Anda di halaman 1dari 29

Patogenesis

Kolesteatoma Kongenital
Kolesteatoma Kongenital
Patogenesis kolesteatoma kongenital masih diperdebatkan hingga saat ini. Ada beberapa teori
yang dipakai untuk menjelaskan patogenesis dari kolesteatoma kongenital.1
• Epithelial rest theory
Teori ini dipopulerkan oleh Teed pada tahun 1936 kemudian penemuan ini
dikonfirmasi oleh Michaels pada tahun 1986. Teed mengemukakan bahwa ia
menemukan adanya sisa sel epitelial pada tulang temporal fetus yang normalya
menghilang pada minggu ke-33 gestasi. Adanya sel epitelial tersebut menjadi pencetus
terjadinya kolesteatoma kongenital. Sisa sel epitelial ini ditemukan pada dinding lateral
tuba eustachius, di bagian proksimal tympanic ring, di kuadran anterosuperior dari
telinga tengah. Dikemukakan bahwa cedera inflamasi pada membran timpani yang
intak akan mengakibatkan mikroperforasi pada lapisan basalis. Kemudian hal ini
membuat invasi dari epitel skuamosa dengan adanya aktivitas proliferasi epithelial
cones. Epithelial cones ini kemudian terus berproliferasi, menyebar dan terus
berekspansi dan membentuk kolesteatoma pada telinga tengah.1,2
• Acquired inclusion theory
Teori ini dipopulerkan oleh Tos. Tos mengobservasi dan menemukan bahwa
kolestatoma anteroposterior sering mengalami penempelan pada bagian anterior handle
atau neck dari maleus, dan posterior kolestatoma, lebih sering menempel pada bagian
posterior handle malleus dan incudostapedial joint. Lokasi ini jauh dari anterior annulus
timpani dan dinding lateral tuba eustachius seperti yang dikemukan pada teori epitelial
rest. Tod berspekulasi bahwa lokasi originnya adalah lateral tuba eustachius dan daerah
anterior dari annulus timpani. Kolesteatoma akan memblok tuba eusthacius sebelum
menyebar ke kavitas timpani dan handle dari malleus. Kemudian, Tos mengemukakan
teori inklusi sebagai penjelasan patogenesis dari kolesteatoma kongenital. Tos
berspekulasi bahwa epitel skuamosa berkeratin mungkin berimplantasi ke kavitas
timpani selama proses patologi pada membran timpani dan telinga tengah pada anak-
anak.1,2
Sel epitel berkeratin dari membran timpani yang retraksi dan menempel pada
handle malleus, malleus neck, atau process longus dari incus tertinggal setelah drum
mengalami pelonggaran dan termasuk di kavitas timpani.

Fig. 1. ‘‘Acquired’’ inclusion theory suggested by Tos.

Ada 4 mekanisme yang menjelaskan teori inklusi yang dikemukakan oleh Tos.(1)
- Membran timpani retraksi dan menempel pada handle malleus, malleus neck, atau process
longus dari incus, yang akan melonggar dan robek, meninggalkan cuff kecil dari epitel keratin
yang menempel pada ossiculus dengan robekan residual kecil pada membran timpani. Ketika
robekan tersebut mengalami pemulihan, epitelium tersebut membuat pembentukan inklusi
kolesteatoma. (A1,2)
- Robekan tangetial terbentuk bersamaan dengan membran timpani yang teretraksi dan menjadi
longgar dari strukturnya yang mengakibatkan sisa sel epiteliaal tertinggal di rongga telinga
tengah tanpa adanya perforasi dari membran timpani yang kemudian mengakibatkan inklusi
kolestatoma. (B1, 2)
- Mikroperforasi dari membran timpani yang mengalami trauma atau perlukaan mengakibatkan
invasi dari lapisan basalis oleh epitelial cones.(C1, 2)
- Sama dengan mekanisme sebelumnya, inflamasi yang berulang pada membran timpani
mengakibatkan proliferasi epitelial cones yang pentrasi ke lapisan basalis dan proliferasi ke
ruang subepitel. (D1, 2)
Fig. 2. Site of origin and patterns of spread of congenital cholesteatoma according to (A) Tos
‘‘acquired’’ inclusion theory and (B) Teed-Michael’s epidermal rest theory.

Stadium pada kongenital kolesteatoma : 2


 Stage I – Terbatas pada 1 kuadran
 Stage II – Melibatkan beberapa kuadran tanpa melibatkan ossiculus
 Stage III – Melibatkan ossiculus tanpa ektensi ke mastoid
 Stage IV – Melibatkan mastoid (67% resiko kolesteatoma residual)

Klasifikasi Kolesteatoma Kongenital


Berdasarkan lokasi kolestatoma, kongenital kolesteatoma dibagi menjadi 3 tipe, yaitu(3) :

 Type 1 – Terbatas pada telinga tengah, ossiculus tidak terlibat


 Type 2 – Melibatkan kuadran posterior superior dan attic
 Type 3 – Campuran tipe 1 dan 2 serta mastoid

Kolesteatoma Kongenital : 2
Kriteria
• White mass pada telinga tengah, dengan membran timpani yang normal
• Normal pars flaccida and pars tensa
• Tidak ada riwayat otorrhea atau perforasi sebelumnya
• Tidak ada riwayat prosedur otologi sebelumnya
Terapi Kolesteatoma Kongenital2
 Type 1 – Tympanotomy, dan tidak diperlukan second-look re-operation.
 Type 2 – Tympanotomy. Ada kemungkinan dilaksanakan atticotomy dan canal wall
up tympano-mastoidectomy dengan atau tanpa pembukaan facial recess. Dibutuhkan
secod look operation dan kemungkinan rekonstruksi ossiculus.
 Type 3 – Sama dengan tipe 2, namun terkadang membutuhkan tindakan canal wall
down tympanomastoidectomy.

Kolesteatoma congenital, masa berwarna putih terlihat di belakang drum yang utuh.

Kolesteatoma acquired primer

Teori patogenesis :

1. Teori Invaginasi / kantung retraksi

Disfungsi tuba eustachius dipikirkan menyebabkan retraksi membran timpani sehingga


mnyebabkan tekanan negatif di epitympanic space sehingga pars flaccida tertarik kearah mdial
ke atas maleus dan menyebabkan terjadinya kantung retraksi. Pars flaccid yang tidak memiliki
lapisan fibrosa akan lebih mudah terkena kondisi ini. Kantung retraksi akan menyebabkan
gangguan pada fisiologi normal migrasi epitel sehingga memicu terjadinya pengumpulan
keratin. Saat kantung retraksi menekan semakin ke dalam, keratin yang mengalami deskuamasi
berakumulasi dan tidak dapat dikeluarkan dari kantung hingga menyebabkan terjadinya
kolesteatoma.4

Kolesteatoma acquired primer terjadi karena retraksi membran timpani, retraksi ke arah
medial pars flaccida ke dalam epitympanum (scutum) secara progresif. Selama proses ini
berlangsung, dinding lateral epitympanum (scutum) secara perlahan mengalami erosi sehingga
terjadi kerusakan pada dinding lateral epitympanum yang perlahan-lahan akan meluas.
Membran timpani terus mengalami retraksi kearah medial hingga melewati kepala tulang
pendengaranan hingga terjadi kerusakan pada tulang pendengaran. Bila kolesteatoma
mengarah ke posterior ke dalam aditus ad antrum dan mastoid, erosi dari tegmen mastoideum
dengan eksposur dari dura dan atau erosi dari lateral kanalis semisirkularis dapat
mengakibatkan terjadinya ketulian dan vertigo.5

Perubahan geometris akibat retraksi yang progresif mengakibatkan penyempitan dari


jalan anatomis dan gangguan migrasi epitel hingga mengganggu proses pembersihan debris
keratin. Saat kantung terbentuk semakin kearah dalam dan berada diantara lipatan mukosa
dengan crevices, ia menjadi tidak bisa membersihkan debris dengan sendirinya hingga terjadi
penumpukan debris keratin. Proliferasi bakteri dan infeksi super dari akumulasi debris
membentuk suatu biofilm yang akan mengakibatkan terjadinya infeksi kronik dan proliferasi
epitel. Chole dan Faddis menganalisa adanya matrix biofilm pada debris kolesteatoma. Baru-
baru ini , Wang menemukan adanya strain otopatogenik dari pseudomonas aeruginosa yang
mampu memproduksi biofilm dan memiliki tingkat resisitensi yang tinggi terhadap
antimikroba. Penemuan ini secara kuat menunjukan adanya peran biofilm dalam patogenesis
kolesteatoma. Telah ditemukan bahwa kombinasi dari retraksi membtran timpani dan
proliferasi sel basal merupakan penyebab utama formasi dan proses pembentukan
kolesteatoma.1
Saat debris menjadi terinfeksi, proliferasi bakteri dan peradangan mengakibatkan influx
dari sel-sel radang dan produksi sitokin. Progresi ini dengan disertai pengeluaran kolagenase
mengakibatkan kerusakan pada membran basement hingga membolehkan terjadinya formasi
cone epitel yang tumbuh ke dalam stroma (teori papillary ingrowth). Kombinasi dari invasi
subepitel dan proliferasi keratinosit dalam bentuk mikrokolesteatoma merupakan awal dari
terbentuknya stage prekolesteatoma dari kolesteatoma. Saat microcone meluas dan bergabung
menjadi satu, terbentuklah kolesteatoma tipe attic.
Invasi epitel oleh kolesteatoma merupakan factor penting dalam penyakit ini.
Kolesteatoma meluas dengan menginvasi ke sekitar jaringan lunak telinga tengah serta ke
tulang. Tokuriki menemukan bahwa adanya peningkatan atau induksi gen yang menyangkut
proliferasi sel (calgranulin A, calgranulin B, psoriasin, thymosin b-10) pada sitoplasma dari
semua lapisan epitel kolesteatoma. Family cathepsin merupakan grup protease lysosomal yang
memegang peranan penting dalam degradasi protein intrasel serta ekstrasel di epidermis.
Cathepsin B memegang peranan penting dalam osteolysis pada kolesteatoma. Peningkatan
proliferasi keratinosit bergabung dengan peningkatan kematian sel mengakibatkan lebih
banyak produksi debris keratin yang bertanggung jawab untuk ekspansi dan akumulasi keratin
pada kolesteatoma.1
Setelah terbentuk, kolesteatoma akan memicu peradangan oleh sitokin yang akan
menyebabkan aktivasi osteoclast dan lysozyme yang akan merusak tulang pendengaran hingga
menyebabkan tuli konduktif, dan saat kerusakan sampai ke kanalis semisirkularis akan
menyebabkan terjadinya tuli sensorineural hingga akhirnya dapat terjadi komplikasi dan
menginvasi kanalis fasialis hingga menyebabkan eksposur ke nerves fasialis dan menyebabkan
terjadinya paralisis nerves fasialis.1
Penemuan di atas menunjukan perbedaan antara kolesteatoma dengan epidermal
keratinosit normal sehingga menjelaskan sifat agresif klinis dari kolesteatoma serta bagaimana
ia menginvasi dan menyebabkan kerusakan tulang.1

Retraksi pars flaccida Retraksi pars tensa


Regio Telinga Tengah

Lokasi Tersering Kolesteatoma Berasal 1. Epitympanum posterior, Mesotympanum posterior,


3. Epitympanum Anterior
Tipe kedua dari acquired kolesteatoma primer terjadi saat kuadran posterior dari
membran timpani teretraksi ke dalam telinga tengah bagian posterior. Drum akan menempel
ke bagian panjang dari incus. Saat retraksi terus terjadi ke arah medial dan posterior, epitel
skuamosa akan menutupi struktur dari stapes dan kemudian mengalami retraksi ke dalam sinus
timpani. Kolesteatoma primer terjadi dari membran timpani posterior akan mudah
mengakibtakan eksposur ke nerves fasialis (dapat mengakibatkan paralisis) dan kerusakan
struktur stapedial.5
Kolesteatoma dapat menyebar sesuai letak asalnya. Kolesteatoma epitympanic
posterior dapat menyebar melalui superior incudal space dan aditus ad antrum. Lalu
kolesetatoma mesotympanic superior dapat menginvasi sinus timpani dan resesus fasialis.
Sedangkan kolesteatoma epitympanic anterior dapat meluas ke ganglion geniculate.6

Kolesteatoma posterior epitympanic menyebar melalui superior incudal space dan aditus ad
antrum
Kolesteatoma mesotympanic posterior menginvasi sinus tympani dan resesus fasialis

Kolesteatoma epitympanic anterior ekstensi ke ganglion geniculate


Patofisiologi primary acquired choleateatoma
Kolesteatoma Acquired Sekunder

1. Teori Migrasi

Kolesteatoma yang didapat secara sekunder dijelaskan sebagai akibat dari terjadinya
migrasi sel-sel epidermis yang berasal dari membran timpani ke dalam rongga telinga tengah
pada tempat terjadinya perforasi marginal.1

2. Teori Metaplasi

Kolesteatoma terjadi akibat metaplasia mukosa kavum timpani karena iritasi infeksi yang
berlangsung lama.7

Metaplasia dari epitel kuboid rendah biasanya ditemukan di dalam telinga tengah menjadi
epitel skuamosa keratin telah didalilkan sebagai penyebab kolesteatoma pada pasien dengan
otitis media kronis atau berulang. Sade et al, dalam sebuah studi histopatologi, mengamati
metaplasia skuamosa telinga epitel tengah pada pasien dengan kolesteatoma, terutama jaringan
granulasi adalah ciri yang menonjol. Dasar pemikiran dari teori metaplasia didasarkan pada
perubahan dari epitel pernapasan di bagian lain dari tubuh menjadi epitel skuamosa dalam
menghadapi iritasi kronis dan peradangan.

Hal ini mendalilkan bahwa daerah peradangan metaplasia ke epitel skuamosa terjadi pada
mukosa telinga tengah dan kemudian meluas membentuk kista. Hal ini diamati sering pada
operasi telinga tengah dan digambarkan sebagai “kolesteatoma mutiara” formasi yang
merupakan hasil terjebak pembentukan keratinocytic layak yang mengarah ke kolesteatoma
lokal kecil.8

3. Teori Implantasi

Implantasi keratinosit ke rongga telinga tengah. Implantasi dapat terjadi ketika terdapat
kerusakan membran timpani yang disebabkan karena suara ledakan yang akan menyebabkan
terjadinya implantasi dari keratin kedalam rongga telinga tengah dan terjebak disana ketika
terjadi penyembuhan dari membran timpani. Selain dari trauma pada membran timpani,
implantasi dari keratin ini juga dapat terjadi ketika terjadi fraktur pada tulang temporal ataupun
implantasi yang disebabkan karena tindakan medis atau yang biasa kita sebut sebagai
iatrogenik. Beberapa tindakan operasi yang berhubungan dengan telinga tengah seperti
stapedectomy, tympnaoplasty, pemasangan pressure equalization tube, dah tindakan eksplorasi
dari telinga tengah dapat menjadi penyebab dari terjadinya kolesteatoma sekunder.
Sebuah percobaan dilakukan oleh Wolf dan teman-teman dari 210 telinga yang
mengalami kerusakan membran timpani karena ledakan, kejadian dari kolesteatoma yang
bersifat invasif sebesar 4,8% dan ditemukan 3 kasus kolesteatoma pada pasien yang mengalami
fraktur dari tulang temporal. Pada pasien dengan fraktur dari tulang temporal ditemukan bahwa
keratin dapat masuk ketelinga tengah melalui celah yang terbentuk yang disebabkan karena
terjadinya fraktur dari tulang temporal.

Sebuah penilitian baru yang dilakukan oleh Massuda dan Oliveira juga mendapatkan
bukti fisiopatologis yang menyokong migrasi dari epitel yang berasal dari tepi perforasi yang
terjadi pada membran timpani sebagai penyebab dari terjadinya kolesteatoma. Percobaan ini
dilakukan dengan cara membuat sebuah perforasi dari membran timpani dan diberikan latex
dengan 50% propylene glycol akan menyebabkan terjadinya kolesteatoma pada 80-90% bahan
percobaan. Latex ini digunakan sebagai bahan yang akan merangsang terjadinya
neoangiogenesis dan juga sebagai jembatan dari migrasi epitel. Keadaan lainnya yang juga
akan mendukung untuk terjadinya pembentukan kolesteatoma adalah kejadian inflamasi baik
pada fase akut ataupun kronik yang dimana banyak dihasilkan sitokin-sitokin yang disebabkan
karena terdapatnya benda asing pada percobaan ini, namun pada klinis keadaan jaringan yang
mengalami inflamasi ini terjadi pada otitis media baik yang akut maupun yang kronik. Oleh
karena itu dari percobaan ini disimpulkan bahwa migrasi dari sel epitel yang berkeratin pada
tempat terjadinya perforasi dari membran timpani dan disertai oleh keadaan lingkungan yang
sedang mengalami inflamasi merupakan penyebab utama dari terjadinya kolesteatoma
sekunder ini.1

/
Perusakan Tulang pada Kolesteatoma
Terdapat dua mekanisme bagaimana terjadinya osteolysis pada kolesteatoma telinga
tengah yaitu resorsi tulang akibat penekanan dan disolusi enzym pada tulang oleh cytokine
mediated inflammation. Nekrosis akibat penekanan pertama kali disebutkan oleh Steinbru pada
tahun 1879 dan Walsh pada tahun 1951, sedangkan resorpsi tulang secara langsung
dideskripsikam oleh Chole dan coworkers pada tahun 1985. Chole mengimplant silicon pada
telinga tengah gerbil tanpa kolesteatoma dan hasilnya menunjukan adanya resorpsi tulang di
area yang mengalami penekanan. Mereka mengestimasi bahwa tekanan 50-120mm Hg
menghaislkan resorpsi tulang oleh osteoclast.1
Tidak jelas bagaimana aktivasi oleh tekanan memicu osteoclast melakukan perusakan
tulang pada kolesteatoma. Nmaun perusakan tulang yang dipicu oleh enzym dan sitokin telah
dipelajari pada 2 abad terakhir. Matrix metalloproteinase (MMP), suatu enzym dari family zinc
metalloenzymes yang mendegradasi matrix ekstraselular telah diketahui terdapat pada
kolesteatoma. MMP-2 dan MMP-9 terdapat pada lapisan epitel suprabasal kolesteatoma.1
IL-1, IL-8 merupakan mediator interselular penting untuk aktivitas osteoclast dan
berdasarkan peneliian jumlah keduanya meningkat pada sel kolesteatoma yang dikultur
dibandingkan dnegan pada sel normal. Yan juga menemukan bawha monosit dapat
memproduksi sel dengan aktivitas mirip osteoclast yang memproduksi acid phosphatase yang
dapat memicu demineralisasi tulang.1
Penelitian terakhir oleh Jung menunjukan adanya kemungkinan peran Nitric oxide
sebagai mediator fungsi osteoclas. Penemuannya mengindikasikan peran Nitric Oxide pada
resorpsi tulang yang dimediasi oleh osteoclast. Studi-studi diatas menunjukan pentingnya
osteolisis dan mekanisme regulasinya pada perusakan tulang yang ditemukan pada
kolesteatoma telinga tengah.1

Gejala Klinis
Pasien dengan kolesteatoma akuisital umumnya menunjukkan gejala otorrhea yang
rekuren atau purulen persisten dan gangguan pendengaran. Gejala tinitus juga sering
dikeluhkan. Pada beberapa kasus, namun jarang terjadi, dapat dijumpai juga vertigo, yang
merupakan akibat dari proses inflamasi pada telinga tengah, atau juga akibat dari erosi
langsung dari labirin oleh kolesteatoma. Facial nerve twitching, palsy, atau kelumpuhan saraf
fasialis dapat juga muncul sebagai akibat dari proses inflamasi atau kompresi mekanik pada
saraf.9
Gejala khas dari kolesteatoma adalah otorrhea tanpa rasa nyeri, baik itu terus-menerus
maupun sering berulang. Apabila kolesteatoma terinfeksi, maka infeksi tersebut akan sulit
dihilangkan. Hal ini dikarenakan kolesteatoma tidak memiliki suplai darah sehingga antibiotik
sistemik tidak dapat mencapai pusat infeksi. Oleh karena itu, untuk kolesteatoma yang
terinfeksi dapat digunakan antibiotik topikal, namun untuk area infeksi yang luas, kolesteatoma
yang terinfeksi umumnya resisten terhadap semua jenis antimikroba. Akibatnya, gejala
ottorhea akan tetap atau berulang walaupun sudah diberikan pengobatan yang agresif.5
Pada pemeriksaan fisik pada kolesteatoma akuisital primer dapat dijumpai retraksi dari
pars flacidda di kebanyakan kasus, dan pars tensa pada sedikit kasus. Pada kedua tipe retraksi
akan berisi matriks epitel skuamosa dan debris keratin. Temuan lainnya adalah otorrhea yang
purulen, polip, jaringan granulasi, dan erosi ossicular. Pada kolesteatoma akuisital sekunder,
bila kolesteatoma berkembang dari perforasi membran timpani, maka matriks epitel skuamosa
dan debris keratin pada umumnya dapat dilihat melalui perforasi. Bila kolesteatoma
berkembang dari implantasi dari epitel skuamosa pada prosedur operasi atau perforasi yang
telah menutup, maka membrani akan tampak normal.9
Pada kasus kolesteatoma kongetinal, gejala klinis sangat tergantung dari letak
kolesteatom, ukuran dan komplikasi yang ditimbulkanya. Kolesteatom yang terbatas pada
kuadran anterosuperior dari membran timpani tidak menimbulkan gejala atau asimptomatis.
Gejala dapat muncul jika terjadi perluasan atau menyebabkan kerusakan pada daerah
sekitarnya. Gejala klinis yang timbul dapat berupa gangguan pendengaran, otitis media efusi,
gangguan keseimbangan, kelumpuhan saraf fasialis, fistula retroaurikuler, maupun gejala
akibat perluasan ke intrakranial.9
Kolesteatoma merupakan media yang baik untuk tempat pertumbuhan kuman (infeksi),
yang paling sering adalah Proteus dan Pseudomonas aeruginosa. Sebaliknya infeksi dapat
memicu respons imun lokal yang mengakibatkan produksi berbagai mediator inflamasi dan
berbagai sitokin. Sitokin yang diidentifikasi terdapat pada matriks kolesteatoma adalah
interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor-α (TNF-α), tumor growth
factor (TGF). Zat-zat ini dapat menstimulasi sel-sel keratinosit matriks kolesteatoma bersifat
hiperproliferatif, destruktif, dan mampu berangiogenesis.
Tabel 1. Distribusi kuman dari kavum tympani pada Otitis Media Supuratif Kronis dengan
Kolesteatoma.10
Jenis Kuman Jumlah temuan

Pseudomonas aeruginosa 9 31,5%

Proteus mirabilis 17 58,5%

Difteroid 1 3,3%

Streptococcus β-hemolyticus 1 3,3%

Enterobacter sp. 1 3,3%

Massa kolesteatoma ini akan menekan dan mendesak organ di sekitarnya serta
menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses nekrosis terhadap tulang diperhebat
oleh karena pembentukan reaksi asam oleh pembusukan bakteri. Proses nekrosis tulang ini
mempermudah timbulnya komplikasi seperti labirintitis, meningitis, dan abses otak.
Penegakkan Diagnosis
Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan THT terutama
pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan penala merupakan pemereriksaan sederhana untuk
mengetahui gangguan pendengaran. Untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan
pendengaran dapat dilakukan pemeriksaan audiometric nada murni, audiometric tutur (speech
audiometric), dan pemeriksaan BERA (brainstem evoked response audiometric) bagi pasien
anak yang tidak koperatif dengan pemeriksaan audiometric nada murni.
Berdasarkan gejala klinik didapatkan pasien mengeluh:
- penurunan kemampuan mendengar
- otorrhea, biasanya kuning dan berbau tidak enak
- otalgia
- obstruksi nasal
- tinnitus, intermiten dan unilateral
- vertigo
Didapatkan juga riwayat penyakit sebelumnya seperti :
- otitis media kronik
- perforasi membran timpani
- operasi telinga sebelumnya

Pada pemeriksaan otoskopi pasien dengan kolesteatoma dapat ditemukan :


- perforasi tipe marginal atau atik
- terdapat kolesteatoma di liang telinga tengah (epitimpanum)
- abses atau fistel retroaurikuler (belakang telinga) pada kasus lanjut
- polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar (berasal dari telinga tengah)
- secret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatoma)
Pemeriksaan penunjang

1. Radiologi

Dapat dilakukan foto rontgen mastoid, CT scan, atau MRI.


Foto rontgen mastoid

Xray mastoid normal

Xray mastoid dengan kolesteatoma


CT scan merupakan pilihan radiologi yang dapat mendeteksi gangguan tulang. Namun CT
scan tidak selalu dapat membedakan antara jaringan granulasi dengan kolesteatoma. Gaurano
(2004) telah mendemonstrasikan bahwa ekspansi antrum mastoid dapat dilihat pada 92%
kolesteatoma telinga tengah dan 92% mendemonstrasikan adanya erosi tulang pendengaran.5
CT scan yang digunakan adalah CT scan tulang temporal (2mm – tanpa kontras dengan
potongan axial dan coronal.

Gangguan tulang yang dapat dideteksi menggunakan CT scan termasuk:11


- erosi scutal
- fistula labirin
- erosi atau diskontinuitas tulang pendengaran

CT scan mastoid normal

CT Scan kolesteatoma telinga tengah dengan erosi koklea dan mastoid


MRI digunakan saat dipikirkan terdapat problem spesifik yang menyangkut jaringan lunak
disekitarnya, problem itu termasuk 5
- gangguan dura
- abses subdural atau epidural
- herniasi otak ke cavum mastoid
Beberapa dokter hanya melakukan preoperative imaging pada kasus spesial dan cukup yakin
untuk menjalankan operasi tanpa melakukan pemeriksaan radiologi terlebih dahulu. Biasanya
dokter meminta dilakukannya preoperative CT scan pada keadaan :
- bila diagnosa masih belum pasti, diagnosa belum pasti biasanya pada pasien dengan
retraksi attic kecil yang didapatkan pada pemeriksaan fisik. CT scan pada pasien ini
dapat membantu membedakan antara retraksi tanpa perluasan jaringan lunak ke
epitympanic space dengan masa jaringan lunak ekstensif disertai erosi tulang.
- Bila pasien menghindari operasi, sebaiknya operasi tidak dilakukan bila CT scan telah
dilakukan dan dievaluasi berdasarkan hasil CT scan
- Bila anatomi tidak dapat ditentukan dan luasnya penyakit tidak diketahui
- Pasien dengan kelainan congenital (ex: atresia)
- Bila dicurigai adanya komplikasi
- Bila dicurigai terdapat fistla labyrinthine atau erosi tuba fallopi
- Bila terdapat perluasan ke intracranial, peradangan dura, meningitis, abscess, atau
trombosis sinus sigmoid diindikasikan dilakukan MRI

Namun terdapat pendapat lain bahwa kolesteatoma yang direncanakan untuk dilalukan
pembedahan harus dilakukan preoperative CT scan sebelumnya.

MRI menunjukan kolesteatoma


2. Audiometri harus dilakukan sebelum operasi kapanpun dapat dilakukan kecuali operasi
dilakukan segera karena komplikasi.5 Pada audiometri didapatkan :
- tuli konduktif sedang yaitu lebih dari 40 dB : mengindikasikan diskontinuitas tulang
pendengaran
- tuli konduktif ringan : kantung retraksi mentransmit suara langsung ke stapes atau footplate

3. Histologi
Pemeriksaan histology dari kolesteatoma yang telah diangkat menunjukan sel epitel
skuamosa.5

Patologi Anatomi Kolesteatoma2


1. Konten kistik : pusat keratin yang mengalami deskuamasi
2. Matrix : keratinizing stratified squamos epitel
3. Perimatrix : jaringan granulasi, mensekresi enzim proteolitik yang dapat
menyebabkan erosi tulang
4. Hiperkeratosis

4. Kultur dan uji resistensi kuman dari secret telinga


Penatalaksanaan

Terapi Medis

Terapi medis bukanlah pengobatan yang sesuai untuk kolesteatoma. Pasien yang
menolak pembedahan atau karena kondisi medis yang tidak memungkinkan untuk anestesi
umum harus membersihkan telinga mereka secara teratur. Pembersihan secara teratur dapat
membantu mengontrol infeksi dan dapat memperlambat pertumbuhan kolesteatom, tapi tidak
dapat menghentikan ekspansi lebih lanjut dan tidak menghilangkan risiko komplikasi. Terapi
antimikroba yang utama adalah terapi topikal, akan tetapi terapi sistemik juga dapat membantu
sebagai terapi tambahan.11

Antibiotik oral bersama pembersihan telinga atau bersama dengan tetes telinga lebih
baik hasilnya daripada masing-masing diberikan tersendiri. Diperlukan antibiotik pada setiap
fase aktif dan dapat disesuaikan dengan kuman penyebab. Antibiotik sistemik pertama dapat
langsung dipilih yang sesuai dengan keadaan klinis, penampilan sekret yang keluar serta
riwayat pengobatan sebelumnya. Sekret hijau kebiruan menandakan Pseudomonas , sekret
kuning pekat seringkali disebabkan oleh Staphylococcus, sekret berbau busuk seringkali
disebabkan oleh golongan anaerob.10

Kotrimokasazol, Siprofloksasin atau ampisilin-sulbaktam dapat dipakai apabila curiga


Pseudomonas sebagai kuman penyebab. Bila ada kecurigaan terhadap kuman anaerob, dapat
dipakai metronidazol, klindamisin, atau kloramfenikol. Bila sukar mentukan kuman penyebab,
dapat dipakai campuran trimetoprim-sulfametoksazol atau amoksisillin-klavulanat. Antibitotik
topikal yang aman dipakai adalah golongan quinolon. Karena efek samping terhadap
pertumbuhan tulang usia anak belum dapat disingkirkan, penggunaan ofloksasin harus sangat
hati-hati pada anak kurang dari 12 tahun.9

Pembersihan liang telinga dapat menggunakan larutan antiseptik seperti Asam Asetat
1-2%, hidrogen peroksisa 3%, povidon-iodine 5%, atau larutan garam fisiologis. Larutan harus
dihangatkan dulu sesuai dengan suhu tubuh agar tidak mengiritasi labirin setelah itu
dikeringkan dengan lidi kapas.10

Terapi Pembedahan

Terapi pembedahan bertujuan untuk mengeluarkan kolesteatoma. Dalam keadaan


tertentu, ahli bedah dapat membuat keputusan untuk menggunakan teknik canal wall up atau
canal wall down. Jika pasien memiliki beberapa episode kekambuhan dari kolesteatoma dan
keinginan untuk menghindari operasi masa depan, teknik canal wall down adalah yang paling
sesuai.

Beberapa pasien tidak dapat menerima tindakan canal-wall down. Pasien tersebut dapat
diobati dengan tertutup (canal wall-up), asalkan mereka memahami bahwa penyakit lebih
mungkin kambuh dan mereka mungkin membutuhkan beberapa serial prosedur pembedahan.6

Meskipun semua kelebihan dan kekurangan kedua teknik operasi itu menjadi relatif di
tangan ahli bedah yang berpengalaman, tiap ahli bedah telinga mempunyai alasan sendiri
mengapa memilih satu teknik dari teknik yang lain. Hal yang jelas berbeda adalah bahwa
timpanoplasti dinding utuh (canal wall-up) berusaha maksimal mempertahankan bentuk
fisiologis liang telinga dan telinga tengah.10

Mastoidektomi radikal dengan timpanoplasti dinding runtuh

Mastoidektomi radikal klasik adalah tindakan membuang seluruh sel-sel mastoid di


rongga mastoid, meruntuhkan seluruh dinding kanalis akustikus eksternus posterior,
pembersihan total sel-sel mastoid yang memiliki drainase ke kavum timpani. Inkus dan malleus
dibuang, hanya stapes yang dipertahankan. Begitu pula seluruh mukosa kavum tympani.

Timpanoplasti dinding runtuh merupakan modifikasi dari mastoidektomi radikal,


bedanya adalah mukosa kavum timpani dan sisa tulang-tulang pendengaran dipertahankan
setelah proses patologis dibersihkan. Tuba eustachius tetap dipertahankan dan dibersihkan agar
terbuka. Kemudian kavitas operasi ditutup dengan fasia m.temporalis baik berupa free fascia
graft maupun berupa jabir fasia m.temporalis, dilakukan juga rekonstruksi tulang-tulang
pendengaran.
Tabel 2. Keunggulan dan kelemahan timpanoplasti dinding utuh dan dinding runtuh.10

Teknik Operasi Timpanoplasti Dinding Utuh Dinding Runtuh

Fisiologik Lebih fisiologik Kurang fisiologik

Residivitas Lebih tinggi Lebih rendah

Kesulitan Lebih tinggi Lebih rendah

Komplikasi (iatrogenik) Lebih tinggi Lebih rendah

Perbaikan pendengaran Lebih tinggi Lebih rendah

Keperluan operasi kedua Ya Tidak

Pembersihan spontan rongga Lebih baik Memerlukan lebih sering


sooperasi (self cleansing) kontrol

Hearing aid Lebih mudah Sukar

Terapi postoperatif yang diberikan antara lain antimikroba yang sesuai dan steroid bila
diperlukan. Antimikroba yang dipakai adalah antimikroba topikal, contohnya ialah
aminoglycoside and fluoroquinolone topikal. Jenis antimikroba ini efektif untuk bakteri gram
negatif. Selain itu, untuk menghindari efek ototoksik, dapat juga dipakai ciprofloxacin
(Ciloxan) or ofloxacin (Floxin Otic). Selain antimikroba, agen yang umum diberikan adalah
steroid, yaitu steroid cream. Steroid berfungsi untuk mengontrol perkembangan dari jaringan
granulasi.5

Setelah tindakan bedah dilakukan, pasien dianjurkan untuk kontrol secara rutin. Pasien
yang menajalani prosedur canal-wall-down dianjurkan untuk kontrol setiap 3 bulan untuk
pembersihan liang telinga. Tujuanny aialah untuk menjaga agar telinga pasien tetap bebas daei
deskuamasi epitel dan serumen. Pada pasien yang menjalani prosedur canal-wall-up umumnya
memerlukan tindakan operatif kedua, setelah 6-9 bulan setelah tindakan operatif pertama.
Komplikasi
Perikondritis atau kondritis terjadi pada kurang dari 1% pasien. Eksposur dan
devaskularisasi karena pembedahan menjadi penyebab mudahnya terjadi infeksi. Gejala dari
perikondritis adalah nyeri yang meningkat, eritema, dan edema pada kulit yang melapisi
kartilago aurikula. Gejala lainnya adalah adanya fluktuasi.2

Perikondritis

Komplikasi yang paling ditakutkan dari operasi tympanomastoid adalah perlukaan pada
nerves fasialis. Perlukaan pada nerves fasialis biasanya diketahui saat prosedur berlangsung
namun kadang diketahui pada saat pasien berada di ruang pemulihan. Langkah pertama untuk
menangini perlukaan nerves fasialis adalah dengan dekompresi nerves di sekitar area yang
terlihat terjadi perlukaan. Jauhkan tulang beberapa millimeter proksimal dan distal dari segmen
yang rusak sehingga perlukaan dapat jelas terlihat.5 Bila lebih dari 50% dari diameter nerves
mengalami perlukaan seperti terpotong, tertarik, terjepit, dilakukan reseksi pada segmen yang
mengalami perlukaan dan dilakukan reanastomisis atau graft dari nerves.5
Bila perlukaan pada nerves fasialis tidak diketahui selama operasi berlangsung dan
pasien bangun dnegan paralisis fasial, dokter harus menunggu beberapa jam untuk memastikan
bahwa ini bukan efek dari anestesi local. Bila dokter tidak yakin bahwa nerves fasialis utuh,
pasien harus dilakukan operasi secepatnya untuk dilakukan dekompresi nerves secepatnya dan
derajat perlukaan diukur lalu diputuskan apakah segmen yang mengalami perlukaan perlu
dieksisi.5

Kadang fistula labyrinthine diketahui dari preoperative CT scan image atau fistula
terlihat tanpa diprediksi sebelumnya. Bila hal ini terjadi, epitel yang mengalami dekskuamasi
diangkat hingga meninggalkan matrix di kanal horizontal. Bila fistula muncul di permukaan,
matrix perlahan diangkat dan sisanya ditutupi dengan fascia.5
Bila fistula besar dan matrix kolesteatoma tertempel ke labirin membranous itu sendiri,
matrix dibiarkan pada posisinya. Bila labirin membranous terbuka saat operais, antibiotik IV
spectrum luas dan steroid harus diberikan secepatnya. Kadang, fistula kanal terbentuk selama
prosedur operasi. Bila fistula itu menyangkut salah satu dari kanalis semisirkularis, harus
dilapisi dengan jaringan lunak (mislanya fascia) dan diberikan antibiotik IV dan steroid. Pasien
ini akan mengalami gangguan keseimbangan setelah operasi namun dapat kembali normal bila
antibiotik dan steroid diberikan pada waktu yang tepat.5
Drainase yang persisten dapat terjadi dan yang palings erring karena adanya sel udara
yang tersekuestrasi yang terus memicu infeksi. Solusi satu-satunya adalah dengan mengangkat
area yang bersangkutan. Bila area osteitis besar dan otorrhea postoperative terjadi terus-terusan
selama berbulan-bulan atau tahunan, perlu dipikirkan untuk dilakukan skin graft.5
Benda asing yang berada di kavitas mastoid atau luka dapat menjadi focus infeksi.
Benda asing yang paling sering ditemukan adalah fragmen metal dari bor yang mengenai ujung
alat suction irigasi saat operasi.5
Herniasi otak melalui tegmen fossa tengah terlihat mengkilap. Adanya cairan bening
dengan lesi mengkilap seperti di atas menunjukan adanya kemungkinana herniasi otak dan
leakage cairan serebrospinal. Dapat dilakuakn MRI atau CT scan untuk memastikan.5

Prognosis
Melakukan proses eliminasi dari kolesteatoma hampir selalu berhasil, namun terkadang
membutuhkan tindakan operasi yang berkali-kali. Karena penanganan dari kolesteatoma
dengan pembedahan pada umumnya berhasil dengan sempurna, oleh karena itu komplikasi
yang timbul dari pertumbuhan kolesteatoma yang tidak terkontrol sangatlah jarang terjadi.
Pada penanganan canal-wall-down tympanomastoidectomy akan memberikan angka
persentase rekurensi ataupun persistensi yang rendah dari kolesteatoma. Reoperasi dari
kolesteatoma hanya terjadi pada 5% atau bahkan lebih sedikit. Oleh karena itu tehnik ini jauh
lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan closed-cavity technique yang memiliki angka
rekurensi antara 20-40%.5
Meskipun begitu, karena tulang-tulang pendengaran dan ataupun membran timpani
tidak dapat mengalami resolusi secara sempurna kembali kedalam keadaan normal,
kolesteatoma tetap secara relatif merupakan penyebab yang cukup sering dari tuli konduktif
yang bersifat permanent.
DAFTAR PUSTAKA

1. Semaan MT, Magerian CA. The Pathophysiology of Cholesteatoma. 2011. Available


from: University Hospitals of Cleveland
2. Rothholtz, Vanessa. Cholesteatoma. Department of otolaryngology Head and Neck
Surgery. University of California. Available from
www.utmb.edu/otoref/grnds/.../Cholest-slides-060125.ppt.
3. Elizabeth M. Rash, PhD, FNP-C . Recognize Cholesteatomas Early. University of
Central Florida. February 2004.
4. Snow, J. B. & Ballenger, J. J. (2002). Ballenger's Otorhinolaryngology Head and Nech
Surgery Sixteenth Edition. Ontario: B.C.Decker.
5. Roland PS, Meyers AD. Cholesteatoma. [homepage on the Internet]. 2012 [cited 2013
Feb 17]. Available from: Medscape, Web site:
http://emedicine.medscape.com/article/860080-overview#showall
6. Makishima, Tomoko. Cholesteatoma. University of Texas Medical Branch.
Department of Otolaryngology.Available from
telemed.shams.edu.eg/ASTP/mod/resource/view.php?id=526.
7. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;
2008
8. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2013 Dec; 65(Suppl 3): 665–669. Published
online 2011 Dec 4.
9. Lalwani, A. K. (2007). Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head &
Neck Surgery. Phoenix: McGraw Hill.
10. Helmi. Otitis Media Supuratif Kronis. Edisi Pertama. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;
2005
11. Waizel S. Temporal Bone, Aquired Cholesteatoma. Emedicine. May 1, 2007. Available
at http://emedicine.medscape.com/article/384879-overview

Anda mungkin juga menyukai

  • Diare Fix
    Diare Fix
    Dokumen37 halaman
    Diare Fix
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat
  • PR 1 Raesya
    PR 1 Raesya
    Dokumen7 halaman
    PR 1 Raesya
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat
  • Bronkopneumonia - Paramitha
    Bronkopneumonia - Paramitha
    Dokumen60 halaman
    Bronkopneumonia - Paramitha
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat
  • Bimbs 4 - Status Epileptikus
    Bimbs 4 - Status Epileptikus
    Dokumen25 halaman
    Bimbs 4 - Status Epileptikus
    putrishabrina
    Belum ada peringkat
  • Chi Kun Gunya
    Chi Kun Gunya
    Dokumen7 halaman
    Chi Kun Gunya
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat
  • ISK Adria
    ISK Adria
    Dokumen24 halaman
    ISK Adria
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat
  • Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk PDF
    Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk PDF
    Dokumen79 halaman
    Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk PDF
    Fathir
    0% (1)
  • PR 1 Raesya
    PR 1 Raesya
    Dokumen8 halaman
    PR 1 Raesya
    raesyananta
    Belum ada peringkat
  • Referat Hipertensi
    Referat Hipertensi
    Dokumen23 halaman
    Referat Hipertensi
    Iche Juwice
    Belum ada peringkat
  • MENU Makanan
    MENU Makanan
    Dokumen3 halaman
    MENU Makanan
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat
  • Cover DH Uli
    Cover DH Uli
    Dokumen40 halaman
    Cover DH Uli
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat
  • Cover DH Uli
    Cover DH Uli
    Dokumen23 halaman
    Cover DH Uli
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat
  • Cover DH Uli
    Cover DH Uli
    Dokumen40 halaman
    Cover DH Uli
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat
  • DR Dini Kedokteran Kerja
    DR Dini Kedokteran Kerja
    Dokumen23 halaman
    DR Dini Kedokteran Kerja
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat
  • Contoh Laporan Pengmas Ko Ass Kedkom
    Contoh Laporan Pengmas Ko Ass Kedkom
    Dokumen22 halaman
    Contoh Laporan Pengmas Ko Ass Kedkom
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat
  • Tugas DR Shopi
    Tugas DR Shopi
    Dokumen7 halaman
    Tugas DR Shopi
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat
  • Makalah Asplenia
    Makalah Asplenia
    Dokumen12 halaman
    Makalah Asplenia
    Aryo 'Koes' Putranto
    Belum ada peringkat
  • Translate Jurnal
    Translate Jurnal
    Dokumen5 halaman
    Translate Jurnal
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat
  • Pertanyaan Imunisasi
    Pertanyaan Imunisasi
    Dokumen27 halaman
    Pertanyaan Imunisasi
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat
  • Imun
    Imun
    Dokumen48 halaman
    Imun
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat
  • Tien KIPI7360 PDF
    Tien KIPI7360 PDF
    Dokumen26 halaman
    Tien KIPI7360 PDF
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat
  • Dadrs
    Dadrs
    Dokumen31 halaman
    Dadrs
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat
  • Tien KIPI7360 PDF
    Tien KIPI7360 PDF
    Dokumen26 halaman
    Tien KIPI7360 PDF
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat
  • BRPN
    BRPN
    Dokumen16 halaman
    BRPN
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat
  • Tuberkulosis
    Tuberkulosis
    Dokumen1 halaman
    Tuberkulosis
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat
  • SH (Status Ujian)
    SH (Status Ujian)
    Dokumen38 halaman
    SH (Status Ujian)
    Andry Yonatha
    Belum ada peringkat
  • Dss
    Dss
    Dokumen2 halaman
    Dss
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat
  • Cover Referat
    Cover Referat
    Dokumen1 halaman
    Cover Referat
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat
  • Case Report Ortho Fix Banget
    Case Report Ortho Fix Banget
    Dokumen23 halaman
    Case Report Ortho Fix Banget
    Annisa Kartikasari
    Belum ada peringkat