Anda di halaman 1dari 9

Adam’s forward bending test dilakukan untuk mengetahui adanya tanda asimetri pada pasien

secara kuantitatif sehingga dapat menetapkan derajat deformitas dengan tepat yang menjadi
dasar dilakukannya evaluasi medis lebih lanjut, Bunnel memperkenalkan Skoliometer pada tahun
1984 (gambar 12-5).93 Hal ini secara khusus membentuk Inklinometer (sama dengan tingkatan
yang digunakan di toko kayu) untuk mengukur sudut rotasi vertebra. Saat menggunakan
skoliometer, penting untuk memastikan bahwa pemeriksa berdiri dibelakang pasien untuk
menginspeksi punggung (seperti yang dilakukan pada Adam’s forward bending test). Mata
pemeriksa harus pada bidang horizontal dengan deformitas maksimal dari punggung. Jika pasien
membungkuk kedepan kurang lebih 45 derajat, bentuk trunk pada level region thorakalis akan
terlihat. Dengan membungkuk lebih jauh, bentuk trunk pada level regio thorakolumbalis akan
terlihat, diikuti dengan bentuk trunk pada level regio lumbalis. Jika deformitas rotasional pada
punggung ditemukan pada level apapun, skoliometer ditempatkan secara perlahan pada
punggung pasien di bagian apex dari deformitas, secara perpendikular terhadap aksis tubuh, dan
sudut inklinasi dibaca secara langsung dari skala yang terlihat. Pada dasarnya, rekomendasi
untuk dilakukan pemeriksaan orthopedic lebih lanjut adalah pada sudut rotasi trunk sebesar 5
derajat pada level apapun pada spinal, yang artinya bahwa kemungkinan terjadinya kesalahan
kurva lebih dari 20 derajat sangat kecil. Akan tetapi, karena rujukan ke ortopedi yang terlalu
banyak, rekomendasi ini diubah menjadi sudut rotasi trunk sebesar 7 derajat. Dengan kriteria ini,
kemungkinan kesalahan kurva lebih dari 30 derajat (besarnya kurva pada penahan biasanya
diketahui) kecil. Dengan pendekatan ini, angka rujukan kurang lebih 3% dari pasien yang
dilakukan skrining, dengan rasio deteksi 95% kurva yang membutuhkan terapi penyangga.
Dengan menggunakan metode ini, diperkirakan bahwa rujukan yang berlebihan dapat dihindari
dan program skrining scoliosis yang efektif dari segi biaya dapat dipertahankan. Meskipun
penemuan ini konsisten dengan scoliosis, test klinis non-invasif terbaik untuk mengevaluasi
kurvatura spinal adalah Adam’s forward bending test (lihat gambar 12-4). Dengan tes ini, derajat
dan arah yang berhubungan dengan rotasi vertebra dapat dengan jelas terlihat. Pemeriksa
mengevaluasi pasien dewasa dari belakang sementara pasien membungkuk ke depan pada
pinggang mereka hingga spinal berbentuk horizontal. Lutut pasien harus lurus, kedua kaki
sejajar, lengan bebas dan telapak tangan dalam keadaan oposisi. Rotasi vertebra menyebabkan
salah satu sisi punggung tampak lebih tinggi. Hal ini perlu dicatat sebagai penonjolan tulang
rusuk pada regio thorakal atau kesempurnaan paraspinal pada regio lumbal. Asimetri ini dapat
diukur secara kuantitatif dengan menggunakan skoliometer, yang dapat memperlihatkan
perubahan ukuran dari waktu ke waktu (lihat gambar 12-5)

Pemeriksaan sudut popliteal


Secara klinis, spastisitas harmstring dapat diukur melalui sudut popliteal. Pasien dalam posisi
supinasi diatas meja pemeriksaaan dan panggul/hip pada posisi fleksi 90 derajat. Lutut ipsilateral
dalam keadaan fleksi kemudian di ekstensikan, dan sudut antara bidang vertical dan arah dimana
tibia ekstensi merupakan sudut popliteal. Terdapat variabilitas sudut popliteal yang normal,
dengan nilai rata-rata 26 derajat pada anak-anak normal usia 4 tahun atau lebih. Nilai sudut lebih
dari 50 derajat pada range usia ini dapat tergolong abnormal. Penurunan sudut straight-leg
raising (angkat kaki dalam posisi lurus) juga ditemukan pada gejala tight harmstring (harmstring
tegang). Pada kontraktur harmstring yang berat, akan muncul gejala kontraktur fleksi lutut yang
menetap. Penting untuk memeriksa kontraktur yang menetap karena hadirnya kontraktur dapat
menyebabkan hasil yang mengecewakan setalah pemanjangan harmstring. Ketika kontraktur
pada tingkat yang paling berat, pasien menjadi tidak mampu memfleksikan hip dan mengalami
postur duduk yang buruk dengan kifosis regio lumbal dan berakhir pada posisi slump (merosot).
Kurangnya lordosis regio lumbal dapat dilihat secara radiografis pada pasien dengan peningkatan
sudut popliteal. Pemeriksa harus secara hati hati memeriksa kemungkinan terjadinya spastisitas
dan kontraktur pada sendi lain. Gait bent-knee (lutut-bengkok) mungkin menjadi kompensasi
dari equinus dan toe-walking (berjalan bertumpu pada ibujari) jika sudut popliteal normal.
Panggul/hip juga harus diperiksa karena koreksi kontraktur harmstring tanpa menunjukkan
kontraktur fleksi hip yang bersamaan dapat menyebabkan peningkatan fleksi hip dan perubahan
gait yang condong kedapan.
intoeing
Salah satu pertimbangan orang tua yang paling sering untuk melakukan evaluasi ortopedi adalah
toeing in, atau berjalan dengan sudut kaki yang terlalu ke dalam. Biasanya orang tua khawatir
bahwa anak tersebut akan memiliki cacat permanen atau bahwa kondisi tersebut akan
mengganggu aktivitas fisik anak. Namun, dalam banyak kasus intoeing akan terkoreksi dengan
sendirinya tanpa membutuhkan penanganan yang aktif..
Penyebab paling umum adalah metatarsus adductus, peningkatan atau menetapnya torsi tibial
internal, dan meningkat atau menetapnya anteversion femoralis. Penyebab lainnya termasuk
anomali struktural pada cruris atau kaki. Sebagian besar kondisi ini tidak perlu diobati.
Sebaliknya, orang tua hanya perlu diyakinkan bahwa kondisi biasanya sembuh dengan
sendirinya, dan pasien harus diamati secara teratur untuk memastikan bahwa sudut
perkembangan kaki secara bertahap kembali normal. Kadang-kadang, intoeing dapat menjadi
masalah yang lebih signifikan dan memerlukan evaluasi dan perawatan lanjutan. Contohnya
termasuk ensefalopati statis, gangguan neurologis lainnya, beberapa defisiensi tibia ringan,
penyakit infantil Blount, penyakit tulang metabolik, dan displasia skeletal.
Pasien dengan kondisi ini biasanya dirujuk dengan keluhan awal "masuk ke dalam." kemudian
pemeriksaan yang dilakukan justru mengesampingkan salah satu penyebab serius yang
disebutkan sebelumnya, pastikan bahwa anak memiliki fungsi neurologis normal dan pastikan
bahwa etiologi masalah itu jinak. Dokter harus memastikan apakah ada riwayat keluarga DDH,
penyakit neuromuskular (terutama distrofi otot), atau kondisi neurologis herediter yang relatif
jarang, seperti penyakit Charcot-Marie-Tooth atau paraparesis spastik familial. Pemeriksa harus
memahami riwayat neonatal anak dan riwayat perkembangan saat menilai status neurologis
pasien.
Selain itu, usia anak dapat membantu dalam menentukan penyebab terjadinya gangguan.
Biasanya, adductus metatarsus penyebab pada usia neonatus dan sebelum berjalan; peningkatan
torsi tibia internal terlihat pada usia balita untuk preschools; dan peningkatan anteversion
femoralis paling sering ditemukan pada anak usia sekolah hingga remaja.
Selama anamnesis, anak yang lebih kecil harus diizinkan untuk bermain atau bergerak di sekitar
ruangan secara bebas Dari gerakan bebas ini dokter dapat memperoleh informasi tentang tingkat
keparahan yang terjadi, yang dapat sangat membantu jika pasien menolak atau tidak kooperatif.
selama pemeriksaan fisik formal.
Jika tidak bisa mengamati cara anak berjalan atau berlari saat anamnesis, pemeriksa harus
melakukannya setelah anamnesa, tetapi dari jarak "aman". Anak harus melepaskan pakaian
setidaknya dari lutut ke bawah selama pemeriksaan fisik. Ketika pasien sedang melakukan
ambulasi, pemeriksa harus terlebih dahulu mencari bukti gangguan mobilitas, masalah
keseimbangan, letargis, atau kelemahan dalam gerakan. berdasarkan masalah ini, dokter
seharusnya melihat penyebab gaya berjalan toeing in dan perkiraan keparahannya.
Pengamatan penting untuk dilakukan ketika pasien berjalan atau berlari termasuk (1) mencatat
apakah batas lateral kaki masuk ke dalam, seperti yang terjadi pada adductus metatarsus; (2)
mengamati apakah kaki berorientasi medial relatif terhadap lutut, seperti yang terjadi pada
peningkatan torsi tibia; dan (3) mencatat apakah seluruh kaki berputar ke dalam dengan patella
"squinting", seperti yang terlihat pada peningkatan anteversion femoralis. Anak-anak yang lebih
tua mungkin mencoba untuk menutupi gaya berjalan selama pemeriksaan fisik. Untuk mengatasi
upaya ini, penguji harus melihat pasien heel walk, toe walk, dan melompat dengan kedua kaki.
pemeriksaan ini akan memperjelas kelainan bagi penguji, seperti halnya bagi orang tua yang
melihatnya setiap hari.

Setelah anak melakukan manuver pemeriksaan tersebut, dokter juga harus mendapatkan
informasi awal awal terkait vstatus neurologis pasien. Meskipun kondisi neurologis bukan
penyebab paling umum dari gangguan toeing in, penting bagi pemeriksa untuk menganggapnya
sebagai penyebab kelainan. Profil torsional dapat dinilai dengan pasien posisi tengkurap pada
meja pemeriksaan, seperti yang dijelaskan oleh Staheli. Dengan pasien dalam posisi ini,
pemeriksa dapat menentukan nilai rotasi internal dan eksternal sendi pinggul untuk mengukur
nilai anteversion femoralis, penilaian sumbu thigh-kaki untuk memperkirakan torsi tibial, dan
memeriksa bentuk dari batas lateral kaki
Namun jika pada pasien yang lebih muda merasa tidak nyaman diperiksa dalam posisi ini,
pemeriksaan dapat dilakukan dengan posisi anak senyamannya atau dipangku orang tua (agar
pasien lebih tenang). pada pemeriksaan dalam posisi ini, aspek lateral kaki dapat dinilai, sumbu
bimalleolar pergelangan kaki relatif terhadap lutut dapat diperkirakan, dan jumlah rotasi internal
dan eksternal dari pinggul dalam posisi flexi dapat dinilai. Penguji juga harus menilai tonus otot
pasien untuk menentukan apakah ada hipertonia atau hipotonia. Manifestasi klinis tertentu terkait
dengan tiga penyebab paling umum dari gangguan intoeing. Biasanya, adductus metatarsus
ditandai oleh deviasi ke dalam dari batas lateral kaki dari dasar metatarsal ke-5. Deviasi ini bisa
dalam keadaan flexi atau tidak flexi. Dengan peningkatan torsi tibia internal, terdapat kelebihan
ke dalam (atau negatif) sudut paha kaki atau sumbu bimalleolar. kelebihan femoralis
Antreversion ditandai dengan peningkatan rotasi internal dan penurunan rotasi eksternal pinggul
baik dalam fleksion atau ekstensi.
Flatfoot
Ketika memeriksa anak dengan deformitas flatfoot, pemeriksa pertama kali harus mengetahui
usia pasien karena beberapa kondisi yang mendasari deformitas ini biasanya spesifik terhadap
usia. Bayi mungkin memiliki deformitas posisional yang sederhana, arcus medial bantalan lemak
yang mengaburkan bukti adanya arcus yang mendasari, kaki calcaneovalgus, atau kaki rocker-
bottom kongenital (talus vertical). Anak – anak usia muda paling sering memiliki deformitas
flatfoot yang fleksibel, anak usia remaja mungkin memiliki sambungan tumit yang pendek akibat
dari kerusakan midfoot sekunder atau flatfoot spastik peroneal karena koalisi tarsal atau
penyebab lain. Ketika melakukan anamnesis, pemeriksa harus menanyakan adakah nyeri yang
mengiringi, dimana lokasinya, dan kapan terjadinya. Nyeri yang tidak berhubungan dengan
aktifitas mungkin diakibatkan oleh artritis inflamatorik (sendi tarsal merupakan lokasi yangs
angat umum terjadi artritis juvenile), infeksi, atau yang lebih jarang terjadi yaitu lesi pada tulang.
Nyeri non spesifik pada kaki, ankle atau tungkai bawah pada remaja atau anak dapat disebabkan
oleh koalisi tarsal. Pemeriksaan kaki dimulai dengan menyuruh pasien berjalan dan mengamati
adanya pola gait yang normal, antalgic, atau terindikasi adanya disfungsi neuromuscular (seperti
hemiparesis). Anak harus disuruh untuk heel-walk (berjalan dengan tumit), toe-walk
(berjalandengan ibu jari) dan melompat dengan masing – masing kaki bergantian jika
memungkinkan. Hal ini memperbolehkan pemeriksaan fungsi neurologis dan musculoskeletal,
sebagaimana pemeriksaan dengan penekanan jika didapatkan adanya nyeri. Jika arcus
longitudinal tidak ditemukan saat pasien pada posisi berdiri, pemeriksa harus mencari
rekonstitusi arcus saat pasien berjalan dengan ibu jari kaki (toe-walk). Dengan pasien berdiri
menghadap kedepan, pemeriksa harus mencari adanya gejala atrofi muskulus, pembengkakan,
eritema, atau deformitas dari tungkai bawah. Alignment ekstremitas bawah harus diperiksa untuk
menentukan apakah ada valgus femoral-tibial. Kemudian, kaki pasien harus diperiksa dari
belakang karena akan lebih mudah memeriksa valgus hindfoot dari posisi tersebut. Rekonstitusi
dari arcus longitudinal dapat juga diperiksa pada titik ini dengan menyuruh pasien berdiri pada
ibu jari kaki. Pemeriksa juga harus mencatat adakah ayunan hindfoot dari valgus ke varus. Jika
hindfoot tetap pada valgus makan koalisi tarsal mungkin ada. Kemudian, pemeriksa harus
menyuruh pasien duduk dengan kaki bergantung bebas pada tepi meja pemeriksaan (anak yang
lebih kecil dapat duduk pada pangkuan orangtua nya). ROM pasif harus diperiksa, terutama
untuk mengetahui adanya tight heel cord. Tight heel cord (sambungan tumit yang pendek),
apapun penyebabnya, dapa mengakibatkan flatfoot karena kompensasi terhadap rusaknya
midfoot. Pemeriksa juga harus menggoyangkan sendi subtalar dari inversi ke eversi. Kekakuan
dalam bentuk apapun (baik dengan ataupun tanpa ketidaknyamanan) atau spasme muskulus
peroneal selama maneuver ini menunjukkan adanya koalisi tarsal atau kemungkinan adanya
artritis inflamatorik. Jika dokter belum memeriksa rekonstitusi arcus longitudinal, hal ini harus
dilakukan pada tahap ini.
Pemeriksaan diakhiri dengan pemeriksaan neurologis ekstremitas bawah. Pemanjangan evaluasi
ini berdasarkan penemuan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik sebelumnya serta tingkat
kecurigaan pemeriksa hingga tahap ini akan adanya penyebab deformitas. Tipe yang paling
umum dari flatfoot dimana ahli ortopedia pediatric akan lihat adalah deformitas flatfoot fleksibel
pada anak – anak. Tidak ditemukan adanya nyeri yang berhubungan dengan kondisi ini. Secara
khusus, anak diantara 18 bulan hingga 6 tahun (ketika genu valgum fisiologis masih dikatakan
normal dan mungkin tidak disadari oleh orangtua). Kaki akan memiliki ROM yang fleksibel
pada saat dilakukan pemeriksan dan arcus longitudinal telah siap merekonstitusi selama
dilakukan toe-walk atau pada saat kaki dalam posisi non-weight-bearing. Sebagian besar flatfoot
fleksibel sembuh dengan sendirinya secara spontan tanpa efek samping residual seiring
bertambahnya usia anak, dan tindakan pembedahan jarang sekali diindikasikan untuk mengatasi
kondisi ini.
Talus vertical kongenital memiliki karakter pendataran arcus longitudinal yang menetap,
sambungan tumit yang pendek, dan nyeri dengan derajat yang bervariasi, dan biasanya dislokasi
navicular pada talus kea rah dorsolateral yang dapat dipalpasi. Karena keparahan deformitas ini,
pasien biasanya dirujuk saat masih bayi atau paling terlambat selang beberapa saat pada usia
dapat berjalan. Secara klasik, koalisi tarsal simtomatis memiliki karakter pendataran arcus
longitudinal yang menetap, valgus hindfoot yang menetap, dan nyeri nonspesifik yang diinduksi
oleh aktifitas. Selama inversi pasif-cepat sendi subtalar oleh pemeriksa, pasien dapat mengalami
spasme muskulus peroneal. Selama gait, pasien akan mengalami rotasi eksternal, kaki yang tidak
fleksibel (sama seperti yang terjadi pada pasien yang menggunakan atau yang baru saja lepas
short-leg walking cast). Pasien dengan koalisi tarsal biasanya pada usia 8 tahun dan pada anak
usia remaja.
Pasiend engan kerusakan midfoot sekunder akibat tight heel cord dapat terjadi pada usia
berapapun setelah bisa berjalan. Arcus longitudinal bisa merekonstitusi kaki pada posisi non-
weight bearing namun juga bisa tidak. Penyebab tight heel cord harus dicari (contohnya
ensefalopati static, tethered cord, atau anomaly intratekal lainnya atau idiopatik) dengan
pemeriksaan yang lebih lanjut yang sesuai dengan kondisi klinisnya.
Ketidaksesuaian panjang tungkai (Leg length discrepancy)
LLD actual atau apparent (yang kasat mata) merupakan hal yang umum ditemukan pada kelainan
ortopedik pediatric yang dapat bersifat kongenital maupun didapat (acquired). LLD actual akibat
dari perbedaan secara structural antara dua anggota gerak bawah. Pada LLD apparent (yang kasat
mata) posisi sendi atau kontraktur mengurangi panjang fungsional anggota gerak yang terkena,
sedangkan komponen structural anggota gerak pada kenyataannya tidak lebih pendek dari
ekstremitas lainnya. Disamping itu, kelemahan unilateral dari muskulus abductor ekstremitas
bawah dapat menimbulkan gait trandelenburg, sehingga memberikan kesan gait short-leg (kaki
pendek).
Ketika melakukan anamnesis, pemeriksa harus memastikan seberapa panjang pemendekan yang
terjadi, apakah pasien sudah mengalami kelainan neuromuskuler, dan apakah anggota gerak telah
mengalami keadaan medis sebelumnya (seperti fraktur, infeksi, dan pembedahan).
Selama pemeriksaan fisik pasien harus melepas pakaiannya sehingga pemeriksaan dapat
dilakukan secara adekuat. Pemeriksaan diawali dengan menyurh pasien berjalan menuju dan
menjauhi pemeriksa. Pemeriksa mencari gait yang asimetris dan gait toe-walking kompensasi
dari anggota gerak yang lebih pendek, atau lutut yang fleksi secara berlebihan dari angggota
gerak yang lebih panjang. Bukti adanya pemeriksaan muskulus yg mengecil atau kelemahan gait
harus diperhatikan. Dengan posisi pasien berdiri tegak dan menghadap kedepan, pemeriksa harus
memperhatikan posisi sendi dan mencari bukti adanya deformitas angular dari ekstremitas
bawah. Perhatian yang khusus harus diberikan pada tinggi lutut relative dan apakah pasien
memeiliki kecenderungan berdiri pada ibu jari kaki dari anggota gerak yang lebih pendek.
Pemeriksa kemudian memeriksa hal yang sama dari belakang pasien. Memeriksa pasien dari
belakang, pemeriksa dapat mengevaluasi hubungan lekukan dari spina iliaka posterior atau
meletakkan tangan pada krista iliaka untuk memperlihatkan besarnya perbedaan panjang kedua
anggota gerak. Metode yang baik untuk memeriksa dan mengukur LLD saat pasien berdiri
dengan menggunakan balok derajat (graduated blocks). Pasien harus berdiri dengan kedua kaki
seimbang, dengan kedua kaki endatar di lantai dan lutut lurus. Kemudian balok diletakkan
dibawah anggota gerak yang lebih pendek hingga pelvis sama tinggi. Tinggi balok menunjukkan
true LLD pasien jika tidak ada deformitas sendi. Jika terdapat deformitas postural sendi, tinggi
balok menunjukkan LLD fungsional.
Pada saat pasien berada dalam posisi supinasi, pemeriksa melihat ROM dari hip, lutut, dan ankle
untuk mencari secara spesifik kontraktur adduksi fleksi atau abduksi dari hip dan kontraktur
fleksi dari lutut. Deformitas angular atau rotasional yang kecil dari anggota gerak yang lebih
pendek harus diperiksa juga. Deformitas ini meliputi valgus ringan pada lutut dengan
peningkatan rotasi eksternal hip (yang tampak pada defisiensi femoral kongenital atau defisisensi
fibular parsial) dan deformitas valgus diafisis tibial (yang mungkin merupakan akibat dari
bengkoknya tibia kea rah posteromedial).
LLD actual dan apparent dapat diperiksa menggunakan pita pengukur dengan posisi pasien
dalam keadaaan supinasi. Selama pengukuran, penting untuk memposisikan sendi dalam keadaan
netral dengan memperhatikan fleksi hip dan lutut dan abduksi serta adduksi hip. Jika hal ini tidak
diperhatikan, maka pengukuran ini dapat menunjukkan hasil positif palsu, padahal kenyataannya
tidak ada LLD pada pasien.
Panjang relative dari femur diperiksa dengan mengukurnya dari spina iliaka anterior ke linea
mediana sendi, sementara itu, panjang relative dari tibia diukur dari linea mediana sendi ke
malleolus medial. Pemeriksaan lainnya yang penting yang dapat dilakukan pada tahap ini untuk
mengetahui adanya LLD fungsional atau apparent adalah pengukuran jarak antara umbilicus ke
malleolus medial dari masing – masing anggota gerak bawah.
Masih pada posisi supinasi pasien, pemeriksa melakukan pemeriksaan muskulus manual,
pemeriksaan sensorik, dan pemeriksaan reflex, sesuai dengan yang dibutuhkan.
Berdasarkan pada penemuan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dapat menjadi hal
penting untuk memastikan dengan lebih tepat dari derajat dan sifat dari ketidaksesuaian panjang
tungkai pasien seihngga penatalaksanaan yang tepat dapat diberikan.

7 refleks dari bleck


Bleck melaporkan nilai prediktif system skoring yang digunakan untuk menentukan prognosis
kemampuan berjalan pada anak dengan serebral palsi yaitu tujuh reflex dan reaksi postural. Pada
system skoring Bleck, terdapat tujuh tanda yang diperiksa dan dinilai dengan poin satu atau nol
berdasarkan ada ataupun tidaknya tanda tersebut
1. Reflex tonus asimetris leher : satu poin jika ditemukan
2. Refleks tonus simetris leher : satu poin jika ditemukan
3. Reflex moro : satu poin jika ditemukan
4. Reflex neck-righting : satu poin jika ditemukan
5. Ekstensor thrust : satu poin jika ditemukan
6. Reaksi foot placement (harus ada) : satu poin jika tidak ditemukan
7. Reaksi parasut (harus ada) : satu poin jika tidak ditemukan
Bleck menyebutkan bahwa skoring dengan nilai dua atau lebih menandakan prognosis burukk
terhadap kemampuan berjalan anak, skor satu menunjukkan ada kemungkinan berjalan,
sedangakan skor nol menunjukkan prognosis yang baik.

Anda mungkin juga menyukai