulang
dengan obat diabetes pasien, makanan, dan cairan yang diambil sebelum prosedur
sesudah periode puncak aktivitas insulin. Hal ini mengurangi risiko reaksi
lispro insulin, 2 sampai 3 jam setelah insulin reguler, dan 4 sampai 10 jam setelah
insulin NPH atau lente insulin. Rekomendasi umum untuk pasien DM adalah bahwa
pasien sendiri. Ini termasuk merokok, kebiasaan makan yang buruk, penggunaan
obat diabetes yang tidak tepat, pemantauan glukosa yang jarang, kunjungan yang
tidak memadai ke dokter, dan kebersihan mulut yang tidak memadai dan olahraga
3.3.1 Terminologi
proliferasi dan diferensiasi banyak sekali sel. EGF merupakan bagian dari komplek
memodulasi pertumbuhan sel. EGF dilepaskan oleh sel, dan kemudian merangsang
42
pertumbuhan sendiri, atau dengan sel tetangga, dan merangsang kemampuan
mereka membelah. Reseptor pada permukaan sel berikatan dengan EGF dan
langsung merangsang proliferasi sel epidermis dan tindakan stimulasi ini bebas dari
faktor sistemik atau hormonal lainnya. Faktor ini berperan sangat penting dalam
(Tripathi, 2015).
Faktor pertumbuhan ini, pertama kali diidentifikasi pada kelenjar air liur
tikus. Dr. Stanley Cohen melakukan studi ekstensif mengenai faktor pertumbuhan
epidermal. Dia mengidentifikasi dan mengisolasinya dari air liur tikus dan
luka pada tikus sialektomi dan non sialektomi menyimpulkan bahwa tikus
sialektomi sembuh lebih lambat dibandingkan tikus non sialektomi dan faktor
penyembuhan luka.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gregory L. Brown pada kulit manusia
penyembuhan dini luka kulit. Selama periode 1999 sampai 2006 salep yang
43
mengandung faktor pertumbuhan epidermal menjadi golden standar untuk
menemukan bahwa faktor pertumbuhan epidermal dalam air liur orang diabetes
tikus diabetes saat suplemen faktor pertumbuhan epidermal diberikan dalam air
Proses ini mengaktifkan mitogen aktif dari jalur protein kinase, akhirnya
oleh aktivasi protein kinase C. EGF juga menaikkan regenerasi epidermis dan
protein seperti fibronektin, dan meningkatkan jumlah fibroblas pada luka. Ketika
44
fibroblast dalam jumlah banyak, pelepasan kolagen oleh makrofag banyak juga.
Kolagen terbentuk dalam struktur α-heliks. Penyilangan antara helai serat kolagen
menghasilkan fiber yang cukup tahan terhadap kerusakan. Oleh karena itu kolagen
penyembuhan luka. EGF memainkan peran penting dalam penyembuhan luka. EGF
bekerja pada sel-sel epitel dan fibroblas, menaikkan pemulihan kerusakan epitel.
Sejauh ini, penelitian yang ada telah menyarankan bahwa penerapan rhEGF
sebagai agen terapeutik untuk meningkatkan penyembuhan luka oral terbatas. Ada
epitelisasi dimulai. Hasilnya sangat bagus dan kami merekomendasikan studi lebih
lanjut dengan jumlah pasien diabetes yang lebih banyak dalam penelitian (Tripathi,
2015).
dan mereka. Pada transmisi sinyal, growth factor mengatur perkembangan dan
45
pertumbuhan normal dengan merangsang dan menghambat proses seperti
proliferasi sel, diferensiasi, migrasi, dan adhesi. Inisiasi kegiatan ini terjadi ketika
growth factor mengikat reseptor dari sel target, dan tingkat dan jenis respon
diperintah oleh identitas kimia, konsentrasi dan durasi kerja. Growth factor dapat
disintesis dan disekresi oleh berbagai jenis jaringan dan telah terbukti berperan
1993).
respon jaringan terhadap cedera. Semuanya rangkaian biologis yang dimulai dari
menutup luka dengan epitel, dan menyembuhkan luka. Penyembuhan luka, dibagi
menjadi tiga tahap: (1) inflamasi, (2) fibroplasia, dan (3) pematangan [13]. Setiap
tahapan dikendalikan dan diatur oleh zat biologis aktif yang disebut growth factor.
metabolisme sel. Growth Factor ini adalah molekul hormon yang berinteraksi
dengan reseptor permukaan sel khusus untuk mengontrol proses perbaikan jaringan.
Meskipun mereka hanya dalam jumlah nanogram, tapi mereka memiliki pengaruh
yang dirangkum dalam tabel studi keamanan EGF. Menurut penelitian injeksi EGF
disertai rasa sakit. Iritasi kulit adalah efek samping yang paling umum dari
46
pengobatan EGF topikal. Efek samping akan lebih terlihat pada dosis EGF yang
lebih tinggi daripada dosis yang lebih rendah. Efek samping yang berat hingga fatal
tidak secara langsung terkait dengan administrasi EGF melainkan disebabkan oleh
komorbiditas pasien.
47
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien pria berusia 45 tahun datang ke bagian instalasi rawat
jalan (IRJ) bedah mulut dan maksilofasial didiagnosis menderita Non Healing
pada palatum ketika tersentuh. Pasien mengalami gejala asimtomatik sejak 6 bulan
yang lalu ketika ulser masih berukuran kecil di palatum, kemudian berkembang
ukurannya menjadi lebih besar (8mm). Aphthae minor umumnya terletak di mukosa
labial atau bukal, palatum dan dasar mulut. Mereka bisa tunggal atau ganda, dan
cenderung berukuran kecil (berdiameter kurang dari 1 cm) dan dangkal. Aphthae
mayor lebih besar (berdiameter lebih dari 1 cm) dan melibatkan ulserasi lebih
dalam. Aphthae mayor juga mungkin lebih cenderung bekas luka dengan
morfologi. Pada pasien di kasus ini ulser yang timbul merupakan aphthae minor.
Pasien mengaku sering merasa stres karena beban kerja yang berlebihan. Salah satu
ketika stres terjadi pada tubuh, maka sistem hormon dan sistem saraf otonom akan
terpengaruh. Saat stres, tubuh akan menghasilkan hormon kortisol. Hormon ini
48
Ketika tubuh mengalami trauma, maka segera terjadi respon inflamasi dan
migrasi leukosit ke daerah luka. Leukosit yang pertama kali berperan adalah
lokal dan mencegah infeksi. Neutrofil melepaskan protease yaitu elastase dan
ekstrseluler, dan membersihkan luka dari sel yang rusak. Luka yang bersih bebas
untuk penyembuhan luka. Jika neutrofil ini dihambat kerjanya oleh kortisol maka
diberikan resep antiseptik lokal dan anti inflamasi oral. Setelah meminum obat, rasa
sakit berkurang tetapi ulser belum sembuh. Pasien berkonsultasi lebih lanjut ke ahli
otolaringologi yang memberikan rujukan untuk menguji kadar gula dalam darah,
serta memberikan resep kortikosteroid lokal dan oral rebamipide untuk diminum
selama satu minggu. Keluhan pasien yang tidak kunjung sembuh, kemudian pasien
ditemukan ulser di bagian palatum sebelah kiri dengan diameter 8mm. Tepi ulser
dikelilingi eritem dan bagian tengah ulser dipenuhi jaringan granulasi. Pemeriksaan
penunjang didapatkan gula darah puasa sebesar 156 mg/dl (normal: 70-130 mg/dl),
49
tingkat post prandial 210 mg/dl (normal : 110-199 mg/dl), dan kadar Hb A1c
sebesar 7,6% (normal: 5,7-6,9%). Pada evaluasi dental pada pasien yang
mengetahui bahwa dirinya memiliki diabetes, pasien pada kasus ini termasuk pada
kategori pasien resiko sedang. Pasien pada kategori ini, memiliki metabolisme yang
terkontrol, gula darah puasa dibawah 250 mg/dl, dan HbA1c diantara 7-9%.
ulser traumatik dan infeksi Herpes Simpleks Virus. Pada kasus ini, ulser ini bukan
merupakan ulser traumatic karena ulser traumatik biasanya ditemukan pada mukosa
yang sering terkena trauma gigitan seperti mukosa bukal, tepi lateral lidah, atau
bibir. Ulser pada mukosa oral yang merupakan manifestasi infeksi Herpes Simpleks
Virus merupakan vesikel yang kemudian ruptur, disertai dengan rasa sakit seperti
terbakar dan gatal. Umumnya lesi herpetik ditemukan pada mukosa mulut
berkeratin seperti gingival, palatum, dan alveolar ridge. Selain itu, ditemukan pula
krusta pada vermilion bibir. Pada kasus ini tidak terdapat vesikel dan krusta pada
pasien, sehingga ulser pada pasien ini juga bukan merupakan manifestasi dari
akan tetapi terdapat beberapa faktor predisposisi yang dapat memicu timbulnya
RAS. Berdasarkan hasil anamnesis di atas, dapat diduga faktor predisposisi yang
menimbulkan RAS pada kasus ini adalah penyakit sistemik yaitu diabetes mellitus.
oleh diabetes. Sejumlah faktor bertanggung jawab untuk apthous ulcer pada
penderita diabetes, salah satunya mengurangi sekresi epidermal growth factor pada
50
saliva dan mengurangi laju alir saliva. Pengobatan yang dilakukan oleh pasien DM
diakibatkan dari pengobatan diabetes itu sendiri. Permukaan mukosa yang kering
yang disebabkan oleh keluaran saliva yang tidak adekuat mudah teriritasi, sehingga
terapi obat untuk pasien menjadi Repaglinide 1mg ditambah Metformin 500 mg
satu hari sekali dan 20 unit analog premixed (30/70). Pembatasan diet dan olahraga
ringan juga disarankan. Salep yang mengandung epidermal growth factor 60 mcg
epidermal ini secara langsung merangsang proliferasi sel epidermis dan tindakan
stimulasi ini bebas dari faktor sistemik atau hormonal lainnya. Faktor ini berperan
dan menjaga mukosa. EGF memainkan peran penting dalam penyembuhan luka.
EGF bekerja pada sel-sel epitel dan fibroblas, menaikkan pemulihan kerusakan
51
jalur. Pengikatan EGF ke reseptornya menghasilkan dimerisasi dan autofosforilasi.
Proses ini mengaktifkan mitogen aktif dari jalur protein kinase, akhirnya
Tindakan tersebut termasuk meningkatkan proliferasi sel epitel dan migrasi ke luka,
fibroblas pada luka. Ketika fibroblast dalam jumlah banyak, pelepasan kolagen oleh
makrofag banyak juga. Penyilangan antara helai serat kolagen menghasilkan fiber
128 dan 95, tetapi tidak ada tanda-tanda ulser akan sembuh. Pada hari ke-8
epitelisasi pada margin ulser terlihat menjadi setengah dari daerah ulser pada hari
ke-14. Aplikasi Epidermal growth factor dihentikan dari hari ke-14 dan dosis
52
BAB V
SIMPULAN
didiagnosa menderita RAS major. RAS yang dialami pasien berasal dari faktor
sejak 5 tahun dan meminum obat hipoglikemik oral secara teratur. Hal ini sesuai
dengan faktor predisposisi RAS yaitu adanya penyakit sistemik yaitu diabetes
20 unit analog premixed (30/70) untuk mengontrol gula darah. Untuk mengobati
mcg dan salep lain yang mengandung kombinasi Metronidazol 1% w/w dan
prednisolon 20 mg.
penyembuhan luka. Epidermal growth factor menaikkan kadar fibroblast yang akan
53
DAFTAR PUSTAKA
Anura, A. 2014. Traumatic oral mucosal lesions: a mini review and clinical update.
OHDM - Vol. 13 - No. 2 - June, 2014. School of Medicine and Dentistry,
James Cook University: Australia.
Delong, L. dan N. Burkhart. 2013.General and Oral Pathology for The Dental
Hygienist 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Greenberg, M.S. and M, Glick. 2008. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and
Treatment. 11th ed. United States: BC Decker Inc.
Jurge, S., et al. 2006. Recurrent aphthous stomatitis. Blackwell Munksgaard: UK.
Looker, Terry and Gregson, Olga. 2005. Managing Stress Mengatasi Stres Secara
mandiri. BACA: Yogyakarta.
Nasution, H. 2011. Gambaran coping stress pada wanita madya dalam menghadapi
pramenopause. Skripsi pada fakultas psikologi, Universitas Sumatera Utara:
Medan.
Ngan, Vanessa. 2016. Aphtous Ulcers.
https://www.dermnetnz.org/topics/aphthous-ulcers/
54
Putri, Dinar E.D. dan Sriwidodo. 2017. Peranan Epidermal Growth Factor Pada
Penyembuhan Luka Pasien Ulkus Diabetes. Farmaka: volume 14 no 14.
Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran: Bandung.
Soetiarto, F., et al. 2009. Hubungan antara recurrent aphthae stomatitis dan kadar
hormon reproduksi wanita. Bul. Penelit. Kesehat. Vol . 37, no. 2, 79-86.
Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia.
55