Anda di halaman 1dari 61

DAFTAR ISI

Hal.
DELINEASI WILAYAH 2

ISU DAN PERMASALAHAN 6

KEUNGGULAN WILAYAH 25

KONSEP AWAL PENGEMBANGAN 28

KETERANGAN COVER:
Istana Bogor - http://bogorhujanwae.blogspot.com/2013/02/istana-bogor.html
Mesjid Kubah Emas Depok - http://wisatahotelpenginapan.blogspot.com
Gedung Negara Kab. Purwakarta - http://disparbud.jabarprov.go.id
Kawasan Industri Bekasi - http://bekasiraya.com

1
DELINEASI WILAYAH
Terdapat banyak definisi yang menjelaskan mengenai metropolitan. Namun pada
dasarnya dapat diambil satu kesimpulan bahwa kawasan metropolitan merupakan
kawasan perkotaan dengan karakteristik aktivitas ekonomi yang teraglomerasi,
jumlah penduduk yang relatif besar serta luas lahan terbangun yang cukup luas.

Metropolitan merupakan sebuah symptom, gejala kenampakannya bukan


merupakan sesuatu yang direncanakan, melainkan tumbuh dengan sendirinya.
Keberadaannya ditandai dengan adanya suatu aglomerasi berbagai kegiatan,
ekonomi, pendidikan, sosial, dan sebagainya. Namun tanpa adanya pengembangan
dan pengelolaan, tidak ada jaminan bahwa metropolitan akan berkembang ke arah
positif. Metropolitan dapat tumbuh secara liar dan tidak terarah. Tentu saja
pertumbuhan seperti itu tidak dikehendaki karena pertumbuhan demikian justru
akan menimbulkan berbagai persoalan perkotaan seperti kemiskinan,
pengangguran, tumbuhnya permukiman kumuh (slum), permukiman liar (squatter)
serta permasalahan sosial seperti meningkatnya tingkat kriminalitas perkotaan.

Bodebek Karpur merupakan salah satu metropolitan yang ada di Provinsi Jawa
Barat. Metropolitan ini berlokasi persis bersebelahan dengan Metropolitan DKI
Jakarta. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan oleh tim WJPMDM sejak
tahun 2011, pada tahun 2010 Wilayah Metropolitan Bodebek Karpur memiliki luas
areal kurang lebih 300.845 Ha, mencakup 82 kecamatan yang tersebar di tujuh
kabupaten/ kota. Dengan mempertimbangkan perkembangan jumlah penduduk,
aktivitas ekonomi serta luas lahan terbangun, diperkirakan hingga tahun 2025, luas
Kawasan Metropolitan Bodebek Karpur akan berkembang menjadi sekitar 503.634
Ha. Berikut adalah ruang lingkup Metropolitan Bodebek Karpur pada tahun 2010
dan tahun 2025.

2
TABEL 1
RUANG LINGKUP WILAYAH METROPOLITAN BODEBEK KARPUR TAHUN 2010 DAN 2025
Lingkup Kecamatan Luas Area Jumlah Penduduk
(kecamatan) (Ha) (Jiwa)
Kabupaten/ Hasil Hasil Hasil
Kota Sensus Proyeksi Sensus Proyeksi Sensus Proyeksi
Penduduk 2025 Penduduk 2025 Penduduk 2025
2010 2010 2010
Kota Bekasi 12 12 21.565 21.565 2.336.489 4.061.625
Kabupaten
19 23 92.160 126.471 2.358.569 4.479.335
Bekasi
Kota Bogor 6 6 11.771 11.771 949,066 1.649.804
Kabupaten
17 25 88.004 138.488 2,704,623 5.933.750
Bogor
Kota Depok 11 11 20.309 20.308 1.736.565 3.018.750
Kabupaten
6 14 21.238 79.793 439.583 1.296.950
Purwakarta
Kabupaten
11 20 45.799 105.238 1.084.637 2.720.472
Karawang
Sumber: Hasil Analisis WJPMDM, 2011

Adapun batas delineasi serta kondisi eksisting infrastruktur Metropolitan Bodebek


Karpur tahun 2010, 2015, 2020 dan 2025 dapat dilihat pada gambar berikut.

3
 7 kota/ kabupaten Urban
 82 kecamatan
Suburban
 Populasi 11,6 juta jiwa
 Luas 300.845 Ha

GAMBAR 1 METROPOLITAN BODEBEK KARPUR TAHUN 2010


Sumber: Analisis Tim WJP-MDM, 2011, Data: SP 2010, GIS Bappeda Jabar 2010

 7 kota/ kabupaten Urban


 83 kecamatan Suburban
 Populasi 14,3 juta jiwa
 Luas 310.753 Ha

GAMBAR 2 METROPOLITAN BODEBEK KARPUR TAHUN 2015


Sumber: Analisis Tim WJP-MDM, 2011, Data: SP 2010, GIS Bappeda Jabar 2010

4
 7 kota/ kabupaten
Urban
 103 kecamatan
Suburban
 populasi 18,36 juta jiwa
 Luas 450.924 Ha

GAMBAR 3 METROPOLITAN BODEBEK KARPUR TAHUN 2020


Sumber: Analisis Tim WJP-MDM, 2011, Data: SP 2010, GIS Bappeda Jabar 2010

 7 kota/ kabupaten Urban


 111 kecamatan Suburban
 Populasi 23,16 juta jiwa
 Luas 503.634 Ha

GAMBAR 4 METROPOLITAN BODEBEK KARPUR TAHUN 2025


Sumber: Analisis Tim WJP-MDM, 2011, Data: SP 2010, GIS Bappeda Jabar 2010

5
ISU DAN PERMASALAHAN
Perkembangan Metropolitan Bodebek Karpur tidak hanya dipengaruhi oleh
perkembangan DKI Jakarta, tetapi juga berbagai kebijakan sektoral yang terdapat
di wilayah metropolitan ini. Berbagai isu dan persoalan Metropolitan Bodebek
Karpur yang terkait dengan perkembangan ekonomi wilayah, sosial kependudukan,
transportasi, perumahan, infrastruktur prasarana wilayah, dan lingkungan, akan
dijelaskan sebagai berikut.

1. Transportasi
Sistem Transportasi terdiri atas sistem kegiatan, sistem jaringan, dan sistem
pergerakan. Sistem kegiatan dibentuk oleh penduduk dengan kegiatannya seperti
desa, kota, dan wilayah lainnya. Sistem jaringan terdiri atas fasilitas dan layanan
transportasi udara, laut, ferry, darat, dan kereta api. Sedangkan sistem pergerakan
adalah komponen arus lalu lintas seperti besaran (volume), waktu perjalanan,
moda, dan sebagainya.

Pada umumnya, semakin tinggi kepadatan penduduk dan semakin pesatnya


perkembangan kegiatan ekonomi penduduk di suatu wilayah, maka semakin
kompleks pula masalah transportasi yang dihadapi. Wilayah metropolitan diwarnai
oleh sistem kegiatan dengan kepadatan penduduk tinggi, keanekaragaman
kegiatan ekonomi, tingginya tingkat urbanisasi, tingginya intensitas perkembangan
dan alih guna lahan yang tinggi, serta perkembangan ekspansif ke wilayah sekitar.
Perkembangan sistem kegiatan di metropolitan akan berdampak pada tingginya
sistem pergerakan, dan tingginya sistem pergerakan tersebut juga akan
memberikan dampak yang signifikan pada perkembangan sistem kegiatan.

Salah satu permasalahan transportasi di wilayah metropolitan adalah kemacetan.


Persoalan kemacetan merupakan gejala (symptom) dari kemungkinan berbagai
akar permasalahan mulai dari yang sederhana sampai dengan yang sangat
kompleks. Akar permasalahan tersebut dapat berasal dari satu atau lebih sistem-
sistem yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu sistem kegiatan, sistem jaringan,
sistem pergerakan, dan sistem kelembagaan.

Sistem Kegiatan: Beberapa penyebab kemacetan terkait dengan masalah sistem


kegiatan di wilayah metropolitan adalah pemusatan spasial dan temporal, serta
pembangunan sistem kegiatan baru tanpa dibarengi dengan sistem jaringan

6
penunjang yang terkait. Pemusatan spasial dan temporal di metropolitan dapat
kita lihat dari semakin tingginya urbanisasi, meningkatnya intensitas alih guna
lahan dan semakin tingginya intensifikasi guna lahan di perkotaan. Selain itu,
karakteristik pembangunan metropolitan adalah menumpuknya pertumbuhan
sepanjang koridor jalan-jalan utama kota dan pertumbuhan ekspansif
suburbanisasi yang memusat sepanjang koridor ke luar kota (ribbon development).
Persoalan terkait sistem kegiatan lainnya adalah pembangunan kota baru, kawasan
industri, dan permukiman skala besar di sepanjang jalan tol (arteri primer) yang
pada umumnya ditunjang oleh sistem jaringan internal yang memadai, namun
pembangunan tersebut menimbulkan eksternalitas makro dalam lingkup regional.
Persoalan-persoalan ini dapat ditemukan di Metropolitan Bodebek Karpur yang
merupakan wilayah dengan perkembangan pembangunan kawasan industri dan
kota baru yang sangat pesat.

Ditinjau dari sistem kegiatannya, guna lahan di Metropolitan Bodebek Karpur


menunjukkan perkembangan wilayah dengan pola ribbon development. Hal
tersebut dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6. Gambar tersebut
mengilustrasikan guna lahan sistem jaringan jalan di Metropolitan Bodebek Karpur
yang di-overlay dengan guna lahan dan lahan terbangun kawasan tersebut pada
tahun 2010. Dari hasil overlay dapat diketahui bahwa aktivitas non pertanian dan
lahan terbangun cenderung mendominasi guna lahan di sekitar jalan tol dan
jaringan jalan lain di Metropolitan Bodebek Karpur.

GAMBAR 5 OVERLAY SISTEM JARINGAN JALAN DENGAN GUNA LAHAN METROPOLITAN


BODEBEK KARPUR TAHUN 2010
Sumber:Analisis Tim WJP-MDM, 2011, Data SP 2010, GIS Bappeda WJP, 2010

7
GAMBAR 6 OVERLAY SISTEM JARINGAN JALAN DENGAN LAHAN TERBANGUN
METROPOLITAN BODEBEK KARPUR TAHUN 2010
Sumber: Analisis Tim WJP-MDM, 2011, Data: SP 2010, GIS Bappeda WJP 2010

Sistem Jaringan: Penyebab kemacetan terkait dengan sistem jaringan di


metropolitan seringkali berupa rendahnya kuantitas dan kualitas infrastruktur
jalan. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya rasio panjang jalan dengan luas wilayah.
Berdasarkan Studi JAPTraPIS (Jabodetabek Public Transportation on Policy
Implementation Strategy) Tahun 2012, kepadatan jalan di kawasan Jabodetabek
cenderung rendah jika dibandingkan dengan Wilayah Metropolitan lainnya di
dunia. Hal ini dapat dillihat pada Gambar 7. Kepadatan jalan di New York yang
berorientasi pada kendaraan pribadi memiliki rasio sebesar 23,2; kepadatan jalan
di Tokyo yang berorientasi pada transportasi massal memiliki rasio sebesar 7,6 -
15,4; sedangkan Jabodetabek yang tidak berorientasi pada transportasi massal
hanya memiliki rasio sebesar 2,1%.

8
25 23,2
20
20 16,6
15,4
15
10,3
10 7,6 8,1

5 2,1
0

GAMBAR 7 PERBANDINGAN KEPADATAN JALAN DI KOTA-KOTA MEGAPOLITAN


Sumber: Tokyo Metropolitan White Paper 2000, Economic Outlook in Thailand 1996/97
dalam Studi JAPTraPIS, 2013

Kepadatan jalan di suatu wilayah dapat diukur pula dengan membandingkan


panjang jalan dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut. Dalam lingkup wilayah
Bodebek Karpur, perbandingan panjang jalan dengan luas wilayah dan jumlah
penduduk ditunjukkan pada Tabel 2 dan kepadatan jalan di masing-masing wilayah
administrasi di Bodebek Karpur ditunjukkan pada Gambar 8 dan Gambar 9.

Kedua gambar tersebut menunjukkan kepadatan jalan di masing-masing wilayah


administratif di Bodebek Karpur, namun tidak menunjukkan kepadatan jalan
khusus di wilayah metropolitan. Walaupun demikian, kedua grafik tersebut dapat
menunjukkan kepadatan jalan di Kota Bogor, Kota Depok, dan Kota Bekasi yang
seluruh wilayahnya termasuk dalam delineasi wilayah metropolitan Bodebek
Karpur. Dari ketiga kota tersebut, Kota Bekasi merupakan kota yang memiliki
kepadatan jalan yang rendah baik berdasarkan luas wilayah maupun jumlah
penduduk. Di sisi lain, Kota Bogor memiliki kepadatan jalan yang lebih baik
daripada Kota Depok dan Kota Bekasi baik berdasarkan luas wilayah maupun
jumlah penduduk.

9
TABEL 2
PERBANDINGAN PANJANG JALAN DENGAN LUAS WILAYAH DAN JUMLAH PENDUDUK DI
METROPOLITAN BODEBEK KARPUR TAHUN 2011
Total
Jalan Jalan Jalan Luas Jumlah
Panjang
No Kabupaten/Kota Kabupa- Provinsi Nasional wilayah Penduduk
Jalan
ten (km) (km) (km) (km2) (ribu jiwa)
(km)
1 Kota Bogor 719,29 8,99 32,30 760,58 111,73 967,398
2 Kota Depok 497,92 16,73 29,17 543,82 199,44 1769,787
3 Kota Bekasi 303,60 21,96 16,35 341,91 215,58 2376,794
4 Kabupaten Bogor 1748,91 125,95 159,51 2034,37 2997,13 4857,612
5 Kabupaten Bekasi 847,56 25,20 30,85 903,61 1269,51 2677,631
6 Kabupaten Karawang 1538,99 49,19 45,24 1633,42 1914,16 2165,996
7 Kabupaten Purwakarta 738,05 58,81 42,91 839,77 989,89 867,828
Sumber : Website Pusdalisbang Provinsi Jawa Barat, 2013

Untuk wilayah kabupaten, grafik kepadatan jalan berdasarkan luas wilayah kurang
merepresentasikan kepadatan jalan ideal karena luas wilayah kabupaten yang
cukup luas dan tidak seluruhnya merupakan kawasan terbangun. Namun, grafik
kepadatan jalan berdasarkan jumlah penduduk dapat digunakan untuk
membandingkan kepadatan jalan di keempat kabupaten di Metropolitan Bodebek
Karpur. Grafik tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Bekasi memiliki kepadatan
jalan terendah jika dibandingkan dengan Kabupaten Bogor, Kabupaten Karawang,
dan Kabupaten Purwakarta. Hal ini menunjukkan diperlukannya pengembangan
sistem jaringan dapat berupa jaringan jalan atau jaringan sistem angkutan umum
massal.

10
Rasio Panjang Jalan/ Luas Wilayah Rasio Panjang Jalan/ Jumlah Penduduk

Kab. Purwakarta 0,85 Kab. Purwakarta 0,97


Kab. Karawang 0,85 Kab. Karawang 0,75
Kab. Bekasi 0,71 Kab. Bekasi 0,34
Kab. Bogor 0,68 Kab. Bogor 0,42
Kota Bekasi 1,59 Kota Bekasi 0,14
Kota Depok 2,73 Kota Depok 0,31
Kota Bogor 6,81 Kota Bogor 0,79
0 2 4 6 8 0 1 1 2

GAMBAR 8 KEPADATAN JALAN GAMBAR 9 KEPADATAN JALAN


BERDASARKAN LUAS WILAYAH DI BERDASARKAN JUMLAH PENDUDUK DI
BODEBEK KARPUR TAHUN 2011 BODEBEK KARPUR TAHUN 2011
Sumber : Analisis Tim WJPMDM, 2013

Mengacu kepada proyeksi yang dilakukan dalam SITRAMP, jika kondisi transportasi
tetap dibiarkan seperti saat ini, maka hampir seluruh ruas jalan di The Greater
Jakarta akan mengalami kemacetan lalu lintas. Hal tersebut diindikasikan dengan
nilai VCR (Volume Capacity Ratio) yang lebih besar dari satu. Nilai VCR diatas 1
menunjukkan bahwa volume kendaraan yang melalui jaringan jalan sudah
melampaui kapasitas jaringan jalan.

GAMBAR 10 PROYEKSI KONDISI TRANSPORTASI DI GREATER JAKARTA


Sumber: SITRAMP, 2004

Dari ilustrasi diatas dapat diamati bahwa jika tidak dilakukan upaya penyelesaian
masalah kemacetan lalu lintas, maka pada tahun 2020 ruas-ruas jalan di

11
Metropolitan Bodebek Karpur akan mencapai tingkat yang jenuh. Sebagai
perbandingan, berikut akan disajikan kondisi infrastruktur transportasi di
Metropolitan Bodebek Karpur pada tahun 2010 (eksisting) dibandingkan dengan
perkembangan Metropolitan Bodebek Karpur tahun 2025 hasil proyeksi.

Pada tahun 2010, kondisi infrastruktur transportasi di Wilayah Metropolitan


Bodebek Karpur ditunjukkan pada Gambar 11. Infrastruktur transportasi ini
membentuk kesatuan dengan wilayah di sekitarnya. Pada dasarnya kondisi
infrastruktur transportasi eksisting di Wilayah Bodebek Karpur memanjang dari
barat ke timur serta dari utara ke selatan dengan poros utamanya yaitu DKI
Jakarta.

GAMBAR 11 INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI EKSISTING


Sumber: Analisis Tim WJP-MDM, 2011, Data: SP 2010, GIS Bappeda WJP 2010

Sistem infrastruktur transportasi Metropolitan Bodebek Karpur sangat


mempengaruhi bentuk metropolitan ini. Bentuk Metropolitan Bodebek Karpur
mengikuti bentuk jaringan jalan, terutama jalan tol. Jalan tol ini memanjang dari
arah Bandung menuju DKI Jakarta yang melalui Bekasi, serta jalan tol dari arah
Kota Bogor menuju DKI Jakarta yang melalui Depok.

12
Apabila dibandingkan dengan proyeksi perkembangan urban dan sub urban di
Metropolitan Bodebek Karpur tahun 2025, maka dapat diketahui bahwa hingga
tahun 2025, kawasan urban dan suburban di Wilayah Metropolitan Bodebek
semakin mengalami perkembangan, terutama ke arah selatan. Dibandingkan
dengan kondisi infrastruktur transportasi eksisting, dapat diamati bahwa kondisi
transportasi eksisting akan kurang dapat mengakomodir pertumbuhan kawasan
urban di Wilayah Metropolitan Bodebek Karpur kedepan. Melihat kecenderungan
tersebut maka diperlukan dukungan ketersediaan infrastruktur transportasi seiring
pertumbuhan kawasan urban di Wilayah Metropolitan Bodebek tersebut.

GAMBAR 12 INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI EKSISTING DIBANDINGKAN DELINEASI


METROPOLITAN BODEBEK KARPUR TAHUN 2025
Sumber: Analisis Tim WJP-MDM, 2011, Data: SP 2010, GIS Bappeda WJP 2010

Sistem Pergerakan: Kemacetan lalu lintas di Wilayah Metropolitan Bodebek Karpur


salah satunya diakibatkan oleh pola pergerakan komuter yang bekerja di DKI
Jakarta dan tinggal di Wilayah Bodebek Karpur. Berdasarkan hasil studi JAPTraPIS
Tahun 2012, jumlah perjalanan komuter telah meningkat sekitar 50% dalam kurun
tahun 2002 hingga tahun 2010. Studi JAPTraPIS juga menyebutkan bahwa lebih
dari 1.100.000 jiwa penumpang melakukan perjalanan di daerah Jabodetabek
dapadari Bodetabek menuju DKI Jakarta. Kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu
lintas bisa mencapai Rp 5,5 triliun per tahun dalam hal biaya operasi dan kerugian
perjalanan waktu.

13
GAMBAR 13 PERJALANAN LALU LINTAS KOMUTER DARI BODETABEK KE DKI JAKARTA
TAHUN 2002 – 2010
Sumber : Analisis Tim JICA dalam Studi JAPTraPIS, 2013

Semakin tingginya jumlah perjalanan komuter ini tentu saja akan membebani
jaringan jalan sebagai salah satu infrastruktur transportasi. Akibatnya terjadi
kemacetan lalu lintas pada ruas-ruas jalan utama yang menghubungkan DKI
Jakarta dengan Wilayah Metropolitan Bodebek Karpur. Pada ruas-ruas jalan
penghubung DKI Jakarta dan sekitarnya, Volume Capacity Ratio (VCR) telah bernilai
lebih besar dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa ruas-ruas jalan tersebut telah
sangat jenuh dengan kapasitas yang telah terlampaui.

Dalam Peraturan Presiden No 54 Tahun 2008, kawasan Bogor, Depok dan Bekasi
ditetapkan sebagai kawasan satelit yang menyangga DKI Jakarta. DKI Jakarta yang
berfungsi sebagai kota inti merupakan center berbagai kegiatan. Dengan banyak
berlokasinya headquarters perusahaan di wilayah ini, DKI Jakarta menjadi salah
satu lokasi tujuan bekerja penduduk. Disamping itu, berbagai sarana prasarana
berstandar metropolitan di kawasan ibu kota menjadikan kawasan ini sebagai
lokasi tujuan kegiatan lain, seperti pendidikan, kesehatan, perdagangan dan
sebagainya.

2. Permukiman dan Perumahan


Berdasarkan revisi SITRAMP dalam JUTPI Project Tahun 2010, urbanisasi terus
terjadi di DKI Jakarta dan kota-kota di sekitarnya. Jika dibandingkan antara tahun
2000 hingga 2010, permukiman dengan kepadatan rendah di Jabodetabek telah
berkembang pesat dan berubah guna lahannya menjadi permukiman dengan
kepadatan tinggi. Sementara itu, lahan pertanian dan ruang terbuka hijau telah
berubah menjadi lahan perumahan yang telah dikembangkan oleh berbagai

14
pengembang perumahan.Gambar 14 menunjukkan lahan permukiman tahun 2010
yang dikonversi dari guna laha pertanian dan ruang terbuka hijau, sedangkan
Gambar 15 menunjukkan lahan permukiman tahun 2010 yang dikonversi dari guna
lahan perumahan kepadatan rendah.

GAMBAR 14 GUNA LAHAN PERMUKIMAN YANG DIKONVERSI DARI


LAHAN PERTANIAN DAN RUANG TERBUKA HIJAU, TAHUN 2000 – 2010
Sumber : JUTPI, 2010

15
GAMBAR 15 GUNA LAHAN PERMUKIMAN YANG DIKONVERSI DARI
GUNA LAHAN PERUMAHAN KEPADATAN RENDAH, TAHUN 2000 – 2010
Sumber : JUTPI, 2010

Jika dilihat dalam konteks perkembangan Metropolitan Bodebek Karpur, Gambar


14 menunjukkan kecenderungan pengembangan perumahan oleh developer dari
tahun 2000 hingga 2010 berada di wilayah Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan
Kabupaten Bogor bagian Utara. Sementara itu, Gambar 15 menunjukkan
perubahan guna lahan perumahan yang awalnya berkepadatan rendah menjadi
berkepadatan tinggi dari tahun 2000 hingga 2010 berada di Kota Depok dan Kota
Bekasi.

Berdasarkan kedua gambar di atas, konversi lahan di Metropolitan Bodebek Karpur


yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta, didominasi oleh perubahan guna
lahan menjadi perumahan baik yang dikembangkan oleh developer maupun
swadaya. Di sisi lain, hingga tahun 2010 guna lahan untuk kegiatan perkantoran
serta perdagangan dan jasa masih belum berkembang secara signifikan di wilayah
Metropolitan Bodebek Karpur. Hal ini menjadi persoalan karena artinya

16
pergerakan sebagian besar penduduk yang tinggal di Metropolitan Bodebek Karpur
masih berorientasi ke DKI Jakarta.

Selain itu, guna lahan perumahan di Metropolitan Bodebek Karpur telah


berkembang sangat pesat, namun di metropolitan ini masih terdapat gap antara
jumlah rumah tangga dan jumlah rumah yang tersedia. Selain itu, ketersediaan air
bersih dan fasilitas persampahan yang belum memadai di Metropolitan Bodebek
Karpur juga masih menjadi persoalan.

Prediksi Kebutuhan Perumahan: Prediksi ini dilakukan berdasarkan jumlah


penduduk eksisting di Metropolitan Bodebek Karpur. Komponen- komponen yang
digunakan dalam proses prediksi antara lain sebagai berikut:

1. Jumlah rumah tangga yang terdapat di Wilayah Metropolitan Bodebek Karpur


2. Jumlah penduduk di Wilayah Metropolitan Bodebek Karpur
3. Jumlah rata-rata anggota keluarga di Wilayah Metropolitan Bodebek Karpur
4. Jumlah rumah yang sudah tersedia di Wilayah Metropolitan Bodebek Karpur

Adapun formula yang digunakan dalam proses perhitungan adalah sebagai berikut:

Jumlah Rumah = Jumlah penduduk – Jumlah rumah yang tersedia


Yang Dibutuhkan 4

Dengan mengasumsikan bahwa satu rumah tangga terdiri atas 4 jiwa, maka
berdasarkan data jumlah penduduk eksisting akan dapat diketahui perkiraan
jumlah rumah tangga di Metropolitan Bodebek Karpur. Berikut adalah hasil
perkiraan jumlah rumah tangga di Metropolitan Bodebek Karpur:

17
TABEL 3
JUMLAH RUMAH TANGGA DI WILAYAH METROPOLITAN BODEBEK KARPUR TAHUN 2010

Kota/Kabupaten Jumlah Rumah Tangga


Kota Bekasi 584.122
Kab. Bekasi 589.642
Kota Bogor 237.267
Kabupaten Bogor 698.656
Kota Depok 434.141
Kabupaten Purwakarta 109.896
Kabupaten Karawang 271.159
Jumlah 2.924.883
Sumber: Analisis WJPMDM, 2012

Dengan membandingkan perkiraan jumlah rumah tangga di metropolitan dengan


jumlah rumah yang tersedia pada tahun 2010, maka akan dapat diketahui kondisi
ketersediaan permukiman, apakah memadai atau perlu ditingkatkan. Berikut
adalah hasil perbandingan antara perkiraan jumlah rumah tangga di Metropolitan
Bodebek Karpur pada tahun 2010 dengan jumlah rumah yang tersedia pada tahun
yang sama.

TABEL 4
JUMLAH RUMAH YANG TERSEDIA DI METROPOLITAN BODEBEK KARPUR TAHUN 2010
Persentase Jumlah Rumah Yang
Jumlah Rumah
Kab./Kota Jumlah Tersedia di Bodebek
di Jawa Barat*)
Penduduk Karpur
Kota Bekasi 5,43 442.005
Kab. Bekasi 5,49 446.182
Kota Bogor 2,21 179.540
Kab. Bogor 8.133.251 6,50 528.673
Kota Depok 4,04 328.515
Kab. Purwakarta 1,02 83.158
Kab. Karawang 2,52 205.186
*) 75,67%*jmlh rumah tangga di Jawa Barat
Rumah tangga di Jawa Barat = 42.993.267/ 4
Sumber: Analisis WJPMDM, 2012

18
TABEL 5
BACKLOG RUMAH DI METROPOLITAN BODEBEK KARPUR TAHUN 2010
Jumlah Rumah Jumlah
Kab./Kota Kebutuhan Rumah Yang Backlog
Rumah Tersedia
Kota Bekasi 584.122 442.005 142.117
Kab. Bekasi 589.642 446.182 143.460
Kota Bogor 237.267 179.540 57.727
Kab. Bogor 698.656 528.673 169.983 711.624
Kota Depok 434.141 328.515 105.626
Kab. Purwakarta 109.896 83.158 26.738
Kab. Karawang 271.159 205.186 65.973
Sumber: Analisis WJPMDM, 2012

Berdasarkan perbandingan antara jumlah ketersediaan rumah dengan jumlah


kebutuhan rumah pada Tabel 5 diatas, dapat diamati bahwa jumlah kebutuhan
rumah lebih tinggi dari jumlah rumah yang tersedia. Hal ini menunjukkan bahwa
masih ada kebutuhan rumah yang harus dipenuhi. Dengan menghitung selisih
antara jumlah permukiman eksisting dengan jumlah kebutuhan rumah makan akan
dapat dilakukan analisis lanjutan terhadap luas kebutuhan lahan yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan permukiman di Metropolitan Bodebek Karpur.

Dalam perhitungan ini, digunakan asumsi bahwa luas lahan minimum yang
dibutuhkan untuk membangun satu unit rumah adalah 36 m2. Dasar perhitungan
yang digunakan dalam asumsi tersebut yaitu bahwa satu orang membutuhkan 9
m2 lahan. Nilai ini merupakan nilai yang ditetapkan oleh International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) pasal 2 ayat (1) serta dalam Undang-
UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
Keputusan Menteri Kesehatan No. 829/Menkes/SK/VII/1999 Standar Nasional
Indonesia (03-1733-2004) tentang tata cara perencanaan lingkungan perumahan di
perkotaan.

Berdasarkan hasil pengalian antara besaran kebutuhan rumah di Wilayah


Metropolitan Bodebek Karpur dengan kebutuhan lahan (minimum) untuk
membangun satu unit rumah, diperoleh angka sebesar 25.618.464 m2. Artinya,
untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah di Wilayah Metropolitan Bodebek

19
Karpur pada tahun 2010, diperlukan lahan (minimal) seluas 25.618.464 m2 atau
2.561, 85 Ha.

Prediksi Kebutuhan Air Bersih: Infrastruktur perumahan dan permukiman tidak


dapat dilepaskan dari infrastruktur penunjang seperti infrastruktur air bersih.
Infrastruktur air bersih memegang peranan penting bagi kelangsungan hidup
penduduk yang mendiami suatu kawasan permukiman dan perumahan.

Terkait hal tersebut, Tim WJPMDM melakukan analisis terhadap kondisi


infrastruktur air bersih serta melakukan prediksi, baik terhadap kondisi eksisting,
maupun terhadap kebutuhan pada masa mendatang.

Dalam proses prediksi ini, digunakan tiga standar perhitungan kebutuhan


minimum. Standar pertama yaitu didasarkan kepada kesepakatan konferensi air
PBB yang berlangsung di Mal Del Plata, Argentina, pada tahun 1977. Mengacu
pada standar ini, kebutuhan dasar air bersih yang disarankan bagi setiap orang
yaitu sebanyak 50 liter/hari. Standar kedua yang digunakan yaitu standar
berdasarkan Permendagri No 23 Tahun 2006 Tentang Pedoman Teknis dan Tata
Cara Pengaturan Tarif Air Minimum pada Perusahaan Air Minum. Mengacu pada
standar ini, kebutuhan dasar air bersih per jiwa yaitu sebesar 60 liter/hari. Standar
ketiga yang digunakan yaitu standar kebutuhan air bersih menurut DPU Cipta
Karya. Mengacu pada standar ini, kebutuhan dasar air bersih yang disarankan bagi
setiap orang di Wilayah Metropolitan yaitu sebesar 160 liter/ hari.

Variabel dasar yang digunakan untuk mengetahui prediksi kebutuhan air bersih di
Metropolitan Bodebek Karpur yaitu variabel jumlah penduduk. Dengan mengalikan
jumlah penduduk di metropolitan ini dengan standar-standar yang telah dijelaskan
sebelumnya, maka akan diketahui prediksi jumlah kebutuhan air bersih di
Metropolitan Bodebek Karpur.

Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan, diketahui bahwa kebutuhan air


bersih di Metropolitan Bodebek Karpur pada tahun 2010 yaitu sekitar 584.976.600
liter/hari. Nilai ini diperoleh dengan menggunakan standar berdasarkan konferensi
air PBB. Jika mengacu pada standar berdasarkan permendagri no 23 thun 2006,
maka jumlah kebutuhan air di Metropolitan Bodebek Karpur yaitu 701.971.920
liter/ hari. Sedangkan jika mengacu pada standar pekerjaan umum cipta karya,
maka kebutuhan air bersih di Metropolitan Bodebek Karpur yaitu sebesar

20
1.871.925.120 liter/ hari. Nilai prediksi detail mengenai kebutuhan air bersih di
Metropolitan Bodebek Karpur dapat dilihat pada Tabel 6.

TABEL 6
PREDIKSI JUMLAH KEBUTUHAN AIR BERSIH DI METROPOLITAN BODEBEK KARPUR 2010
Kebutuhan Air Bersih (L/Hari)
Kab./ Kota Konferensi Air Permendagri No. Standar PU Cipta
PBB 23/2006 Karya
Kota Bekasi 116.824.450 140.189.340 373.838.240
Kab. Bekasi 117.928.450 141.514.140 377.371.040
Kota Bogor 47.453.300 56.943.960 151.850.560
Kab. Bogor 139.731.150 167.677.380 447.139.680
Kota Depok 86.828.250 104.193.900 277.850.400
Kab.
21.979.150 26.374.980 70.333.280
Purwakarta
Kab. Karawang 54.231.850 65.078.220 173.541.920
JUMLAH 584.976.600 701.971.920 1.871.925.120
Sumber: Analisis WJPMDM, 2012

Untuk selanjutnya perhitungan prediksi kebutuhan air bersih dilakukan dengan


menggunakan standar menurut DPU Cipta Karya, yaitu sebesar 160 liter untuk
setiap orang pada setiap harinya.

Berdasarkan standar tersebut, dilakukan perhitungan prediksi kebutuhan air bersih


pada tahun 2015, 2020, dan 2025. Berdasarkan perhitungan tersebut, pada tahun
2025, jumlah kebutuhan air domestik di Metropolitan Bodebek Karpur mencapai
3.705.709.662 liter per hari. Hasil perhitungan secara rinci dapat dilihat pada Tabel
7.

21
TABEL 7
KEBUTUHAN AIR BERSIH DOMESTIK DI WILAYAH METROPOLITAN BODEBEK KARPUR
BERDASARKAN DPU CIPTA KARYA (160 LITER/ ORANG/ HARI)
Kebutuhan Air Bersih Domestik Berdasarkan DPU Cipta Karya
Kabupaten/ Kota (liter/ orang/ hari)
2010 2015 2020 2025
Kab. Bekasi 377.369.600 462.548.173 596.960.033 716.693.622
Kab. Bogor 432.739.680 530.416.198 712.793.340 949.399.927
Kab. Karawang 173.541.920 212.713.207 350.730.737 435.275.544
Kota Bekasi 373.838.240 458.219.726 541.291.849 649.859.947
Kota Bogor 151.850.560 186.125.748 219.869.081 263.968.707
Kota Depok 277.850.400 340.565.840 402.308.112 482.999.936
Kab. Purwakarta 62.774.080 89.390.627 141.627.310 207.511.980
TOTAL 1.849.964.480 2.279.979.520 2.965.580.463 3.705.709.662
Sumber: Analisis WJPMDM, 2012

Selain kebutuhan air domestik, dilakukan pula perhitungan kebutuhan air untuk
kegiatan non domestik. Standar perhitungan ini menggunakan asumsi kegiatan
non domestik membutuhkan air sebesar 20 persen dari kebutuhan air domestik.
Hasil perhitungan kebutuhan air bersih non domestik dapat dilihat pada Tabel 8.

TABEL 8
KEBUTUHAN AIR BERSIH NON DOMESTIK
DI WILAYAH METROPOLITAN BODEBEK KARPUR
Kebutuhan Air Bersih Non Domestik Proxy 20 Persen
Kabupaten/ Kota (liter/ orang/ hari)
2010 2015 2020 2025
Kabupaten Bekasi 75.473.920 92.509.635 119.392.007 143.338.724
Kabupaten Bogor 86.547.936 106.083.240 142.558.668 189.879.985
Kabupaten Karawang 34.708.384 42.542.641 70.146.147 87.055.109
Kota Bekasi 74.767.648 91.643.945 108.258.370 129.971.989
Kota Bogor 30.370.112 37.225.150 43.973.816 52.793.741
Kota Depok 55.570.080 68.113.168 80.461.622 96.599.987
Kabupaten Purwakarta 12.554.816 17.878.125 28.325.462 41.502.396
TOTAL 369.992.896 455.995.904 593.116.093 741.141.932
Sumber: Analisis WJPMDM, 2012

Penjumlahan kebutuhan air domestik dan non domestik dapat dilihat pada Tabel 9.

22
TABEL 9
TOTAL KEBUTUHAN AIR BERSIH DOMESTIK DAN NON DOMESTIK DI WILAYAH
METROPOLITAN BODEBEK KARPUR
Total Kebutuhan Air Bersih Domestik Dan Non Domestik Proxy 20 Persen
Kabupaten/
(liter/ orang/ hari)
Kota
2010 2015 2020 2025
Kab. Bekasi 452.843.520 555.057.808 716.352.040 860.032.346
Kab. Bogor 519.287.616 636.499.437 855.352.008 1.139.279.912
Kab. Karawang 208.250.304 255.255.849 420.876.885 522.330.652
Kota Bekasi 448.605.888 549.863.672 649.550.219 779.831.936
Kota Bogor 182.220.672 223.350.898 263.842.897 316.762.448
Kota Depok 333.420.480 408.679.008 482.769.735 579.599.924
Kab.
75.328.896 107.268.753 169.952.772 249.014.376
Purwakarta
TOTAL 2.219.957.376 2.735.975.424 3.558.696.556 4.446.851.595
Sumber: Analisis WJPMDM, 2012

Berdasarkan tabel di atas, dapat terlihat bahwa Metropolitan Bodebek Karpur


membutuhkan penyediaan air bersih yang besar. Dengan demikian, perlu
pengembangan sumber daya air bersih yang mencukupi bagi seluruh penduduk di
Metropolitan Bodebek Karpur serta untuk memenuhi kegiatan non domestik.

Prediksi Kebutuhan Fasilitas Pengelolaan Sampah: Prediksi kebutuhan fasilitas


pengelolaan sampah yang dijelaskan dalam laporan ini merupakan prediksi
kebutuhan fasilitas pengelolaan sampah yang didasarkan pada perkiraan volume
produksi sampah perhari yang dihasilkan di Kawasan Bodebek Karpur pada tahun
2010. Nilai tersebut merupakan nilai pendekatan yang diperoleh melalui kalkulasi
antara jumlah penduduk eksisting dengan nilai rata-rata produksi sampah per jiwa
per hari. Adapun nilai rata-rata standar yang digunakan yaitu nilai standar yang
dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, dimana
mengacu pada standar ini ditentukan bahwa setiap orang rata-rata menghasilkan
0,8 kg sampah domestik perhari.

Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan, maka diperoleh prediksi volume


sampah per hari di Metropolitan Bodebek Karpur sebagai berikut.

23
TABEL 10
PREDIKSI PRODUKSI SAMPAH PER HARI DI METROPOLITAN BODEBEK KARPUR 2010
Kab./Kota Volume Sampah (Ton/Hari)
Kota Bekasi 1.869,2
Kab. Bekasi 1.886,9
Kota Bogor 759,3
Kab. Bogor 2.235,7 9.359,6
Kota Depok 1.389,3
Kab. Purwakarta 351,7
Kab. Karawang 867,7
Sumber: Analisis WJPMDM, 2012

Dengan melihat hasil prediksi tersebut, maka untuk pengelolaan sampah di


Metropolitan Bodebek Karpur diperlukan pengelolaan sampah untuk memenuhi
kapasitas minimum 9.359, 6 ton/hari.

3. Sosial Kependudukan
Metropolitan Bodebek Karpur juga dihadapkan pada isu dan permasalahan dalam
hal sosial dan kependudukan. Permasalahan tersebut antara lain kemiskinan,
kriminalitas, dan pengangguran.

4. Lingkungan
Beberapa permasalahan lingkungan yang dihadapi Metropolitan Bodebek Karpur
antara lain:

 Kualitas lingkungan
 Pengelolaan air kotor/limbah
 Kawasan banjir
 Kawasan rawan bencana
 Ruang Terbuka Hijau (RTH)
 Kawasan lindung dan konservasi
 Wilayah sungai

24
KEUNGGULAN WILAYAH
METROPOLITAN BODEBEK KARPUR
Meskipun menghadapi berbagai isu dan permasalahan, Wilayah Metropolitan
Bodebek Karpur juga memiliki berbagai keunggulan. Keunggulan-keunggulan
tersebut dikelompokkan ke dalam tiga kategori: 1) keunggulan absolut (absolute
advantage), 2) keunggulan komparatif (comparative advantage) serta 3)
keunggulan kompetitif (competitive advantage). Absolute advantage atau
keunggulan absolut dapat diartikan sebagai keunggulan yang dimiliki suatu wilayah
dari keberadaan sumber daya alam dan sejarah yang dimilikinya dibandingkan
dengan yang dimiliki wilayah lain. Sedangkan comparative advantage atau
keunggulan komparatif yaitu keunggulan yang dimiliki suatu wilayah karena
memiliki sumber daya produksi yang lebih banyak/unggul dibandingkan dengan
yang dimiliki wilayah lain. Adapun yang dimaksud dengan competitive advantage
atau keunggulan kompetitif yaitu keunggulan yang dimiliki suatu wilayah karena
sudah berpengalaman atau karena penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi
sehingga menciptakan keunggulan dalam persaingan antar wilayah.

Absolute Advantage Metropolitan Bodebek Karpur


Metropolitan Bodebek Karpur memiliki beragam absolute advantage. Salah
satunya adalah dalam hal lokasi geografis. Bagi Metropolitan Bodebek Karpur, area
yang luas serta berdekatan dengan daerah khusus ibu kota menjadi suatu absolute
advantage bagi wilayah ini karena sedikit banyak posisi ini turut memberikan
eksternalitas positif bagi kegiatan ekonomi Wilayah Bodebek Karpur. Kondisi ini
secara tidak langsung dapat menimbulkan tumbuhnya bentuk-bentuk keunggulan
lainya. Disamping memiliki lokasi yang strategis, Metropolitan Bodebek Karpur
memiliki lokasi yang relatif dekat dengan pelabuhan, diantaranya yaitu Pelabuhan
Cilamaya yang akan dibangun dan Tanjung Priok (Jakarta Utara). Bagi kegiatan
industri yang banyak berlokasi di Metropolitan Bodebek Karpur, kedekatan akses
dengan pelabuhan akan dapat menekan biaya transportasi.

Selain itu, kawasan ini juga memiliki lokasi yang relatif dekat dengan Bandara
International Soekarno-Hatta. Metropolitan Bodebek Karpur juga memiliki potensi
berupa keindahan pemandangan alam. Potensi berupa keindahan alam ini tersebar
di beberapa kabupaten/kota. Keberadaannya dapat menjadi potensi pariwisata
bagi Metropolitan Bodebek Karpur.

25
Comparative Advantage Metropolitan Bodebek Karpur
Salah satu comparative advantage yang dimiliki Metropolitan Bodebek Karpur
antara lain adanya ketersediaan lahan yang relatif luas dengan kontur yang relatif
datar dan ditunjang oleh keberadaan infrastruktur. Keberadaan lahan ini menjadi
salah satu faktor produksi yang menopang keberlangsungan kegiatan di wilayah
ini, seperti kegiatan industri. Disamping lahan yang luas, Metropolitan Bodebek
Karpur juga ditunjang oleh ketersediaan tenaga kerja. Pada tahun 2010 jumlah
penduduk di kawasan ini mencapai kurang lebih 11,6 juta jiwa, dimana hal
tersebut potensial apabila dilihat dari segi kuantitas.

Dalam sektor ekonomi, Metropolitan Bodebek Karpur memiliki potensi ekonomi


cepat tumbuh. Potensi ekspor dari wilayah ini tergolong potensial. Saat ini
Metropolitan Bodebek Karpur memiliki klaster-klaster industri manufaktur yang
berkembang pesat. Tujuh klaster industri yang berada di Cikarang-Bekasi bahkan
ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Metropolitan Bodebek Karpur juga ditunjang oleh adanya sumber daya air dan
energi. Debit aliran air dari Waduk Jati Luhur di Kabupaten Purwakarta disamping
sebagai sumber air bagi irigasi juga berperan sebagai pembangkit listrik.
Kabupaten Bekasi memiliki sumber daya energi yang tidak kalah potensial. Di
kabupaten ini terdapat panas bumi serta gas alam yang banyak dimanfaatkan
sebagai LPG (Liquified Petroleum Gas).

Competitive Advantage Metropolitan Bodebek Karpur


Salah satu competitive advantage yang dimiliki Metropolitan Bodebek Karpur yaitu
menjadi salah satu pusat pendidikan tinggi. Saat ini Metropolitan Bodebek Karpur
memiliki perguruan tinggi berbasis pertanian yang berkelas internasional. Selain
itu, di lokasi ini juga terdapat perguruan tinggi berbasis science dan teknologi yang
juga berkelas internasional. Hal tersebut merupakan daya tarik tersendiri yang
menciptakan bangkitan pada sektor lain baik di sektor formal maupun sektor
informal.

Metropolitan Bodebek Karpur juga memiliki pusat riset dan pengembangan


(Research and Development). Pusat-pusat riset tersebut tidak hanya berupa pusat
riset yang dikelola oleh pemerintah, tetapi terdapat pula pusat- pusat riset dan

26
pengembangan yang dikelola oleh industri-industri yang berada di kawasan
tersebut.

Keberadaan 7 klaster industri di Cikarang juga merupakan keunggulan kompetitif.


Klaster-klaster industri tersebut merupakan salah satu kawasan industri terbesar di
Indonesia dan telah menjadi pertumbuhan ekonomi di Metropolitan Bodebek
Karpur.

Competitive Advantage lainnya yaitu berbagai pembangunan yang berlangsung di


Metropolitan Bodebek Karpur yang telah berbasiskan teknologi. Metropolitan
Bodebek Karpur memiliki kota-kota baru yang disamping menciptakan pencitraan
kota juga menjadi suatu daya tarik tersendiri, baik bagi pendatang maupun bagi
kegiatan perdagangan, pariwisata dan sebagainya. Metropolitan Bodebek Karpur
juga memiliki beberapa hasil pengembangan berbasis ilmu pengetahuan lainnya
seperti Masjid Kubah Mas di Kota Depok, Taman Buah Mekarsari dan Taman Safari
Indonesia di Kabupaten Bogor, bendungan/ waduk serta kilang pengolahan gas.

TABEL 11
KEUNGGULAN METROPOLITAN BODEBEK KARPUR
Absolute Advantage Comparative Advantage Competitive Advantage
(Keunggulan Absolut) (Keunggulan Komparatif) (Keunggulan Kompetitif)
 Area yang strategis,  Lahan yang luas dengan  Sumber daya air dan energi
dekat dengan Ibu Kota kontur yang relatif datar  7 klaster industri di Cikarang
Pemerintahan serta ditunjang oleh (Kabupaten Bekasi) serta
 Dekat dengan keberadaan infrastruktur industri berteknologi lainnya
pelabuhan dan  Ketersediaan jumlah  Tenaga kerja di bidang industri
bandara internasional tenaga kerja (SDM) yang terampil
 Memiliki potensi alam  Sumber daya air dan  Perguruan tinggi berbasis
serta kekhasan energi pertanian yang berkelas dunia
tersendiri yang  Perguruan tinggi berbasis
menjadi daya tarik science & technology yang
pariwisata berkelas dunia
 Pusat research and development
(R & D)
 Memiliki hasil pembangunan
berbasis teknologi yang menjadi
daya tarik wisata
Sumber: Hasil Analisis WJP MDM, 2011

27
KONSEP AWAL PENGEMBANGAN
METROPOLITAN BODEBEK KARPUR
Dalam rangka merespon isu dan permasalahan yang dihadapi serta dengan
mempertimbangkan berbagai keunggulan yang terdapat di Wilayah Metropolitan
Bodebek Karpur, tim WJPMDM mengusulkan agar Wilayah Metropolitan ini
dikembangkan sebagai Metropolitan Mandiri Dengan Sektor Unggulan Industri
Manufaktur, Jasa, Keuangan, serta Perdagangan, Hotel, dan Restoran.

Pengembangan Metropolitan Bodebek Karpur sebagai Metropolitan Mandiri


Selama ini, kawasan Bodebek-Karpur lebih berperan sebagai 2nd tier metropolitan
dengan 1st tier metropolitannya yaitu DKI Jakarta. Dengan kondisi tersebut,
kedudukan Bodebek Karpur saat ini cenderung lebih bersifat sebagai hinterland
bagi DKI Jakarta. Disamping itu, kawasan Bodebek Karpur saat ini juga cenderung
sering dikonotasikan sebagai dormitory town, sedangkan berbagai kegiatan yang
memberikan nilai tambah berlokasi di DKI Jakarta.

Sebagian besar kantor kementerian, departemen, lembaga nasional serta kantor-


kantor pusat perusahaan berlokasi di DKI Jakarta. Implikasinya, berbagai nilai
tambah lebih terserap ke DKI Jakarta. Disisi lain berbagai kegiatan yang
berkembang di DKI Jakarta tersebut menciptakan bangkitan pergerakan penduduk
dari sekitar DKI Jakarta. Adanya perbedaan yang kontras antara jumlah penduduk
siang dan penduduk malam DKI Jakarta menunjukkan tingginya pergerakan
komuter menuju DKI Jakarta. Mereka tinggal di daerah sekitar Bodebek Karpur
tetapi bekerja dan menciptakan nilai tambah bagi DKI Jakarta. Menurut data Badan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta, pada tahun 2010
jumlah penduduk malam DKI Jakarta sekitar 9,59 juta jiwa. Sedangkan pada siang
hari jumlah penduduk tersebut diperkirakan mencapai 10,5 juta jiwa.

Meskipun Bodebek Karpur merupakan salah satu kawasan dengan kegiatan


industri yang tinggi, namun sebagian besar bersifat foot loose, tidak memberikan
nilai tambah yang signifikan bagi pertumbuhan Bodebek Karpur itu sendiri. Nilai
tambah terbesar justru berada di 1st tier metropolitan. Padahal apabila ditinjau
lebih jauh, kawasan Bodebek Karpur merupakan kawasan yang potensial. Tahun
2010, luas wilayah DKI Jakarta adalah 66.152 Ha. Pada tahun yang sama luas lahan
kawasan Bodebek Karpur telah mencapai 300.496 Ha. Secara spasial hampir 5 kali

28
lipat luas lahan DKI Jakarta. Dan tidak seperti luas DKI Jakarta yang sifatnya
terbatas, luas Bodebek Karpur masih memungkinkan untuk mendukung
perkembangan berbagai kegiatan metropolitan.

Sebagai upaya untuk mengembangkan Kawasan Bodebek Karpur sebagai


metropolitan mandiri, maka pengembangan Metropolitan Bodebek Karpur
memerlukan perhatian dan penanganan secara serius. Dalam prosesnya, perlu
diupayakan untuk mendorong percepatan pertumbuhan Metropolitan Bodebek
Karpur agar dapat menjadi 1st tier metropolitan, sejajar dengan DKI Jakarta.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat menamakan konsep tersebut sebagai Konsep Twin
Metropolitan Bodebek Karpur- DKI Jakarta.

Konsep Twin Metropolitan tersebut merupakan konsep baru yang digagas oleh
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, melalui tim WJPMDM. Munculnya konsep ini
didasari oleh belum optimalnya konsep-konsep pengembangan metropolitan
terdahulu. Selama ini pendekatan Jabodetabek kurang dapat memberikan solusi
terhadap masalah perkotaan dikawasan tersebut. Hal ini terbukti dari masih
banyaknya persoalan perkotaan yang tidak terselesaikan, seperti misalnya
kemacetan lalu lintas serta persoalan- persoalan perkotaan lainnya berupa
kemiskinan, permukiman kumuh (slum) dan permukiman liar (squatter).

Dilatar belakangi oleh kondisi tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mencoba
memberikan suatu terobosan baru melalui konsep Twin Metropolitan Bodebek
Karpur- DKI Jakarta. Inti dari konsep Twin Metropolitan Bodebek Karpur – DKI
Jakarta yaitu mengembangkan Bodebek Karpur sebagai 1st tier metropolitan
berdampingan dengan DKI Jakarta yang juga berperan sebagai 1st tier
metropolitan. Pengembangan sebagai 1st tier tersebut akan memungkinkan,
mengingat Kawasan Bodebek Karpur telah tumbuh sebagai metropolitan yang
potensial dengan berbagai keunggulan yang dimilikinya. Untuk mendukung konsep
tersebut, maka berbagai kegiatan berskala metropolitan perlu diundang masuk ke
kawasan ini. Kantor-kantor pusat, kegiatan jasa, hukum, penelitian dan
pemerintahan perlu dikembangkan. Sehingga dapat lebih memantapkan peran
Bodebek Karpur sebagai 1st tier metropolitan, berdampingan dengan DKI Jakarta.
Pembangunan Metropolitan Bodebek Karpur melalui konsep Twin Metropolitan
Bodebek Karpur – DKI Jakarta ini dinilai dapat meningkatkan nilai tambah bagi
kawasan ini. Melalui pengembangan cluster-cluster kantor pusat perusahaan,
perbankan, jasa pelayanan, asuransi, hukum, penelitian dan pemerintahan

29
berskala metropolitan di Kawasan Bodebek Karpur, secara mikro dapat
menciptakan lapangan pekerjaan bagi penduduk yang ada di kawasan tersebut.
Sedangkan secara makro, pembangunan Metropolitan Bodebek Karpur dapat
menjadi salah satu penghela bagi ekonomi, kesejahteraan, modernisasi dan
keberlanjutan di Provinsi Jawa Barat.

Tidak hanya itu, disamping akan memberikan nilai tambah bagi Metropolitan
Bodebek Karpur pada khususnya dan Provinsi Jawa Barat pada umumnya,
pengembangan Metropolitan Bodebek Karpur melalui konsep Twin Metropolitan
Bodebek Karpur – DKI Jakarta ini juga akan dapat mengurangi beban
pembangunan di DKI Jakarta, sehingga diharapkan dapat berpengaruh positif bagi
wilayah di sekitarnya.

GAMBAR 16 TWIN METROPOLITAN BODEBEK KARPUR – DKI JAKARTA


Sumber: Analisis Tim WJP-MDM, 2011, Data: SP 2010, GIS Bappeda WJP 2010.

30
Pengembangan Metropolitan Bodebek Karpur dengan Sektor Unggulan Industri
Manufaktur, Jasa, Keuangan, serta Perdagangan, Hotel, dan Restoran
Dalam hal arah pengembangan, Metropolitan Bodebek Karpur akan diarahkan
sebagai metropolitan yang memiliki sektor unggulan industri manufaktur, jasa,
keuangan, serta perdagangan, hotel, dan restoran. Hal tersebut didasari oleh isu
dan keunggulan eksisting serta mempertimbangkan perkembangan kawasan ini
kedepan.

Saat ini, beberapa kawasan di Metropolitan Bodebek Karpur tumbuh sebagai


kawasan industri manufaktur. Beberapa kawasan industri di metropolitan ini
berpotensi menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Adanya dukungan faktor
produksi berupa ketersediaan lahan semakin memperkuat posisi arahan
pengembangan Metropolitan Bodebek Karpur sebagai metropolitan dengan salah
satu sektor unggulan industri manufaktur.

Seperti halnya pengembangan sektor unggulan industri manufaktur, arahan


pengembangan sektor unggulan perdagangan, keuangan dan jasa di Metropolitan
Bodebek Karpur juga didasari oleh kondisi eksisting serta pertimbangan
perkembangan kawasan ini kedepan. Kegiatan ekonomi sektor jasa, keuangan
serta perdagangan, hotel, dan restoran saat ini cukup berkembang di Metropolitan
Bodebek Karpur. Meskipun kawasan ini telah menampakkan kawasan
metropolitan, isu saat ini, kawasan ini belum memiliki infrastruktur pendukung
kegiatan jasa, keuangan serta perdagangan, hotel, dan restoran yang berskala
metropolitan.

Kondisi kedepan, dengan diterapkannya konsep Twin Metrolitan Bodebek Karpur –


DKI Jakarta, maka diperkirakan kegiatan perkotaan dikawasan ini akan
berkembang. Terlebih lagi dengan adanya berbagai keunggulan yang dimiliki
Metropolitan Bodebek Karpur yang dapat memacu tumbuh kembangnya kegiatan
perdagangan, keuangan dan jasa. Oleh karena itu untuk mendukung terwujudnya
konsep pengembangan Metropolitan Bodebek Karpur, maka kawasan ini perlu
ditunjang oleh infrastruktur pendukung kegiatan jasa, keuangan serta
perdagangan, hotel, dan restoran yang memiliki skala metropolitan.

Konsep pengembangan Metropolitan Bodebek Karpur sebagai metropolitan


mandiri dengan sektor unggulan industri manufaktur, jasa, keuangan, serta
perdagangan, hotel, dan restoran tersebut dinilai potensial dan dapat menjadi

31
salah satu penghela ekonomi, kesejahteraan, modernisasi dan keberlanjutan bagi
Provinsi Jawa Barat.

Konsep Pengembangan Infrastruktur dan Prasarana Wilayah


Untuk dapat mewujudkan pengembangan Wilayah Metropolitan Bodebek Karpur
sebagai metropolitan mandiri yang bisa berdampingan dengan DKI Jakarta,
diperlukan pengembangan infrastruktur dan prasarana wilayah yang memadai.
Berikut ini merupakan konsep pengembangan infrastruktur wilayah yang
mencakup infrastruktur transportasi, perumahan, jaringan air bersih, jaringan air
kotor, fasilitas persamapahan, jaringan drainase, dan jaringan energi.

1. Konsep Pengembangan Infrastruktur Transportasi


Transportasi adalah pergerakan orang dan barang dari satu lokasi ke lokasi lain
atau dari satu pusat kegiatan ke pusat kegiatan lain. Transportasi dapat dikatakan
pula suatu pergerakan untuk melakukan kerja, rekreasi, pengumpulan bahan baku,
distribusi barang produk, dan lain-lain. Dalam skala metropolitan, tujuan akhir dari
transportasi adalah terpenuhinya permintaan pergerakan orang/barang dalam
rangka menunjang kesejahteraan masyarakat metropolitan yaitu terwujudnya
metropolitan yang nyaman sebagai tempat tinggal, tempat kerja, dan tempat
rekreasi (Kusbiantoro, 1996).

Menurut Manheim (1979), sistem transportasi memiliki banyak komponen.


Beberapa diantaranya merupakan komponen fisik, dan lainnya komponen
institusional. Komponen-komponen tersebut antara lain adalah sistem angkut
muatan, fasilitas transfer, sistem pemeliharaan, sistem pengelolaan, serta
guideway yang terdiri dari sistem pendukung, sistem tenaga dan pendorong, dan
sistem pengendali.

Selain itu, menurut Allan (1981), unsur fisik dalam sistem transportasi adalah jalan,
terminal, unit pengangkutan dan motive power. Jalan dapat menggunakan sesuatu
yang dibangun atau yang menggunakan ketersediaan alam. Untuk transportasi
darat, Jalan dapat berupa jalan raya dan jalur pasti (fixed tracks). Fixed tracks
sendiri dapat berupa standard duo-rail, rack railway, cable lines, monorail,
pneumatic tyred trains, street tramways, dan pipelines.

Unsur fisik selanjutnya menurut Allan (1981) adalah terminal. Terminal dapat
dideskripsikan sebagai titik paling jauh dari jaringan untuk perpanjangan

32
selanjutnya. Sejauh ini, pengguna transportasi memperhatikan kenyamanannya,
sehingga terminal ini harus disesuaikan dengan kebutuhan.

Transportasi dapat menunjang terwujudnya suatu wilayah metropolitan yang


sejahtera tergantung dari karakteristik wilayah terkait. Misalnya, kebutuhan
fasilitas dan layanan transportasi untuk wilayah kota industri berbeda dengan
untuk kota pendidikan. Menurut Kusbiantoro (2007), hubungan antara fasilitas dan
layanan transportasi dengan wilayah terkait merupakan suatu sistem yang terdiri
atas beberapa sistem/subsistem sebagai berikut:

1. Sistem Kegiatan, yakni pusat-pusat penduduk dengan kegiatannya, misalnya


wilayah metropolitan, kawasan perumahan, kawasan perdagangan, dan
sebagainya; Sistem / Sub-sistem Kegiatan ini membangkitkan (produksi dan
tarikan) pergerakan yang membutuhkan fasilitas dan layanan transportasi

2. Sistem Jaringan, yakni jaringan dan simpul-simpul fasilitas & layanan


transportasi, misalnya jaringan jalan raya (arteri, kolektor, lokal), jaringan rel
kereta-api, jaringan layanan transportasi umum, bandara udara, pelabuhan
laut, dan lain-lain. Sistem/Sub-Sistem Jaringan melayani pergerakan Sistem
Kegiatan sebagai suatu sistem, misalnya longsornya sebagian kecil jalan tol
Cipularang praktis melumpuhkan fungsi utama jalan tol tersebut, yakni jalan
tol Jakarta-Bandung; dengan tidak terpenuhinya tujuan akhir transportasi
Jakarta-Bandung tersebut, maka hal ini selanjutnya juga berdampak terhadap
peran sistem/subsistem jaringan lainnya, misalnya peningkatan peran jaringan
layanan kereta api dan jaringan jalan alternatif lainnya.

3. Sistem Pergerakan, yakni pergerakan orang dan/atau barang berdasar jumlah,


tujuan, lokasi asal-tujuan, waktu perjalanan, jarak atau lama perjalanan,
kecepatan, frekuensi, moda yang digunakan, dan sebagainya. Sistem
Pergerakan adalah bangkitan pergerakan yang dihasilkan Sistem Kegiatan

Sistem kegiatan, sistem jaringan, dan sistem pergerakan merupakan suatu sistem
yang saling berkaitan satu sama lain. Semakin besar sistem kegiatan dan sistem
jaringan, maka semakin besar pula sistem pergerakan, dan pada gilirannya sistem
pergerakan yang besar akan memberikan dampak besar pula terhadap sistem
kegiatan dan sistem jaringan. Ketiga sistem ini dipengaruhi oleh sistem yang
keempat, sistem kelembagaan, yang terdiri atas aspek legal, organisasi, sumber

33
daya manusia, dan dana. Sistem-sistem yang mencakup sistem kegiatan, sistem
jaringan, sistem pergerakan, dan sistem kelembagaan juga dipengaruhi oleh sistem
lingkungan internal dan eksternal yang meliputi aspek ekonomi, sosial, budaya,
politik, geo-fisik, dan teknologi.

Perencanaan transportasi sangat dibutuhkan sebagai konsekuensi dari


pertumbuhan, keadaan lalu lintas, dan perluasan wilayah. Tujuan perencanaan
transportasi sendiri diantaranya untuk mengatasi masalah yang ada, melayani
kebutuhan secara optimal, mencegah persoalan yang diduga akan timbul,
mempersiapkan tindakan untuk tanggap pada keadaan di masa depan, dan
mengoptimalkan daya dan dana yang dapat digunakan sehingga tercapai daya
guna dan hasil guna yang tinggi (Overgaard, 1966).

Peran transportasi terhadap perkembangan dan pertumbuhan wilayah


metropolitan tercermin dari interaksi antara sistem jaringan, sistem pergerakan,
dan sistem kegiatan di wilayah metropolitan. Ketiga sistem tersebut biasanya
berkaitan erat dengan sistem ekonomi yang akan mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan sistem ekonomi tersebut. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi
pun dapat mempengaruhi sistem transportasi yang ada (Faulks, 1982).

Setiap wilayah membutuhkan sistem transportasi yang komprehensif dan efisien


untuk memindahkan barang dan orang melalui batas administrasi tertentu. Selain
itu, sistem transportasi tersebut juga harus memadai untuk menghubungkan
semua bagian dari wilayah sehingga semua sumber daya dan kenyamanan dapat
dinikmati oleh semua orang. Untuk transportasi barang, pelayanannya harus
memiliki kecepatan, keamanan, kecukupan, frekuensi, keteraturan, kelengkapan,
kenyamanan, dan harga yang dapat diterima (Delaney, R.E. and Woellner, G.W.,
1974).

Transportasi publik menjadi salah satu sistem yang berpengaruh dalam wilayah
metropolitan. Dalam pengembangan transportasi publik, guna lahan di wilayah
tersebut setidaknya akan terpengaruh misalnya saja jika kita ingin
mengembangkan jaringan kereta api yang nantinya akan mempengaruhi guna
lahan di sekitar jalur kereta api tersebut, sehingga terjadi perubahan guna lahan
(White, 1995).

34
Selain transportasi publik, dikenal pula transportasi massal. Transportasi massal
merupakan bagian dari transportasi publik yang dapat melayani kebutuhan
masyarakat di metropolitan yang sangat tinggi pertumbuhan dan kepadatan
penduduknya. Kepadatan penduduk di wilayah metropolitan akan menjadi salah
satu faktor utama dalam pengembangan transportasi publik dan transportasi
massal di wilayah metropolitan (White, 1995). Dalam hal ini, pengembangan
transportasi tersebut harus melihat permintaan dari kebutuhan penduduk agar
dapat memfasilitasi segala bentuk kegiatan yang dilakukan penduduk
metropolitan.

Berdasarkan isu dan persoalan yang telah dijelaskan sebelumnya, persoalan


kemacetan dapat disebabkan oleh berbagai hal yang terkait dengan sistem
kegiatan, sistem jaringan, sistem pergerakan, dan/atau sistem kelembagaan.
Berdasarkan akar pesoalan sistem kegiatan yang terkait dengan pemusatan spasial
dan temporal, maka arah kebijakan penanggulangannya adalah dengan
penyebaran spasial dan/atau temporal. Salah satu bentuk penyebaran spasial
adalah dengan menciptakan multipusat sistem kegiatan di suatu kota yang masing-
masing pusat atau subpusat tersebut memiliki fungsi yang berbeda, sehingga tidak
memusat di satu pusat. Salah satu bentuk penyebaran temporal adalah misalnya
dengan penyebaran jam kerja atau sekolah sehingga pergerakan secara temporal
tidak terlalu memusat pada waktu-waktu puncak.

Selain dengan penyebaran spasial dan temporal, salah satu intervensi terkait
sistem kegiatan di metropolitan adalah arah kebijakan toward zero transportation
city, yaitu dengan mewujudkan sistem kegiatan yang diwarnai oleh high-rise
building, compact city, mixed land use, dan mixed groups. Dengan penerapan
pendekatan ini maka yang diharapkan adalah pergerakan penduduk yang lebih
efisien misalnya dengan jarak tempuh antar lokasi yang berdekatan.

Strategi lain yang dapat diterapkan adalah intervensi yang berkaitan dengan sistem
jaringan dan sistem pergerakan. Dengan kondisi yang diwarnai dengan
kesenjangan antara sistem kegiatan dengan sistem jaringan serta keterbatasan
dana pemerintah, maka peningkatan sistem jaringan baik berupa jalan dan sistem
angkutan umum publik dapat diterapkan dengan pelibatan pihak swasta.
Sedangkan intervensi sistem pergerakan dapat dilakukan dengan manajemen lalu
lintas, misalnya pemberlakuan jalan searah, pemisahan lajur untuk moda cepat
dengan moda lambat, atau penyediaan informasi kondisi lalu lintas.

35
Rencana Sistem Jaringan Infrastruktur Transportasi di Metropolitan Bodebek
Karpur
Metropolitan Bodebek Karpur dikembangkan menjadi metropolitan mandiri
dengan basis pengembangan sektor industri manufaktur, jasa, keuangan, serta
perdagangan, hotel, dan restoran. Untuk mewujudkan metropolitan mandiri
dengan pendekatan twin metropolitan, maka Bodebek Karpur membutuhkan
infrastruktur transportasi yang mampu mengakselerasi pengembangan keempat
sektor ekonomi tersebut.

Dalam rangka penyusunan konsep pengembangan infrastruktur transportasi, Tim


WJPMDM telah melakukan overlay atas berbagai rencana yang telah disusun yaitu
berdasarkan RTRW Kabupaten/Kota, RTRW Provinsi Jawa Barat, Studi JUTPI, dan
rencana dalam Metropolitan Priority Area.

GAMBAR 17 TINJAUAN RENCANA PENGEMBANGAN JARINGAN TRANSPORTASI


DI METROPOLITAN BODEBEK KARPUR

Rencana Jaringan Infrastruktur Transportasi berdasarkan RTRW Kabupaten/Kota


Rencana jaringan infrastruktur transportasi berdasarkan RTRW Kabupaten/Kota di
Wilayah Metropolitan Bodebek Karpur ditunjukkan pada Gambar 18. Sebagian
besar rencana pengembangan sistem jaringan yang disusun oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota berupa pembangunan jalan tol dan peningkatan fungsi jalan arteri
sekunder, kolektor, dan jalan lokal. Sedangkan rencana untuk membangun rel

36
kereta api hanya terdapat di Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, dan
Kabupaten Purwakarta. Tabel 12 menunjukkan rencana pembangunan
infrastruktur di Wilayah Metropolitan Bodebek Karpur.

GAMBAR 18 PETA RENCANA JARINGAN TRANSPORTASI BERDASARKAN


RTRW KABUPATEN/KOTA
Sumber: Pemetaan Tim WJP-MDM, 2013

37
TABEL 12
RENCANA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI DAN PERHUBUNGAN
BERDASARKAN RTRW KABUPATEN/KOTA
No. Kabupaten/Kota Pembangunan Tahun Pelaksanaan
1 Kota Bogor Jalan tol Bogor Outer Ring Road 2011 – 2020
Jalan tol Ciawi – Sukabumi 2013 – 2020
Jalan arteri paralel BORR Sentul – 2015 – 2020
Kedung Halang
Jalan Inner Ring Road 2011 – 2015
Jalan R3 (Vila Duta-Tajur; Jl Ahmad Yani- 2011 – 2014
Jl. Ciremai Ujung; Jl Ciremai Ujung-
Ahmad Sobana)
Pembangunan stoplet Sukaresmi 2013 – 2020

2 Kota Depok Jalan tol ruas Depok – Antasari 2012 – 2021


Jalan tol ruas Cinere – Cimanggis (bagian 2012 – 2013
dari Jakarta Outer Ring Road II)
Jl. Dewi Sartika - Jl. Arif Rahman Hakim 2013 – 2014
(sejajar jalur rel kereta api)
Pintu Tol Cimanggis menuju Terminal 2013 – 2014
Jatijajar
Fly over dari Jl. Siliwangi - Jl. Raya 2013 – 2014
Sawangan
Pembangunan Terminal Tipe A di 2012 – 2016
Kelurahan Jatijajar
Penyediaan dan penataan gedung parkir 2012 – 2014
terintegrasi dengan sistem Park and Ride
di kawasan sekitar terminal, stasiun KA,
shelter di Kota Depok

3 Kota Bekasi Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) 2010 – 2014
Ruas Jati Asih-Cikunir.
Jalan Tol Layang Cawang-Bekasi / 2010 – 2020
BECAKAYU (Bekasi-Cawang-Kampung
Melayu) melalui koridor Kalimalang-
Jalan Ahmad Yani sampai Jalan Agus
Salim.
Jalan Tol Jatiasih-Setu 2015 – 2030
Jalan Tol JORR 2 dari Cibubur-Cileungsi- 2015 – 2030
Setu-Babelan hingga ketemu ruas JORR I

38
No. Kabupaten/Kota Pembangunan Tahun Pelaksanaan
di daerah Cakung.
Pelebaran dan pembangunan jalan baru 2010 – 2014
ruas Jalan Bekasi Raya (Jl. Pejuang-Jl
Kaliabang- hingga Cikarang).
Pelebaran Jalan Siliwangi. 2010 – 2014
Jalur Busway dari Setu (JORR 2) – Jl. 2015 – 2025
Siliwangi – Tol Bekasi – Jakarta
Jalur rel ganda Cikarang- Jakarta 2010 – 2014
sepanjang jalur kereta api yang ada.
Jalan tol dalam kota koridor dari Bintara 2010 – 2020
(terusan Jl. Ngurah Rai) – Aren jaya (Jl.
Pahlawan)
Jalan tol dalam kota koridor dari Jl. A. 2010 – 2020
Yani – Jl. Pejuang
Pembangunan Interchange: Ahmadyani, 2010 – 2020
JORR-Jalan Hankam Raya, JORR-Jalan
Jatikramat, Pahlawan-Joyomartono, dan
H. Agus Salim
Fly over H. Agus Salim 2010 – 2020
Pembangunan stasiun baru di Kebon 2010 – 2012
Paya

4 Kabupaten Bogor Terminal regional tipe B di Cibinong 2011 – 2015


Terminal terpadu di Bojonggede 2005 – 2010
Terminal pariwisata di Ciawi, Tamansari, 2011 – 2015
dan Pamijahan
Terminal terpadu tipe regional di 2005 – 2020
Gorowong (Parung Panjang), Nambo
(Klapanunggal), dan Wates (Cigudeg)
Jalan arteri yang menghubungkan Tol 2011 – 2020
Jagorawi-Kemang-Gunungsindur
Jalan tol Bogor Ring Road 2005 – 2010
Jalan tol Jasinga (Bunar) – Tigaraksa 2011 – 2015
(Tangerang)
Jalan tembus Tol Jagorawi- 2005 – 2010
Gununggeulis-Gadog

5 Kabupaten Bekasi Jalan tol Jatiasih-Purwakarta yang 2011 – 2020


melintasi Setu-Cikarang Selatan-Serang

39
No. Kabupaten/Kota Pembangunan Tahun Pelaksanaan
Baru-Bojongmangu-Karawang-
Purwakarta
Jalan tol Cimanggis-Cibitung, Cibitung- 2011 – 2020
Tanjung Priok, Cikarang-Cibitung, Bekasi-
Cikarang-Kampung Melayu
Jalan arteri primer yang 2011 – 2031
menghubungkan jalan lintas utara ruas
Bunibakti menuju Desa Huripjaya
(pelabuhan)
Jalan arteri primer yang 2011 – 2031
menghubungkan jalan lintas utara ruas
Muarabakti menuju Desa Pantai Bakti
(bandar udara)
Jalan arteri sekunder yang merupakan 2011 – 2012
jaringan jalan khusus yang
menghubungkan antarkawasan industri
di Kecamatan Cikarang Barat-Cikarang
Selatan-Cikarang Pusat
Terminal tipe A dengan alokasi rencana 2011 – 2015
di Cikarang Utara dan Cikarang Barat
Terminal batang di Kecamatan 2011 – 2015
Tarumajaya
Dryport di Cikarang Utara 2011 – 2015
Terminal agro di Cikarang Utara 2012 – 2013
Jaringan rel dua jalur (double track) 2011 – 2015
Manggarai – Cikarang
Stasiun baru di Kecamatan Cibitung 2011 – 2015
Jaringan rel kereta api lintas cabang 2011 – 2015
yang akan menghubungkan Cikarang
Timur – Cikarang Pusat – Serang Baru –
Cibarusah – Kabupaten Bogor
Jembatan layang (fly over) di Kecamatan 2011 – 2015
Tambun Selatan – Cibitung – Cikarang
Barat.
Pelabuhan peti kemas di Kecamatan 2012 – 2015
Muaragembong, Kecamatan Babelan
dan Kecamatan Tarumajaya
Bandar Udara di Kecamatan 2015 – 2025
Muaragembong

40
No. Kabupaten/Kota Pembangunan Tahun Pelaksanaan

6 Kabupaten Jalan lingkar utara Karawang di Batujaya, 2020 – 2030


Karawang Tirtajaya, Jayakerta, Pedes, Cilebar,
Tempuran, Cilamaya Kulon, Cilamaya
Wetan
Jalan kolektor primer Pelabuhan 2025 – 2030
Cilamaya – Tol Jakarta-Cikampek –
Cikampek
Jalan akses ke potensi atau objek wisata 2015 – 2020
di Pantai Tanjung Pakis, Pantai Pasir
Putih, Curug-Ciampel, Pantai Pisangan
Jembatan Batujaya, Sukaharja, 2014 – 2020
Telukjambe, Rengasdengklok, Pakisjaya,
Telar Burung
Jaringan rel kereta api Cikampek – 2020 – 2030
Pelabuhan Internasional Cilamaya di
Cikampek, Jatisari, Banyusari, Cilamaya
Kulon, Tempuran
Elektrifikasi rel ganda kereta api 2015 – 2030
antarkota Cikampek – Cikarang yang
melintasi Kabupaten Karawang di
Cikampek, Purwasari, Klari, Karawang
Timur, dan Karawang Barat
Jalur rel baru untuk mendukung rencana 2015 – 2025
pembangunan shortcut Cibungur-
Tanjungrasa
Jalur kereta api cepat Jakarta – Surabaya 2015 – 2025
di Cikampek, Purwasari, Klari, Karawang
Timur, dan Karawang Barat
Terminal tipe B di Cikampek 2013 – 2015
Termnal tipe B di Karawang Barat atau 2015 – 2020
Karawang Timur
Pelabuhan Internasional Cilamaya 2015 – 2030

7 Kabupaten Jalan tol Cikopo-Palimanan 2014 – 2021


Purwakarta Jalan tol Cikampek-Padalarang 2012 – 2031
Gerbang tol Babakancikao 2015 – 2016
Gerbang tol Sawit 2017 – 2026
Gerbang tol Sukatani 2014 – 2015

41
No. Kabupaten/Kota Pembangunan Tahun Pelaksanaan
Jalan akses kawasan peruntukan industri 2013 – 2016
Kembangkuning Kecamatan Jatiluhur ke
Simpang Susun Ciganea.
Jalan akses kawasan peruntukan industri 2013 – 2016
Cilangkap Kecamatan Babakancikao ke
Simpang Susun Sadang Kecamatan
Bungursari.
Terminal tipe B di Sadang 2012 – 2014
Peningkatan dan pemeliharaan jalur KA 2012 – 2016
lintas Cikampek-Purwakarta-Darangdan
Pengembangan terminal peti kemas di 2012 – 2013
Cibungur
Pembangunan jalan pintas jalur kereta 2013 – 2016
api antar Cibungur-Tanjungrasa
Pembangunan rel ganda parsial antara 2012 – 2014
Purwakarta-Ciganea

Rencana Jaringan Infrastruktur Transportasi berdasarkan RTRW Provinsi Jawa


Barat Tahun 2009 – 2029
Berdasarkan Pasal 20 Perda Nomor 22 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jawa
Barat, rencana pengembangan infrastruktur jalan dan perhubungan yang akan
dikembangkan di Provinsi Jawa Barat terdiri atas :

a. pengembangan jaringan jalan primer yang melayani distribusi barang dan jasa
yang menghubungkan PKN, PKNp, PKW, PKWp dan PKL, dimana Metropolitan
Bodebek Karpur merupakan salah satu PKN;
b. pengembangan jaringan jalan tol dalam kota maupun antarkota sebagai
penghubung antarpusat kegiatan utama;
c. pengembangan jaringan kereta api yang berfungsi sebagai penghubung antar
PKN serta antara PKN dengan PKNp dan PKWp;
d. pengembangan bandara dan pelabuhan nasional maupun internasional serta
terminal guna memenuhi kebutuhan pergerakan barang dan jasa dari dan ke
Daerah dalam skala regional, nasional, maupun internasional; dan
e. pengembangan sistem angkutan umum massal dalam rangka mendukung
pengembangan pusat kegiatan utama.

42
Berikut ini adalah rencana pengembangan infrastruktur strategis terkait
transportasi di Jawa Barat yang melalui Metropolitan Bodebek Karpur, yaitu:

a. Tol Jakarta-Cikampek; dan


b. Pengembangan Angkutan Massal Perkotaan.

Selanjutnya, rincian rencana pengembangan infrastruktur transportasi wilayah di


Metropolitan Bodebek Karpur menurut RTRW Provinsi Jawa Barat terdiri dari:

a. Rencana pengembangan infrastruktur jalan meliputi:


 Pembangunan jalan tol Bogor Ring Road, Depok-Antasari, Jagorawi-Cinere,
Cimanggis-Cibitung, Cikarang-Tanjungpriok, Bekasi-Cawang-Kampung
Melayu, dan Serpong-Cinere;
 Pembangunan jalan Tol Cileunyi–Sumedang-Dawuan (CISUMDAWU) dan
jalan Tol Cikopo/Cikampek-Palimanan (CIKAPALI);
 Pembangunan jalan lingkar Leuwiliang di Kabupaten Bogor;
 Peningkatan kapasitas dan kondisi ruas jalan strategis;
 Pembangunan jalan lingkar Karawang di Kabupaten Karawang
b. Rencana pengembangan infrastruktur perhubungan meliputi:
 Pembangunan Pelabuhan Laut Internasional Cilamaya di Kabupaten
Karawang;
 Pengembangan Pelabuhan Laut di Kabupaten Bekasi;
 Penyediaan terminal tipe A di Kota Bogor, Kabupaten Bekasi, Kota Depok,
dan Kabupaten Karawang;
 Peningkatan/pembangunan rel ganda KA Perkotaan Manggarai-Cikarang
(lintas Manggarai-Jatinegara-Bekasi);
 Peningkatan rel ganda KA Perkotaan Parung Panjang-Tenjo;
 Pengembangan KA Perkotaan Jabodetabek;
 Peningkatan jalur KA Antar Kota Bogor-Sukabumi;
 Pembangunan shortcut jalur KA Perkotaan Parung Panjang-Citayam;
 Optimalisasi fungsi Pangkalan Udara Atang Sanjaya di Kabupaten Bogor;
 Pembangunan Shortcut Jalur KA Antar Kota Cibungur-Tanjungrasa di Kab.
Karawang dan Kab. Purwakarta;
 Peningkatan keandalan sistem jaringan jalur KA lintas selatan yang
menghubungkan kota-kota Cikampek-Purwakarta;
 Elektrifikasi rel ganda KA Antar Kota Cikarang-Cikampek;
 Peningkatan keandalan sistem jaringan KA lintas utara Jakarta-Cikampek;

43
 Pembangunan jalur KA cepat lintas Jakarta-Surabaya;
 Pengembangan angkutan massal perkotaan; dan
 Peningkatan fasilitas dan prasarana lalu lintas angkutan jalan.

Hasil overlay rencana jaringan berdasarkan RTRW Provinsi Jawa Barat dengan
RTRW Kabupaten/Kota ditunjukkan pada Gambar 19.

GAMBAR 19 PETA RENCANA JARINGAN TRANSPORTASI BERDASARKAN


RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 DAN RTRW KABUPATEN/KOTA
Sumber: Pemetaan Tim WJP-MDM, 2013

Rencana Jaringan Infrastruktur Transportasi berdasarkan Rencana dalam


Metropolitan Priority Area (MPA)
Berdasarkan dokumen Metropolitan Priority Area (MPA), terdapat berbagai
rencana yang terkait dengan jaringan infrastruktur trasnportasi di wilayah Bodebek
Karpur yaitu sebagai berikut:

 Pembangunan Jakarta Outer Ring Road II;


 Pembangunan jalan tol paralel Jakarta-Cikampek;
 Peningkatan jaringan jalan di Jabodetabek, terutama di wilayah Kawasan
Industri hingga Jakarta Timur;
 Pembangunan akses jalan ke Pelabuhan Cilamaya;
 Pembangunan kereta api barang yang menuju Pelabuhan Cilamaya;

44
 Pembangunan akses jalan ke Bandara Internasional yang akan dibangun;
 Pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung yang melalui Bandara
Internasional baru;
 Pembangunan terminal mobil baru di Pelabuhan Cilamaya;
 Pembangunan Logistics Park yang mendukung fasilitas pelabuhan baru;
 Pembangunan bandara internasional baru;

Hasil overlay rencana jaringan berdasarkan RTRW Provinsi Jawa Barat, RTRW
Kabupaten/Kota, dan rencana dalam Metropolitan Priority Area (MPA) ditunjukkan
pada Gambar 20.

GAMBAR 20 PETA RENCANA JARINGAN TRANSPORTASI BERDASARKAN


RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029, RTRW KABUPATEN/KOTA, DAN MPA
Sumber: Pemetaan Tim WJP-MDM, 2013

Rencana Jaringan Infrastruktur Transportasi berdasarkan Studi Jabodetabek


Urban Transportation Policy Integration (JUTPI)
Berdasarkan studi JUTPI, terdapat berbagai rencana yang terkait dengan jaringan
infrastruktur transportasi di wilayah Bodebek Karpur yaitu sebagai berikut:

 Pembangunan Jakarta Outer Ring Road II;


 Pembangunan Jalan Tol Depok – Antasari;
 Pembangunan Bogor Outer Ring Road Tahap II dan III;

45
 Pengembangan sistem Bus Rapid Transit (BRT);
 Pelebaran jalan untuk sistem Bus Rapid System di beberapa ruas jalan di
Kota Bogor, Kota Bekasi, dan Kota Depok;
 Pembangunan fasilitas park and ride untuk BRT;
 Pembangunan terminal bis;
 Elektrifikasi dan elevasi Bekasi Line Double-Double Tracking;
 Pembangunan sistem Mass Rapid Transit (MRT) East – West; dan
 Pembangunan dan peningkatan fasilitas stasiun KA.

Hasil overlay rencana jaringan berdasarkan RTRW Provinsi Jawa Barat, RTRW
Kabupaten/Kota, rencana dalam Metropolitan Priority Area (MPA), dan studi JUTPI
ditunjukkan pada Gambar 21.

GAMBAR 21 PETA RENCANA JARINGAN TRANSPORTASI BERDASARKAN


RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029, RTRW KABUPATEN/KOTA, MPA, DAN JUTPI
Sumber: Pemetaan Tim WJP-MDM, 2013

Proses finalisasi konsep pengembangan infrastruktur transportasi di Metropolitan


Bodebek Karpur dilakukan secara bottom-up dengan mengumpulkan masukan
mengenai konsep pengembangan yang direncanakan oleh masing-masing
kabupaten/kota, serta menjaring pendapat dari kabupaten/kota mengenai
rencana-rencana yang disusun oleh Pemerintah Pusat. Dengan disepakatinya
konsep pengembangan infrastruktur transportasi di wilayah ini, diharapkan

46
seluruh stakeholders dapat memprioritaskan pembangunan infrastruktur yang
dapat mengakselerasi terwujudnya Twin Metropolitan Bodebek Karpur-DKI
Jakarta.

2. Konsep Pengembangan Perumahan


Perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang menentukan kualitas
hidup dan kesejahteraan penduduk. Dalam konteks perkotaan, persoalan
perumahan seringkali ditemukan karena keterbatasan lahan yang mengakibatkan
tingginya harga lahan di perkotaan. Pada kenyataannya, pertumbuhan penduduk
perkotaan merupakan hal yang sulit untuk dihindari.

Beberapa implikasi dari tingginya lahan perkotaan adalah tumbuhnya


pengembangan perumahan di wilayah pinggiran kota bagi masyarakat kelas
menengah. Tren yang berkembang saat ini adalah banyaknya pengembang
perumahan yang menawarkan harga yang terjangkau bagi masyarakat kelas
menengah. Kalangan masyarakat ini pada umumnya memiliki fasilitas yang
memudahkan mereka untuk menempuh jarak jauh yaitu dengan menggunakan
mobil pribadi. Akibatnya, ruas-ruas jalan di perbatasan antara pusat kota dan
pinggiran kota merupakan titik-titik kemacetan yang disebabkan oleh pergerakan
penduduk commuter.

Di sisi lain, bagi masyarakat berpenghasilan rendah, persoalan dasar yang dihadapi
adalah ketidakmampuan mereka untuk mengakses lahan yang layak dan terjamin,
baik di pusat kota maupun pinggiran kota. Kendala yang dihadapi oleh masyarakat
berpenghasilan rendah tidak hanya terkait tingginya harga lahan tetapi juga biaya
transportasi yang seringkali menjadi persoalan jika lokasi rumah mereka berjauhan
dari lokasi tempat bekerja atau sekolah. Akibatnya, banyak masyarakat
berpenghasilan rendah yang memilih untuk tinggal di pusat kota namun dengan
kondisi lingkungan perumahan yang kumuh, bahkan tidak sedikit yang menempati
lahan yang bukan miliknya.

Berbekal dari kondisi di atas, dalam konteks pengembangan Metropolitan Bodebek


Karpur dengan konsep Twin Metropolitan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat perlu
mengambil kebijakan yang dapat memecahkan persoalan perumahan di
metropolitan baik bagi masyarakat menengah ke atas maupun masyarakat
menengah ke bawah. Salah satu strategi untuk memecahkan persoalan di atas
adalah dengan mengeluarkan kebijakan yang dapat mendorong penyediaan

47
perumahan vertikal di pusat kota dengan mengakomodasi seluruh kalangan
masyarakat.

Pengembangan perumahan vertikal merupakan salah satu upaya yang perlu


didorong oleh Pemerintah untuk dapat menampung kebutuhan perumahan bagi
masyarakat perkotaan tanpa harus terkendala oleh minimnya lahan perkotaan.
Pembangunan perumahan vertikal yang dikembangkan oleh developer pada
umumnya ditujukan bagi masyarakat kelas menengah ke atas. Dalam hal ini,
pemerintah dapat berperan sebagai regulator yang mengatur wilayah prioritas
yang perlu dibangun perumahan vertikal.

Jika mengacu pada analisis Tim WJPMDM, berdasarkan proyeksi penduduk


Bodebek Karpur tahun 2025, daerah yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi
adalah Kecamatan Bekasi Barat dan Bekasi Utara di Kota Bekasi, Kecamatan
Tambun Selatan di Kabupaten Bekasi, Kecamatan Gunung Putri dan Cibinong di
Kabupaten Bogor. Gambar 22 menunjukkan lokasi kecamatan dengan kepadatan
tertinggi di Bodebek Karpur.

KETERANGAN

GAMBAR 22 PETA KEPADATAN PENDUDUK METROPOLITAN BODEBEK KARPUR


TAHUN 2025
Sumber : Analisis Tim WJPMDM, 2013

48
3. Konsep Pengembangan Jaringan Air Bersih
Dalam lingkup metropolitan, pelayanan dalam pemenuhan kebutuhan air bersih
merupakan hal yang paling mendasar dalam mewujudkan kualitas hidup yang
layak bagi masyarakat perkotaan. Namun, pertumbuhan penduduk perkotaan yang
semakin pesat menjadi tantangan serius bagi penyedia pelayanan air bersih yang
harus mencari sumber air baru, memperluas jaringan, dan mempertahankan
kualitas pelayanan.

Lenton dan Wright (2004) dalam “Achieving the Millennium Development Goals for
Water and Sanitation: What Will It Take?”, mengidentifikasi beberapa kendala
terkait keberhasilan penyediaan air minum di negara berkembang, seperti di
Indonesia yaitu: 1) politis (sektor air minum dan sanitasi belum menjadi prioritas);
2) finansial (kemiskinan); 3) institusional (kurangnya lembaga yang tepat, tidak
berfungsinya lembaga yang ada); 4) teknis (tersebarnya permukiman, aksesibilitas
dan geografis ); dan 5) terbatasnya pasokan air dan bencana alam (Nugroho,
2012).

Berdasarkan hasil analisis tim WJPMDM, telah disebutkan bahwa kebutuhan air
bersih domestik dan non domestik diprediksi mencapai 4.446.851.595 liter/hari.
Kebutuhan air bersih di wilayah metropolitan tidak dapat dipenuhi dengan rencana
pembangunan yang parsial. Terdapat beberapa regulasi yang telah mengatur
penyediaan air minum yaitu Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005 tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) dan Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum (PU) No. 18 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Pengembangan SPAM.

Dalam regulasi tersebut disebutkan bahwa pengembangan SPAM bertujuan untuk


terwujudnya pengelolaan dan pelayanan air minum yang berkualitas dengan harga
yang terjangkau; tercapainya kepentingan yang seimbang antara konsumen dan
penyedia jasa pelayanan; serta tercapainya peningkatan efisiensi dan cakupan
peyanan air minum.

SPAM dapat dilakukan melalui sistem jaringan perpipaan dan/atau bukan jaringan
perpipaan. SPAM dengan jaringan perpipaan dapat meliputi unit air baku, unit
produksi, unit distribusi, unit pelayanan, dan unit pengelolaan; sedangkan SPAM
bukan jaringan perpipaan dapat meliputi sumur dangkal, sumur pompa tangan,

49
bak penampungan air hujan, terminal air, mobil tangki air instalasi air kemasan,
atau bangunan perlindungan air minum.

a) Unit air baku merupakan sarana pengambilan dan/atau penyediaan air


baku;
b) Unit produksi merupakan prasarana dan sarana yang dapat digunakan
untuk mengolah air baku menjadi air minum melalui proses fisik, kimiawi,
dan/atau biologi;
c) Unit distribusi merupakan unit yang mendistribusikan air dari unit produksi
ke unit pelayanan di pelanggan;
d) Unit pelayanan merupakan ujung akhir dari sistem yang langsung
bersentuhan dengan pelanggan. Unit ini mengukur besaran pelayanan dan
menjamin keakurasiannya pada sambungan rumah dan hidran umum;
e) Unit pengelolaan terdiri dari pengelolaan teknis dan non teknis.
Pengelolaan teknis terdiri dari kegiatan operasional, pemeliharaan dan
pemantauan dari unit air baku, unit produksi, dan unit distribusi;
sedangkan pengelolaan nonteknis terdiri dari administrasi dan pelayanan.

Lingkup pengembangan SPAM dapat berarti penambahan coverage area,


penambahan jumlah pelanggan tanpa menambah coverage area,
rehabilitasi/revitalisasi jaringan perpipaan, atau uprating unit produksi. Dalam
Permen No. 18 Tahun 2007 juga dijelaskan mengenai rencana induk
pengembangan SPAM, yaitu suatu rencana jangka panjang (15-20 tahun) yang
merupakan bagian atau tahap awal dari perencanaan air minum jaringan
perpipaan dan bukan jaringan perpipaan berdasarkan proyeksi kebutuhan air
minum pada satu periode yang dibagi dalam beberapa tahapan dan memuat
komponen utama sistem beserta dimensi-dimensinya.

Dalam regulasi tersebut juga dijelaskan bahwa cakupan wilayah rencana induk
pengembangan SPAM dapat berada dalam satu wilayah administrasi
kabupaten/kota, lintas kabupaten/kota, atau lintas provinsi. Rencana induk
pengembangan SPAM lintas kabupaten/kota disusun dengan memperhatikan
kebijakan dan strategi daerah masing-masing kabupaten/kota yang telah
ditetapkan serta kesepakatan antar kabupaten/kota terkait dengan
memberitahukan kepada pemerintah provinsi terkait. Jika kesepakatan antara
kabupaten/kota tidak tercapai, Pemerintah Provinsi dapat memfasilitasi

50
terselenggaranya kerja sama dalam perencanaan pengembangan sistem
penyediaan air minum lintas kabupaten/kota.

Metropolitan Bodebek Karpur akan dikembangkan dengan konsep Twin


Metropolitan Bodebek Karpur-DKI Jakarta. Dengan konsep ini, kerjasama antar
daerah tidak hanya melibatkan antar kabupaten/kota tetapi juga berpotensi
melibatkan Provinsi DKI Jakarta dan Banten. Jika rencana pengembangan SPAM
melibatkan beberapa provinsi, maka jika tidak mencapai kesepakatan dalam hal
fasilitasi provinsi, Pemerintah Pusat dapat memfasilitasi kerjasama dalam
perencanaan pengembangan SPAM lintas provinsi.

Hingga tahun 2013, kesepakatan kerjasama pengembangan SPAM di Provinsi Jawa


Barat baru direalisasi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota di Metropolitan Bandung
Raya, dan belum ada kesepakatan di Wilayah Metropolitan Bodebek Karpur dan
Cirebon Raya. Mengingat pentingnya penyediaan air bersih yang memadai, maka
untuk ke depannya Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan menginisiasi
pengembangan SPAM regional, termasuk di Metropolitan Bodebek Karpur. Dengan
mengembangkan SPAM tersebut, diharapkan kebutuhan air bersih di wilayah ini
dapat dipenuhi dengan ketersediaan air bersih yang memadai.

4. Konsep Pengembangan Jaringan Air Kotor


Salah satu tantangan utama dalam menghadapi pertumbuhan penduduk
perkotaan yang sangat pesat adalah peningkatan jumlah air limbah. Dalam lingkup
nasional, hingga tahun 2013, instalasi pengolahan limbah terpusat dalam skala
kota hanya ada di 13 kota besar, yaitu Medan, Parapat, Batam, DKI Jakarta,
Tangerang, Bandung, Cirebon, Surakarta, DI Yogyakarta, Bali, Banjarmasin,
Balikpapan, dan Manado. Persoalan air limbah bukan lagi persoalan perorangan
tetapi sudah menjadi permasalahan umum yang seharusnya sudah ditangani
secara komunal.

Dalam PP No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan SPAM, dijelaskan bahwa


perlindungan air baku dilakukan melalui keterpaduan pengaturan pengembangan
SPAM dengan prasarana dan sarana sanitasi yang meliputi prasarana dan sarana
air limbah dan persampahan. Prasarana dan sarana air limbah dapat dilakukan
melalui sistem pembuangan air limbah setempat dan/atau terpusat. Sistem
pengolahan dan pembuangan air limbah setempat dilakukan secara individual,

51
sedangkan sistem pengolahan air limbah terpusat dilakukan secara kolektif melalui
jaringan pengumpul dan diolah serta dibuang secara terpusat.

Sistem pembuangan air limbah terpusat diperuntukkan bagi kawasan padat


penduduk dengan memperhatikan kondisi daya dukung lahan dan SPAM serta
mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kualitas hasil pengolahan
air limbah yang berbentuk cairan wajib memperhatikan standar baku mutu air
buangan dan baku mutu sumber air baku yang mencakup syarat fisik, kimia, dan
bakteriologi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Berbagai terobosan dalam pengolahan air limbah telah dilakukan di negara-negara


maju. Salah satu inovasi dalam pengolahan air limbah adalah penggunaan daur
ulang yang telah lama dipraktekan di Amerika Serikat. Hasil pengolahan air limbah
banyak digunakan untuk irigasi pertanian dan lansekap yang dipraktekan di daerah
California, Idaho, dan Colorado. Selain itu, hasil olahan air limbah tersebut juga
digunakan untuk kegiatan industri yaitu untuk air pendingin. Penggunaan lainnya
adalah untuk injeksi atau recharge air tanah dengan penyiraman alat injeksi
langsung ke akuifer, serta penggunaan untuk kegiatan lainnya misalnya danau
rekreasi, akuakultur, dan pembersihan toilet (flushing) (Said, 2006).

Salah satu contoh prasarana pengolahan air limbah di Colorado, Amerika Serikat
ditunjukkan pada Gambar 23. Air limbah yang berasal dari saluran pembuangan air
limbah dikumpulkan di pengolahan air limbah tersebut untuk diproses secara
bertahap. Proses yang dilakukan adalah membasmi bakteri, virus, dan protozoa
yang membahayakan. Prasarana pengolahan ini memperbaharui air yang telah
digunakan dan mengembalikan air limbah yang telah diolah ke Boulder Creek yang
merupakan anak sungai di daerah setempat. Fasilitas pengolahan air limbah ini
mengolah sekitar 12,5 juta galon air limbah per harinya. Prasarana ini tidak hanya
mengolah air limbah, tetapi juga menghasilkan listrik sebesar lebih dari 2 juta
kilowatt-jam yang diperoleh dari 1 megawatt solar electric system yang ada di
prasarana ini.

52
GAMBAR 23 WASTEWATER TREATMENT FACILITY DI COLORADO, AMERIKA SERIKAT
Sumber : www.bouldercolorado.gov, 2013

5. Konsep Pengembangan Fasilitas Persampahan


Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya aktivitas
sosial dan ekonomi masyarakat, volume sampah, khususnya sampah padat, yang
dihasilkan oleh kawasan perkotaan terus mengalami peningkatan. Masalah
pengelolaan sampah perkotaan antara lain adalah keterbatasan peralatan, lahan,
dan sumber daya manusia (Damanhuri dan Padmi, 2010). Berdasarkan kajian BPPT
(2002) mengenai Model Pengelolaan Persampahan Perkotaan, pengelolaan
persarnpahan mempunyai beberapa tujuan yang sangat mendasar yang meliputi:

a) Meningkatkan kesehatan lingkungan dan masyarakat;


b) Melindungi sumber daya alam (air);
c) Melindungi fasilitas sosial ekonomi;
d) Menunjang pembangunan sektor strategis.

Pengelolaan persampahan di negara industri sering didefinisikan sebagai kontrol


terhadap timbulan sampah, mulai dari pewadahan, pengumpulan, pemindahan,
pengangkutan, proses, dan pembuangan akhir sampah, dengan prinsip-prinsip
terbaik untuk kesehatan, ekonomi, keteknikan/engineering, konservasi, estetika,
lingkungan, dan juga terhadap sikap masyarakat (Tchobanoglous et al, 1993).

53
Keberhasilan pengelolaan, bukan hanya tergantung aspek teknis semata, tetapi
mencakup juga aspek non teknis, seperti bagaimana mengatur sistem agar dapat
berfungsi, bagaimana lembaga atau organisasi yang sebaiknya mengelola,
bagaimana membiayai sistem tersebut dan yang tak kalah pentingnya adalah
bagaimana melibatkan masyarakat penghasil sampah dalam aktivitas penanganan
sampah. Untuk menjalankan sistem tersebut, harus melibatkan berbagai disiplin
ilmu, seperti perencanaan kota, geografi, ekonomi, kesehatan masyarakat,
sosiologi, demografi, komunikasi, konservasi, dan ilmu bahan (Damanhuri dan
Padmi, 2010).

Berdasarkan Laporan WJPMDM (2011) mengenai Pengelolaan Sampah Padat


Perkotaan di Wilayah Metropolitan di Jawa Barat: Belajar dari Pengalaman di
Singapura, kunci keberhasilan Singapura dalam menciptakan sistem pengelolaan
sampah padat perkotaan yang efektif, efisien, dan berkelanjutan ditopang oleh
empat aspek kunci, yaitu: a) visi jangka panjang; b) kelembagaan yang menunjang;
c) swastanisasi kegiatan pengumpulan dan pengolahan sampah; serta d) sosialisasi
dan kampanye kepada masyarakat.

Pengelolaan persampahan perkotaan terutama di kota besar dan metropolitan


pada umumnya menghadapi persoalan utama yaitu keterbatasan lahan. Kebijakan
regionalisasi TPA merupakan salah satu solusi dalam rangka mengefisienkan
pengelolaan persampahan perkotaan. Balai Pengelolaan Sampah Regional Provinsi
Jawa Barat menjelaskan klasifikasi TPA dalam lingkup provinsi yaitu TPA regional,
TPA bersama, dan TPA mandiri. TPA regional berada di pusat-pusat kegiatan
nasional; TPA bersama berada di pusat-pusat kegiatan wilayah; sedangkan TPA
mandiri berada di wilayah kabupaten/kota untuk melayani kebutuhan
kabupaten/kota itu sendiri. Dalam hal ini, jika ingin menerapkan kebijakan
regionalisasi TPA maka idealnya terdapat TPA yang mampu melayani kebutuhan
pengelolaan persampahan perkotaan di ketiga metropolitan di Jawa Barat.

Dalam lingkup Metropolitan Bodebek Karpur, terdapat rencana pembangunan TPA


Nambo yang berlokasi di Kabupaten Bogor. Pada tahun 2006, Pemerintah Provinsi
Jawa Barat menghasilkan kesepakatan bersama antara Pemerintah Provinsi Jawa
Barat, Pemerintah Kabupaten Bogor, Pemerintah Kota Bogor, Pemerintah Kota
Depok tentang Kerjasama Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah Regional
untuk Kabupaten Bogor, Kota Bogor dan Kota Depok.

54
GAMBAR 24 RENCANA LOKASI TEMPAT PENGOLAHAN DAN PEMROSESAN AKHIR
SAMPAH (TPPAS) REGIONAL NAMBO DI KABUPATEN BOGOR
Sumber : Balai Pengelolaan Sampah Regional Provinsi Jawa Barat, 2013

Selanjutnya, pada bulan Januari 2011, tindak lanjut dari kesepakatan tersebut
adalah dihasilkannya kesepakatan bersama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat,
Pemerintah Kabupaten Bogor, PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk dan PT
Cibinong Center Industrial Estate (CCII) tentang Penyediaan Akses Jalan Menuju ke
Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Regional di Desa
Nambo dan Desa Lulut Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor. Peta orientasi
lokasi TPPAS Regional Nambo ditunjukkan pada Gambar 25.

Kapasitas operasi TPPAS Regional Nambo direncanakan dapat mengelola sebanyak


1000 ton sampah/hari. Wilayah pelayanan TPPAS ini mencakup Kabupaten Bogor,
Kota Bogor, dan Kota Depok. Infrastruktur yang direncanakan untuk mendukung
operasional TPPAS Nambo adalah jalan operasi, drainase, dan instalasi pengolahan
leachate. Proses pengelolaan sampah di TPPAS ini terdiri dari tiga tahap yaitu
pemilahan, pengolahan, dan pemrosesan akhir. Fasilitas untuk melakukan
pemilahan terdiri dari hanggar dan alat pemilah, serta fasilitas untuk mengolah
terdiri dari mesin pemilahan, sarana pengomposan, sarana daur ulang, dan sarana
pengolahan sampah menjadi bahan bakar (Refuse Derived Fuel (RDF)).

55
GAMBAR 25 PETA ORIENTASI LOKASI TPPAS REGIONAL NAMBO
Sumber : Balai Pengelolaan Sampah Regional Provinsi Jawa Barat, 2013

GAMBAR 26 PROSES PENGELOLAAN SAMPAH DI TPPAS REGINAL NAMBO


Sumber : Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat, 2013

Berdasarkan rencana pelaksanaan yang disusun oleh Dinas Permukiman dan


Perumahan Provinsi Jawa Barat, kegiatan yang dilakukan pada tahun 2013 adalah

56
persiapan lelang yang dilanjutkan ke proses lelang kerjasama pemerintah-swasta.
Target realisasi proyek ini pada tahun 2013 mencakup:

a) Kerjasama pemanfaatan kawasan hutan 40 Ha dengan Perum Perhutani;


b) Kerjasama pemanfaatan hasil pengolahan sampah dengan PT Indocement;
c) Terlaksananya proses lelang Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS);
d) Proses penyusunan kerjasama antardaerah dalam rangka kesepakatan
pembiayaan (tipping fee dan/atau subsidi).

Selanjutnya, pada tahun 2014 dilakukan perencanaan teknis rinci oleh investor,
dan pada tahun 2015 sudah memulai pembangunan TPPAS regional Nambo.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kebijakan regionalisasi TPA ini
merupakan salah satu solusi dalam menghadapi persoalan persampahan
perkotaan. Namun, saat ini Pemerintah Provinsi Jawa Barat masih fokus pada
upaya realisasi TPPAS prioritas yaitu Nambo yang melayani Kota Bogor, Kota
Depok, dan Kabupaten Bogor serta Legoknangka yang melayani wilayah di
Bandung Raya. Pada kenyataannya, wilayah timur Metropolitan Bodebek Karpur
yang mencakup Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, dan
Kabupaten Purwakarta diprediksikan akan berkembang pesat karena kegiatan
industri yang banyak berkonsentrasi di wilayah ini. Untuk ke depannya, diperlukan
kajian mengenai pembangunan TPPAS yang dapat melayani wilayah Jawa Barat
bagian Utara termasuk wilayah Bekasi, Karawang, dan Purwakarta.

6. Konsep Pengembangan Jaringan Drainase


Sistem drainase perkotaan merupakan sistem drainase dalam wilayah administrasi
kota dan daerah perkotaan yang berfungsi untuk mengendallikan atau
mengeringkan kelebihan air permukaan di daerah permukiman yang berasal dari
hujan lokal, sehingga tidak mengganggu masyarakat dan dapat memberikan
manfaat bagi kehidupan manusia. Secara umum, fungsi sistem drainase adalah
sebagai berikut:

a. Mengeringkan bagian wilayah kota dari genangan sehingga tidak


menimbulkan dampak negatif;
b. Mengalirkan air permukaan ke badan air penerima terdekat secepatnya;
c. Mengendalikan kelebihan air permukaan yang dapat dimanfaatkan untuk
persediaan air dan kehidupan akuatik;

57
d. Meresapkan air permukaan untuk menjaga kelestarian tanah (konservasi
air); dan
e. Melindungi prasarana dan sarana yang sudah terbangun.

Berdasarkan fungsi layanan, sistem drainase terdiri dari: sistem drainase lokal,
sistem drainase utama, dan pengendali banjir.

a. Sistem drainase lokal adalah saluran awal yang melayani suatu kawasan
kota tertentu seperti komplek permukiman, areal pasar, perkantoran, areal
industri, dan komersial. Sistem ini melayani kurang dari 10 hektar.
Pengelolaan sistem drainase lokal menjadi tanggung jawab masyarakat,
pengembang, dan instansi lainnya.
b. Sistem drainase utama terdiri dari saluran drainase primer, sekunder, dan
tersier beserta bangunan pelengkapnya yang melayani kepentingan
sebagian besar warga masyarakat. Pengelolaan sistem drainase utama
merupakan tanggung jawab pemerintah kota/kabupaten.
c. Pengendalian banjir dapat berupa sungai yang melalui wilayah kota
berfungsi mengendalikan air sungai sehingga tidak mengganggu dan dapat
bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Pengelolaan pengendalian
menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Sumber Daya Air.

Salah satu prinsip utama dalam membangun sistem drainase perkotaan adalah
kapasitas sistem harus mencukupi, baik untuk melayani pengaliran air ke badan
penerima air, maupun untuk meresapkan air ke dalam tanah. Untuk mencapai
kapasitas yang memadai dilakukan perencanaan berdasarkan prinsip hidrologi dan
hidrolika.

Prinsip lain pembangunan sistem drainase perkotaan adalah sedapat mungkin


menggunakan sistem gravitasi. Jika sistem gravitasi tidak memungkinkan, sistem
pompa dapat digunakan terutama untuk daerah dengan topografi yang relatif
datar. Selain itu, sistem drainase sebaiknya diletakkan dengan memenuhi kriteria
perkotaan dan memiliki kesempatan untuk perluasan sistem. Dalam
pelaksanaannya harus memperhatikan segi hidraulik dan tata letak dalam
kaitannya dengan prasarana lain seperti jalan dan utilitas kota.

Pembangunan sistem drainase perkotaan perlu memperhatikan fungsi drainase


sebagai prasarana kota yang didasarkan pada konsep berwawasan lingkungan.

58
Konsep ini berkaitan dengan usaha konservasi sumber daya air yang pada
prinsipnya mengendalikan air hujan agar lebih banyak yang diresapkan ke dalam
tanah sehingga mengurangi jumlah limpasan. Hal ini dapat dilakukan dengan
membuat bangunan resapan buatan, kolam retensi, dan penataan lansekap.
Gambar 27 menunjukkan salah satu contoh kolam retensi (retention pond) yang
ditata di wilayah metropolitan Guadalajara.

GAMBAR 27 PENATAAN KOLAM RETENSI DI WILAYAH METROPOLITAN GUADALAJARA


Sumber : Gleason, 2008

Pembuatan kolam retensi dan sistem polder disusun dengan memperhatikan


faktor sosial dan ekonomi antara lain perkembangan kota dan rencana prasarana
dan sarana kota. Kelayakan pembangunan kolam retensi dan sistem polder harus
berdasarkan tiga faktor yaitu: biaya konstruksi, biaya operasi, dan biaya
pemeliharaan.

7. Konsep Pengembangan Jaringan Energi


Sistem jaringan energi nasional terdiri dari: jaringan pipa minyak dan gas
bumi; pembangkit tenaga listrik; dan jaringan transmisi tenaga listrik.

Jaringan pipa minyak dan gas bumi dikembangkan untuk: menyalurkan minyak dan
gas bumi dari fasilitas produksi ke kilang pengolahan dan/atau tempat
penyimpanan; atau menyalurkan minyak dan gas bumi dari kilang pengolahan atau
tempat penyimpanan ke konsumen. Jaringan pipa minyak dan gas bumi beserta
prioritas pengembangannya ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang minyak dan gas bumi. Jaringan pipa minyak dan gas bumi
ditetapkan dengan kriteria:

59
 adanya fasilitas produksi minyak dan gas bumi,
 fasilitas pengolahan dan/atau penyimpanan, dan konsumen yang
terintegrasi dengan fasilitas tersebut; dan
 berfungsi sebagai pendukung sistem pasokan energi nasional.

Pembangkit tenaga listrik dikembangkan untuk memenuhi penyediaan tenaga


listrik sesuai dengan kebutuhan yang mampu mendukung kegiatan
perekonomian. Pembangkit tenaga listrik ditetapkan dengan kriteria:

 mendukung ketersediaan pasokan tenaga listrik untuk kepentingan umum


di kawasan perkotaan, perdesaan hingga kawasan terisolasi;
 mendukung pengembangan kawasan perdesaan, pulau-pulau kecil, dan
kawasan terisolasi;
 mendukung pemanfaatan teknologi baru untuk menghasilkan sumber
energi yang mampu mengurangi ketergantungan terhadap energi tak
terbarukan;
 berada pada kawasan dan/atau di luar kawasan yang memiliki potensi
sumber daya energi; dan
 berada pada lokasi yang aman terhadap kegiatan lain dengan
memperhatikan jarak bebas dan jarak aman.

Jaringan transmisi tenaga listrik dikembangkan untuk menyalurkan tenaga listrik


antarsistem yang menggunakan kawat saluran udara, kabel bawah tanah, atau
kabel bawah laut. Jaringan transmisi tenaga listrik ditetapkan dengan kriteria:

 mendukung ketersediaan pasokan tenaga listrik untuk kepentingan umum


di kawasan perkotaan hingga perdesaan;
 mendukung pengembangan kawasan perdesaan, pulaupulau kecil, dan
kawasan terisolasi;
 melintasi kawasan permukiman, wilayah sungai, laut, hutan, persawahan,
perkebunan, dan jalur transportasi;
 berada pada lokasi yang aman terhadap kegiatan lain dengan
memperhatikan persyaratan ruang bebas dan jarak aman;
 merupakan media penyaluran tenaga listrik adalah kawat saluran udara,
kabel bawah laut, dan kabel bawah tanah; dan
 menyalurkan tenaga listrik berkapasitas besar dengan tegangan nominal
lebih dari 35 (tiga puluh lima) kilo Volt.

60

Anda mungkin juga menyukai