Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ahmad Fathoni Halim

NIM : C111 11 002

Postherpetic Neuralgia
Patofisiologi Nyeri Postherpetic Neuralgia
Postherpetic Neuralgia awalnya berasal dari infeksi primer virus varisella zoster atau yang dikenal
sebagai varisella atau cacar air. Pajanan pertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus ini
masuk ke tubuh melalui sistem respiratorik. Pada nasofaring, virus varisella zoster bereplikasi dan
menyebar melalui aliran darah sehingga terjadi viremia dengan manifestasi lesi kulit yang tersebar
di seluruh tubuh. Periode inkubasi sekitar 14-16 hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer
dilalui, virus ini bersarang di ganglion kornu dorsal, hidup secara dorman selama bertahun-tahun.1
NPH memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri herpes zoster akut. NPH, komplikasi dari
herpes zoster, adalah sindrom nyeri neuropatik yang dihasilkan dari kombinasi inflamasi dan
kerusakan akibat virus pada serat aferen primer saraf sensorik. Setelah resolusi infeksi primer
varicella, virus tetap aktif di ganglia sensorik. Virus ini diaktifkan kembali atau mengalami
reaktivasi, bermanifestasi sebagai herpes zoster akut, dan berhubungan dengan kerusakan pada
ganglion, saraf aferen primer, dan kulit. Studi histopatologi telah menunjukkan fibrosis dan
hilangnya neuron (dalam ganglion dorsal), jaringan parut, serta kehilangan akson dan mielin (pada
saraf perifer yang terlibat), atrofi (dari tanduk dorsal sumsum tulang belakang), dan peradangan
(sekitar saraf tulang belakang) dengan infiltrasi dan akumulasi limfosit. Selain itu, ada
pengurangan saraf inhibitor berdiameter besar dan peningkatan neuron eksitasi kecil, pada saraf
perifer.2
Patofisiologi NPH terjadi oleh karena cedera neuron yang mengenai sistem saraf baik perifer
maupun pusat. Cedera ini mengakibatkan neuron sentral dan perifer mengadakan discharge
spontan sementara juga menurunkan ambang aktivasi untuk menghasilkan nyeri yang tidak sesuai
pada stimulus yang tidak menyebabkan nyeri. Biopsi kulit menunjukkan hilangnya ujung saraf
bebas epidermal pada daerah yang terkena. Namun, reinervasi tidak dibutuhkan untuk resolusi
nyeri.3
Reaktivasi virus ini mengakibatkan inflamasi atau kerusakan pada serabut saraf sensoris yang
berkelanjutan, hilang dan rusaknya serabut-serabut saraf atau impuls abnormal, dimana serabut
saraf berdiameter besar yang berfungsi sebagai inhibitor hilang atau rusak dan mengalami
kerusakan terparah. Akibatnya, impuls nyeri ke medulla spinalis meningkat sehingga pasien
merasa nyeri yang hebat. Virus herpes zoster kebanyakan memusnahkan sel-sel ganglion yang
berukuran besar sementara yang tersisa adalah sel-sel berukuran kecil. Mereka tergolong dalam
serabut halus yang menghantarkan impuls nyeri, yaitu serabut A-delta dan C. Hal ini menyebabkan
semua impuls yang masuk diterima oleh serabut penghantar nyeri. Selain itu pada saraf perifer
terjadi lesi yang mengakibatkan saraf perifer tersebut memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah
sehingga menimbulkan hyperesthesia, yaitu respon sensitivitas yang berlebihan terhadap stimulus.
Hal ini menunjukkan adanya kelainan pada proses transduksi.1
Penghantaran nyeri pada proses transmisi juga mengalami gangguan. Hal ini diakibatkan oleh
hilangnya impuls yang disalurkan oleh serabut tebal, sehingga semua impuls yang masih dapat
disalurkan kebanyakan oleh serabut halus. Akibatnya sumasi temporal tidak terjadi, dikarenakan
impuls yang seharusnya dihantarkan melalui serabut tebal dihantarkan oleh serabut halus. Karena
sebagian besar dari serabut tebal sudah tidak ada, maka mayoritas dari serabut terdiri dari serabut
halus. Karena itu sumasi temporal yang wajar menghilang.1
Dengan hilangnya sumasi temporal maka proses modulasi yang terjadi pada kornu posterior tidak
berjalan secara normal, akibatnya tidak terjadi proses antara sistem analgesik endogen dengan
asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior. Kornu posterior adalah pintu gerbang untuk
membuka dan menutup jalur penghantaran nyeri. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya gejala
hiperalgesia. Maka dari itu impuls yang dipancarkan ke inti thalamus semuanya tiba kira-kira pada
waktu yang sama dan hampir semuanya telah dihantarkan oleh serabut halus yang merupakan
serabut penghantar impuls nyeri. Kedatangan impuls yang serentak dalam jumlah yang besar
dipersepsikan sebagai nyeri hebat yang sesuai dengan sifat neuralgia. Sesuai dengan tipe pada
penghantaran serabut saraf masing-masing, yaitu serabut saraf tipe A membawa nyeri tajam, tusuk
dan selintas sedangkan serabut saraf tipe C membawa nyeri lambat dengan rasa terbakar dan
berkepanjangan. Hal ini mengakibatkan timbulnya allodinia, yaitu nyeri yang disebabkan oleh
stimulus normal (secara normal semestinya tidak menimbulkan nyeri).1, 3
NPH dibedakan menjadi dua submodel, yaitu irritable nociceptor dan deafferentation. Model
irritable nociceptor berhubungan dengan aktivitas Serabut serat C dan adanya alodinia taktil,
mekanik, dan suhu yang berat dengan kehilangan sensoris yang kecil atau tidak ada sama sekali.
Nosiseptor Serabut serat C biasanya hanya terstimulasi oleh stimulus noxious, namun dengan
adanya perubahan selular yang telah dijelaskan di atas menyebabkan serat saraf ini tersensitisasi,
merendahkan ambang aksi potensialnya, dan meningkatkan level dan besar pelepasannya. Luaran
klinisnya adalah nyeri spontan dan alodinia termediasi NPH.2
Model deafferentation berhubungan dengan alodinia dan kehilangan sensoris yang berhubungan
dengan dermatom. Deafferentation perifer menghasilkan reorganisasi kornu posterior. Serabut
serat C yang tersensitisasi pada saraf perifer berkurang jumlahnya yang mengakibatkan
bertunasnya serat A-β (serat berdiameter tebal yang berespon terhadap stimulus mekanik seperti
raba dan tekanan). Pertunasan serat A-β akhirnya menghasilkan hubungan dengan traktus
spinotalamikus pada medulla spinalis yang sebelumnya mengadakan sinaps dengan serat C untuk
menghantarkan nyeri. Luaran klinis dari reorganisasi kornu dorsal yang disebabkan oleh
degenerasi serat C dengan perhubungan serat A-β mengakibatkan rangsang sentuh dan tekanan
menjadi berkomunikasi silang dengan traktus spinotalamikus yang menghantarkan nyeri,
menghasilkan alodinia yang diperantarai SSP.2
Sensitisasi sentral juga memainkan peranan penting dalam NPH karena impuls yang terus menerus
dan konstan menuju medulla spinalis, juga dengan cedera virus secara langsung menyebabkan
eksitabilitas kronik sehingga input normal dan banyak dari nosiseptor perifer menghasilkan respon
sentral yang meningkat.2
Terapi Post Herpetic Neuralgia
Post Herpetic Neuralgia dapat didefinisikan sebagai nyeri yang timbul lebih dari 30 hari setelah
onset (gejala awal) erupsi zoster terjadi. Namun Dworkin dan The International Association for Study of
Pain (IASP) mendefinisikan neuralgia post herpetika sebagai nyeri neuropatik yang menetap setelah onset
ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster) tanpa adanya malignitas. Berikut beberapa terapi
PHN yang dianjurkan untuk mengurangi angka kesakitan:
a. Anti depresan
Antidepresan trisiklik (amitriptilin, nortriptiline, imipramin, desipramine dan doksepin) efektif
pada beberapa pasien melalui mekanisme inhibisi reuptake norepinefrin dan serotonin
dibanding SSRI (selective serotonine reuptake inhibitor) seperti fluoxetine, paroxetine,
sertraline, dan citalopram yang hanya menghambat reuptake serotonin.
- Dosis amitriptilin = desawa 30-100 mg PO menjelang tidur; anak 0,1/kg/hr ditoleransi
hingga 0,5-2mg/hr menjelang tidur; remaja 25-50mg/hr sampai 100mg/hr PO yang terbagi
dalam dosis.
- Dosis nortriptilin = dewasa 25mg PO 3-4xsehari, tidak melebihi 150mg/hr; anak BB<25kg
tidak dianjurkan, BB25-35kg 10-20mg/hr PO, BB35-54kg 25-35mg/hr PO, BB>25kg sama
dengan dosis dewasa.
b. Analgesik
Analgesik opioid (narkotik) dosis kecil dan menengah nampak efektif pada beberapa pasien,
sementara analgesik non-narkotik menunjukkan efektifitas rendah.
Tramadol telah terbukti efektif karena bekerja sebagai agonis mu-opioid yang juga
menghambat reuptake norepinefrin dan serotonin. Dosis tramadol dititrasi hingga maksimum
400 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Ada juga Oxycodone dengan dosis 60mg/hari.
Penggunaan krim topikal seperti capsaicin akan berefek pada neuron sensorik serat C (C-
fiber) dimana neuron ini melepaskan neuropeptida inflamatorik seperti substansia P yang
menginisiasi nyeri. Dengan dosis 3-4xsehari selama 3-4 minggu, capsaicin mendesensitisasi
neuron ini.
c. Kortikosteroid
Efek yang diharapkan pada terapi PHN dengan kortikosteroid adalah efek anti inflamasi dengan
menekan migrasi dari lekosit PMN dan sebaliknya akan meningkatkan permeabilitas kapiler.
- Dosis dexametason = dewasa 0,75-9mg/hr PO dalam dosis terbagi setiap 6-12 jam; anak
0,08-0,3mg/kg/hr PO dalam dosis terbagi setiap 6-12 jam.
- Dosis prednison = dewasa 5-60mg/hr PO setiap hari atau terbagi dalam 2-4xsehari,
tappering off setelah 2 minggu/gejala membaik; anak 4-5mg/m2/hr PO atau 1-2mg/kg/hr
PO tappering off setelah 2 minggu/gejala membaik.
- Dosis metilprednisolon = dewasa dosis awal 125-250mg IV, dosi maintenance 0,5-
1mg/kg/dosis IV setiap 6 jam selama 5 hari; anak dosis awal 2mg/kg IV, dosis maintenance
0,5-1mg/kg/dosis IV setiap 6 jam selama 5 hari.
d. Antivirus
Tujuan diberikan antivirus adalah untuk memperpendek gejala klinik, mencegah komplikasi,
mencegah perkembangan ke arah infeksi laten atau rekuren, menurunkan transmisi dan
mengeliminasi infeksi laten yang menetap.
- Dosis Famsiklovir = dewasa 500-700mg PO 3xsehari selama 3 hari.
e. Obat anestesi
Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat voltage-gated sodium
channels. Inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap terjadinya impuls ektopik spontan.
Lidokain patch 5% topikal menunjukkan efek yang baik dengan ditempatkan pada daerah
simtomatik selama 12 jam dan dilepas untuk 12 jam kemudian.
f. Anti konvulsan
Obat ini digunakan untuk mengatasi spasme otot yang berat dan efek sedasi pada neuralgia.
Selain itu, obat ini juga mempunyai efek pada modulasi nyeri.
Gabapentin nampak lebih efektif mengontrol nyeri neuropatik utamanya nyeri seperti
tertusuk-tusuk (shooting pain). Dosis dewasa 3x100mg PO, dapat mencapai 900-1800mg PO
setiap harinya tapi tidak melebihi 4x900mg PO; dosis anak <12th tidak direkomendasikan,
anak >12th sama dengan dosis dewasa.
Pregabalin onsetnya lebih cepat, berikatan dengan subunit dari voltage-gated calcium
channel, sehingga mengurangi influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter (glutamat,
substance P, dan calcitonin gene-related peptide) pada primary afferent nerve terminals.
Didapatkan pula hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas. Dosis dewasa awal 2x75mg
PO, dapat dinaikkan sampai 2x150mg dalam 1minggu, dapat dinaikkan lagi sampai 2x300mg
jika perlu.
g. TENS (Stimulasi Saraf Elektris Transkutan)
Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial hingga komplit pada
beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan TENS-pun dianjurkan hanya
sebagai terapi adjuvan/tambahan disamping terapi farmakologis.
h. Vaksin4
Penggunaan vaksin digunakan saat terjadi wabah HZ sehingga dapat mencegah timbulnya PHN
pada orang lanjut usia yaitu umur 60 tahun keatas dengan dosis 1 ml diberikan secara sub kutan.

Efek Samping Terapi


Efek samping Antidepresan trisiklik adalah obat ini menyebabkan sedasi dan efek samping antikolinergik,
seperti mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, retensi urine, hipotensi ortostatik, kebingungan
sementara, takikardia, dan fotosensitivitas. Kebanyakan kondisi ini adalah efek samping jangka pendek dan
biasa terjadi serta dapat diminimalkan dengan menurunkan dosis obat. Efek samping toksik termasuk
kebingungan, konsentrai buruk, halusinasi, delirium, kejang, depresi pernafasan, takikardia, bradikardia,
dan koma.

Efek samping obat analgesic seperti tramadol ialah sama seperti umumnya analgesik yang bekerja secara
sentral, efek samping yang dapat terjadi: mual, muntah, dispepsia, obstipasi, lelah, sedasi, pusing, pruritus,
berkeringat, kulit kemerahan, mulut kering dan sakit kepala. Meskipun Tramadol berinteraksi dengan
reseptor apiat sampai sekarang terbukti insidens ketergantungan setelah penggunaan Tramadol, ringan

Efek samping dari Gabapentin dapat menyebabkan beberapa efek samping seperti rasa mengantuk, lemah,
pusing, perubahan berat badan, diare, dan mual. Pada anak-anak, pemberian gabapentin secara tidak tepat
bisa menyebabkan perubahan perilaku, masalah memori, sifat agresif, dan kesulitan berkonsentrasi.

Daftar Pustaka
1. Martin. Ilmiah: NPH. 2008. [online]
http://www.perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?option=com_content&view=section&id=7&layo
ut=blog&Itemid=63 – 92k –
2. Jericho Barbara G. Postherpetic Neuralgia: A Review. The Internet Journal of Orthopedic Surgery.
2010;16: 2.
3. Gharibo Christopher, Kim Carolyn. Neuropatic Pain of Postherpetic Neuralgia. Pain Medicine News
Special Edition. 2010
4. Brisson M. Estimating the number needed to vaccinate to prevent herpes zoster-related
disease, health care resource use and mortality. Can J Public Health. Sep-Oct 2008;99
(5):383-6

Anda mungkin juga menyukai