Kelompok 8
Anggota :
I Gusti Ayu Intan Prasanti Dewi (08)
I Pt. Gd. Ardika Winanda Oka Putra (12)
I Putu Nugi Naranata (15)
Ni Wayan Sri Witarini (35)
Kelas :
XI MIPA 7
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kelancaran dalam menyelesaikan makalah yang berjudul “Perjanjian Renvill, Agresi Militer
Belanda II, dan PDRI” dengan baik tanpa ada halangan. Makalah ini telah kami susun dengan
maksimal, untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih. Kami menyadari sepenuhnya
bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu kami menerima saran dan kritikan dari pihak manapun. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk kita semua.
Penyusun : Kelompok 8
Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar Isi.......................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang........................................................................................................
1.2 Rumusan masalah..................................................................................................
1.3 Tujuan penulisan....................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Latar belakang diadakannya perundigan renvill......................................................
2.2 Mengetahui isi perundingan renvill.........................................................................
2.3 Dampak perundingan renvill...................................................................................
2.4 Kronologi Agresi militer Belanda II.....................................................................
2.5 Tujuan Belanda melakukan Agresi Militer Belanda II.........................................
2.6 Dampak dari timbulnya Agresi Militer Belanda II bagi Indonesia......................
2.7 Perjuangan Bangsa Indonesia terhadap Agresi Militer Belanda II........................
2.8 Sejarah PDRI.........................................................................................................
2.9 Sejarah serangan umum 1 Maret 1949..................................................................
Agresi Militer Belanda II adalah salah satu peristiwa bersejarah yang pernah dialami
oleh Bangsa Indonesia. Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak (Bahasa Belanda:
Operatie Kraai) terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap
Yogyakarta. Jatuhnya ibukota negara menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat
Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara.
Latar Belakang pembuatan makalah ini adalah agar mempermudah mendapatkan ilmu
pengetahuan , memahani tentang sejarah Indonesia yang pada kali ini membahas mengenai
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia(PDRI), dan Serangan Umum 1 Maret 1949.
Setelah dibuat makalah ini diharapkan akan membantu kita untuk lebih mudah lagi dalam
proses pembelajaran dan membantu agar anak bangsa dapat menumbuhkan rasa cinta
terhadap tanah air Indonesia, dan menjadi generasi yang berguna bagi nusa dan bangsa.
1.2 Rumusan Masalah
1. Latar Belakang diadakannya Perundingan Renville
2. Isi Perundingan Renville dan Orang-orang yang Berperan di dalamnya
3. Dampak Perundingan Renville Terhadap Bangsa Indonesia
4. Bagaimana kronologis terjadinya agresi militer Belanda 2 ?
5. Apa tujunan Belanda melakukan agresi militer 2 ?
6. Apa dampak yang ditimbulkan dengan adanya agresi militer Belanda 2 bagi Indonesia ?
7. Bagaimana perjuangan bangsa Indonesia terhadap agresi militer Belanda 2 ?
8. Bagaimana Sejarah PDRI ?
9. Bagaimana Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 ?
Pada dasarnya perundingan Renville merupakan perundingan yang dilaksanakan antara pihak
delegasi Indonesia dengan pihak delegasi Belanda. Yang di mana tujuan awal diadakannya
perundingan ini adalah guna menyelesaikan segala pertikaian dan sengketa yang terjadi
antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 21 Juli 1947 telah terjadi suatu peristiwa
berupa penyerangan yang tengah dilakukan Belanda terhadap Indonesia, yang di mana
penyerangan tersebut terkenal dengan Agresi Militer Belanda Pertama, yang berlangsung dari
tanggal 21 Juli 1947 sampai dengan 4 Agustus 1947.
Dewasanya, jika kita melihat kembali penyebab adanya Agresi Militer Belanda Pertama ini,
tidak lain disebabkan karena terdapat suatu perselisihan pendapat sebagai akibat perbedaan
penafsiran ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggajati. Di mana Belanda tetap
mendasarkan tafsirannya pada pidato Ratu Wilhelmina tanggal 7 Desember 1942 bahwa
Indonesia akan dijadikan anggota Commonwealth dan akan berbentuk federasi, sedangkan
hubungan luar negerinya diurus Belanda. Belanda juga menuntut agar segera diadakan
gendar-merie bersama. Karena keinginan Belanda yang dinilai sangat merugikan pihak
Indonesia, ada sebagian hal yang tidak Indonesia setuju terkait dengan keinginan Belanda
tersebut, yaitu “menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah-
daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama).”
Mengetahui penolakaan yang tengah diberikan Indonesia terhadap keinginan Belanda, maka
sehari sebelum dilaksanakannya Agresi Belanda Pertama pada tanggal 21 Juli 1947, pada
tanggal 20 Juli 1947 (tepat satu hari sebelumnya) Belanda menyatakan bahwa Belanda telah
tidak terikat dengan perjanjian Linggajati yang tengah disepakatinya pada tanggal 25 Maret
1947. Maka sehari setelah menyatakan perihal ketidak terikatan atas perjanjian Linggajati,
maka keesokan harinya tepat pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan
serentak terhadap daerah-daerah Republik, dan serangan militer ini dikenal sebagai Agresi
Militer Belanda Pertama. Untuk mengawasi pelaksanaan penghentian tembak menembak dan
mencari penyelesaian sengketa secara damai, Dewan Keamanan PBB membentuk sebuah
Komisi Jasa Baik, yang kemudian dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN). Di mana
tugas utama KTN ini adalah membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi antara Indonesia
dengan Belanda guna mencapai suatu kedamaian. Adapun negara-negara yang termasuk ke
dalam anggota KTN diantaranya adalah Belgia, Australia, dan Amerika Serikat. Wakil Belgia
dalam KTN adalah Paul Van Zeeland, Wakil Australia dalam KTN adalah Richard Kirby,
dan Wakil Amerika Serikat dalam KTN adalah Dr. Frank Graham.
Pada awalnya masalah yang timbul dalam menghadapi persoalan yang terjadi antara
Indonesia dengan Belanda adalah mengenai tempat dilaksanakannya kembali suatu
perundingan baru. Belanda mengusulkan tempat perundingan di Jakarta, namun ditolak oleh
Republik Indonesia yang menginginkan suatu tempat yang berada di luar daerah
kependudukan. Lalu atas usul KTN, perundingan dilakukan di atas sebuah kapal pengangkut
pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville”.
Perundingan ini akhirnya berhasil dimulai, yaitu pada tangal 8 Desember 1947 di atas Kapal
Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Mr.
Amir Sjarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir
Widjoojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak Belanda. Meskipun sudah tercapai
persetujuan di atas Kapal Renville, tembak-menembak belum juga berhenti sementara KTN
praktis tidak berdaya. Pada tanggal 9 Januari 1948, Belanda menyampaikan ultimatum
kepada Republik Indonesia untuk segera mengosongkan sejumlah daerah yang luas dan
menarik TNI dari daerah-daerah gerilya ke Yogyakarta. Dan di dalam suasana seperti itu,
perjanjian Renville akhirnya ditandatangani tepat pada tanggal 17 Januari 1948, disusul
dengan instruksi penghentian tembak-menembak pada tanggal 19 Januari 1948.
Untuk melaksanakan tugas yang dibebankan oleh dewan keamanan PBB, dalam
pertemuannya di Sidney pada tanggal 20 oktober 1947 KTN memutuskan bahwa tugas
mereka di Indonesia adalah untuk membantu menyelesaikan sengketa antara Republik
Indonesia dan Belanda dengan cara damai. Kemudian KTN berusaha mendekatkan kedua
belah pihak guna menyelesaikan persoalan-persoalan militer dan politik yang dapat
memberikan dasar bagi perundingan selanjutnya. Diambil pula sikap bahwa dalam masalah
militer KTN akan mengambil inisiatif, sedangkan untuk pemecahan masalah-masalah politik
KTN hanya memberikan usul.
Perundingan antara Belanda dengan Indonesia akhirnya berhasil dimulai, yaitu pada tanggal 8
Desember1947 diatas kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi dari Indonesia
dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin (lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907 –
meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 19 Desember 1948 pada umur 41 tahun) adalah
seorang tokoh Indonesia, mantan menteri dan perdana menteri pada awal berdirinya negara
Indonesia. Sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo,
seorang Indonesia yang memihak kepada Belanda. Setelah diadakan serangkaian pendekatan
lagi, perundingan akhirnya menerima saran-saran KTN, yang pokok-pokoknya adalah:
1. Segera dikeluarkan perintah penghentian tembak-menembak di sepanjang “Garis van
Mook”.
2. Penghentian tembak-menembak segera diikuti dengan perjanjian perletakan senjata dan
pembentukan daerah-daerah kosong militer (demiliterized zones).
Pemerintah RI dan Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk melakukan
gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tapi pertempuran terus
terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan
sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang
terjadi antara Karawang dan Bekasi . Perundingan-perundingan terus dilakukan sehingga
sampai akhirnya tercapai suatu persetujuan yang dikenal sebagai “Perjanjian Renville”.
Namun meskipun sudah tercapai persetujuan diatas kapal Renville, tembak-menembak belum
juga berhenti sementara KTN praktis tidak berdaya. Jadi disini dapat dikatakan bahwa
Belanda tetap menyerang Indonesia walaupun dikeluarkan perintah penghentian tembak-
menembak. Pada akhirnya tanggal 9 Januari 1948, Belanda menyampaikan ultimatum kepada
Republik Indonesia untuk segera mengosongkan sejumlah daerah yang luas dan menarik TNI
dari daerah-daerah geriliya ke Yogyakarta. Didalam suasana seperti itu perjanjian Renville
akhirnya ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, disusul dengan intruksi penghentian
tembak-menembak pada tanggal 19 Januari 1948.
Perjanjian Renville terdiri dari:
- 10 pasal persetujuan gencatan senjata
- 12 pasal prinsip politik
- 6 pasal prinsip tambahan dari KTN
Perjanjian Renville adalah perjanjian yang dilakukan antara Indonesia dan Belanda yang
ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat
sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara
(KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat,
Australia, dan Belgia. Indonesia dan Belanda dipersilahkan memilih setiap perwakilan untuk
KTN ini. Pemerintah Indonesia meminta Indonesia Australia menjadi anggota komisi,
sementara Belanda meminta Belgia, dan kedua negara KTN ini meminta Amerika Serikat.
Australia sendiri diwakili oleh Richard Kirby, Belgia oleh Paul van Zeenland dan Amerika
Serikat oleh Dr. Frank Graham.
Usulan KTN pada tanggal 8 Desember 1947 dilaksanakan perundingan antara Indonesia dan
Belanada diatas kapal renville yang sedang berlabuh di Jakarta. Delegasi Indonesia terdiri
atas perdana menteri Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, Dr. Tjoa Sik Len, Moh. Roem,
Haji Agus Salim, Narsun dan Ir. Juanda. Delegasi Belanda terdiri dari Abdulkadir
Widjojoatmojo, Jhr. Van Vredeburgh, Dr. Soumukil, Pangran Kartanagara dan Zulkarnain.
Ternyata wakil-wakil Belanda hampir semua berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang pro
Belanda. Dengan demikian Belanda tetap melakukan politik adu domba agar Indonesia
mudah dikuasainya. Setelah selesai perdebatan dari tanggal 8 Desember 1947 sampai dengan
17 Januari 1948 maka diperoleh hasil persetujuan damai yang disebut Perjanjian Renville.
Pasca perjanjian sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik harus mengosongkan
enclave (kantong-kantong) yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi
Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Tidak semua pejuang Republik yang tergabung dalam
berbagai laskar a.l.
Perundingan Renville merupakan sebuah perundingan antara Indonesia dan Belanda yang
dilakukan setelah Agresi Militer Belanda I. Perundingan Renville berlangsung selama hampir
satu bulan. Setelah itu adanya KTN yang menjadi penengah pada perundingan tersebut.
Adapun anggota yang hadir dalam KTN tersebut yang diwakili oleh Richard Kirby dari
Australia, Paul Van Zeeland dari Belgia, Frank Graham dari Amerika Serikat, sedangkan
Indonesia diketuai oleh Amir Syarifuddin sementara belanda diketuai oleh R. Abdulkadir
Wijoyoatmojo.
Hasil dari perundingan Renville ini, antara lain sebagai berikut :
1. Wilayah Indonesia diakui sebagai garis demarkasi (garis Van Mook) (Crayon Pedia). Garis
Van Mook yaitu garis khayal yang dibuat oleh Van Mook sebagai batas wilayah kekuasaan
Indonesia dan kekuasaan Belanda berdasarkan agresi militer Belanda I (Eryadi). Yang mana
batas wilayahnya yang di mulai dari Sumatera Selatan, Jawa Barat sampai dengan wilayah
Jawa Timur.
2. Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia, sampai diserahkan kepada
Republik Indonesia Serikat yang segera dibentuk.
3. RIS mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara Belanda dalam Uni Indonesia-
Belanda.
6. Pasukan Republik Indonesia yang berada di daerah kantung harus ditarik ke daearh
Republik Indonesia. Daerah kantung adalah daerah yang berada dibelakang garis Van Mook,
yakni garis yang menghubungkan dua daerah terdepan yang di duduki oleh Belanda.
Selain itu juga penandatanganan naskah perjanjian Renville ini dapat menimbulkan akibat
buruk bagi pemerintahan Republik Indonesia, antara lain sebagai berikut :
1. Wilayah Republik Indonesia menjadi makin sempit dan dikurung oleh daerah-daerah
kekuasaan Belanda
Adapun tujuan Belanda mengadakan Agresi Militer yang kedua ialah ingin
menghancurkan kedaulatan Indonesia dan mengusai kembali wilayah Indonesia dengan
melakukan serangan militer terhadap beberapa daerah penting di Yogyakarta sebagai ibu kota
Indonesia pada saat itu. Pihak Belanda sengaja membuat kondisi pusat wilayah Indonesia
tidak aman sehingga akhirnya diharapkan dengan kondisi seperti itu bangsa Indonesia
menyerah dan bersedia menuruti ultimatum yang diajukan oleh pihak Belanda. Selain itu
bangsa Indonesia juga ingin menunjukkan kepada dunia bahwa RI dan TNI-nya secara de
facto tidak ada lagi
Jadi kita melihat kembali segala peristiwa atau kejadian yang telah terjadi sebelum
diadakannya perundingan Renville, maka penyebab awal dilaksanakannya perundingan
“baru” ini tidak lain disebabkan karena terdapat suatu perselisihan pendapat sebagai akibat
perbedaan penafsiran ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggajati. Yang mana pada
akhirnya hal ini menyebabkan timbulnya penyerangan Belanda terhadap Indonesia (Agresi
Militer Belanda Pertama). Dan melihat agresi yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia,
Dewan Keamanan PBB memutuskan untuk membuat suatu komisi jasa yang baik bagi
keduanya, yang diberi nama KTN (Komisi Tiga Negara). KTN ini sendiri juga memiliki
tujuan untuk menyelesaikan sengketa dan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.
Dengan ada dan di sepakatinya perjanjian Renvile ini, dilihat justru memojokkan keadaan
bangsa kita dan justru semakin membuka peluang negara Belanda pada waktu itu untuk
menduduki sebagian besar wilayah republic Indonesia, dan hal inilah yang justru memicu
ketidakpercayaan rakyat pada Perdana Menteri Amir Syarifudin yang dinilai gagal karena
terlalu membuka peluang Belanda untuk lebh dapat menguasai berbagai wilayah Indonesia
yang dinilai lebih memiliki sumber daya alam yang melimpah, oleh karena itu dengan adanya
perjanjian Renvile ini sangatlah memberikan berbagai dampak yang signifikan.
Agresi militer merupakan bentuk rill bahwa Belanda melanggar perjanjian Internasional.
Dalam agresi ini Belanda mencoba menguasai kota-kota, pelabuhan, dan perkebunan yang
dianggap penting bagi Indonesia. Penculikan terhadap pemimpin-pemimpin termasuk
presiden Sukarno menjadi salah satu modus Belanda selain menguasai daerah-daerah penting.
Pelanggaran yang dilakukan Belanda ini mendapat simpati dari luar negeri termasuk PBB
yang akhirnya mengeluarkan resolusi-resolusi. Perjuangan dari para pahlawan serta dukungan
internasional yang mampu melepaskan Indonesia dari agresi Belanda tersebut
3.2 Saran
Kami berharap makalah ini bermanfaat bagi semua orang. Dalam tugas-tugas
berikutnya kami berharap sekali ada panduan dari bapak atau ibu guru pembimbing agar
kami tidak kesulitan memperoleh data. Kami berharap juga adanya saran bagi para pembaca
untuk kami kedepannya.