Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

Trauma Traktus Urinarius

Pembimbing:
dr. Yulfitra Soni, Sp.U

Oleh:
Christine ET (406152009)
Ziky Jiwatama (406152090)

KEPANITERAAN ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI
PERIODE 13 FEBRUARI 2017 – 22 APRIL 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
LEMBAR PENGESAHAN

Referat :
Trauma Traktus Urinarius

Disusun oleh :
Christine ET (406152009)
Ziky Jiwatama (406152090)
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Bedah RSUD Ciawi
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Ciawi, April 2017

dr. Yulfitra Soni, Sp.U

2
LEMBAR PENGESAHAN

Referat :
Trauma Traktus Urinarius

Disusun oleh :
Christine ET (406152009)
Ziky Jiwatama (406152090)
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Bedah RSUD Ciawi
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Mengetahui,
Kepala SMF Bedah

dr. Johan Lucas Harjono, Sp.B

3
DAFTAR ISI
Cover................................................................................................................................ 1
Lembar Pengesahan......................................................................................................... 2
Daftar Isi.......................................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................... 5
Ginjal.............................................................................................................................. 6
Anatomi dan fisiologi........................................................................................ 6
Vaskularisasi...................................................................................................... 7
Fungsi................................................................................................................. 7
Ureter.............................................................................................................................. 8
Anatomi dan fisiologi......................................................................................... 8
Fungsi................................................................................................................. 9
Vesica Urinaria.............................................................................................................. 9
Anatomi dan fisiologi......................................................................................... 9
Fungsi................................................................................................................. 10
Urethra........................................................................................................................... 10
Anatomi dan fisiologi........................................................................................ 10
BAB II TRAUMA TRAKTUS URINARIUS............................................................... 11
Trauma ginjal..................................................................................................... 13
Trauma ureter..................................................................................................... 20
Trauma vesica urinaria....................................................................................... 23
Trauma urethra................................................................................................... 26
BAB III KESIMPULAN................................................................................................. 32
BAB IV DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 33

4
BAB I
PENDAHULUAN

Organ urinaria terdiri atas ginjal beserta salurannya, ureter, buli-buli, dan urethra;
sedangkan organ reproduksi pria terdiri atas testis, epididimis, vas deferens, vesikula
seminalis, prostate, dan penis. Kecuali testis, epididimis, vas deferens, penis, dan urethra,
system urogenitalia terletak di rongga retroperitoneal dan terlindung oleh organ lain yang
mengelilinginya.(3)

5
GINJAL

A. ANATOMI & FISIOLOGI GINJAL

Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga


retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya
menghadap ke medial. Pada sisi ini terdapat hilus ginjal yaitu tempat struktur –
struktur pembuluh darah, system limfatik, system saraf, dan ureter menuju dan
meninggalkan ginjal.(3)
Besar dan berat ginjal sangat bervariasi; hal ini tergantung pada jenis kelamin, umur,
serta ada tidaknya ginjal pada sisi yang lain. Pada autopsy klinis didapatkan bahwa
ukuran ginjal orang dewasa rata-rata adalah 11,5 cm (panjang) x 6 cm (lebar) x 3,5
(tebal). Beratnya bervariasi antara 120 – 170 gram, atau kurang lebih 0,4 % dari berat
badan.(3)

Ginjal berada di tempatnya, yang difixir oleh pembungkus ginjal, terluar yaitu fascia
renalis, yang merupakan kantung dengan 2 dinding :
- depan : fascia prerenalis, sifat lemah
- belakang : fascia retrorenalis, sifat kuat
Pembungkus ke – 2 : Capsula fibrosa. Ginjal dibagi atas bagian cortex dan medulla.

Cortex :
Tebal kurang lebih 1,2 – 1,5 cm, warna coklat kemerah- merahan, batas jelas. Dalam
cortex terdapat unit-unit pembentuk urin yang disebut nefron.(3)
Nefron terdiri dari :
- Capsula bowman, yang berisi kapiler-kapiler glomerulus
- Tubulus contortus proksimal
- Ansa Henle
- Tubulus contortus distal
- Tubulus rektus
Medulla :
Pada medulla tampak bangunan-bangunan berwarna pucat kelabu, menyerupai
piramid yang disebut pyramis renalis. Puncaknya disebul papilla renalis, menonjol ke

6
dalam cáliz minor yang berbentuk corong. Pada ujung papilla tampak 10 -25 lubang,
yaitu Muara ductus papillaris ( Bellini ).(1)
Pyramid dibatasi oleh substansia cortex yaitu columna Bertin. Makroskopis pyramid
renalis tampak bergaris-garis. Dari dasar cortex tampak garis-garis menuju ke dalam
cortex, yaitu processus lobuli corticalis renis ( Ferrein)(1)

B. VASKULARISASI GINJAL
Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang
langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena renalis
yang bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end arteries
yaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis dengan cabang- cabang dari arteri
lain, sehingga jika terdapat kerusakan pada salah satu cabang arteri ini, berakibat
timbulnya iskemia / nekrosis pada daerah yang dilayaninya.(3)

C. FUNGSI GINJAL
Fungsi ginjal terdiri atas :
- Filtrasi : Oleh glomerulus
- Sekresi : Oleh tubulus proksimal & distal
- Absorpsi : Oleh tubulus proksimal & distal

Glomerulus :
Glomerulus berfungsi sebagai filter. Untuk melaksanakan fungsi sebagai filter, kapiler
glomerulus mempunyai tekanan hidrostatik kurang lebih 65 mmHg
Terdapat tekanan yang melewati tekanan filtrasi :
1. tekanan osmotik koloidal proein plasma ( 25 mmHg )
2. Tekanan interstitial ginjal ( ±10 mmHg)
3. Tekanan yang diperlukan untuk mendorong cairan melalui epitel
tubulus contortus ±10 mmHg, sehingga tekanan filtrasi efektif ±20
mmHg
Aliran plasma ke ginjal normal ±650 ml semenit dan filtrat yang dibuat semenit ±120
ml. Volume air kemih normal berkisar 800 – 1600 ml / hari.(2)
Tubulus contortus proksimal
Dilapisi oleh selapis sel-sel kuboid yang mempunyai ”brush border”.

7
”Brush border” terdiri dari mikrovillus-mikrovillus yang sangat menambah luas
permukaan absorpsi.(1)
Seluruh tubulus contortus proksimal terletak dalam cortex. Pada bagian ini terjadi
reabsorpsi isoosmotik 80 % air filtrat, seluruh glucosa dan bagian terbesar Natrium
(87%), Chlorida dan vit C, epitel tubulus memindahkan bahan yang direabsorpsi
melalui cairan interstitial. Sekresi creatinin dan penicillin ke dalam air kemih terjadi
pula pada bagian ini.(1)

Ansa Henle
Terdiri dari :
- cabang ascendens ansa henle yang tebal, berlapiskan sel epitel kuboid.
- cabang descendens, epitelnya selapis gepeng yang hanya mereabsorpsi air.
Pada cabang ascendens cairan filtrat mempunyai reaksi netral dengan BJ ±1,010. Pada
cabang descendens, filtrat mempunyai kadar larutan yang rendah.(1)

Tubulus contortus distal


Dilapisi dengan sel epitel yang lebih tinggi tetapi tidak mempunyai brush border. Sel-
sel ini hanya mempunyai beberapa mikrovillus yang pendek, maka fungsi absorpsi
menjadi sangat berkurang.(1)
Dalam tubulus contortus distal, pembuatan air kemih menjadi lengkap dengan
reabsorpsi fakultatif dari pada air, Na, Cl, Fosfat, dan Sulfat serta sekresi ion
Amonium dan H+ (2)

Ion H+ dibentuk oleh sel tubulus karena pengaruh enzim Carbonis Anhidrase. Amonia
dilepaskan dari asam-asam amino dan glutanin juga oleh pengaruh enzim tersebut. (2)

URETER

A. ANATOMI & FISIOLOGI URETER

Ureter berbentuk tabung yang ramping dengan diameter 4-7 mm, panjang
bervariasi, sekitar 30 cm pada laki-laki dan 1 cm lebih pendek pada wanita,
Kedua ureter menembus dinding vesica urinaria pada bagian fundus/basis, secara oblik
dari belakang atas menuju bagian medial ke ostium ureter.(1)
8
Ureter dibagi 2 bagian :
1. Ureter bagian abdomen berjalan hampir vertikal ke bawah sepanjang fascia M.Psoas
dan diliputi oleh peritoneum. Ureter menyilang di sebelah pembuluh darah testicular
atau ovarium. Pada waktu memasuki rongga pelvis menyilang A/V. Iliaca di bagian
atas.
2. Ureter bagian pelvis : ureter menyilang di sebelah bawah duktus deferens pada laki-
laki dan A.Uterina pada wanita.
Pada ureter terdapat 3 daerah penyempitan fisiologis yaitu :
- Di bawah pelvis renalis
- Pada persilangan dengan A/V.Iliaca
- Pada saat menembus vesica urinaria.

Histologi
Terdiri dari 3 lapisan, berturut-turut dari luar ke dalam :
1. Jaringan ikat
2. Lapisan otot
3. Lapisan mukosa, terdiri dari epitel transisional.

B. FUNGSI URETER
Meneruskan urin dari pelvis renalis ke vesica urinaria. Bila terjadi obstruksi oleh batu,
akan meningkatkan peristaltik. Bila terjadi gangguan aliran urin, maka otot ureter
mengalami hipertrofi di bagian atas hambatan.(2)

VESICA URINARIA

A. ANATOMI & FISIOLOGI VESICA URINARIA


Vesica urinaria dalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot detrusor yang
saling beranyaman. Di sebelah dalam adalah otot longitudinal, di tengah merupakan otot
sirkuler, dan paling luar merupakan otot longitudinal. Mukosa vesica urinaria terdiri atas
sel-sel transisional yang sama seperti pada mukosa-mukosa pada pelvis renalis, ureter,
dan urethra posterior. Pada dasar vesica urinaria, kedua muara ureter dan meatus urethra
internum membentuk segitiga yang disebut trigonum vesica urinaria.(3)
9
Secara anatomik bentuk vesica urinaria terdiri atas 3 permukaan, yaitu
1. Permukaan superior yang berbatasan dengan rongga peritoneum
2. Dua permukaan inferiolateral
3. Permukaan posterior.
Permukaan superior merupakan lokus minoris ( daerah terlemah ) dinding vesica urinaria.

B. FUNGSI VESICA URINARIA


Vesica urinaria berfungsi menampung urine dari ureter dan kenudian
mengeluarkannya melalui urethra dalam mekanisme miksi (berkemih). Dalam
menampung urine, buli-buli mempunyai kapasitas maksimal, yang volumenya untuk
orang dewasa kurang lebih adalah 300 – 450 ml,sedangkan kapasitas vescica urinaria
pada anak-anak menurut formula dari Koff adalah :

Kapasitas vesica urinaria = ( umur dlm thn + 2 ) x 30 ml

Pada saat kosong, buli-buli terletak di belakang simfisis pubis dan pada saat penuh
berada di atas simfisis sehingga dapat dipalpasi dan diperkusi. Buli-buli yang terisis
penuh memberikan rangsangan pada saraf aferen dan menyebabkan aktivasi pusat miksi
di medula spinalis segmen sakral S 2-4. Hal ini akan menyebabkan kontraksi otot
detrusor, terbukanya leher vesica urinaria, dan relaksasi sfingter urethra sehingga
terjadilah proses miksi.(3)

URETHRA

A. ANATOMI & FISIOLOGI URETHRA


Urethra merupakan saluran yang sempit, mulai dari leher vesica urinaria sampai
meatus urinarius (orifisium urethra externa). Terletak di bawah symphisis pubis.
Penampang pada waktu tidak dilatasi kurang lebih ¼ inch.(1)
Urethra pada laki-laki :
Panjang ±8-9 inch, dibagi dalam 3 bagian :
1. Pars Prostatica

10
Bagian yang paling lebar dan mudah berdilatasi, yang melalui glandula prostat.
Panjangbagian ini ± ¼ inch. Bnetuk saluran di bagian ini menyerupai spindle yang
melebar di bagian tengah dan menyempit di bawah.
Pada bagian ini terdapat muara-muara glandula prostat, daerah ini disebut
Verumontanum / caput Gallinaginis.
2. Pars membranosa
Di antara apex glandula prostat sampai bulbus dari corpus spongiosum penis.
Bagian ini paling sempit, ukuran ±3/4 inch.
3. Pars Spongiosa
Bagian terpanjang, terdapat dalam corpus spongiosum penis,± 6 inch mulai dari
ujung pars membranosa sampai dengan orifisium urethra externa dengan diameter
± ¼ inch. Mengalamipelebaran di daerah bulbus dan di anterior daerah glans penis
yang membentuk fossa naviculare.
Pada permukaandalam urethra bagian ini terdapat orifisium-orifisium gland Littre dan
di daerah bulbus terdapat ductus gland Cowperi.(2)

11
BAB II
TRAUMA
TRAKTUS URINARIUS

Secara anatomis sebagian besar organ urogenitalia terletak di rongga


ekstraperitoneal ( kecuali genitalia eksterna), dan terlindung oleh otot – otot dan organ
– organ lain. Oleh karena itu jika didapatkan cedera organ urogenitalia, harus
diperhitungkan pula kemungkinan adanya kerusakan organ lain yang mengelilinginya.
Sebagian besar cedera organ genitourinaria bukan cedera yang mengancam jiwa
kecuali cedera berat pada ginjal yang menyebabkan kerusakan parenkim ginjal yang
cukup luas dan kerusakan pembuluh darah ginjal.(3)
Cedera yang mengenai organ urogenitalia bias merupakan cedera dari luar berupa
trauma tumpul maupun trauma tajam, dan cedera iatrogenic akibat tindakan dokter
pada saat operasi atau petugas medik yang lain. Pada trauma tajam, baik berupa
trauma tusuk maupun trauma tembus oleh peluru, harus dipikirkan untuk
kemungkinan melakukan eksplorasi. Sedangkan trauma tumpul sebagian besar hampir
tidak diperlukan tindakan operasi.(3)
Ketika kita mencurigai adanya kerusakan organ urogenitalia lewat anamnesa
dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang diperlukan untuk menguatkan
diagnosa, diantaranya adalah :
A. Kateterisasi
B. Ekscretory urography
C. Retrograde cystography
D. Urethrography
E. Arteriography
F. Computed Tomography ( CT )
G. Cystoscopy

12
TRAUMA GINJAL

A. DEFINISI
Trauma ginjal adalah trauma yang paling sering terjadi pada system urinarius.
Cedera ginjal dapat terjadi secara : (1) langsung, akibat benturan yang mengenai daerah
pinggang atau (2) tidak langsung, yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan
ginjal secara tiba – tiba di dalam rongga retroperitoneum. Jenis cedera yang mengenai
ginjal dapat merupakan cedera tumpul, luka tusuk, atau luka tembak. Kebanyakan cedera
terjadi karena kecelakaan kendaraan, olahraga, dan industri. Cedera ginjal dapat
dipermudah jika sebelumnya sudah ada kelainan pada ginjal, antara lain hidronefrosis,
kista ginjal, atau tumor ginjal.(3)

B. ETIOLOGI
Trauma tumpul langsung ke abdomen, panggul, punggung adalah mekanisme paling
sering yang mengakibatkan trauma ginjal. Trauma bisa karena kecelakaan kendaraan
bermotor, perkelahian, jatuh, olahraga. Tabrakan kendaraan pada kecepatan tinggi dapat
mengakibatkan trauma ginjal mayor akibat proses deselerasi cepat dan dapat
mengakibatkan cedera vascular mayor. Tembakan senapan dan tusukan pisau adalah
penyebab tersering trauma penetrasi pada ginjal.(1)

C. EPIDEMIOLOGI
Trauma ginjal terjadi sekitar 10% dari seluruh trauma abdomen. Dari seluruh trauma
sistem genitourinaria, trauma ginjal menduduki angka tertinggi sekitar 50% tidak
membedakan ginjal kiri atau kanan. Trauma biasanya disebabkan oleh karena jatuh,
kecelakaan lalu lintas, pukulan, olah raga, tusukan atau senjata api.terjadi sekitar 3% dari
seluruh trauma yamg ada, bahkan mencapai 5% pada daerah urban. (5)

13
Gambar di atas menunjukkan mekanisme trauma ginjal. Kiri: Hantaman langsung
pada abdomen. Gambar kecil menunjukkan gaya yang berjalan dari hilus renalis.
Kanan: Jatuh terduduk dari ketinggian (contrecoup of kidney). Gambar kecil
memperlihatkan gaya dari arah cranial merobek pedikel ginjal. (5)

A.Luka tembus peluru. B.Luka tusuk.

D. PATOLOGI& KLASIFIKASI
A. Early Pathology
Laserasi dari trauma tumpul biasanya terjadi pada bidang transversal dari
ginjal. Pada cedera akibat deselerasi cepat, ginjal bergerak keatas danke bawah,
mengakibatkan gesekan tiba-tiba pada pedicle ginjal dan kadang- kadang terdapat
avulsi sebagian atau komplit. Trombosis akut dari arteri renalis dapat terjadi akibat
sobekan karena cedera deselerasi cepat.(1)
Klasifikasi patologi dari trauma ginjal dapat dibagi menjadi :
1. Derajat I
Kontusio ginjal / hematom perirenal. Minor laserasi korteks dan medulla tanpa
gangguan pada sistem pelviocalices. Biasa terdapat hematom minor dari
subcapsular atau perinefron. Merupakan 75-80 % kasus trauma ginjal. (5)

14
2. Derajat II
Laserasi ginjal pada parenkim yang terkadang mengenai tubulus kolektivus
sehingga bisa terjadi ekstravasasi urin. Sering terjadi hematom perinefron. Luka
yang terjadi tidak hanya terbatas pada korteks, tetapi kadang dapat meluas sampai
ke medulla. Merupakan 10-15 % kasus trauma ginjal. (5)

Klasifikasi trauma ginjal. A.Grade I: hematuria gross atau mikroskopik,


gambaran radilogis normal, kontusio atau hematom subkapsuler terlokalisisr tanpa
laserasi parenkim. B.Grade II: hematom perirenal tak meluas atau laserasi korteks
kurang dari 1 cm dalamnya tanpa disertai ekstravasasi urine. (5)
3. Derajat III
Laserasi ginjal sampai medulla ginjal, mungkin terdapat trombosis
a.segmentalis. Trauma pada vaskularisasi pedikel ginjal. Merupakan 5 % dari
keseluruhan kasus trauma ginjal. (5)
4. Derajat IV
Laserasi sampai sistem kalises ginjal. Laserasi dari pelvis renalis sehingga dapat
menyebabkan gangguan pada fungsi ekskresi ginjal / pengisian sistem pelvio-
calises. (5)

15
Klasifikasi trauma ginjal. C: Grade III, laserasi parenkim > 1 cm kedalam korteks
tanpa ekstravasasi urine. D: grade IV, laserasi meluas ke corticomedullary
junction dan ke dalam collecting system. (5)
5. Derajat V
Avulsi pedikel ginjal, mungkin terjadi trombosis a.renalis.
Ginjal terbelah (shattered)(5)

E: grade IV, trombosis arteri renalis segmental tanpa laserasi parenkim.


Tampak adanya daerah iskemia segmental. F: gradeV, trombosis arteri renalis
utama. (5)

G: grade V, l menyebabkan suatu shattered kidney. H: grade V, avulsi vasa


utama. (5)

B. Late Pathology

1. Urinoma
Laserasi dalam yang tidak diperbaiki dapat mengakibatkan ekstravasasi persisten dari
urine dan komplikasi massa perinephric ginjal yang besar, yng akhirnya dapat
mengakibatkan hidronefrosis dan abses.(2)

16
2. Hidronefrosis
Hematom luas pada retroperitoneum dan berhubungan pada ekstravasasi urin dapat
menghasilkan fibrosis perinephric yang meliputi ureteropelvic junction, menghasilkan
hidronefrosis.(1)
3. Atriovenous fistula
Atriovenous fistula dapat terjadi karena trauma penetrasi tapi ini jarang terjadi.
4. Renal vascular hypertension

E. TANDA DAN GEJALA


Hematuri setelah trauma itu berarti karena trauma pada traktus urinarius. Nyeri
pada area ginjal juga dapat menjadi bukti signifikan, tapi hal itu bisa terjadi karena
cedera pada tulang atau otot pada struktur tersebut. Shock sering terjadi pada trauma
multiple atau perdarahan akibat laserasi ginjal. Ini juga diikuti dengan oligouria. Mual
,muntah, distensi abdomen juga dapat terjadi. Ecchymosis pada panggul atau kuadran atas
abdomen sering didapatkan. Kelunakan diffus pada abdomen dapat ditemukan dengan
palpasi. ”Akut abdomen” mengindikasikan kalau ada darah bebas pada kavum
peritoneum.(1)
Hematom atau luka akibat trauma penetrasi dapat ditemukan pada area costovertebral.
Massa pada panggul dapat menunjukan bahwa terjadi ekstravasasi dari darah, urine, atau
keduanya. Ini bisa dibuktikan dengan perkusi.(4)

F. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Mikroskopik atau gross hematuria biasanya muncul. Hematokrit bisa normal, tapi
bisa juga turun. Penurunan hematokrit ini menunjukan kalau terjadi perdarahan menetap.
(2)

G. PEMERIKSAAN X-RAY
Pencitraan dimulai dengan excretory urography segera estela iv lines terpasang
(4)
dan resusitasi telah dilakukan. Prosedur ini menghindari kelambatan dalam permintaan
untuk foto polos abdomen tapi tetap tidak menghilangkan informasi untuk pemeriksa,
apakah didapatkan fraktur, udara bebas, atau ditemukan isi perut yang berpindah. Dengan
urogram, dapat ditentukan batas-batas ginjal, batas dari collecting system dan ureter.
17
Nephrotomography diindikasikan bila urogram tidak menegaskan secara keseluruhan
perluasan dari trauma. Arteriography menegaskan trauma parenkim dan arteri mayor bila
pemeriksaan sebelumnya tidak menberikan data yang lengkap. Trombosis arteri dan
avulsi dari pedicle ginjal paling baik didiagnosa dengan arteriography.(2)
Penyebab utama dari non-visualisasi pada excretory urogram adalah karena avulsi
total pedicle, trombosis arteri, kontusio parah yang mengakibatkan spasme vascular, dan
absennya ginjal.(2)
CT telah terbukti sebagai alat pencitraan yang baik untuk trauma ginjal. Teknik non-
invasive ini memberikan gambaran yang baik dari laserasi parenkim, ekstravasasi,
hematom perirenal, dan batas dari páncreas, liver, dan pembuluh darah utama.(2)

H. DIAGNOSIS BANDING
Fraktur tulang atau kontusio dari jaringan lunak pada regio dimana terdapat ginjal
bisa mengakibatkan kebingungan. Tidak adanya massa perirenal dan urogram normal,CT
scans normal akan menyingkirkan diagnosa dari trauma ginjal.(1)

I. KOMPLIKASI
A. Komplikasi awal
Komplikasi yang paling penting diperhatikan adalah perdarahan yang terus
menerus. Pasien harus terus diobservasi ketat tekanan darah dan
hematokritnya. Massa di daerah panggul dapat menunjukan adanya
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, perdarahan berhenti secara spontan, ini
dimungkinkan karena efek tampon dari fascia perirenal.(1)
B. Komplikasi akhir
Excretory urogram sebaiknya dilakukan 3-6 bulan setelah operasi untuk
observasi adanya kemungkinan hidronefrosis. Diperhatikan pula tekanan
darahnya dalam beberapa bulan untuk monitor adanya kemungkinan hipertensi
atau tidak. Kita juga harus memperhatikan adanya kemungkinan
pyelonephritis, arterivenous fistula.(1)

J. PENGELOLAAN
Pada setiap trauma tajam yang diduga mengenai ginjal harus dipikirkan untuk
melakukan tindakan eksplorasi, tetapi pada trauma tumpul, sebagian besar tidak
memerlukan operasi. Terapi pada trauma ginjal adalah:
18
1. Konservatif
Tindakan konservatif ditujukan pada trauma minor. Pasien dianjurkan total
bedrest. Dilakukan observasi tanda-tanda vital, kemungkinan adanya
penambahan massa di pinggang, adanya pembesaran lingkaran perut,
penurunan kadar haemoglobin darah, dan perubahan warna urine.
Perkembangan hemodinamik dimonitor. Dilakukan pemberian analgetik untuk
rasa nyerinya dan antibiotik untuk mencegah infeksi. (5)
Jika selama tindakan konservatif terdapat tanda-tanda perdarahan atau
kebocoran urine yang menimbulkan infeksi, harus segera dilakukan tindakan
operasi.(5)
2. Operasi
Operasi ditujukan pada trauma ginjal mayor seperti laserasi mayor parenkim
ginjal dan yang mengenai pembuluh darah dengan tujuan untuk segera
menghentikan perdarahan. Indikasi eksplorasi ginjal, yaitu syok yang tidak
teratasi dan syok berulang, juga serta bila terdapat ekstravasasi urin.
Selanjutnya perlu dilakukan debridement, reparasi ginjal atau tidak jarang
harus dilakukan nefrektomi parsial bahkan nefrektomi total karena kerusakan
ginjal yang sangat berat.(5)
Seperti disebutkan di atas, ada dua macam pengelolaan trauma ginjal. Tindakan
konservatif umumnya dilakukan pada trauma ginjal dengan kalsifikasi grade 1 dan 2 yang
belum luas mengenai parenkim ginjal dan menimbulkan gangguan vaskularisasi ataupun
ekstravasasi urin. Tindakan operatif dilakukan pada trauma ginjal dengan kalsifikasi
grade 3-5 yang umumnya sudah laserasi sampai ke parenkim ginjal dan menimbulkan
gangguan vaskularisasi. Dalam menghadapi kasus trauma ginjal, perlu diawasi keadaan
umum pasien dan beratnya cedera ginjal pada pasien. Berikut adalah beberapa tahapan
pengelolaan pasien trauma ginjal. (5)
 Pengelolaan Emergency
Atasi shock dan perdarahan dengan transfusi darah. Bed rest sebaiknya dilakukan
hingga hematuria berhenti.(1)
 Operasi
Kebanyakan trauma ginjal yang mengalami perdarahan akan berhenti tanpa perlu
intervensi operasi. Perdarahan berhenti dengan bed rest dan hidrasi. Kasus dimana

19
perlu operasi diindikasikan pada perdarahan retroperitoneal yang menetap, urinary
extravasasi, trauma pedicle ginjal. (2)
Pada trauma ginjal akibat penetrasi sebaiknya operasi eksplorasi. (2)
 Pengelolaan pada komplikasi
Infeksi perirenal atau retroperitoneal urinoma perlu drainase. Hipertensi maligna perlu
perbaikan vaskular / nephrectomy. Hidronefrosis perlu perbaikan secara operasi atau
nephrectomy. (1)

K. PROGNOSIS
Kebanyakan trauma ginjal sembuh secara spontan, meskipun pasien harus
diperiksa secara jangka waktu tertentu untuk melihat adanya kemungkinan hipertensi,
hidronefrosis, dll. (1)

TRAUMA URETER

A. ETIOLOGI
Cedera ureter sangat jarang dijumpai. Cedera ini dapat terjadi karena trauma dari
luar yaitu trauma tumpul maupun trauma tajam, trauma iatrogenik. Operasi endourologi
transureter ( ureteroskopi / ureterorenoskopi, ekstraksi batu dengan Dormia, atau litotripsi
batu ureter ) dan operasi di daerah pelvis ( diantaranya adalah operasi ginekologi, bedah
digestif, bedah vaskuler ) dapat menyebabkan terjadinya cedera ureter iatrogenik.(3)
Cedera yang terjadi pada ureter akibat tindakan operasi terbuka dapat berupa : ureter
terikat, crushing karena terjepit oleh klem, putus(robek). Atau devaskularisasi karena
banyak jaringan vaskuler yang dibersihkan.(3)

B. PATOGENESIS& PATOLOGI
Ureter bisa saja terpotong selama proses operasi pelvis yang sulit. Pada kasus
seperti ini, perdarahan dan kerusakan ginjal yang parah biasanya muncul post-operasi.
Jika ureter yang terputus sebagian tidak diketahui ketika sedang operasi, ektravasasi urine
yang selanjutnya akan membentuk urinoma yang besar akan terjadi, yang biasanya akan
mengarah pada fistula ureterovaginal / ureterocutaneous. Ekstravasasi urine
intraperitoneal dapat juga terjadi, mengakibatkan ileus dan peritonitis.(1)

C. TANDA DAN GEJALA


20
Jika trauma ureter tidak diketahui ketika sedang operasi, pasien akan mengeluh
nyeri pada abdomen dan panggul dimana trauma itu terjadi. Biasanya demam juga
muncul. Pasien juga mengalami mual dan muntah.(1)
Hidronefrosis yang terjadi akibat ureter yang terligasi total akan menimbulkan
nyeri panggul dan abdomen yang sangat sakit dengan mual muntah setelah post-
operasi, bisa juga disertai ileus. Tanda dari peritonitis dapat muncul jira ada
ekstravasasi urine ke dalam cavum peritoneum.(1)
Urine dapat keluar melalui luka atau vagina, ini bisa ditunjukan dengan
menyuntikan 10 ml indigo carmin intravena. Urine berubah menjadi biru. Anuria
estela operasi pelvis berarti ada ligasi ureter bilateral. (1)

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Mikroskopik hematuria biasanya ditemukan Tes fungsi ginjal biasanya normal kecuali
pada obstruksi ureter bilateral.(1)

E. PEMERIKSAAN X-RAY
Diagnosa dengan excretory urography. Foto polos abdomen menunjukan area luas
dengan densitas yang meningkat pada daerah dimana trauma terjadi.(1)

F. PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI
Ini dapat menunjukan hidroureter dan hidronefrosis atau massa yang menggambarkan
adanya ekstravasasi urin.(1)

G. RADIONUCLIDE SCANNING
Teknik ini akan menunjukan adanya ekskresi yang terlambat, dengan adanya
akumulasi urin pada pelvis renalis.(1)

H. DIAGNOSIS BANDING
Tanda peritonitis dapat muncul jika urine bocor ke ruangan peritoneum. Ekscretory
urography akan menunjukan apakah ada keterlibatan dari ureter. Demam, ”akut
abdomen”, mual,muntah setelah operasi pelvis yang sulit merupakan indikasi
ekscretory urography untuk mengetahui apakah ada cedera ureter atau tidak.

21
Infeksi luka dalam juga harus dipikirkan apabila setelah post-operasi pasien
mengalami demam dan ileus. Ekstravasasi urin dan urinoma menunjukan gejala yang
sama.(1)

I. KOMPLIKASI
Bisa terjadi urinary fistula, stenosis ureter dengan hidronefrosis, infeksi ginjal,
peritonitis, dan uremia ( dengan cedra bilateral )(1)

J. PENGELOLAAN
 Jika trauma diketahui ketika sedang operasi
1. Ureteral division
Perbaikan dari ureter yang terpotong ketika sedng operasi dilakukan dengan
anastomosis menggunakan T tube atau 2 kateter. Mengimplantasi ureter ke
kandung kemih jika traumanya juxtavesical, atau implantasi dari ujung akhir
ureter yang trauma ke sisi yang berlawanan dari ureter. Drainase area itu.(2)
2. Ureteral ligation
Pindahkan jahitan. Untuk mencegah nekrosis, hilangkan segmen yang trauma
dan sambungkan ke ujung ureter.(2)

 Jika trauma ditemukan setelah operasi


Tindakan awal sangat diperlukan. Tindakan bisa berupa : end to end anastomosis,
implantasi ulang ke kandung kemih, transureteroureterostomy. Jika derajat
hidronefrosis adalah tingkat lanjut atau didapatkan sepsis, percutaneus atau
nephrostomy sebaiknya dilakukan. Nephrectomy bisa dilakukan bila ginjal
kontralateral normal dan tidak ada kontraindikasi untuk transureteroureterostomy. (1)
Setelah perbaikan dari trauma ureter sebaiknya dilakukan ” stenting ” . Teknik yang
digunakan biasanya adalah dengan memasukkan silikon internal stent pada
anastomosis sebelum dilakukan penutupan. Stenting ini dilakukan untuk mencegah
adanya perpindahan selama masa post-operasi. Setelah 3-4 minggu setelah
(2)
penyembuhan, stent dapat dipindahkan dari kandung kemih dengan endoskopi.

22
K. PROGNOSIS
Prognosis dari trauma ureter adalah baik jika diagnosis dilakukan lebih awal dan
operasi koreksi yang diperlukan telah dilakukan. Penundaan diagnosis memperburuk
prognosis karena adanya infeksi, hidronefrosis, abses, dan fistula.(4)

TRAUMA KANDUNG KEMIH

A. ETIOLOGI
Angka kejadian trauma buli-buli hanya 2 % dari keseluruhan trauma traktus
urinarius. Kurang lebih 90% trauma tumpul kandung kemih adalah akibat fraktur pelvis.
Fiksasi kandung kemih pada tulang pelvis oleh fasia endopelvik dan diafragma pelvis
sangat kuat sehingga cedera deselerasi terutama jika titik fiksasi fasia bergerak pada arah
berlawanan, dapat merobek buli-buli. Robeknya buli-buli karena fraktur pelvis bisa pula
terjadi akibat fragmen tulang pelvis merobek dindingnya.(3)
Dalam keadaan penuh terisis urine, buli-buli mudah sekali robek jika mendapatkan
tekanan dari luar berupa benturan pada perut sebelah bawah. Buli-buli akan robek pada
daerah fundus dan menyebabkan ekstravasasi urine ke rongga intraperitoneum.(3)
Tindakan endourologi dapat menyebabkan trauma buli-buli iatrogenik antara lain
pada reseksi buli-buli transuretral ( TUR buli-buli) atau pada litotripsi. Demikian pula
pada tindakan operasi di daerah pelvis dapat menyebabkan trauma iatrogenik pada buli-
buli.(3)
Ruptura buli-buli dapat pula terjadi spontan; hal ini biasanya terjadi jika sebelumnya
terdapat kelainan pada dinnding buli-buli. Tuberkulosis, tumor buli-buli, atau obstruksi
infravesikal kronis menyebabkan perubahan struktur otot buli-buli yang menyebabkan
kelemahan dinding buli-buli. Pada keadaan itu bisa terjadi ruptur buli-buli spontan.(3)

B. PATOGENESIS & PATOLOGI


Tulang pelvis melindungi kandung kemih dengan sangat baik. Ketika pelvis fraktur
karena trauma tumpul, fragmen dari sisi yang fraktur perforasi ke kandung kemih.
Perforasi ini biasanya mengakibatkan ruptur ekstraperitoneal. Jika urine terinfeksi,
perforasi kandung kemih ekstraperitoneal akan mengakibatkan abses pelvis dan radang
pelvis.(2)

23
Ketika kandung kemih terisi, pukulan langsung pada abdomen bawah akan
menimbulkan gangguan kandung kemih. Tipe gangguan ini biasanya intraperitoneal. Jika
diagnosis tidak ditegakkan dengan segera dan jika urine sterile, maka tidak akan ada
keluhan untuk beberapa hari. Tapi jika urine terinfeksi, peritonitis dan akut abdomen akan
terjadi.(2)

A = Intra-Peritoneal robeknya buli-buli pada daerah fundus, menyebabkan


ekstravasasi
A= Urine ke rongga peritoneum
B = Ekstra-Peritoneal akibat fraktura tulang pelvis

C. TANDA DAN GEJALA


Ada riwayat, bukti trauma abdomen bawah. Pasien biasanya tidak dapat berkemih,
tapi ketika pengeluaran terjadi secara spontan, biasanya terdapat gross hematuria.
Kebanyakan pasien mengeluh sakit pada abdomen dan pelvis. Akut abdomen
mengindikasikan ada ruptur kandung kemih intraperitoneal. Massa yang dapat teraba di
abdomen bawah biasanya menunjukan adanya hematom pelvis.(1)

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Kateterisasi biasanya diperlukan pada pasien dengan trauma pelvis tapi bila tidak ada
pengeluaran darah lewat urethra. Pengeluaran darah lewat urethra indikasi adanya trauma
urethra, dan urethrogram diperlukan sebelum kateterisasi. Ketika kateterisasi selesai
dilakukan, gross/mikroskopi hematuria biasanya muncul. Urine yang diambil dari

24
kandung kemih pada saat kateterisasi harus dikultur untuk mengetahui apakah terdapat
ada infeksi atau tidak.(3)

E. PEMERIKSAAN X-RAY
Foto polos abdomen biasanya dilakukan pada fraktur pelvis. Bisa didapatkan
kekaburan pada abdomen bawah akibat ekstravasasi urine atau darah. Intravenous
urogram sebaiknya dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat trauma ginjal dan ureter.
Gangguan kandung kemih bisa terlihat pada cystography. (1)

F. DIAGNOSIS BANDING
Trauma abdomen dengan hematuria dapat disebabkan trauma ginjal, ureter,
begitu juga pada kandung kemih. Urogram diindikasikan pada semua pasien dengan
trauma yang ada hubungannya dengan hematuria.(1)

G. KOMPLIKASI
Abses pelvis bisa terbentuk dari ruptur kandung kemih extraperitoneal; jika urine
terinfeksi, hematom pada pelvis juga ikut terinfeksi.(1)
Ruptur kandung kemih intraperitoneal dengan ekstravasasi urine ke cavum abdomen
dapat mengakibatkan peritonitis.(1)

H. PENGELOLAAN
A. Emergency
Shock dan perdarahan harus segera diatasi.(1)
B. Operasi
1. Ekstraperitoneal ruptur
Sebaiknya diperbaiki secara intravesical. Ketika kandung kemih telah terbuka
pada garis tengah, harus diperhatikan secara seksama dan laserasi ditutup
sampai dalam dengan menggunakan benang yang bisa diserap.(1)
2. Intraperitoneal ruptur
Diperbaiki lewat pendekatan transperitoneal. Setelah semua perforasi ditutup.
Semua ekstravasasi cairan di dalam cavum peritoneum harus dikeluarkan
semua sebelum penutupan.(1)
3. Fraktur pelvis

25
Pada fraktur pelvis yang stabil, pasien dapat berjalan dalam waktu 4-5 hari
tanpa kesulitan. Fraktur pelvis yang tidak stabil perlu fikasi eksternal.(2)

I. PROGNOSIS
Dengan penanganan yang tepat, prognosis-nya adalah baik. (1)

TRAUMA URETHRA

Secara klinis trauma urethra dibedakan menadi trauma urethra anterior dan
posterior, hal ini karena keduanya menunjukan perbedaan dalam hal etiologi trauma,
tanda klinis, pengelolaan, serta prognosisnya.(3)

A. ETIOLOGI
Trauma urethra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal ) dan cedera
iatrogenik akibat instrumensasi pada urethra. Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur
tulang pelvis menyebabkan ruptura urethra pars membranasea, sedangkan trauma tumpul
pada selangkangan atau straddle injury dapat menyebabkan ruptura urethra pars bulbosa.
Pemasangan kateter atau businasi pada urethra yang kurang hati-hati dapat menimbulkan
robekan urethra karena false route atatu salah jalan; demikian pula tindakan operasi trans-
urethra dapat menimbulkan cedera urethra iatrogenik.(3)

B. GAMBARAN KLINIS
Kecurigaan adanya trauma urethra adalah jika didapatkan perdarahan per-urethra,
yaitu terdapat darah yang keluar dari meatus urethra eksternum setelah mengalami
trauma. Perdarahan per-urethra ini harus dibedakan dengan hematuria yaitu urin
bercampur darah. Pada trauma urethra yang hebat, seringkali pasien mengalami retensi
urine. Pada keadaan ini tidak diperbolehkan melakukan pemasangan kateter, karena
tindakan pemasangan kateter dapat menyebabkan kerusakan urethra yang lebih parah.(3)
Diagnosis ditegakkan melalui foto uretrografi dengan memasukkan kontras melalu
urethra, guna mengetahui adanya ruptur urethra.(3)

26
TRAUMA URETHRA POSTERIOR

A. ETIOLOGI
Ruptura urethra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis. Fraktur
yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis,
menyebabkan robekan urethra pars prostato-membranasea. Fraktur pelvis dan robekan
pembuluh darah yang berada dalam kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas
sehingga jika ligamentum pubo-prostatikum ikut terobek, prostat beserta buli-buli akan
terangkat ke kranial.(3)

B. PATOGENESIS& PATOLOGI

Trauma pada urethra posterior biasanya karena trauma tumpul dan fraktur pelvis. Terjadi
robekan ligamen pubo-prostatikum. KlasifikasiCollapinto & Mc Collum :

1. Stretching/teregang. Tidak ada ekstrvasasi.

2. Uretraputus diatas prostato membranasea. Diafragma urogenital utuh.


Ekstravasasi terbatas pada diafragma urogenital.

3. Uretraposterior, diafragma uretra, dan uretra pars bulbosa proksimal


rusak,ekstravasasi sampai perineum.

C. TANDA DAN GEJALA


Pasien biasanya mengeluh sakit pada abdomen bagian bawah dan tidak bisa
berkemih atau adanya retensi urin. Ditemukan pula riwayat adanya trauma pada pelvis.
Darah yang keluar lewat meatus urethra externum adalah tanda penting pada trauma
urethra. Darah yang keluar pada meatus urethra externum merupakan indikasi untuk
segera melakukan urethrografi untuk menegakkan diagnosis.(4)
Nyeri suprapubis dan adanya fraktur pelvis dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik.
Hematom pelvis yang besar dapat ditemukan dengan palpasi. Pada rectal touche, dapat
ditemukan hematom pelvis dan pergeseran prostat ke arah superior. Dapat teraba floating
prostat (4)

27
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Anemia karena perdarahan dapat ditemukan. Urine tidak bisa didapat karena
pasien tidak bisa berkemih dan kateterisasi tidak boleh dilakukan.(4)

E. PEMERIKSAAN X-RAY
Fraktur tulang pelvis biasanya didapat. Uretrogram menunjukan lokasi ekstravasasi
pada prostatomembranous junction.(1)

F. PEMERIKSAAN INSTRUMENTAL
Pemeriksaan instrumental yang boleh dilakukan hanya urethrografi. Kateterisasi
dan urethroscopy tidak boleh dilakukan, karena prosedur tersebut akan meningkatkan
resiko hematom, infeksi, gangguan lebih lanjut pada urethra.(1)

G. DIAGNOSIS BANDING
Ruptur kandung kemih bisa terjadi bersamaan dengan trauma urethra posterior.
Intravenous urogram perlu dipikirkan sebagai pemeriksaan penunjang.(1)

H. KOMPLIKASI
Striktur, impotensi, dan inkontinensia dapat menjadi komplikasi dari ruptur urethra
posterior.(3)

I. PENGELOLAAN
A. Emergency
Shock dan perdarahan harus segera ditangani
B. Operasi
1. Penanganan Awal
Suprapubic cystotomy harus dilakukan untuk drainase urine. Insisi pada garis
tengah abdomen bawah dilakukan untuk menghindari hematom pelvis. Jika
ada laserasi pada kandung kemih, dijahit dengan benang yang dapat diserap.(1)
2. Rekonstruksi urethra
Bila tidak ada infeksi, rekonstruksi dapat dilakukan pada bulan ke – 3.
Sebelum rekonstruksi, dilakukan dahulu gabungan cystogram dan urethrogram
untuk mengetahui pastinya berapa panjang striktur urethra.(1)

28
C. Penanganan pada komplikasi
Jika 1 bulan setelah rekonstruksi yang ditunda tidak ada ekstravasasi maka
suprapubic kateter bisa dilepas. Tapi bila ada ekstravasasi maka suprapubic kateter
tetap harus terpasang.(1)
Jika muncul striktur, biasanya sangat pendek. Urethrotomy dapat memberikan
penanganan yang mudah.(1)
Pasien bisa impoten beberapa bulan setelah rekonstruksi. Apabila impoten ini
masih ada setelah 2 tahun sejak dilakukan rekonstruksi maka dapat diindikasikan
untuk implantasi penile prosthesis.(1)

J. PROGNOSIS
Jika komplikasi dapat dihindari, maka prognosisnya adalah baik. Infeksi urinarius
dapat ditangani dengan tindakan yang tepat. (1)

TRAUMA URETHRA ANTERIOR

A. ETIOLOGI
Cedera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan urethra anterior adalah
straddle injury ( cedera selangkangan ) yaitu urethra terjepit diantara tulang pelvis dan
benda tumpul. Jenis kerusakan urethra yang terjadi berupa : kontusio dinding urethra,
ruptur parsial, atau ruptur total dinding urethra.(3)

B. PATOGENESIS& PATOLOGI
A. Kontusio
Kontusio dari urethra merupakan tand adanya trauma pada urethra. Hematom
perineal juga bisa terjadi.(1)
B. Laserasi
Straddle injury yang parah dapat mengakibatkan laserasi pada dinding urethra,
yang bisa menimbulkan ekstravasasi urine. Jika ekstravasasi ini tidak diketahui,
maka dapat meluas ke skrotum, bahkan dapat meluas ke dinding abdomen.(1)

C. TANDA DAN GEJALA


Ada riwayat jatuh atau pemakaian instrumen yang melalui urethra. Perdarahan
lewat urethra juga biasanya muncul. Terdapat nyeri lokal pada perineum dan kadand-
29
kadang terdapat hematom perineal. Jika terdapat ekstravasasi maka terdapat
pembengkakan pada area tersebut. Rectal touche ditemukan prostat yang normal. (1)
Pasien biasanya memiliki keinginan untuk berkemih, tapi sebaiknya proses berkemih
tidak boleh dilakukan hingga penilaian pada urethra selesai dilakukan. Jika kandung
kemih pasien membesar, maka dilakukan percutaneus suprapubic cystotomy.
Jika diagnosis terlambat dilakukan, maka sepsis dan infeksi dapat terjadi. (1)

D. PEMERIKSAANLABORATORIUM
Sel darah putih bisa meningkat jika terjadi infeksi(4)

E. PEMERIKSAAN X – RAY
Urethrogram bisa menunjukan ekstravasasi dan lokasi dari trauma.(4)

F. DIAGNOSIS BANDING
Gangguan partial atau komplit prostatomembranous urethra dapat terjadi jika ada
fraktur pelvis.(1)

G. KOMPLIKASI
Perdarahan hebat dari truma corpus spongiosum dapat terjadi pada perineum,
begitu juga melalui meatus urethra. Tekanan pada perineum di daerah yang
mengalami trauma biasanya bisa mengendalikan perdarahan.. Jika perdarahan tidak
bisa dihentikan, maka operasi segera diperlukan.(1)
Komplikasi daari ekstravasasi adalah sepsis dan infeksi. Debridement dan drainase
dibutuhkan jika ada infeksi.(1)
Striktur pada area yang mengalami trauma adalah komplikasi yang biasa
terjadi, tapi rekonstruksi operasi tidak diperlukan kecuali striktur itu mengurangi
jumlah aliran urine secara signifikan.(1)

H. PENGELOLAAN
Kontusio urethra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera ini
dapat menimbulkan penyulit striktura urethra di kemudian hari, maka setelah 4-6
bulan perlu dilakukan pemeriksaan urethrografi ulangan.(3)
Pada ruptur urethra parsial dengan ekstravasasi ringan, cukup dilakukan cystostomi
untuk mengalihkan aliran urine. Kateter Cystostomi dipertahankan sampai 2 minggu.
30
Dan dilepas setelah diyakinkan melalui pemeriksaan uretrografi bahwa sudah tidak
ada ekstravasasi kontras atau tidak timbul striktur uretra. Namun jika timbul striktur
urethra, dilakukan reparasi urethra atau sachse.(3)
Tidak jarang ruptur urethra anterior disertai dengan ekstravasasi urine dan
hematom yang luas sehingga diperlukan debridement dan insisi hematom untuk
mencegah infeksi. Reparasi urethra dilakukan setelah luka menjadi lebih baik.(3)

I. PROGNOSIS
Striktur urethra adalah komplikasi utama tapi pada kebanyakan kasus tidak
memerlukan operasi rekonstruksi. Jika pada striktur, jumlah aliran urin sangat rendah
dan terdapat infeksi serta fistula, maka rekonstruksi diperlukan.(1)

31
BAB III
KESIMPULAN

Trauma tumpul merupakan penyebab utama cedera saluran urogenital. Dengan


lajunya pembangunan, penambahan ruas jalan, dan jumlah kendaraan, kejadian trauma akibat
kecelakaan lalu lintas akan meningkat, termasuk cedera saluran urogenital. Trauma ginjal
adalah kasus yang tersering ditemukan dari semua kasus cedera pada saluran urogenital.
Kejadian trauma tumpul pada ginjal yang bisa bersifat langsung maupun tidak langsung, kira-
kira 80-90 %. Trauma tumpul langsung bisa disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olahraga,
kecelakaan kerja, atau perkelahian. Cedera ginjal umumnya menyertai trauma berat yang
terjadi bersamaan dengan cedera organ lain, tetapi tidak jarang trauma ringan pun dapat
menyebabkan cedera ginjal yang serius.
Pada umumnya, gejala klinis yang ditemukan pada pasien cedera trauma saluran
urogenital bervariasi dan memiliki kesamaan dengan kasus-kasus kelainan sistem urogenital
pada umumnya. Gejala yang paling sering dirasakan pasien adalah hematuria, nyeri daerah
costovertebral, disuria, dll. Untuk dapat menyingkirkan berbagai diagnosis banding, maka
diperlukan observasi pasien dengan seksama.
Dalam mengobservasi pasien trauma urogenital, ada berbagai langkah yang berbeda
dari penanganan pasien trauma pada umumnya. Jika mungkin, setelah fase syok dan
perdarahan telah berhasil diperbaiki, deskripsi lengkap dari kecelakaan atau kejadian yang
menyebabkan trauma harus didapatkan. Lokasi nyeri dari cedera organ urogenital harus
diperhatikan. Bukti adanya trauma harus bisa dipastikan. Gejala signifikan seperti ekimosis,
massa hematom, adanya perdarahan harus didapatkan. Trauma saluran urogenital harus bisa
dipastikan secara klinis.
Berbagai pemeriksaan fisik seperti palpasi daerah cedera, rektal tussae, dan berbagai
pemeriksaan penunjang seperti X-ray, USG, harus dilakukan untuk memastikan diagnosis
trauma saluran urogenital. Pentalaksanaan pada pasien trauma saluran urogenital adalah
bedrest dan awasi keadaan umum pasien selama perdarahan berlangsung. Pada umumnya
cedera dapat sembuh sendiri. Selain itu, status lokalis nyeri pasien juga harus diperiksa.
Berdasarkan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan, harus dilihat keadaan organ
pasien untuk mendeteksi adanya cedera lebih lanjut. Pada akhirnya, deteksi dini dan
observasi pasien yang detail akan menentukan prognosis pasien trauma saluran urogenital

32
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. D.R. Smith, Emil.A.Tanagho, Jack.W.McAninch, Smith’s General Urology 14th


Edition, Lange Medical Publications, California, 1981
2. W.B.Saunders, Campbell’s Urology, sixth edition, W.B Saunders company,
Philadelphia, Pennsylvania, 1992
3. Purnomo.B.Basuki, Dasar-Dasar Urologi, Cetakan 1, CV.Infomedika, Jakarta,
2002
4. Wim de Jong dan Sjamsuhidayat, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, EGC, Jakarta,
2004
5. http://www.bedahugm.net/Bedah-Urologi/Trauma-Pada-Ginjal.html
6. Berbagai gambar diperoleh dengan search melalui situs www.google.co.id

33

Anda mungkin juga menyukai