Anda di halaman 1dari 17

PERJANJIAN RENVILL,

AGRESI MILITER BELANDA II, DAN PDRI

Kelompok 8

Anggota :
 I Gusti Ayu Intan Prasanti Dewi (08)
 I Pt. Gd. Ardika Winanda Oka Putra (12)
 I Putu Nugi Naranata (15)
 Ni Wayan Sri Witarini (35)
Kelas :
XI MIPA 7
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kelancaran dalam menyelesaikan makalah yang berjudul “Perjanjian Renvill, Agresi Militer
Belanda II, dan PDRI” dengan baik tanpa ada halangan. Makalah ini telah kami susun dengan
maksimal, untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih. Kami menyadari sepenuhnya
bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu kami menerima saran dan kritikan dari pihak manapun. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk kita semua.

Blahbatuh , 18 Januari 2018

Penyusun : Kelompok 8
Daftar Isi

Kata Pengantar
Daftar Isi.......................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang........................................................................................................
1.2 Rumusan masalah..................................................................................................
1.3 Tujuan penulisan....................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Latar belakang diadakannya perundigan renvill......................................................
2.2 Mengetahui isi perundingan renvill.........................................................................
2.3 Dampak perundingan renvill...................................................................................
2.4 Kronologi Agresi militer Belanda II.....................................................................
2.5 Tujuan Belanda melakukan Agresi Militer Belanda II.........................................
2.6 Dampak dari timbulnya Agresi Militer Belanda II bagi Indonesia......................
2.7 Perjuangan Bangsa Indonesia terhadap Agresi Militer Belanda II........................
2.8 Sejarah PDRI.........................................................................................................
2.9 Sejarah serangan umum 1 Maret 1949..................................................................

BAB III PENUTUP


3.1 Simpukan............................................................................................................
3.2 Kritik atau saran.....................................................................................................
3.3 Daftar pustaka........................................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perundingan serta penandatanganan perjanjian Renville merupakan salah satu perundingan
yang dilaksanakan antara Indonesia dengan Belanda yang dilaksanakan di atas kapal
pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville”. Perundingan ini
diwakili oleh kedua delegasi, yang di mana perwakilah dari delegasi Indonesia adalah Mr.
Amir Syarifudin, sedangkan perwakilan dari delegasi Belanda adalah R. Abdulkadir
Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak kepada Belanda.

Agresi Militer Belanda II adalah salah satu peristiwa bersejarah yang pernah dialami
oleh Bangsa Indonesia. Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak (Bahasa Belanda:
Operatie Kraai) terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap
Yogyakarta. Jatuhnya ibukota negara menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat
Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara.

Latar Belakang pembuatan makalah ini adalah agar mempermudah mendapatkan ilmu
pengetahuan , memahani tentang sejarah Indonesia yang pada kali ini membahas mengenai
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia(PDRI), dan Serangan Umum 1 Maret 1949.
Setelah dibuat makalah ini diharapkan akan membantu kita untuk lebih mudah lagi dalam
proses pembelajaran dan membantu agar anak bangsa dapat menumbuhkan rasa cinta
terhadap tanah air Indonesia, dan menjadi generasi yang berguna bagi nusa dan bangsa.
1.2 Rumusan Masalah
1. Latar Belakang diadakannya Perundingan Renville
2. Isi Perundingan Renville dan Orang-orang yang Berperan di dalamnya
3. Dampak Perundingan Renville Terhadap Bangsa Indonesia
4. Bagaimana kronologis terjadinya agresi militer Belanda 2 ?
5. Apa tujunan Belanda melakukan agresi militer 2 ?
6. Apa dampak yang ditimbulkan dengan adanya agresi militer Belanda 2 bagi Indonesia ?
7. Bagaimana perjuangan bangsa Indonesia terhadap agresi militer Belanda 2 ?
8. Bagaimana Sejarah PDRI ?
9. Bagaimana Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 ?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui Latar Belakang diadakannya perundingan Renvill


2. Mengetahui Isi Perundingan Renvill dan Orang-orang yang berperan di dalamnya
3. Mengetahui Dampak Perundingan Renvill terhadap Bangsa Indonesia
4. Mengetahui Bagaimana Kronologi terjadinya Agresi Militer Belanda 2
5 .Mengetahui Apa Tujuan Belanda Melakukan Agresi Militer 2
6. Mengetahui Apa Dampak yang ditimbulkan dengan adanya Agresi Militer 2 bagi
Indonesia
7. Mengetahui Bagaimana perjuangan bangsa Indonesia terhadap agresi militer Belanda 2
8. MengetahuiBagaimana Sejarah PDRI
9. Mengetahui Bagaimana Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang diadakannya Perundingan Renville

Pada dasarnya perundingan Renville merupakan perundingan yang dilaksanakan antara pihak
delegasi Indonesia dengan pihak delegasi Belanda. Yang di mana tujuan awal diadakannya
perundingan ini adalah guna menyelesaikan segala pertikaian dan sengketa yang terjadi
antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 21 Juli 1947 telah terjadi suatu peristiwa
berupa penyerangan yang tengah dilakukan Belanda terhadap Indonesia, yang di mana
penyerangan tersebut terkenal dengan Agresi Militer Belanda Pertama, yang berlangsung dari
tanggal 21 Juli 1947 sampai dengan 4 Agustus 1947.

Mengetahui peristiwa (penyerangan yang tengah dilakukan Belanda terhadap Indonesia), di


luar negeri, agresi Belanda ini mendatangkan reaksi keras. Wakil-wakil India dan Australia di
PBB mengajukan usul agar soal Indonesia dibahas dalam Dewan Keamanan. Akhirnya
Dewan Keamanan PBB pada tanggal 1 Agustus 1947 memerintahkan kedua belah pihak
untuk menghentikan tembak-menembak. Dalam persidangan tersebut, Indonesia mengutus
Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salim. Pada tanggal 4 Agustus, Republik Indonesia dan Belanda
mengumumkan penghentian tembak-menembak. Dengan pengumuman gencatan senjata pada
tanggal 4 Agustus, secara resmi berakhirlah Agresi Militer Belanda yang pertama.

Dewasanya, jika kita melihat kembali penyebab adanya Agresi Militer Belanda Pertama ini,
tidak lain disebabkan karena terdapat suatu perselisihan pendapat sebagai akibat perbedaan
penafsiran ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggajati. Di mana Belanda tetap
mendasarkan tafsirannya pada pidato Ratu Wilhelmina tanggal 7 Desember 1942 bahwa
Indonesia akan dijadikan anggota Commonwealth dan akan berbentuk federasi, sedangkan
hubungan luar negerinya diurus Belanda. Belanda juga menuntut agar segera diadakan
gendar-merie bersama. Karena keinginan Belanda yang dinilai sangat merugikan pihak
Indonesia, ada sebagian hal yang tidak Indonesia setuju terkait dengan keinginan Belanda
tersebut, yaitu “menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah-
daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama).”

Mengetahui penolakaan yang tengah diberikan Indonesia terhadap keinginan Belanda, maka
sehari sebelum dilaksanakannya Agresi Belanda Pertama pada tanggal 21 Juli 1947, pada
tanggal 20 Juli 1947 (tepat satu hari sebelumnya) Belanda menyatakan bahwa Belanda telah
tidak terikat dengan perjanjian Linggajati yang tengah disepakatinya pada tanggal 25 Maret
1947. Maka sehari setelah menyatakan perihal ketidak terikatan atas perjanjian Linggajati,
maka keesokan harinya tepat pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan
serentak terhadap daerah-daerah Republik, dan serangan militer ini dikenal sebagai Agresi
Militer Belanda Pertama. Untuk mengawasi pelaksanaan penghentian tembak menembak dan
mencari penyelesaian sengketa secara damai, Dewan Keamanan PBB membentuk sebuah
Komisi Jasa Baik, yang kemudian dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN). Di mana
tugas utama KTN ini adalah membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi antara Indonesia
dengan Belanda guna mencapai suatu kedamaian. Adapun negara-negara yang termasuk ke
dalam anggota KTN diantaranya adalah Belgia, Australia, dan Amerika Serikat. Wakil Belgia
dalam KTN adalah Paul Van Zeeland, Wakil Australia dalam KTN adalah Richard Kirby,
dan Wakil Amerika Serikat dalam KTN adalah Dr. Frank Graham.

Pada awalnya masalah yang timbul dalam menghadapi persoalan yang terjadi antara
Indonesia dengan Belanda adalah mengenai tempat dilaksanakannya kembali suatu
perundingan baru. Belanda mengusulkan tempat perundingan di Jakarta, namun ditolak oleh
Republik Indonesia yang menginginkan suatu tempat yang berada di luar daerah
kependudukan. Lalu atas usul KTN, perundingan dilakukan di atas sebuah kapal pengangkut
pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville”.

Perundingan ini akhirnya berhasil dimulai, yaitu pada tangal 8 Desember 1947 di atas Kapal
Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Mr.
Amir Sjarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir
Widjoojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak Belanda. Meskipun sudah tercapai
persetujuan di atas Kapal Renville, tembak-menembak belum juga berhenti sementara KTN
praktis tidak berdaya. Pada tanggal 9 Januari 1948, Belanda menyampaikan ultimatum
kepada Republik Indonesia untuk segera mengosongkan sejumlah daerah yang luas dan
menarik TNI dari daerah-daerah gerilya ke Yogyakarta. Dan di dalam suasana seperti itu,
perjanjian Renville akhirnya ditandatangani tepat pada tanggal 17 Januari 1948, disusul
dengan instruksi penghentian tembak-menembak pada tanggal 19 Januari 1948.

2.2. Isi Perundingan Renville dan Orang-orang yang Berperan di dalamnya

Untuk melaksanakan tugas yang dibebankan oleh dewan keamanan PBB, dalam
pertemuannya di Sidney pada tanggal 20 oktober 1947 KTN memutuskan bahwa tugas
mereka di Indonesia adalah untuk membantu menyelesaikan sengketa antara Republik
Indonesia dan Belanda dengan cara damai. Kemudian KTN berusaha mendekatkan kedua
belah pihak guna menyelesaikan persoalan-persoalan militer dan politik yang dapat
memberikan dasar bagi perundingan selanjutnya. Diambil pula sikap bahwa dalam masalah
militer KTN akan mengambil inisiatif, sedangkan untuk pemecahan masalah-masalah politik
KTN hanya memberikan usul.

Perundingan antara Belanda dengan Indonesia akhirnya berhasil dimulai, yaitu pada tanggal 8
Desember1947 diatas kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi dari Indonesia
dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin (lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907 –
meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 19 Desember 1948 pada umur 41 tahun) adalah
seorang tokoh Indonesia, mantan menteri dan perdana menteri pada awal berdirinya negara
Indonesia. Sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo,
seorang Indonesia yang memihak kepada Belanda. Setelah diadakan serangkaian pendekatan
lagi, perundingan akhirnya menerima saran-saran KTN, yang pokok-pokoknya adalah:
1. Segera dikeluarkan perintah penghentian tembak-menembak di sepanjang “Garis van
Mook”.
2. Penghentian tembak-menembak segera diikuti dengan perjanjian perletakan senjata dan
pembentukan daerah-daerah kosong militer (demiliterized zones).

Pemerintah RI dan Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk melakukan
gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tapi pertempuran terus
terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan
sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang
terjadi antara Karawang dan Bekasi . Perundingan-perundingan terus dilakukan sehingga
sampai akhirnya tercapai suatu persetujuan yang dikenal sebagai “Perjanjian Renville”.
Namun meskipun sudah tercapai persetujuan diatas kapal Renville, tembak-menembak belum
juga berhenti sementara KTN praktis tidak berdaya. Jadi disini dapat dikatakan bahwa
Belanda tetap menyerang Indonesia walaupun dikeluarkan perintah penghentian tembak-
menembak. Pada akhirnya tanggal 9 Januari 1948, Belanda menyampaikan ultimatum kepada
Republik Indonesia untuk segera mengosongkan sejumlah daerah yang luas dan menarik TNI
dari daerah-daerah geriliya ke Yogyakarta. Didalam suasana seperti itu perjanjian Renville
akhirnya ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, disusul dengan intruksi penghentian
tembak-menembak pada tanggal 19 Januari 1948.
Perjanjian Renville terdiri dari:
- 10 pasal persetujuan gencatan senjata
- 12 pasal prinsip politik
- 6 pasal prinsip tambahan dari KTN

Isi Perjanjian Renville:


1. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah
Republik Indonesia.
2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah
pendudukan Belanda
3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa
Timur Indonesia di Yogyakarta

Perjanjian Renville adalah perjanjian yang dilakukan antara Indonesia dan Belanda yang
ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat
sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara
(KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat,
Australia, dan Belgia. Indonesia dan Belanda dipersilahkan memilih setiap perwakilan untuk
KTN ini. Pemerintah Indonesia meminta Indonesia Australia menjadi anggota komisi,
sementara Belanda meminta Belgia, dan kedua negara KTN ini meminta Amerika Serikat.
Australia sendiri diwakili oleh Richard Kirby, Belgia oleh Paul van Zeenland dan Amerika
Serikat oleh Dr. Frank Graham.

Usulan KTN pada tanggal 8 Desember 1947 dilaksanakan perundingan antara Indonesia dan
Belanada diatas kapal renville yang sedang berlabuh di Jakarta. Delegasi Indonesia terdiri
atas perdana menteri Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, Dr. Tjoa Sik Len, Moh. Roem,
Haji Agus Salim, Narsun dan Ir. Juanda. Delegasi Belanda terdiri dari Abdulkadir
Widjojoatmojo, Jhr. Van Vredeburgh, Dr. Soumukil, Pangran Kartanagara dan Zulkarnain.
Ternyata wakil-wakil Belanda hampir semua berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang pro
Belanda. Dengan demikian Belanda tetap melakukan politik adu domba agar Indonesia
mudah dikuasainya. Setelah selesai perdebatan dari tanggal 8 Desember 1947 sampai dengan
17 Januari 1948 maka diperoleh hasil persetujuan damai yang disebut Perjanjian Renville.
Pasca perjanjian sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik harus mengosongkan
enclave (kantong-kantong) yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi
Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Tidak semua pejuang Republik yang tergabung dalam
berbagai laskar a.l.

Barisan Bambu Runcing dan Laskar Hizbullah/Sabillilah di bawah pimpinan Sekarmaji


Marijan Kartosuwiryo mematuhi hasil Persetujuan Renville tersebut. Mereka terus
melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara Belanda. S.M. Kartosuwiryo, yang
menolak jabatan Menteri Muda Pertahanan dalam Kabinet Amir Syarifuddin, kemudian
mendirikan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hingga pada 7 Agustus 1949,
di wilayah yang masih dikuasai Belanda waktu itu, Kartosuwiryo menyatakan berdirinya
Negara Islam Indonesia(NII).

Perundingan Renville merupakan sebuah perundingan antara Indonesia dan Belanda yang
dilakukan setelah Agresi Militer Belanda I. Perundingan Renville berlangsung selama hampir
satu bulan. Setelah itu adanya KTN yang menjadi penengah pada perundingan tersebut.
Adapun anggota yang hadir dalam KTN tersebut yang diwakili oleh Richard Kirby dari
Australia, Paul Van Zeeland dari Belgia, Frank Graham dari Amerika Serikat, sedangkan
Indonesia diketuai oleh Amir Syarifuddin sementara belanda diketuai oleh R. Abdulkadir
Wijoyoatmojo.
Hasil dari perundingan Renville ini, antara lain sebagai berikut :

1. Wilayah Indonesia diakui sebagai garis demarkasi (garis Van Mook) (Crayon Pedia). Garis
Van Mook yaitu garis khayal yang dibuat oleh Van Mook sebagai batas wilayah kekuasaan
Indonesia dan kekuasaan Belanda berdasarkan agresi militer Belanda I (Eryadi). Yang mana
batas wilayahnya yang di mulai dari Sumatera Selatan, Jawa Barat sampai dengan wilayah
Jawa Timur.

2. Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia, sampai diserahkan kepada
Republik Indonesia Serikat yang segera dibentuk.

3. RIS mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara Belanda dalam Uni Indonesia-
Belanda.

4. Republik Indonesia menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat.

5. Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada


pemerintah federal sementara.

6. Pasukan Republik Indonesia yang berada di daerah kantung harus ditarik ke daearh
Republik Indonesia. Daerah kantung adalah daerah yang berada dibelakang garis Van Mook,
yakni garis yang menghubungkan dua daerah terdepan yang di duduki oleh Belanda.

7. Pada tanggal 12 Januari 1948 Perjanjian Renville ditandatangani.


2.3. Dampak Perundingan Renville Terhadap Bangsa Indonesia
Persetujuan ini lebih merugikan Republik Indonesia dibandingkan dengan persetujuan
Linggarjati. Kedua belah pihak menuduh masing-masing melanggar perdamaian dan
Indonesia menuduh Belanda mendirikan blokade dengan maksud memaksanya menyerah.
Bulan Juli 1948, Komisi Jasa-jasa Baik, yang masih ada di tempat mengawasi pelaksanaan
persetujuan itu, melaporkan bahwa Indonesia mengeluh akan gencatan senjata yang
berulang-ulang dan menempatkan Republik Indonesia pada kedudukan yang bertambah sulit.
Wilayah Republik Indonesia makin sempit, dikurung oleh daerah-daerah pendudukan
Belanda. Kesulitan ditambah dengan blokade ekonomi yang dilakukan Belanda dengan ketat.
Persetujuan menimbulkan reaksi keras di kalangan Republik Indonesia, dan kemudian
mengakibatkan jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin.

Selain itu juga penandatanganan naskah perjanjian Renville ini dapat menimbulkan akibat
buruk bagi pemerintahan Republik Indonesia, antara lain sebagai berikut :
1. Wilayah Republik Indonesia menjadi makin sempit dan dikurung oleh daerah-daerah
kekuasaan Belanda

2. Timbulnya reaksi kekerasan dikalangan para pemimpin Republik Indonesia yang


mengakibatkan jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin karena dianggap menjual negara kepada
Belanda

3. Perekonomian Indonesia diblokade secara ketat oleh Belanda

4. Indonesia terpaksa harus menarik mundur kesatuan-kesatuan militernya dari daerah-daerah


gerilya untuk kemudian hijrah ke wilayah Republik Indonesia yang berdekatan

2.4 Kronologis terjadinya agresi militer Belanda 2


Pelaksanaan hasil Perundingan Renville mengalami kemacetan. Upaya jalan keluar
yang ditawarkan oleh KTN selalu mentah kembali karena tidak adanya kesepakatan antara
Indonesia dan Belanda. Indonesia melalui Hatta (wakil presiden merangkap perdana menteri)
tetap tegas mempertahankan kedaulatan Indonesia, sementara Belanda terus berupaya mecari
cara menjatuhkan wibawa Indonesia. Saar ketegangan semakin memuncak Indonesia dan
Belanda mengirimkan nota kepada KTN. Nota itu sama-sama berisi tuduhan terhadap pihak
lawan yang tidak menghormati hasil Perundingan Renville. Akhirnya, menjelang tengah
malam pada tanggal 18 Desember 1948, Wali Tinggi Kota Mahkota Belanda Dr.
Beel mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Renville.
Sementara itu keadaan dalam negeri sudah sangat tegang berhubung dengan oposisi yang
dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat (PKI dan sekutunya) terhadap politik yang
dijalankan oleh Kabinet Hatta. Oposisi ini meningkat setelah seorang tokoh komunis
kawakan, Muso, yang memimpin pemberontakan PKI tahun 1926, kembali ke Indonesia dari
Uni Soviet. Muso sejak mudanya memang selalu bersikap radikal dan ia yang mendorong
PKI untuk memberontak pada tahun 1926. Oposisi terhadap kabinet Hatta mencapai
pucaknya ketika Sumarsono, pemimpin Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) mengumumkan
pembentukan pemerintahan Soviet di Madiun tanggal 18 September 1948. Pemberontakan ini
segera ditumpas pemerintah Republik. Belanda hendak mempergunakan pemberontakan PKI
itu sebagai alasan yang sangat baik untuk menyerang Republik dengan dalih membantu
Republik melawan komunisme.

Sebelum pasukan-pasukan Republik dapat beristirahat setelah beroperasi terus-


menerus melawan PKI, Belanda menyerang lagi. Dini hari tanggal 19 Desember, pesawat
terbang Belanda memborbardir Maguwo (sekarang Bandara Adisucipto) dan sejumlah
bangunan penting di Yogyakarta. Peristiwa itu mengawali agresi militer Belanda 2.
Pemboman dilanjutkan dengan penerjunan pasukan udara. Dalam waktu singkat, Yogyakarta
ibu kota RI ketika itu, dapat dikuasai.Dalam suasana genting, pemerintah RI mengadakan
rapat kilat dan menghasilkan keputusan darurat seperti berikut:
1 Melalui radiogram, pemerintah RI memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara
untuk membentuk Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Sumatera.
2 Presiden dan wakil presiden RI tetap tinggal dalam kota dengan resiko ditangkap Belanda,
agar dekat dengan KTN (yang sekarang berada di Kaliurang).
3 Pimpinan TNI menyingkir keluar kota dan melancarkan perang gerilya dengan
membentuk wilayah pertahanan (sistem wehkreise) di Jawa dan Sumatera. Setelah menguasai
Yogyakarta, pasukan Belanda menawan presiden, dan sejumlah pejabat. Soekarno diasingkan
ke Prapat, Hatta ke Bangka, tetapi kemudian Soekarno dipindahkan keBangka. Sementara itu,
Jenderal Soedirman memimpin TNI melancarkan perang gerilya di kawasan luar kota.
Seperti kejadian sebelumnya dalam Perundingan Linggarjati, pelaksanaan hasil
Perundingan Renville mengalami kemacetan. Upaya jalan keluar yang ditawarkan oleh KTN
selalu mentah kembali karena tidak adanya kesepakatan antara Indonesia dan Belanda.
Indonesia melalui Hatta (wakil presiden merangkap perdana menteri) tetap tegas
mempertahankan kedaulatan Indonesia, sementara Belanda terus berupaya mecari cara
menjatuhkan wibawa Indonesia. Saar ketegangan semakin memuncak Indonesia dan Belanda
mengirimkan nota kepada KTN. Nota itu sama-sama berisi tuduhan terhadap pihak lawan
yang tidak menghormati hasil Perundingan Renville. Akhirnya, menjelang tengah malam
pada tanggal 18 Desember 1948, Wali Tinggi Kota Mahkota Belanda Dr.
Beel mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Renville. Dini
hari tanggal 19 Desember 1948, pesawat terbang Belanda membombardir Maguwo (sekarang
Bandara Adisucipto) dan sejumlah bangunan penting di Yogyakarta. Peristiwa itu mengawali
agresi militer Belanda II. Pemboman dilanjutkan dengan penerjunan pasukan udara. Dalam
waktu singkat, Yogyakarta, ibu kota RI ketika itu, dapat dikuasai.

2.5Tujuan Belanda Mengadakan Agresi Militer 2

Adapun tujuan Belanda mengadakan Agresi Militer yang kedua ialah ingin
menghancurkan kedaulatan Indonesia dan mengusai kembali wilayah Indonesia dengan
melakukan serangan militer terhadap beberapa daerah penting di Yogyakarta sebagai ibu kota
Indonesia pada saat itu. Pihak Belanda sengaja membuat kondisi pusat wilayah Indonesia
tidak aman sehingga akhirnya diharapkan dengan kondisi seperti itu bangsa Indonesia
menyerah dan bersedia menuruti ultimatum yang diajukan oleh pihak Belanda. Selain itu
bangsa Indonesia juga ingin menunjukkan kepada dunia bahwa RI dan TNI-nya secara de
facto tidak ada lagi

2.6. Dampak Agresi Militer Belanda 2 bagi Bangsa Indonesia


Adanya Agresi Militer kedua yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia yaitu
mengakibatkan dihancurkannya beberapa bangunan penting di Yogyakarta, bahkan
Yogyakarta yang pada saat itu sebagai ibu kota Indonesia juga mampu dikuasai oleh
Belanda. Selain itu presiden dan wakil presiden beserta sejumalh pejabat pemerintah
Indonesia berhasil ditawan kemudian diasingkan oleh pihak Belanda.

2.7Perjuangan Bangsa Indonesia Terhadap Agresi Militer Belanda 2


Keampuhan Strategi Diplomasi:
Dengan melancarkan agresi militernya yang kedua, Belanda ingin menunjukkan
kepada dunia bahwa RI beserta TNI-nya secara de facto tidak ada lagi. Tujuan Belanda itu
dapat digagalkan oleh perjuangan diplomasi. Para pejuang diplomasi antara lain Palar,
Sujatmoko, Sumitro, dan Sudarpo yang berkeliling di luar negeri. Tindakan yang dilakukan
dalam perjuangan diplomasi antara lain sebagai berikut.
 Menunjukkan pada dunia internasional bahwa agresi militer Belanda merupakan bentuk
tindakan melanggar perjanjian damai (hasil Perundingan Renville).
 Meyakinkan dunia bahwa RI cinta damai, terbukti dari sikap, mentaati hasil Perundingan
Renville dan penghargaan terhadap KTN.
 Membuktikan bahwa RI masih berdaulat dengan fakta masih berlangsungnya
pemerintahan melalui PDRI dan keberhasilan TNI menguasau Yogyakarta selama 6 jam
(Serangan Oemoem 1 Maret).
Kerja keras perjuangan diplomasi mampu mengundang simapti internasional terhadap
Indonesia. Amerika Serikat mendesak Belanda untuk menarik mundur pasukannya dari
wilayah RI (dengan ancaman menghentikan bantuannya). Dewan Keamanan PBB mendesak
Belanda untuk menghentikan operasi militer dan membebaskan para pemimpin Indonesia.
Desakan yang gencar dari dunia internasional akhirnya dapat membuat Belanda mengakhiri
militernya kedua.

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia:


Sebelum pasukan Belanda memasuki istana kepresidenan, Presiden Soekarno
mengintruksikan kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara (yang kebetulan
berada di Sumatera) untuk membentuk pemerintahan darurat, jika pemerintah RI Yogyakarta
tidak dapat berfungsi lagi. Sesuai dengan instruksi itu, Syafruddin Prawiranegara membentuk
Pemerintah Darurat Republik Indonesia. PDRI berkedudukan di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Kabinet PDRI
 Ketua perdana menteri merangkap menteri pertahanan dan penerangan: Syafruddin
Prawiranegara.
 Menteri luar negeri: A. A. Maramis
 Menteri pendidikan dan kebudayaan merangkap menteri dalam negeri dan agam: Teuku
Moh. Hasan.
 Menteri keuangan merangkap menteri kehakiman: Lukman Hakim.
 Menteri sosial dan perburuhan, pembangunan, organisasi pemuda dan keamanan: Sutan
Rasyid.
 Menteri pekerjaan umum merangkap menteri kesehatan: Ir. Sitompul.
 Menteri perhubungan merangkap menteri kemakmuran: Ir. Inderacaya.
Selama agresi militer 2, Belanda terus menerus memprogandakan bahwa pemerintahan di
Indonesia sudah tidak ada lagi. Propaganda dapat digagalkan oleh PDRI. PDRI berhasil
menunjukkan kepada dunia internasional bahwa pemerintahan dalam tubuh RI masih
berlangsung. Bahkan, pada tanggal 23 Desember 1948, PDRI mampu memberikan instruksi
lewat radio kepada wakil RI di PBB. Isinya, pihak Indonesia sekaligus mengundang simapti
internasional.
Atas dasar keberhasilan itu, para pemimpin PDRI sempat kecewa dengan tindakan
para pemimpin RI di Bangka yang mengadakan perundingan dengan Belanda tanpa
sepengetahuan mereka. Mereka juga tidak menyetujui hasil Perundingan Roem-Roijen yang
cenderung melemahkan wibawa Indonesia. Para pemimpin PDRI yakin bahwa kedudukan
Indonesia telah kuat sehingga mampu lebih banyak kepada Belanda.
Untuk menyelesaikan perbedaan pandangan, berlangsung pertemuan antara para
pemimpin PDRI dan pemimpin RI yang pernah ditawan di Bangka. Pertemuan itu
berlangsung pada tanggal 13 Juli 1949 di Jakarta. Hasil pertemuan itu adalah sebagai berikut.
 PDRI menyerahkan keputusan mengenai hasil Perundingan Roem Roijen kepada kabinet,
Badan Pekerja KNIP, dan pimpinan TNI.

2.8 Sejarah PDRI


1. Pemerintahan Darurat Republik Indonesia(PDRI)
Agresi Militer II berhasil menguasai Kota Yogyakarta. Hal ini membuat
presiden dan anggota kabinet memberikan mandat kepada Mentri Kemakmuran,
Mr. Syarifuddin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatra untuk
membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia(PDRI). Apabila perintah
ini gagal dilaksanakan, Mr. A. A. Maramis, dr. Sudarsono, dan L. N. Palar
yang sedang berada di India diperintahkan untuk membentuk Pemerintahan
Pelarian(Exile Government) di sana.
Untuk mencegah rencana pemerintah RI, pada tanggal 19 Desember 1948
Belanda menyerang Kota Bukittinggi. Hal ini membuat Mr. Syarifuddin
mengadakan pertemuan di Gedung Tri Arga. Rapat ini memutuskan
pembentukan PDRI dipindah ke perkebunan the Halban(sebelah timur
Payakumbuh). Susunan PDRI yang berhasil dibentuk, yaitu Mr. A. A. Maramis.
Teuku Muhammad Hasan diangkat menjadi Wakil Ketua PDRI merangkap
materi dalam negeri dan menteri agama. Untuk menghindari Belanda, markas
PDRI selalu berpindah-pindah, mulai dari Sumpur, Kudus, Lintau, Sawah
Lunto, dan Salibaru.
2.9 Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949
Pada saat terjadinya Agresi Militer, pemerintah Belanda melakukan
propaganda dengan menyebutkan bahwa pemerintah RI dan TNI sudah hancur.
Untuk menunjukkan bahwa pemerintah dan TNI masih ada, maka serangan
terhadap Kota Yogyakarta pun direncanakan.
Wilayah Yogyakarta berada di dalam wilayah operasi TNI Brigade 10
Wehrkreise II, dibawah komandan Letnan Kolonel Soeharto. Perencanaan
perebutan Kota Yogyakarta oleh Brigade 10 mendapatkan dukungan penuh Sri
Sultan Hamengkubumo IX.
Serangan atas Kota Yogyakarta di laksanakan pada tanggal 1 Maret 1949,
di bawah pimpinan Letkol Soeharto. Untuk memudahkan penyerangan,
dibentuklah sector-sektor, yaitu sebagai berikut:
a. Komandan Sektor Barat A adalah Letkol Suhud.
b. Komandan Sektor Barat B adalah Mayor Vence Sumual.
c. Komandan Sektor Selatan adalah Mayor Surjono.
d. Komandan Sektor Timur adalah Mayor Surjono.
e. Komandan Sektor Utara adalah Mayor Kusno.
f. Komandan Sektor kota ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Marsudi.
Menjelang tanggal 1 Maret 1949, sesuai dengan rencana, pada malam
hari pasukan TNI menyusup memasuki Kota Yogyakarta. Pada pagi hari
tanggal 1 Maret 1949 tepat pada pukul 06:00 sewaktu sirine Belanda berbunyi
sebagai tanda berakhirnya jam malam, serangan pun diluncurkan keseluruh
kota. Pasukan TNI dalam waktu singkat berhasil menguasai kota ini.
Keberhasilan serangan ini disiarkan melalui radio Wonogiri ke seluruh
penjuru dunia. Serangan ini pun mempunyai arti penting bagi bangsa Indonesia,
yaitu untuk membuktikan kepada dunia Internasional, bahwa TNI khususnya
dan Negara RI umumnya masih ada dan sekaligus membantah kebohongan
Belanda yang menyatakan RI sudah hancur.
Tepat pada pukul 12.00, Letnan Kolonel Soeharto memerintahkan
pasukannya untuk mengosongkan kembali Yogyakarta. Pendudukan selama 6
jam ini, cukup untuk membuka mata dunia terhadap eksistensi Indonesia
seluruhnya dan membuktikan rakyat Indonesia masih berjuang
mempertahankan kemerdekaannya.
BAB III
PENUTUP

Jadi kita melihat kembali segala peristiwa atau kejadian yang telah terjadi sebelum
diadakannya perundingan Renville, maka penyebab awal dilaksanakannya perundingan
“baru” ini tidak lain disebabkan karena terdapat suatu perselisihan pendapat sebagai akibat
perbedaan penafsiran ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggajati. Yang mana pada
akhirnya hal ini menyebabkan timbulnya penyerangan Belanda terhadap Indonesia (Agresi
Militer Belanda Pertama). Dan melihat agresi yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia,
Dewan Keamanan PBB memutuskan untuk membuat suatu komisi jasa yang baik bagi
keduanya, yang diberi nama KTN (Komisi Tiga Negara). KTN ini sendiri juga memiliki
tujuan untuk menyelesaikan sengketa dan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.

Dengan ada dan di sepakatinya perjanjian Renvile ini, dilihat justru memojokkan keadaan
bangsa kita dan justru semakin membuka peluang negara Belanda pada waktu itu untuk
menduduki sebagian besar wilayah republic Indonesia, dan hal inilah yang justru memicu
ketidakpercayaan rakyat pada Perdana Menteri Amir Syarifudin yang dinilai gagal karena
terlalu membuka peluang Belanda untuk lebh dapat menguasai berbagai wilayah Indonesia
yang dinilai lebih memiliki sumber daya alam yang melimpah, oleh karena itu dengan adanya
perjanjian Renvile ini sangatlah memberikan berbagai dampak yang signifikan.

Agresi militer merupakan bentuk rill bahwa Belanda melanggar perjanjian Internasional.
Dalam agresi ini Belanda mencoba menguasai kota-kota, pelabuhan, dan perkebunan yang
dianggap penting bagi Indonesia. Penculikan terhadap pemimpin-pemimpin termasuk
presiden Sukarno menjadi salah satu modus Belanda selain menguasai daerah-daerah penting.
Pelanggaran yang dilakukan Belanda ini mendapat simpati dari luar negeri termasuk PBB
yang akhirnya mengeluarkan resolusi-resolusi. Perjuangan dari para pahlawan serta dukungan
internasional yang mampu melepaskan Indonesia dari agresi Belanda tersebut
3.2 Saran
Kami berharap makalah ini bermanfaat bagi semua orang. Dalam tugas-tugas
berikutnya kami berharap sekali ada panduan dari bapak atau ibu guru pembimbing agar
kami tidak kesulitan memperoleh data. Kami berharap juga adanya saran bagi para pembaca
untuk kami kedepannya.

3.4 Daftar Pustaka


Amir Al-Maruzy. 2015. SEJARAH LENGKAP PERJANJIAN RENVILLE.
http://www.gurusejarah.com/ Diakses pada 08 Mei 2017

Istavita Utama. 2017. Sejarah Perjanjian Renville. http://underpapers.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai